Jumat, 07 Mei 2010

ARTIKEL
















PERAN PEREMPUAN (INA) GKPA DALAM PENGEMBANGAN JEMAAT
Pdt. Tuty Zastini Hutabarat,S.Th.*



I. PENDAHULUAN

Perempuan GKPA merupakan asset Gereja yang vital. Tanpa perempuan, gereja tidak berkembang. Indikasi utama terlihat dari kehadiran perempuan dalam seluruh kegiatan gerejawi. kehadiran kaum perempuan sangat mendominasi dalam setiap kegiatan gereja dibandingkan kaum bapak dan pemuda gereja. Indikasi ini memang bukan menjadi tolok ukur utama, namun menentukan.


II. PERAN PEREMPUAN DALAM PENGEMBANGAN JEMAAT

Pada bagian ini kita akan menelusuri bagaimana pengalaman kaum perempuan serta reaksi mereka terhadap realitas kehidupan yang mereka hadapi.

a. Meneropong tradisi

Pada hakikatnya perempuan memiliki kepribadian yang unik dan utuh, jasmani-rohani. Tradisi penulis kitab Kejadian dengan jelas menunjukkan kebenaran ini dan mereka mengungkapkan bahwa perempuan diciptakan menjadi “penolong” bagi pria. Istilah “penolong” merupakan terjemahan dari kata “ezer” artinya penolong. Lebih jelas diterjemahkan dengan “ penolong yang sepadan” (bnd. Kej. 2:18). Dalam pengertian ini peran perempuan sebagai penolong sangat menentukan, karena tanpa perempuan, pria tidak dapat mewujudkan dirinya sepenuhnya.

Namun realitas sejarah perkembangan kehidupan umat manusia sejak dulu sampai sekarang, realitas hidup perempuan berlangsung sungguh memprihatinkan (tragis). Perempuan sepertinya disetting sebagai symbol kaum lemah yang tersingkir dalam percaturan kehidupan kaum pria. Dalam konteks masyarakat yang patriarchal, perempuan dianggap kaum marginal. Dengan demikian jelas bahwa dalam perkembangannya perempuan tidak menjadi korban akibat kekeliruan memenuhi tuntutan kodratnya, melainkan menjadi korban system atau kroban tradisi.

Sebagai contoh, dalam pertemuan-pertemuan di berbagai daerah kecuali daerah Angkola, kuasa menentukan keputusan hanya berada pada pihak pria. Demikian juga dalam hal makan-minum. Istri harus mendahulukan kepentingan suami dan anak-anaknya, sebab ia harus menjadi pelayan. Dalam tradisi orang Yahudi hal sedemikian juga ditemukan. Perempuan dianggap hanya bisa menangani tugas-tugas di seputar dapur saja. Perempuan dicap sebagai penyebab dosa dan timbulnya nafsu birahi kaum pria.

Hal ini yang kita lihat dalam kontroversi soal undang-undang anti pornografi dan porno aksi akhir-akhir ini di negara kita.
Kenyataan tersebut mengakibatkan hubungan antara pria dan perempuan hanya bersifat fungsional atau sebatas relasi subjek-objek, ditempatkan pada posisi yang lemah secara intelektual dan menjadi sumber godaan dan kejahatan.

b. Krisis Jatidiri


Pada dasarnya manusia diciptakan adalah sebagai mahluk yang selalu membutuhkan sesamanya “homo homini socius”. Tetapi manusia juga sering menjadi lawan atau musuh bagi sesamanya “homo homini lupus”. Apa penyebab hal tersebut?
System patriarchal. Sistem ini merupakan salah satu penyebab terjadinya keretakan hubungan antara pria dan perempuan. Pria menempatkan diri pada posisi teratas, sementara perempuan berada di kelas kedua. Jika dilihat lebih teliti, sesungguhnya perempuan bukanlah korban tradisi melainkan korban ketegaran hati kaum pria. Ini yang disebut krisis jatidiri, artinya kaum pria belum mengenal hakikat dirinya sebagai mahluk sosial.

Dengan demikian dapat dikatakan krisis yang terjadi adalah karena sikap hati manusia yang tegar, sikap hati yang tertutup dan terlalu sibuk dengan dirinya sendiri. Sikap ini lebih jauh membawa manusia terperosok semakin dalam pada sebuah ekstrim yang tak terjembatani antara pria dan perempuan biloa dibiarkan berlarut-larut.
Ironis memang, kaum pria yang dilindungi perempuan selama sembilan bulan dalam kehangatan rahimnya, justru berbalik “menghianati” kasih saying dan kesetiaan yang telah mereka persembahkan. Mereka terjerembab di bawah dominasi kaum pria yang terus memproklamirkan diri sebagai penguasa selama ribuan tahun. Kini perempuan terus berjuang dalam suasana tidak pasti untuk memproklamirkan diri sebagai mitra pria.


c. Awal Perjuangan-pelepasan tradisi lama

Ketika berhadapan dengan realita hidup yang terbelenggu, perempuan merindukan pembebasan. Bebas dari penindasan struktural supaya dapat merebut kembali nilai personalnya yang tertindas. Perempuan beranggapan bahwa prinsip saling mengobjekkan harus ditiadakan, pria dan perempuan saling membutuhkan dalam rangka menyempurnakan dirinya. Pria tidak lagi dipandang sebagai penguasa atas perempuan, tetapi sebagai mitra yang sepadan.
Kesadaran akan hakikat eksistensi manusia menjadi titik tolak awal gerakan feminisme.

Kata “feminisme” berasal dari kata Latin “femina” artinya perempuan. Dalam pengertian ini, feminisme dipahami dalam hubungan dengan tubas dan tanggung jawab kaum perempuan. Maka gerakan feminisme adalah usaha kaum perempuan untuk melepaskan system patriarchal dan berjuang menegakkan keadilan, persamaan hak dan martabat antara pria dan perempuan, termasuk kesempatan kerja.

Ada beberapa hal yang melatarbelakangi lahirnya gerakan feminisme. Antara lain: pertama, lahirnya revolusi Perancis dan Amerika pada abad 18 dan 19, membukan kesempatan bagi perjuangan persamaan hak dan martabat antara pria dan perempuan. Kedua, munculnya gerakan anti perbudakan, di mana kaum perempuan merupakan bagian terbesar dari masyarakat tertindas. Ketiga, munculnya figure perempuan berkaliber dunia. Mereka adalah kaum terpelajar yang berusaha merumuskan dan berbicara tentang kaumnya. Sehubungan dengan ini ada perjuangan gerakan feminisme antara lain: Gerakan feminis Liberal, memperjuangkan kesamaan hak dan martabat antara pria dan perempuan; Gerakan feminis Marxis, memperjuangan keperdulian terhadap otonomi ekonomi dan upah yang adil. Gerakan Feminisme Romantis (termasuk feminisme radikal) berusaha menghancurkan system patriarchal yang mendewakan realitas seksual supaya nilai pesona perempuan yang telah jatuh dalam perbudakan direbut kembali.

Gerakan feminisme hingga saat ini telah membuahkan banyak perkembangan dan perubahan baik dalam tata kehidupan perempuan sendiri maupun dalam masyarakat dan dunia umumnya. Perempuan telah menduduki fungsi social yang melampau fungsinya dalam rumah tangga. Ini nampak dalam bidang politik, ekonomi, social dan agama (gereja), kebudayaan, hukum.

Gereja sendiri pada tahun 1988-1998 menjadikan masa ini sebagai suatu dekade ekumenis Gereja-gereja dalam solidaritasnya dengan perempuan. Menjadi pertanyaan, penetapan dekade ini bagi bangsa dan gereja telah sungguh-sungguh menggubris nasib dan masa depan kehidupan kaum perempuan. Satu hal yang pasti, perjuangan perempuan belum selesai. Kalau demikian, yang harus diperjuangkan terus oleh kaum perempuan adalah kekhasan kodratnya sebagai perempuan


III. KEKHASAN PERAN DAN FUNGSI PEREMPUAN


Pertanyaan yang sering memancing kita untuk berbicara tentang perempuan adalah mengapa perempuan perlu beremansipasi dalam segala aspek kehidupan? Ada beberapa faktor yang membuat kaum perempuan beremansipasi, yaitu:

3.1. Perempuan memberi daya hidup bagi siapa dan apa yang telah lahir dari padanya.


Sebetulnya kalau berbicara tentang perempuan tidak bisa lepas dari kehidupan, sebab perempuan adalah “pemberi daya hidup”, bukan sumber hidup. Sebab kitab Suci menyaksikan bahwa sumber hidup adalah Allah sendiri, tetapi melalui perempuan Allah membuka kesempatan bagi manusia mengembangkan dan memelihara kehidupan yang telah Dia berikan.

Menurut kodratnya kaum perempuan mengandung dan melahirkan, jadi sangat dekat dengan kehidupan itu sendiri. Dalam kitab Kejadian 3:20 disebutkan perempuan “pembawa kehidupan”, menunjukkan pengakuan akan peran sentral dari perempuan dalam kelanjutan hidup dan kehidupan manusia yang tak tergantikan oleh pria, sebab peran ini berakar pada kuasa Allah sendiri.

Jadi peran perempuan tidak hanya berhenti pada mengandung dan melahirkan, melainkan juga dalam proses pemeliharaan dan kelanjutan hidup itu sendiri. Artinya perempuan dengan cara keterlibatannya bisa memberi daya hidup bagi apa dan siapa yang telah lahir dari padanya.

Bertolak dari konsep pemahaman di atas, jeritan hati dari Elisabeth Schussler Fiorenza seharusnya tidak terjadi lagi: “yang disebut Gereja atau Bangsa lebih diidentikkan dan dipimpin oleh kaum bapa. Menyebut gereja, maka yang terlihat di depan mata kita adalah Pendeta (pastor), Paus, Uskup, semuanya kaum pria. Perempuan hanya dipuji karena rajin menghadiri kebaktian dan perjamuan, tetapi yang memimpin dominan pria” Jadi emansipasi perempuan zaman ini tidak lagi terbatas pada perjuangan demi kesamaan, kedudukan dan martabatnya dengan kaum pria. Satu hal yang perlu diperjuangkan dan dikembangkan oleh perempuan adalah bagaimana dengan keindahan dan kelembutan hatinya, perempuan dapat memberi warna khas atau makna baru dalam segala bidang kehidupan.


3.2. Dengan hati mengabdi untuk membangun kehidupan


Hati merupakan inti kepribadian manusia, yang di dalamnya perempuan menghati hakikat peranannya sebagai perempuan. Dengan hati, perempuan berbicara, berfikir, mencintai, mendekati sesama, mendengar dan terlibat dalam karya pelayanannya. Singkatnya hati manusiamewarnai setiap tindakan, perhatian dan cinta kasihnya. Di sinilah tindakan manusia dipertimbangkan, diputuskan dan dilakukan. Keadaan hati menentukan tindakan seseorang entah baik atau buruk.

Jadi yang terpenting bagi perempuan bukan mendirikan struktur organisasi perempuan yang hebat, melainkan hubungan antara pribadi; bukan kehormatan melainkan upaya mendewasakan sesama dengan kelembutan hati; bukan sebatas kemampuan membangun proyek besar melainkan kesanggupan memberi makna khas atau daya hidup baru pada seluruh kepentingan manusia konkret.

Berdasar pada suasana seperti ini, perempuan akan mengalami proses transformasi sehingga mampu mencintai dalam konteks yang lebih luas. Dengan demikian bukan soal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh perempuan, tetapi fungsi keibuan harus meresap ke dalam tugas dan jabatan apa pun yang ditekuninya.

Perempuan yang presiden, guru, dokter, insiniur, Pendeta atau Sintua, selayaknya memiliki daya untuk memberi makna baru pada bidang fungsinya dengan sifat keibuannya. Dengan kelembutan hatinya, perempuan menjalankan fungsinya dan merangkul semua tugas dan jabatan. Bangsa dan gereja memerlukan orang-orang seperti ini untuk menyampaikan warta-Nya, yakni orang yang menyampaikan janji-Nya bukan hanya dengan kata-kata, melainkan dengan seluruh penyerahan dirinya tanpa pamrih.


IV. PERAN PEREMPUAN GKPA DALAM MENGEMBANGKAN JEMAAT


Harus kita akui, perempuan GKPA sejak awal panjaeon HKBPA terlibat aktif mendorong, memberikan motivasi, memberikan ide-ide pemikiran agar proses panjaeon dapat tercapai dan berjalan baik. GKPA (d/h.HKBP-A) berkembang sekarang, itu tidak terlepas dari peran perempuan GKPA yang berada baik di garda depan dan di belakang tokoh-tokoh panjaeon itu sendiri.

Secara struktur di organisasi GKPA, kaum perempuan sudah dimasukkan dalam pengambilan keputusan seperti: Ny.Amelia Panjaitan-Rambe, Ny.Ramona Pasaribu-Hasibuan, Dra.Hetty Siregar, Ny.St.Erika Siregar-Nasution, Ny.Sariati Matondang-Dongoran, Ny.St.Jenny Marpaung-Siregar, Ny.Martina Lubis-Siregar, Pdt.Tuty Zastini Hutabarat,STh dan St.Laurenti Simarmata-Pakpahan,S.Pak.

Bahkan perempuan di GKPA telah diberikan posisi yang baik di dalam organisasi GKPA seperti, Pdt.Gusti Nauli Marpaung-Lubis,BTh pernah menjabat Pendeta GKPA Resort Jakarta I dan II, Praeses GKPA Distrik III Sumatera Timur. Artinya, Praeses pertama di gereja-gereja Batak berasal dari GKPA.

Melihat kenyataan di atas, membuktikan bahwa peran perempuan GKPA dalam pengembangan jemaat sangat besar peranannya.

Di samping itu, perempuan GKPA masih banyak yang memainkan peran penting dalam mengembangkan jemaat GKPA melalui dukungan ide-ide dan dukungan moral serta moril.

Tokoh perempuan lainnya yang telah memberikan pemikiran dan tindakannya dalam mengembangkan GKPA adalah Op. Ruth Siregar-Harahap, dan para ketua persekutuan perempuan GKPA sejak awal hingga kini, yakni: Ny.Amelia Panjaitan-Rambe, Ny.Pdt.Simanungkalit-Manalu, Ny.Mutiara Silalahi-Manurung.

Dalam tugas pelayanan jemaat, perempuan GKPA telah banyak memberikan masukan dan mendukung penyebaran Injil Kerajaan Allah ke seluruh luat Angkola. Pada awal-awal panjaeon, GKPA telah menerima tenaga biblevrou, seperti: Bibv.T.Br.Hasibuan, Bib.B.Br.Simatupang.

Kini perempuan GKPA harus bangkit dan mengevaluasi diri. Jika para perempuan pendahulu kita telah memberikan ide-ide, pemikiran, tenaga, uang, waktu dan seluruh hidup mereka, bagaimana perempuan GKPA sekarang, apakah kita harus mengenang jasa mereka saja, atau kita harus bangkit melebihi keberhasilan mereka dulu demi pengembangan jemaat GKPA.

Perempuan GKPA jangan berpuas diri pada apa yang telah dicapai pendahulu kita, tetapi harus terus berjuang mempertahankan dan bahkan mengembangkan pelayanan demi kamajuan dan pengembangan GKPA ke masa depan.


V. PENUTUP


Pria dan perempuan adalah dua pribadi yang berbeda. Perbedaan itu merupakan satu kapasitas yang memungkinkan keduanya saling melengkapi, dan keduanya adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Karena itu keduanya menjalankan peran sesuai dengan kodratnya di dalam pengertian sebagai mitra yang sepadan. Dalam kaitan dengan peran perempuan dalam konteks masyarakat dan gereja, harus ditekankan bahwa upaya memperoleh kesetaraan dan kesamaan perempuan dengan pria, tidak hanya ditentukan oleh keberhasilan menikmati kesetaraan entah pendidikan, keberhasilan di bidang politik, social dan ekonomi. Tetapi sejauh mana kemampuan perempuan menegakkan kodrat dan citra dirinya.

Selamat Tahun Perempuan GKPA 2010!!!


* Penulis, seorang anggota Majelis Pusat GKPA dari unsur perempuan GKPA Periode 2006-2011 yang tinggal di Padangsidimpuan. HP. 0813 18 200055