Selasa, 22 Juni 2010

RENUNGAN




KEMERDEKAAN YANG MEMBAWA KERUKUNAN
Ramli SN Harahap



Pengantar dan Latar-Belakang


Pada 17 Agustus 2010 kita merayakan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-65. Yang mana oleh pertolongan Tuhan, kita telah dibebaskan dari penjajahan bangsa asing, sehingga kini kita dapat menjadi bangsa yang merdeka. Tetapi tidak berarti bangsa kita sekarang telah bebas dari penjajahan dalam arti yang sesungguhnya. Bangsa kita sekarang masih dijajah oleh kuasa dosa, sehingga kehidupan masyarakat kita masih saling menjajah, menindas atau berupaya untuk menundukkan sesama yang dianggap lemah. Sebagian kelompok masyarakat yang merasa dirinya kuat dan berkuasa terus berupaya untuk menekan dan menindas anggota kelompok masyarakat yang tidak berdaya, apakah penindasan dalam bidang sosial-ekonomi, etnis, budaya ataukah dalam bidang agama. Padahal ciri kehidupan masyarakat Indonesia sejak awal adalah pluralistis (majemuk). Tetapi dominasi “mayoritas” terhadap “minoritas” dalam kehidupan sehari-hari sering begitu kental sehingga terjadilah penindasan dalam berbagai bentuk. Itu sebabnya kita sering gagal untuk mewujudkan kehidupan yang rukun sebagai suatu bangsa. Di berbagai tempat di negara kita masih terjadi berbagai pertikaian dan konflik berdarah. Bila sebelum 1945, kita berhadapan dengan kuasa penjajahan bangsa asing; maka kini kita berhadapan dengan kuasa penjajahan yang dilakukan oleh sesama bangsa. Pola penjajahan “modern” yang terjadi saat ini, bisa jadi lebih buruk dari pada saat kita dijajah oleh bangsa asing. Jadi pada intinya sampai saat ini kita belum sepenuhnya bebas dari kuasa penjajahan. Karena itu peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia setiap tanggal 17 Agustus perlu dipahami secara komprehensif dan realistis yaitu kita harus terus berjuang untuk menegakkan keadilan dan kebebasan. Tujuannya agar peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia tersebut jangan hanya mengenang arogansi atau superioritas bangsa lain yang pernah menindas bangsa kita; tetapi kita melupakan dan mengabaikan arogansi atau superioritas setiap kelompok atau orang yang merasa dirinya “mayoritas”. Kehidupan bersama yang rukun akan terwujud ketika kita mampu hidup bersama dengan menghormati hak setiap orang dan tidak pernah memperlakukan orang lain secara diskriminatif dalam bidang apapun juga.


Merdeka menjadikan Hidup Lebih Rukun

Walau umat Israel semula dari satu keturunan yaitu dari keturunan Abraham dan Ishak, ternyata tidaklah mudah bagi mereka untuk hidup bersama dengan rukun. Bahkan Abraham dan Lot yang semula hidup bersama-sama, akhirnya mereka terpaksa berpisah ketika usaha dan kekayaan mereka bertambah (Kej. 13:6). Demikian pula halnya dengan Esau dan Yakub. Ketika harta milik mereka bertambah-tambah, maka kemudian Esau memilih meninggalkan Kanaan dan menetap di pegunungan Seir. Kej. 36:7 memberi kesaksian, yaitu: “Sebab harta milik mereka terlalu banyak, sehingga mereka tidak dapat tinggal bersama-sama”. Setelah raja Salomo wafat, maka kerajaan Israel terpecah menjadi 2 bagian yaitu kerajaan Israel Utara dan kerajaan Israel Selatan (I Raj. 12:16-20). Di antara rakyat dari kerajaan Israel Utara (Samaria) sering bertikai dengan rakyat dari kerajaan Israel Selatan (Yehuda). Karena itu pemazmur merindukan suatu kehidupan rukun di antara umat, sehingga dia berkata: “Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun!” (Mzm. 133:2).

Walaupun demikian kerinduan pemazmur tersebut bukan sekedar suatu harapan yang “utopis” atau suatu harapan khayali dan tidak mungkin tercapai. Sebaliknya harapan dari pemazmur tersebut ditempatkan dalam janji penyertaan dan berkat Tuhan. Apabila umat bersedia bersandar kepada penyertaan dan berkat Tuhan, maka pastilah kehidupan mereka tidak akan terpecah-pecah. Mereka akan dikaruniai Tuhan suatu kehidupan rukun selama-lamanya. Segala perbedaan, persoalan dan kemajemukan yang mereka miliki tidak akan memisahkan mereka dari persekutuan umat. Penyertaan berkat Tuhan bagi umatNya disimbolkan dengan pengurapan minyak, yaitu: “Seperti minyak yang baik di atas kepala meleleh ke janggut, yang meleleh ke janggut Harun dan ke leher jubahnya”.

Bagi umat Israel zaman itu, minyak memiliki makna dengan simbol yang khusus, yaitu:
a. Sebagai “pengharum”: persaudaraan yang rukun tentu akan mengharumkan identitas diri mereka sebagai umat Allah. Karena itu kitab Pengkhotbah berkata: “Nama yang harum lebih baik dari pada minyak yang mahal, dan hari kematian lebih baik dari pada hari kelahiran”. Umat Israel umumnya gemar memakai minyak sebagai pengharum (Ams. 27:9), tetapi mereka lebih menghargai nama yang harum.
b. Sebagai media “pengobatan”: persaudaraan yang rukun tentu dapat mengobati berbagai penghalang dan luka-luka yang pernah mereka alami. Pada zaman dahulu minyak dipakai untuk mengoles orang-orang yang sakit (bnd. Mark. 6:13; Yak. 5:14). Dalam kehidupan masa kini simbolisasi minyak tersebut juga dapat diterapkan dalam pengertian rohaniah, yaitu dioleskan untuk menyembuhkan luka-luka batin yang meretakkan hubungan di antara sesama.
c. Sebagai media “penobatan” (pelantikan) seseorang dalam identitas yang baru: minyak dipakai untuk mengurapi seseorang sehingga dia diteguhkan untuk melaksanakan panggilan Tuhan secara khusus (I Sam. 10:1). Karena itu minyak juga dipakai sebagai simbol pengurapan Roh Kudus (Ibr. 1:9). Persaudaraan yang rukun akan terwujud ketika kita sebagai umat membuka diri untuk dikuduskan dan dimurnikan oleh Roh Kudus sehingga kita dimampukan untuk melaksanakan karya Tuhan yang mendamaikan.

Belajar dari Sikap Yusuf

Selain itu pemazmur menempatkan harapan akan persaudaraan yang rukun seperti embun yang turun dari gunung. Embun di pagi hari selain mampu menyejukkan udara, juga dapat memberi kesuburan dan kesegaran bagi tanaman. Karena itu tanaman di sekitar pegunungan umumnya tumbuh dengan sehat. Demikian pula persaudaraan yang rukun seharusnya ditandai oleh suasana hidup yang saling menyegarkan dan memberi pertumbuhan. Mereka akan selalu mampu mengatasi setiap kesalahpahaman, perbedaan-perbedaan dan permasalahan yang muncul. Sehingga suasana komunikasi yang terjalin senantiasa konstruktif, saling menumbuhkan dan menghormati. Mereka akan lebih mengedepankan kesetaraan hidup bersama dari pada sikap saling menguasai dan menundukkan. Mereka juga akan lebih mengedepankan kesediaan mengampuni dari pada sikap membalas dendam dan keinginan membunuh lawan. Sikap pengampunan dan kasih inilah yang diperlihatkan oleh Yusuf kepada saudara-saudaranya. Dari sudut manusiawi, tindakan dari saudara-saudara Yusuf sebenarnya sangat sulit dimaafkan. Mereka sebelumnya telah menganiaya, membuang Yusuf ke sumur dan menjual dia sebagai seorang budak. Seandainya kita pernah diperlakukan secara kejam oleh anggota keluarga, umumnya kita sangat sulit untuk memaafkan mereka. Luka-luka batin kita tersebut tidak akan sembuh secara otomatis oleh perjalanan waktu. Perasaan benci dan marah tetap tersemai dengan subur walaupun mereka telah menunjukkan perubahan (pembaharuan) hidup yang signifikan. Tetapi tidak demikian halnya dengan sikap Yusuf. Walaupun saat itu dia telah menjadi tangan kanan dari Firaun, ternyata Yusuf tidak mau menggunakan kekuasaannya untuk menghukum dan membalas kepada saudara-saudaranya yang telah berbuat jahat. Justru sebaliknya saat dia mengetahui saudara-saudaranya datang untuk membeli makanan di Mesir, Yusuf segera memberi pertolongan dan perlakuan khusus. Karena perasaan rindu yang begitu besar, Yusuf meminta agar dia dapat berbicara secara pribadi dengan saudara-saudaranya. Kita tidak dapat membayangkan bagaimana saudara-saudara Yusuf yang sangat terkejut, ketika Yusuf akhirnya memperkenalkan dirinya. Namun yang pasti saudara-saudara Yusuf waktu itu sempat ketakutan ketika mengetahui bahwa penguasa yang berbicara kepada mereka ternyata adalah Yusuf (Kej. 45:3). Tetapi Yusuf berkata: “Marilah dekat-dekat”. Maka mendekatlah mereka (Kej. 45:4).

Ungkapan “marilah dekat-dekat” berasal dari istilah: naw-gash' yang berarti: mengajak seseorang untuk mendekat secara intim seperti hubungan seorang pria dengan seorang wanita. Yusuf bukan hanya tidak mau membalas dendam atas perbuatan jahat dari para saudaranya; tetapi dia justru memperlihatkan kasih yang sangat personal dan memberi mereka penghiburan dengan perspektif teologis yaitu bahwa tindakan mereka menjual dia di masa lampau pada hakikatnya untuk melaksanakan rencana Allah yang menyelamatkan. Di Kej. 45:5 Yusuf berkata: “Tetapi sekarang, janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri, karena kamu menjual aku ke sini, sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu”. Perkataan Yusuf yang penuh dengan pengampunan seperti embun yang menyejukkan dan juga seperti minyak yang menyembuhkan hati saudara-saudaranya.

Kualitas Diri Dalam Rajutan Ilahi

Sikap pengampunan dari Yusuf tersebut menunjukkan suatu kualitas pribadi yang telah dikuduskan oleh Allah. Peristiwa pahit dan penderitaan yang pernah dialami tidak membuat Yusuf terpuruk dalam kemarahan, kebencian dan dendam. Sebaliknya pengalaman yang pahit dan penuh penderitaan dihayati oleh Yusuf sebagai bagian dari proses pembentukan karakter dan rencana Allah dalam kehidupannya. Penderitaannya dihayati oleh Yusuf seperti minyak urapan yang memurnikan dan menguduskan dirinya. Sehingga Yusuf makin dimampukan oleh Tuhan untuk melihat seluruh perjalanan hidupnya sebagai suatu rajutan ilahi untuk menyelamatkan sesama dan keluarganya yang menderita. Di Kej. 45:7-8, Yusuf berkata: “Maka Allah telah menyuruh aku mendahului kamu untuk menjamin kelanjutan keturunanmu di bumi ini dan untuk memelihara hidupmu, sehingga sebagian besar dari padamu tertolong. Jadi bukanlah kamu yang menyuruh aku ke sini, tetapi Allah; Dialah yang telah menempatkan aku sebagai bapa bagi Firaun dan tuan atas seluruh istananya dan sebagai kuasa atas seluruh tanah Mesir”. Rajutan ilahi tersebut yang memampukan Yusuf untuk memiliki kebijaksanaan dan kekayaan pengampunan kepada setiap orang yang pernah berlaku jahat kepadanya. Bukankah seharusnya bangsa kita memiliki kualitas diri seperti Yusuf? Kebesaran bangsa kita bukan ditentukan oleh jumlah penduduk, jumlah mayoritas pemeluk suatu agama atau kelompok mayoritas yang berkuasa; tetapi lebih ditentukan oleh kebesaran hati yang dilandasi oleh kasih dan pengampunan. Namun sayangnya kita sering mendorong sesama dan bangsa ini untuk mengingat luka-luka lama. Kita sering terjebak dalam pemberian cap dan “stigma” kepada seseorang atau kelompok; sehingga kita tidak mampu bersikap obyektif dan adil. Sehingga apabila seseorang atau suatu kelompok pernah melakukan kesalahan di masa lampau, maka mereka kemudian divonis seumur hidup sebagai pembuat masalah (trouble-maker). Bahkan kalau perlu seluruh keturunan dan keluarga dikaitkan dengan kesalahan seseorang. Pemerintah Orde Baru dahulu berulangkali dalam pernyataan politis menegaskan bahwa anggota keluarga yang terlibat dalam Partai Komunis Indonesia tidak diperbolehkan untuk menjadi pegawai negeri atau anggota militer, dan Kartu tanda penduduknya diberi tanda khusus. Kita dapat melihat perbedaan yang sangat esensial antara kualitas diri dari Yusuf yang bijaksana dan penuh pengampunan dengan sikap pemerintah Orde Baru atau berbagai organisasi massa yang terus menghidupkan permusuhan dan kebencian kepada khalayak ramai. Dalam hal ini pemerintah Orde Baru atau berbagai organisasi massa tersebut tidak memiliki kualitas diri sebagai orang-orang yang dikuduskan. Hati mereka sarat dengan kecurigaan, permusuhan, kebencian, dan sikap yang menggeneralisir. Itu sebabnya ucapan dan perkataan mereka senantiasa menyebarkan permusuhan dan kebencian kepada banyak orang.

Karena itu Tuhan Yesus mengingatkan bahwa hati manusia dapat menjadi sumber dari hal-hal yang najis. Di Mat. 15:18, Tuhan Yesus berkata: “Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang. Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat”. Ketika hati kita belum dikuduskan oleh Tuhan, maka hati kita akan menjadi sumber dosa yang menyebar melalui ucapan atau perkataan. Yang mana ucapan dan tindakan yang lahir dari hati yang najis senantiasa dapat mematikan orang lain. Karena itu kualitas diri tidak akan terwujud hanya dengan berbagai pelatihan etika dan pembinaan moral apabila hati kita belum dikuduskan oleh Tuhan. Kualitas diri juga tidak akan tercapai ketika kita hanya memperhatikan soal-soal makanan yang haram dan halal. Sebab makanan tersebut tidak akan membaharui inti dari spiritualitas kita. Karakter bangsa kita tidak akan diperbaharui oleh ketaatan mereka terhadap jenis makanan yang halal dan menolak makanan yang dianggap haram. Tetapi kualitas diri akan terwujud dalam kehidupan kita ketika kita bersedia dirajut dan “dioperasi” oleh Allah melalui berbagai pengalaman yang pahit dan getir. Sebab berbagai pengalaman yang pahit dan getir tersebut tidak lagi dilihat dari sudut manusiawi kita, tetapi kita melihatnya dari perspektif yang baru secara teologis, yaitu Allah berkenan membentuk dan memproses kita untuk menjadi alatNya yang kudus. Perspektif teologis inilah yang memampukan kita untuk membuang berbagai perasaan dendam dan sakit hati terhadap setiap orang yang memusuhi dan menganiaya kita. Sehingga kita dimampukan untuk hidup rukun dengan setiap orang, bahkan rekonsiliasi (berdamai) dengan para lawan kita.

Rekonsiliasi yang Transformatif

Abraham dan Lot pernah berpisah, tetapi Abraham tetap peduli dan membantu Lot saat dia mengalami kesulitan (Kej. 14:14-16). Esau dan Yakub pernah bermusuhan, tetapi mereka dapat kembali rujuk dan saling mengampuni (Kej. 33:4). Contoh-contoh tersebut menggambarkan peristiwa rekonsiliasi yang transformatif, sebab kedua pihak mampu berdamai dan saling menolong. Mereka membuka diri terhadap anugerah kasih Allah yang berfungsi seperti minyak untuk mengobati setiap luka-luka batin dan seperti embun yang memberi kesegaran dan pertumbuhan. Jika pemazmur berkata: “Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun!” (Mzm. 133:2), apakah setiap kita sebagai bangsa Indonesia juga berlaku seperti Esau dan Yakub; ataukah seperti Abraham kepada Lot? Khususnya apakah kita mau bersikap seperti Yusuf yang kaya dengan pengampunan kepada saudara-saudaranya yang pernah berbuat jahat kepadanya? Saat kita dipercaya oleh Tuhan suatu jabatan atau kekuasaan tertentu, apakah kita memanfaatkan untuk menolong dan memberi berkat kepada orang-orang yang pernah melukai hati kita? Ataukah sikap yang sebaliknya! Saat kita dipercaya suatu jabatan atau kekuasaan tertentu, apakah kita pakai untuk meniadakan dan menghancurkan kekuatan dari para lawan kita? Dalam hal ini kita diingatkan bahwa keselamatan dan berkat berupa jabatan yang kita terima pada hakikatnya terjadi karena kemurahan hati Allah. Seharusnya Allah menghukum kita saat kita tidak taat kepada-Nya (Rm. 11:30). Tetapi di dalam Kristus, Allah berkenan menunjukkan kemurahan-Nya kepada kita. Jika demikian, mengapa kita yang telah menerima kemurahan dan pengampunan dari Allah, tidak memberlakukan kemurahan dan pengampunan-Nya tersebut kepada orang-orang yang pernah menyakiti dan memusuhi kita? Bukankah kemurahan dan pengampunan Allah laksana minyak dan embun yang mampu menghidupkan dan mendamaikan kehidupan bersama? Marilah kita memaknai kemerdekaan RI ini dengan sebuah kerukunan bersama kendatipun kita berbeda adanya. Semoga!

RENUNGAN









MORALITAS BARU
Ramli SN Harahap




Apakah moralitas baru diterima sebagai perilaku Kristen saat ini?
Moralitas baru mulai dianut secara luas di tahun 1960'an sebagai sistim nilai baru menggantikan moralitas lama yang dianggap sudah kuno/kolot. Moralitas baru sesungguhnya bukanlah hal baru karena merupakan hasil pembenaran atas perilaku menyimpang dan ketidakpercayaan manusia selama berabad-abad.

Para pembela moralitas baru atau 'etika situasi', umumnya berpandangan bahwa alasan-alasan manusialah yang harus dijadikan dasar penentuan moralitas itu sendiri. Mereka menerima pewahyuan sebagai sumber nilai-nilai etika namun pada saat yang sama menolak norma/ hukum tersebut, kecuali pada bagian perintah mengasihi Allah dan sesama. Etika situasi tidak didasarkan pada apa yang dianggap benar atau salah, tapi pada apa yang dirasa cocok.

Atas dasar apakah seseorang bisa menerima pewahyuan tapi hanya pada satu bagiannya saja? Ketika akal manusia mulai membuat penilaian pada wahyu Allah, orang kehilangan hak untuk mengklaim bagian manapun dari wahyu sebagai hal yang mengikat.

Ajaran utama metode situasional adalah kasih yang tidak bersandar pada kebaikan hakiki, yakni dasar penentuan salah dan benar, kasih dalam metode situasional dapat 'berpikir', lemah, dan tak berdaya. Ia dengan jelas membedakan kasih dan kepatuhan, kebenaran dan kebijaksanaan.

Walau moralitas baru menjadi terkenal setelah mendapat dukungan dari pemuka-pemuka agama, namun dalam moralitas itu sendiri tidak terdapat nilai "Kristen". Sebuah etika baru dapat dikatakan memiliki nilai Kristen jika didasarkan pada Alkitab.

Dari awal hingga akhir, Alkitab menunjukkan bahwa Allah mengharapkan tindakan nyata dari manusia ciptaan-Nya, dan harapan itu dituangkan dalam perjanjian lama melalui Sepuluh Perintah Allah. Para penganut etika situasi biasanya mengatakan bahwa Kristus sendiri telah menghapuskan aturan-aturan dalam Perjanjian Lama dan menggantinya dengan satu hukum yaitu kasih. Kristus memang mengatakan bahwa mengasihi Tuhan dan sesama adalah dua hukum yang terutama dan kita tidak boleh mengabaikannya, tapi untuk menggenapi perintah tersebut, Tuhan tidak membiarkan manusia tanpa aturan/hukum (Matius 22:35-40).

Kristus dengan tegas mengatakan "Janganlah kamu menyangka bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum taurat atau kitab para nabi; Aku datang bukan untuk meniadakannya melainkan menggenapinya (Matius 5:17). Lebih jauh Ia juga memperingatkan untuk tidak membatalkan perintah yang paling kecil sekalipun namun agar mematuhinya (Matius 5:19). Dalam menggenapi hukum itu, Kristus sangat menekankan pada ketaatan/ kepatuhan hati, bukan pada bentuk ibadah yang terlihat dari luar.

Pada khotbah dibukit, Kristus menyebutkan secara khusus hukum Perjanjian Lama dengan penekanan yang lebih dalam. Misalnya, bukan saja 'jangan membunuh'; 'jangan membenci' juga adalah perintah yang sama pentingnya (Matius 5:21-22). Contoh lainnya, Dia menetapkan hukum tentang perzinahan (5:27-28), perceraian (5:31-32), mengambil sumpah, memberi sedekah, berdoa, berpuasa. Kristus tidak membatalkan Hukum; Ia menunjukkan bahwa ketaatan sejati haruslah berasal dari dalam sebagaimana kepatuhan yang terlihat di luar.

Mengasihi Allah dan sesama adalah dua perintah terutama, bukan karena Allah tidak mengharapkan manusia mentaati perintah lainnya, namun karena perintah yang lain tidak mungkin bisa dipenuhi jika hati manusia masih memberontak terhadap penciptaNya.

Etika situasi dimaksudkan untuk menunda, mengabaikan, atau merusak prinsip dasar karena merasa dirinya dapat memberi lebih banyak kasih dibanding melalui ketaatan/kepatuhan. Etika tersebut secara jelas merusak gambaran kasih dalam alkitab "Sebab inilah kasih kepada Allah, yaitu bahwa kita menuruti perintah-perintah Nya. Perintah-perintahNya itu tidak berat (I Yoh. 5:3).

Kasih menurut Alkitab, tidak terpisahkan dari kepatuhan pada wahyu Allah. Yesus berkata, "Jika engkau mengasihiKu, engkau akan mengikuti perintah-perintahKu" (Yoh. 14:15). Etika situasi tidak bisa begitu saja berkata bahwa hukum kasih telah menggantikan hukum-hukum lainnya dalam Alkitab, karena keduanya berjalan seiring.

Moralitas baru begitu populer karena menolak semua aturan hukum kecuali kasih. Moralitas tersebut dipakai untuk membenarkan perselingkuhan, aborsi, homoseksualitas, mencuri, mabuk-mabukan, dan penggunaan obat bius. Seseorang dapat merasionalisasi berbagai penyimpangan perilaku atas nama kasih karena tidak dituntun alkitab, padahal ia tidak mengetahui apa sebenarnya mengasihi itu!

Injil Yesus Kristus membebaskan seseorang dari keterikatan hukum melalui anugrah keselamatan oleh kemurahan-Nya, jadi bukan karena hasil ibadah. Injil ini memberikan hidup baru bagi orang percaya sehingga seseorang dengan suka cita melakukan perintah-perintah Allah. Orang-orang Kristen mengalami janji-janji Kristus, "Kamu adalah sahabatKu, jika kamu melakukan perintahKu (Yoh. 15:14).


Dikutip dari Henry Morris dan Martin Clark, The Bible Has the Answer, (Master Books, 1987)

RENUNGAN

















KEBANGKITAN SOLIDARITAS MANUSIA
Ramli SN Harahap




Hari-hari ini, umat Kristiani di seluruh dunia diajak untuk melihat kembali fakta hadirnya Kristus dalam sejarah umat manusia sebagai satu bentuk welas asih Ilahi, di mana Tuhan hadir dalam rupa manusia, mati di Golgota dan bangkit pada hari yang ketiga. Terlepas dari segala pertentangan sejarah tentang keabsahan kematian dan kebangkitan-Nya, umat Kristiani sekali lagi melalui peringatan Jumat Agung dan Paskah, diajak untuk melihat betapa kehadiran-Nya adalah untuk menunjukkan solidaritas-Nya yang sempurna kepada umat manusia, melintasi batas-batas suku, ras, golongan, agama bahkan bangsa.

Solidaritas-Nya yang ditunjukkan melalui kematian-Nya terhadap dosa manusia membeberkan satu bukti betapa cinta-Nya kepada kita umat ciptaan-Nya adalah nyata, dan bukan sebuah ilusi. Kasih Allah nan suci dan agung, bertemu dengan hasrat dan tuntutan-Nya akan keadilan bertemu di dalam realitas peristiwa penyaliban Yesus di Golgota. Artinya realitas kematian-Nya adalah bukti yang tidak bisa dipungkiri untuk menunjukkan kepedulian-Nya kepada manusia yang haus akan keadilan, belas kasihan, kesetiakawanan, rasa aman dan pengharapan akan suatu kehidupan yang lebih baik.
Kematian-Nya, yang bagi sebagian orang adalah sebuah kekalahan, menjadi suatu pengakuan dan bukti betapa agung solidaritas-Nya atas penderitaan yang dialami oleh manusia di sepanjang abad dan peradaban. Esensi kematian Kristus adalah kematian egoisme manusia, kematian hasrat untuk menguntungkan diri sendiri dan munculnya benih-benih solidaritas manusia. Kematian-Nya menunjukkan suatu contoh praktis tentang spirit untuk berkorban bagi kepentingan orang lain, bukan mengorbankan orang lain untuk kepentingan pribadi, kematian-Nya telah menjadi inspirasi para pengikut-Nya di sepanjang sejarah untuk memberikan hidupnya supaya orang lain beroleh hidup.

Semangat solidaritas seperti inilah yang seharusnya kembali menjadi bagian hidup kita ketika kita memperingati kematian-Nya. Kita umat Kristiani dipanggil untuk keluar dari slogan-slogan ”untuk kalangan sendiri” dan ”untuk kepentingan diri sendiri”.

Kebangkitan-Nya adalah Kebangkitan Solidaritas Kita.
Tiga hari setelah kematian-Nya, kisah cinta dan solidaritas Allah kepada umat manusia berlanjut dengan realitas kebangkitan-Nya dari kubur. Bukti sejarah mencatat bahwa kubur Yesus yang dijaga oleh perwira Romawi dengan segel terbuka. Ia bangkit dari kematian. Apa esensinya bagi kita umat Kristiani di seluruh dunia dan secara khusus di GKPA? Kebangkitan Yesus seharusnya dimaknai sebagai kebangkitan solidaritas yang menyeluruh di dalam segala aspek kehidupan kita. Di tengah situasi bangsa Indonesia yang carut marut, terbelenggu oleh jerat-jerat kemiskinan struktural, ketidakadilan sosial yang semakin menyesakkan dada, bencana alam di mana-mana serta realitas korupsi yang merajalela, kita umat manusia diperhadapkan kepada suatu pilihan untuk bangkit dari semua realitas problematika bangsa dengan berpegang pada semangat kebangkitan-Nya atau menyerah dan berpangku tangan dan hanya ber-utopia semata.

Solidaritas yang sejati senantiasa muncul dari keprihatinan yang mendalam akan keterpurukkan sesama. Solidaritas yang sejati bertumbuh di dalam realitas ketidakadilan, kesewenang-wenangan dan ketiadaan pengharapan. Solidaritas sejati bukan sekedar wacana, namun perlu disertai dengan aksi nyata. Solidaritas sejati bukan hanya retorika tetapi sentuhan tangan yang menjamah hati kaum papa. Solidaritas sejati adalah sebuah optimisme yang membumi, suatu visi yang diwujudkan ke dalam aksi.

Oleh sebab itu dalam peringatan Jumat Agung dan Paskah, di mana kematian dan kebangkitan-Nya telah nyata, mari kita sekalian bersama-sama meneladani semangat solidaritas Kristus dan mewujudnyatakannya di dalam solidaritas yang sejati kepada sesama. Mari mulai mengambil bagian mulai dari diri kita secara pribadi.


Selamat Paskah!

RENUNGAN















PEMELIHARAAN DAN PIMPINAN ALLAH
Ramli SN Harahap*


Jika kita memelihara ayam, maka kita akan menyediakan kandang, makanan, dan memberikan suntikan vaksin agar ayam tersebut dapat tumbuh dengan sehat dan baik. Jika kita memelihara tanaman bunga, maka kita akan membeli pot, tanah, dan pupuk yang baik agar tanaman bunga tersebut dapat tumbuh dengan baik. Pemeliharaan terhadap binatang dan bunga pasti akan menyita hati, perhatian, keseriusan dan tanggung jawab dari si pemelihara agar setiap peliharaannya dapat menghasilkan yang terbaik baginya.

Timbul pertanyaan apakah manusia sama dengan pemeliharaan binatang dan tumbuhan tadi? Memang tidak persis sama dengan pemeliharaan binatang dan tanaman itu. Bedanya pasti ada. Misalnya, binatang dan tanaman dipelihara oleh manusia, sedangkan manusia dipelihara oleh Allah. Binatang dan tanaman tidak perlu dipimpin oleh manusia, karena binatang dan tanaman tidak membutuhkannya. Tetapi manusia disamping dia dipeliharakan Allah, manusia itu membutuhkan pimpinan dan tuntunan Allah dalam menghadapi perjalanan hidupnya.

Sebenarnya kata “pemeliharaan” tidak cocok dipakai kepada manusia. Kata ini lebih sering dipakai kepada binatang dan tumbuhan. Kata yang sering dipakai kepada manusia adalah “melindungi”, “menjaga”, dan lain sebagainya. Tetapi dalam kenyataannya sekarang, memang perkataan pemeliharaan bisa juga ditujukan kepada manusia. Allah benar-benar memberikan perhatian dan pertolongan-Nya serta tanggung jawab-Nya bagi setiap orang yang diciptakan-Nya.

Pemeliharaan Allah kepada manusia sering tidak kita rasakan. Karena pemeliharaan Allah itu tidak kelihatan seperti kita memelihara ayam dan tanaman bunga tadi. Ketika kita memelihara ayam dan tanaman bunga, setiap pagi secara kasat mata kita kelihatan memberikan makanan dan minuman bagi peliharaan kita. Pemeliharaan Allah itu adalah pemeliharaan yang tidak kelihatan. Mengapa? Sebab Allah menolong kita tanpa dilihat kasat mata. Pertolongan Allah tidak bisa kita rasakan secara langsung, namun pertolongan Allah hanya bisa disaksikan.

Seorang hamba Tuhan (baca: pendeta) bercerita kepada saya beberapa waktu yang lampau. Pemeliharaan dan pertolongan Allah itu tidak dia ketahui dari mana datangnya pada saat uang kuliahnya dibayarkan oleh seseorang dengan lunas mulai dari uang kuliahnya hingga hutang-hutang lainnya di kampusnya. Selama empat tahun kuliah di salah satu Sekolah Tinggi Teologi (STT) di Medan, hamba Tuhan ini tidak pernah membayar uang kuliahnya karena orang tuanya tidak sanggup memberikan uang kuliahnya ketika itu. Pemeliharaan Allah itu dirasakannya dari seorang dosennya yang memberinya kesempatan ujian dan naik tingkat walau dia tidak pernah membayar uang kuliahnya sepeser pun kepada kampusnya.

Ketika dia dinyatakan lulus ujian meja hijau (mempertahankan skripsi) oleh para dewan penguji dari kampusnya, hatinya sungguh lega dan bersyukur kepada Tuhan. Namun di tengah rasa syukurnya itu, sang dosen yang selama ini menolongnya dalam membebaskan uang kuliahnya datang menjumpai dia. Dalam perbincangan mereka, hamba Tuhan ini merasakan kejutan yang menyakitkan hatinya. Mengapa? Sang dosen ini meminta agar uang kuliahnya selama empat tahun dan seluruh hutang-hutangnya selama empat tahun di kampus tersebut harus lebih dulu dilunasi agar bisa diwisuda.
Hamba Tuhan ini pun pergi ke tempat kostnya dan menangis sepuasnya serta meronta kepada Tuhan dan berkata,”Tuhan tugasku telah selesai kulakukan, sekarang ya, Tuhan kerjakanlah tugasmu!”. Rintihan hati ini muncul dari relung hati yang terdalam, karena menurutnya bahwa selama ini uang kuliahnya sudah dianggap lunas oleh kampus ternyata masih dianggap hutang yang harus dilunasi. Pada saat itu pemeliharaan Allah itu tidak ada sama sekali sebab hutang-hutangnya ternyata belum lunas dan harus dilunasinya biar bisa dia mengikuti wisuda minggu depannya.

Apakah pemeliharaan Allah telah berhenti? Bagi hamba Tuhan ini pemeliharaan Allah itu tidak ada lagi, sebab mana mungkin lagi dia mencari uang untuk melunasi hutang-hutangnya agar dia bisa diwisuda minggu depan. Artinya, bagi dia pupuslah sudah harapan untuk meraih gelar kesarjanaan ini dengan sempurna.

Dengan rasa putus asa, hamba Tuhan ini pergi ke kampus untuk menayakan seluruh hutang-hutangnya agar dicoba untuk mencari jalan keluarnya. Ternyata, ketika dia bertanya kepada tenaga administrasi kampus tentang jumlah hutang yang harus dibayarnya, pegawai administrasi mengatakan bahwa seluruh hutangnya telah dibayar lunas oleh seseorang yang tidak diketahui orangnya. Mendengar berita itu, hamba Tuhan ini menangis dan mengucap syukur kepada Tuhan atas pemeliharaan-Nya yang luar biasa ini. Baginya, ternyata pemeliharaan Tuhan itu sungguh luar biasa. Segera setelah itu, hamba Tuhan ini mencari tahu siapa gerangan yang telah bermurah hati melunasi seluruh hutangnya itu.

Lama sekali hamba Tuhan ini mencari tahu siapa orang yang berbelas kasih kepadanya agar dia bisa mengucapkan terimakasi kepada orang tesebut. Namun hingga dia ditahbiskan menjadi pendeta pun dia belum tahu siapa orang itu. Namun setelah melayani sekian tahun di ladang Tuhan, hamba Tuhan ini pun menemukan orang yang telah menolong dia pada waktu itu. Tetapi ketika hamba Tuhan ini mau mengucapkan terimakasih kepada orang tersebut, itu pun tidak bisa dilakukannya, karena orang yang menolong itu telah meninggal dunia.

Dari pertolongan dan pemeliharaan Allah yang dirasakan hamba Tuhan ini timbullah suatu tekad dalam hidupnya bahwa pertolongan Tuhan itu harus dibalas dengan kesungguhannya dalam melayani Tuhan. Pertolongan Tuhan ternyata selalu tepat pada waktunya. Terkadang kita tidak mengetahui dari mana asal pemeliharaan dan pertolongan Tuhan itu. Terkadang kita tiak tahu siapa orang yang telah memeliharakan kehidupan kita, sehingga kita tidak tahu bagaimana cara mengucapkan terimakasih kepada orang tersebut. Karena itu, marilah kita merespons segala pemeliharaan dan pertolongan Tuhan itu dengan memberikan pemeliharaan dan pertolongan kepada orang lain juga sebagaimana kemampuan dan keberadaan kita. Memeliharakan dan menolong orang lain juga adalah bentuk ucapan syukur kepada Tuhan yang telah lebih dulu memeliharakan dan menolong kehidupan kita.






Penulis adalah
Pendeta GKPA
Melayani di Biro I Kantor Pusat GKPA

NOMOR-NOMOR TELEPON/HP





Jika ingin mendapatkan nomor kontak para hamba Tuhan di GKPA berikut saya postkan untuk pembaca semua. Namun data ini bisa berubah sesuai pemilik HPnya. Karena murah mengganti nomor ya kan?


NOMOR-NOMOR TELEPON/HP

NO NAMA & MARGA ALAMAT TELEPON/HP
a b c d
A
KANTOR PUSAT GKPA
Jl.Teuku Umar 102 Padangsidimpuan
1 Pdt.A.L.Hutasoit,M.A. Jl. Teuku Umar 102 081311380004; 081263125177
2 Pdt.P.H. Harahap,S.Th. Jl. Teuku Umar 102 081396368688
3 Pdt.Ramli SN Harahap TC GKPA Silandit 0812 1998 0 500
4 Pdt. AHJ.Sibarani,STh Jl.Sisingamangaraja No. 081370581165
5 Pdt.Josep P.Matondang,M.Th. Jl.Sentosa No. 081376417748
6 Drs.Dahlan Harahap,BSc Jl.Sisingamangaraja No.67 081396291310
7 Lanna Br. Hasibuan Komplek GKPA Aek Bayur 081361506273
8 St.R.Batubara Kampung Toba 081361540048
9 Ika Leonarda Harahap Jl. Teuku Umar 102 081397741911
10 B.Pakpahan Jl. Teuku Umar 102 081397760523
11 E.Sitompul Jl. Teuku Umar 102 0813 703 69680
12 JA.Batubara Komplek GKPA Aek Bayur 081260692161
13 M.Br.Marpaung Komplek GKPA Aek Bayur 081376048906
14 A.Dongoran Jl.Kartini No. 081318372848
15 Nelly Br.Hasibuan Kampung Toba 081376241333
16 O.Sagala Gg.Mesjid 08126448252

B
GKPA DISTRIK I ANGKOLA-MANDAILING
Komplek GKPA Aek Bayur Padangsidimpuan
1 Pdt. Laorensius Pasaribu,STh Komplek GKPA Aek Bayur 081362023486
2 Pdt.John H.Pakpahan,STh Jl.Teuku Umar 102 Padangsidimpuan 0634-22729 085262391053
3 Pdt.Jahbar Situmeang,BTh Jl.Merdeka Gg.Makmur 404-D Padangsidimpuan 22715 0634-25310 081370655479
4 Pdt.Bintang Lubis,STh Komp.GKPA Batangtoru 0634-370058
081362116617
5 Pdt.Krisman Tambunan,STh GKPA Hurase Kec. Batang Angkola Tapanuli Selatan 081371050090
6 Pdt.Bernard Nainggolan,STh GKPA Aek Kahombu Tantom Kec. Sayur Matinggi Tapsel 081317706095
7 Pdt.Dian Robert P.Hutabarat,STh GKPA Dame – Aek Bingke Kab.Madina 085268383876
8 Pdt.Ronny Sinaga,STh GKPA Pakantan Huta Bargot Kec.Pakantan Kab.Madina
9 Pdt. Tumpak Gultom,SmTh GKPA Padang Rumbao Ujung Batu Sosa 22765 081365382905: 081371546721
10 Pdt.Reinhard Siregar,MMin GKPA Marancar – Kec.Marancar Tapsel 081362097842
11 Pdt.Datuk P.Siagian,STh GKPA Resort Pulau Pakkat 08126392092
12 Pdt.Darwin Butarbutar,STh Huta Nauli Lombang 081397584148
13 Pdt.Tumpal H.Lubis,STh GKPA Sibolga 081362217848

C
GKPA DISTRIK II SIPIROK DOLOK HOLE
Jl.Simangambat No.135 Sipirok Tapsel, 22742
1 Pdt.Togar S.Simatupang,MTh Jl.Simangambat No. Sipirok 081361786410
0634-41196
2 Pdt.Damaris Nasution,BTh GKPA Sipirok – Sipirok 22742 0634-41157 ; 41828; 08139677396
3 Pdt.Palar Hasibuan GKPA Huta Raja Kec.Sipirok Tapanuli Selatan 081361428279
4 Pdt.Ruminta Br.Pohan,STh GKPA Simangumban – Pahae Jae 081397656954 081396773558
5 Pdt.Charles Siregar,STh Jl.Durian Gg.Angkola No.50/4-A Pekanbaru 0761-26765 081362449364
6 Pdt.Anton Pakpahan,STh Jl.Dock Yard Pk.Sesai Dumai 081370339412
7 Pdt.Halomoan Nainggolan,STh Komp.Gereja GKPA RSS Pemda II Batu Aji Batam 081361506606
8 Pdt.Irwan M.Siregar,MMin Kec.Payung Sekaki Pekanbaru 081318759600
9 Pdt.Pardamean Siregar,STh GKPA Bungabondar Kec.Sipirok 22742 0634-41187 081375858089
10 Pdt.Ardianto Sinaga,STh GKPA Huta Dolok Pos.Simangambat, 22758 08126389154
11 Pdt.Ramos BB.Simanjuntak,STh GKPA Simangambat – Kec.Saipar Dolok Hole, 22758 081264974777
12 Pdt.Parhimpunan Batubara,STh GKPA Sipagimbar Kec.Saipar Dolok Hole, 22758 081396240382
13

D
GKPA DISTRIK III SUMATERA TIMUR
Jl.Cangkir No.9-E Medan 20118
1 Pdt.Yuntro P.Siregar,STh Jl.Cangkir No.9-E Medan 20118 061-4153791
081265848238
2 Pdt. Ramli Hutapea,STh Jl.Pelita II-58 Medan 20235 061-6618909 081370006489
3 Pdt.Saud A.Sigalingging,STh Jl.Tanjung Pura Gg.Yusuf No.4-B Pangkalan Berandan-Langkat
Tromol Pos 9 Tel. 0620-322107 HP. 081361665999
4 Pdt.Adolv B.Marpaung,MMin Jl.Laguboti No.8 Pematangsiantar 21123 0622-24612 081397815671
5 Pdt.Guswin P.Simbolon,STh Pondok Kroyok No.124 Emplasement – Aek Nabara Labuhan Batu 0624-29820 08127032676
6 Pdt.R.Br.Pasaribu,STh Jl.Cangkir No.9-E Medan 20118 081376202591

E
GKPA DISTRIK IV JAWA-SUMBAGSEL
Jl.Penjernihan I/42-A Bendungan Hilir Jakarta Pusat 10210 Telp./Faks 021-57853412
email:gkpa_distrikiv@yahoo.com
1 Pdt.Benni M.Siregar,STh 085261114839
2 Pdt.Sabam P.Marpaung,MSi Jl.Penjernihan I/42-A Bendungan Hilir Jakarta Pusat 10210 021-5737739 08126435312
3 Pdt.Marganti G.Panggabean,STh Jl.Sumatera Raya Blok D/385 Perumnas III Aren Jaya Bekasi Timur 17111 Jawa-Barat 081378012552
4 Pdt.Daniel SBP Siregar,STh Jl.Talang Kerikil No.33 Rt.60-8 Ilir Kenten Pipa Palembang 0711-812592 081273721005
5 Pdt.Parningotan Lubis,STh Jl.Penjernihan I/42-A Bendungan Hilir Jakarta Pusat 10210 081370720320
6 Pdt.Dasawarsanto Bukit GKPA Muara Bungo 081370805252
7 Pdt.Lamminar Br.Simangunsong,STh GKPA Bandung 081311338801
8 Pdt.Togur A.Harahap,BTh GKPA Bandar Lampung 081379613814
9 Pdt.Herwen Jona Marpaung,STh GKPA Jatimurni 081362112396
10 Pdt.DBG.Hutagalung,STh GKPA Palembang 081384427559

F
VIKAR PENDETA
1 Antoni P.Siahaan GKPA Batam 081265631847
2 Take Sister Harianja GKPA Dumai
3 Novalina Batubara GKPA P.Baru

G
GURU PARLAGUTAN
1 Gr.Pembangunan Silitonga GKPA Jl.Merdeka Sadabuan
2 Gr.P.Pane Jl.Laguboti No.8 Pematangsiantar 21123
3 Gr.Leder Aritonang Jl.Pelita II-58 Medan 20235 061 6617251
081370771255

H
BIB./DIAKONES
1 Diak.Tiurida Siregar GKPA Resort Tor Simincak
2 Bibv. Suryani Siregar Studi STT Abdi Sabda Medan 0812 6336 8529
0812 6341 8430

I
UNIT-UNIT GKPA
1 PANTI ASUHAN DEBORA
2 SMP BERKAT
3 SMP/SMU/SMK ABDI MASY
4 BPKM MUARA SIPONGI
5 BPKM SILANTOM
6 KEBUN SAWIT
7 YAYASAN GKPA
8 BPP GKPA
9 St.Raden Pasaribu SMA Abdi Masyarakat Tantom
10 Herlina Sihombing PA Debora Silangge

J
LEMBAGA / STUDI
1 Pdt.Dr.Ginda P.Harahap,MST Sekretaris Asia LWF
2 Pdt.Kaleb Manurung,MTh STT Abdi Sabda Medan 08126326110
3 Pdt.Parlindungan Silaban,STh Wasekum PGIW SU 081365337817
4 Pdt.Arnold B.Siregar,STh STT Abdi Sabda Medan 081370374914

K
PENDETA NON-STRUKTURAL
1 Pdt.Enny Pohan,SmTh Aek Bingke 085267454464
2 Pdt.Nursini Sihombing,M.Th. Pangkalan Berandan 081365604227
3 Pdt.Tuty Z.Hutabarat,S.Th. Padangsidimpuan 0813 18 2000 55
4 Pdt.Harapan Nainggolan,Mmin,MTh Jakarta
5 Pdt.T.Br.Panjaitan,BTh GKPA P.Baru
6 Rondald Henry Pane,STh POUK Putri Hijau Batam

L
GEREJA-GEREJA TETANGGA
1 AMIN Kantor Pusat AMIN, Tatehosi Idanoy, Box.9 Gunungsitoli-Nias 22871.
2 BNKP Badan Pekerja Harian BNKP, Jl.Sukarno No.22 Gunung Sitoli-Nias 22813 21448
3 HKBP Pucuk Pimpinan HKBP, Kantor Pusat HKBP, Pearaja Tarutung Sumatera Utara 22413 (0633) 21707
4 GKPI Pimpinan Pusat GKPI, Jl.Kapten MH.Sitorus 13 P.Siantar 21115. Tel.(0622) 22664
5 GKPS Pimpinan Pusat GKPS, Jl.Wismar Saragih P.O.Box. 101 Pematangsiantar.21142. Tel.23676, Fax.22626.
6 GBKP Moderamen GBKP, Jl.Kapten Pala Bangun 66, Kabanjahe. 22115 Tel.(0628)20466. Fax.(0628)-20392
7 GPKB Majelis Sinode GPKB, Jl.Hos Cokroaminoto 96 Box.96 MT, Jakarta 10310 021-3107888
8 GKI-SUMUT Jl.Gunung Simanuk-manuk 13 Pematangsiantar 21115 Tel. (0622) 23143
9 HKI Pucuk Pimpinan HKI, Jl.Malanthon Siregar 111, Pematangsiantar 21128 Tel.(0622)-23238. Fax. (0622)-23238
10 GMI Pimpinan Pusat GMI, Jl.Hang Tuah No.8, Medan 20152. Tel.(061)510570 Fax.(061)557118

M
LEMBAGA DALAM NEGERI
1 PGI Jl.Salemba Raya No.10 Jakpus 021-3150451
Fax 021-3150457
2 PGIW-DKI
3 PGIW-SUMUT Jl.Slamet Ketaren No.100 Medan 061-7359530
Fax 061-7359512
4 PGIW-RIAU
5 PGIW-KEPRI
6 BKAG TAPSEL
7 BKAG P.SIDIMPUAN

N
LEMBAGA LUAR NEGERI
1 LWF +41/22-791 61 11 Faks +41/22-791 64 01 www.lutheranworld.org

2 LWF Regional Asia
3 UEM 02 02 / 8 90 04 – 0 Faks 02 02 / 8 90 04 – 179 www.vemission.org

4 UEM Regional Asia 061-7332470
Fax 061-7332468
5 CCA +66-(0) 53-24390; 6243907
Fax +66-(0) 53-947353
6 BFW
7 BRAUNFELS
8 LIPPE
9 WAC
10 WCC +41/22-791 60 30 Faks +41/22-791 64 06 email: RMC@wcc-coe.org


O
PEMERINTAH
1 GUBERNUR
2 BUPATI TAPSEL
3 WALIKOTA P.SIDIMPUAN
4 KODIM
5 POLRES TAPSEL
6 POLRES P.SIDIMPUAN
7 HOTEL BUMI ASIH JAYA 21 872

P
LEMBAGA TEOLOGI
1 STT JAKARTA
2 STT HKBP P.SIANTAR
2 STT ABDI SABDA MEDAN 061-8451701; 8458123
Q
REKANAN
1 St. Firman Nasution (Muara Sipongi) 0813 76034272


P.Sidimpuan, 4 November 2009



Ramli SN Harahap
Ka. Biro I GKPA

Bacaan Minggu 8 Setelah Trinitatis, 25 Juli 2010 : Mazmur 49:2-14




Minggu 8 Setelah Trinitatis, 25 Juli 2010 Mazmur 49:2-14








KEBAHAGIAAN YANG SIA-SIA



Firman Allah dari Mazmur 49:2-14 menyapa kita pada hari ini. Firman Allah berhenti pada hikmat pengajaran dari Pemazmur, yang harus didengar oleh seluruh manusia (49:2), termasuk kita. Kita harus mau belajar dan terbuka menerimanya, kalau kita ingin hidup berbahagia. Karena, orang yang berbahagia adalah orang yang mendengarkan firman Allah serta memeliharanya (melakukan) dalam kehidupan sehari-hari. Apa isi hikmat itu? Hikmat itu mengatakan bahwa orang kaya tidak akan bisa menebus nyawanya dan membayar Allah untuk menghindarkan lubang kubur. Mereka akhirnya tidak dapat bertahan dan mereka akan sama dengan hewan yang dibinasakan. Mereka digembalakan oleh maut, dan dunia orang mati menjadi tempat kediamannya (8-15). Bagaimana dengan Pemazmur sendiri? Apa ajaran yang akan disampaikan oleh Pemazmur? Apa pelajaran yang dapat kita tarik sebagai orang yang percaya kepada Allah, yang ikut bermazmur karena kita di dalam Kristus? Untuk memahami perikop khotbah kita hari ini, maka ijinkanlah saya mengajak saudara-saudara membaca dan merenungkan hingga akhir mazmur tersebut.

Berpikirlah dari Akhir, Bertindaklah dari Awal!

Hikmat dari pergumulan hidup Pemazmur membawanya sampai pada kesimpulan: “Tetapi Allah akan membebaskan nyawaku dari cengkeraman dunia orang mati” (16). “Tetapi” itulah kata kunci yang mengandung arti “perbedaan” yang sangat menentukan. Persis diantara kata tersebut terlihat perbedaan akhir kehidupan orang yang mengandalkan kekuasaan harta,mengandalkan diri sendiri, mengandalkan pengertian sendiri. Singkatnya: Orang yang tidak mengandalkan Allah. Memang keduanya akan sama-sama mati. Tetapi orang yang tidak mengandalkan Allah akan dikuasai oleh kematian dan tinggal dalam dunia orang mati, tetapi orang yang mengandalkan Allah akan dibebaskan Allah dari cengkeraman dunia orang mati.

Di balik kata “akan” ada kabar gembira. Itulah akhir yang didambakan semua orang. Itu pula akhir yang kita harapkan. Pengakuan Pemazmur dalam lagu ini membawa kita kepada penghayatan iman akan akhir hidup kita kalau kita mengandalkan Allah. Itu yang harus memenuhi pikiran, dan yang menentukan seluruh warna dan gerak langkah kehidupan kita.

Perjalanan hidup kita akan menuju suatu akhir yang pasti. Suatu akhir yang membahagiakan. Memang hidup kita ditentukan olehnya. Tapi kita sedang menjalani hidup kini dan di sini. Hidup kini dan di sini yang digerakkan oleh kepastian pengharapan di masa yang akan datang. Apa artinya hidup kini dan di sini yang di tentukan kepastian yang akan datang?

Tampaknya Steven Covey, seorang ahli manajemen modern, dalam bukunya “The Seven Habits” diinspirasi oleh Alkitab ketika mengatakan bahwa kunci keberhasilan yang sangat efektif salah satu adalah “berpikir dari akhir, bertindak dari awal. Sejak dini, kini dan di sini, segala sikap dan tindakan kita harus senafas, sejiwa dan sejalan dengan kepastian di masa depan, bahwa Allah akan membebaskan kita dari cengkeraman kematian.

Bertindaklah dari awal! Itulah yang diserukan oleh Pemazmur (17-21). Pemazmur dalam lagunya berdoa dan mengakui bahwa pada akhirnya Allah akan menyelamatkannya. Oleh karena dia mengajak agar seluruh umat untuk tidak takut pada orang kaya atau orang yang menjadi kaya dan mengandalkan kuasa kekayaannya (17-21).

Janganlah takut kepada orang kaya yang mengandalkan kuasa kekayaannya. Janganlah takut kepada orang yang tidak mengandalkan Allah. Kita justru takut kalau kita tidak mengandalkan Allah. Kita tahu dan mengaku bahwa Allah Mahakuasa. Tidak ada kekuasaan lain di atas kuasa Allah. Anehnya, kita sering mengandalkan yang lain: harta, kemampuan diri, kuasa dan pesona diri.

Saudara mendambakan kehidupan yang bahagia? Maka bertindaklah dari sekarang sesuai dengan dambaan itu! Andalkanlah Allah dalam segala tindakan! Jangan takut terhadap orang yang mengandalkan kuasanya!

Beranilah untuk Hidup!

Pemazmur berhasil mengajak kita berpikir dari akhir dan bertindak dari awal. Namun, realita bisa berkata lain! Dalam pengalaman pribadinya, Pemazmur mempertanyakan dirinya sendiri: “mengapa aku takut ketika dikejar dan dikepung oleh orang jahat, yang mengandalkan kekayaannya? (6) Pemazmur sadar akan akhir, tetapi terkadang takut menghadapi kekuasaan yang jahat.

Mempertanyakan diri, mengoreksi diri merupakan proses pertumbuhan menuju kedewasaan iman. Proses untuk semakin sesuai dengan akhir yang didambakan. Mempertanyakan diri merupakan pengakuan akan kelemahan dan kegagalan diri untuk berani menghadapi kehidupan. Menghadapi kehidupan berarti menghadapi realita dalam kehidupan. Walaupun apa yang terjadi dalam kehidupan sulit dimengerti dan diterima secara iman, satu hal yang pasti diperlihatkan Pemazmur: Beranilah menghadapi kehidupan.

Keberanian merupakan konsekuensi dari bebas dari rasa takut. Keberanian menghadapi realita kehidupan merupakan sebuah pengakuan bahwa Allah adalah Tuhan atas kehidupan. Kita mungkin sering atau terbiasa dengan ungkapan “siap mati demi hidup”. Ini merupakan ungkapan yang menyesatkan. Setelah mati, tidak ada yang bisa kita lakukan untuk kehidupan. Hikmat Pemazmur untuk tidak takut dan berani menghadapi tantangan dalam kehidupan, menolong kita keluar dari ungkapan yang salah. Kita juga terbiasa mendengar dan mengakui bahwa Yesus mati untuk kehidupan seluruh dunia, umat manusia. Kematian Yesus yang berkuasa untuk menghidupkan, kematian kita tidak! Panggilan untuk manusia yang hidup adalah untuk bertahan hidup dan menghadapi kuasa yang mematikan.

Karena Allah akan membebaskan kita, pasti Dia juga menolong kita menghadapi kuasa jahat. Keyakinan seperti itu pastilah ada dalam diri Pemazmur. Allah bukan hanya Allah bagi masa depan. Tetapi Allah bagi kehidupan masa kini. Allah bukan hanya Allah atas sebagian sejarah, Dia juga adalah Allah atas seluruh sejarah, baik masa yang akan datang maupun masa kini. Dia berjalan bersama-sama dengan orang yang mengandalkanNya.




Jadilah ahli bahasa!

Pemazmur membuka telinganya kepada amsal dan mengungkapkan hikmat dalam lagu untuk diperdengarkan kepada semua umat manusia, baik hina maupun mulia, kaya maupun miskin (49:2-5). Ada dorongan yang kuat dalam diri Pemazmur untuk berbagi kepada seluruh umat manusia, bangsa-bangsa. Dorongan tersebut berangkat dari keyakinan bahwa penyertaan dan pemeliharaan Allah atas kehidupan merupakan hikmat bagi dunia. Dunia akan hancur kalau mengandalkan dirinya sendiri. Dunia butuh masa depan. Ketika dunia cenderung mengandalkan kuasa dunia, hikmat Allah mengoreksi dan menawarkan kehidupan dan masa depan. Itu sebabnya terdorong membahasakan pergumulan dan keyakinannya dengan bahasa hikmat, yang dapat dimengerti semua orang, baik kaya maupun miskin, hina maupun mulia.

Bahasa hikmat dalam bentuk lagu yang berisi doa merupakan bukti keahlian Pemazmur membahasakan. Dunia butuh ahli bahasa. Ahli bahasa kehidupan. Kita diajak oleh Pemazmur untuk menjadi ahli bahasa. Kita harus mampu membahasakan keyakinan kita demi kehidupan dan kelanjutan kehidupan dunia yang lebih baik. Ahli bahasa kehidupan, berarti ahli membahasakan bentuk kehidupan yang sesuai dengan kehendak Allah. Keahlian membahasakan berangkat dari keyakinan dan pengalaman hidup. Semakin berpengalaman dalam hidup, menarik pelajaran dari kehidupan, maka kita akan dimampukan Roh Kudus untuk membahasakannya bagi dunia.

Kita harus sadar bahwa dunia membutuhkan ahli bahasa. Dunia butuh masa depannya. Dunia butuh kebahagiaan yang sesungguhnya, bukan kebahagiaan semu (19). Ahli bahasa bukanlah ahli uang, ahli menggandakan uang. Ketika bahasa dunia berpusat kepada uang, capital, Pemazmur mengajak kita memahami hikmat Allah yang sangat dalam. Semua itu akan ditinggalkan ketika kita mati. Kehormatan dan kenikmatan yang bisa dibeli dengan uang tidak akan dibawa ke liang kubur. Cinta uang, itulah logika dunia. Cinta uang, itulah akar segala kejahatan. Cinta uang itulah akar dan awal kehancuran.
Hidup dan kehidupan, itulah bahasa hikmat Allah. Kebahagiaan yang sesungguhnya, itulah tawaran firman Allah. Pemazmur mengajak kita untuk membahasakan hikmat Allah ini dalam bahasa yang bisa dimengerti dan diterima semua orang. Mungkin kita ragu apakah orang akan menerima. Tetapi saya mau menegaskan berdasarkan firman Allah. Sesungguhnya semua orang merindukan bahasa kehidupan. Bahasa yang menghormati kehidupan. Bukan bahasa kapitalis. Keahlian kita dibuktikan, apakah kita mampu membahasakan bahasa kehidupan berdasarkan firman Allah kepada semua orang. TUHAN, Allah Israel, Bapa Tuhan Yesus Kristus, Allah kita, menyertai kita.




Pdt. Dr. Ir. Fridz P. Sihombing
Dosen STT HKBP P.Siantar

Bacaan Minggu 8 Setelah Trinitatis, 18 Juli 2010: 2Petrus 2:10-15



Minggu 8 Setelah Trinitatis, 18 Juli 2010 2Petrus 2:10-15






MEMBANGUN MORALITAS KRISTIANI



Membekali setiap warga Gereja agar mampu menghadapi ajaran-ajaran sesat menjadi sangat urgen pada saat guru-guru palsu marak menyesatkan orang Kristen. Pada waktu Petrus menuliskan surat ini, guru-guru palsu semakin aktif menyesatkan pikiran warga Gereja dan merusak moral orang percaya. Secara khusus guru-guru palsu yang menyangkal iman Kristen tentang parousia, yaitu zaman akhir yang akan menyudahi sejarah dunia ini. Penyangkalan terhadap ajaran Gereja tentang akhir zaman itu telah melahirkan orang-orang yang tidak bermoral, yang hidup bebas tanpa batas (Libertinis). Rasul Petrus dengan tegas mengingatkan Gereja tentang pentingnya pembinaan warga gereja (PWG), agar setiap orang percaya memiliki pemahaman iman yang baik sehingga mampu memelihara kehidupan yang kudus dan berkenan kepada Allah.
Para pekerja Gereja sendiri tidak mungkin mampu membendung pengaruh-pangaruh zaman; kemampuan para pemimpin Gereja sangat terbatas untuk melindungi warga jemaat dari pengaruh guru-guru palsu. Oleh karena itu semua warga Gereja harus dibekali dengan pokok-pokok ajaran iman yang kuat dan dewasa, sehingga tidak goyah oleh ajaran guru-guru palsu (bnd. Ef. 4:14). Salah satu nilai yang harus dimiliki setiap orang Kristen adalah percaya kepada kuasa kebenaran. Kebenaran adalah kehidupan itu sendiri. Orang benar akan hidup oleh percayanya. Sementara orang yang jahat kehilangan kuasa kehidupan. Orang yang benar tidak akan menghinakan dirinya sendiri dengan perbuatan jahat apa pun.

Hidup secara manusiawi bukan seperti hewan (ayat 10-12)

Orang Kristen harus hidup secara manusiawi. Orang Kristen harus melawan hidup yang tidak manusiawi. Menuruti hawa nafsu adalah salah satu ciri hidup hewani. Oleh karena itu perilaku hewani dan perilaku manusiawi perlu dikenali dengan baik. Pada dasarnya, orang percaya memiliki kemampuan untuk mengelola hawa nafsunya sesuai dengan nilai-nilai moral dan kebenaran yang diimaninya. Malahan orang percaya justru dikenali dari sikap, perbuatan dan ucapannya yang terkontrol dengan akal budi yang telah diterangi oleh firman Tuhan. Rasul Petrus menyebut orang-orang yang mencemarkan dirinya dengan perbuatan-perbuatan menurut hawa nafsunya adalah sama seperti hewan yang tidak berakal (ayat 12). Orang-orang yang tidak berakal mudah terbawa emosi dan perbuatan yang mencemarkan. Keangkuhan dan keberanian mengucapkan kata-kata hujatan adalah sikap dan perilaku kebodohan dan emosi yang tidak terkontrol. Secara tidak langsung keangkuhan dan keberanian mengucapkan kata-kata hujatan sebenarnya menghina kuasa Allah (ayat 10). Orang Kristen tidak lagi pantas mengucapkan kata-kata hujatan yang merendahkan sesama, sebab semua orang adalah ciptaan Allah. Menghujat seseorang adalah berarti melecehkan Penciptanya. Sebagaimana dikatakan Petrus pada ayat 12, para penghujat tidak tahu apa (siapa) yang dihujatnya oleh karena akal budinya telah disesatkan oleh hawa nafsunya. Seorang Kristen yang baik harus menegur setiap orang yang merendahkan sesamanya. Rasul Petrus juga menilai bahwa mereka yang menghujat sesamanya dan menggoda mereka untuk melakukan kejahatan yang mencemarkan telah menjadi lebih jahat daripada para malaekat yang memberontak kepada Allah.

Hidup bermoral dan sederhana (ayat 13-14)

Orang percaya juga harus hidup sesuai dengan moralitas Kristen. Salah satu moralitas Kristen yang mesti dilatih dan dihidupi secara konsisten adalah kehidupan yang sederhana dan jauh dari pesta pora yang merendahkan martabat manusia. Pesta pora yang menjadi kenikmatan manusia duniawi dapat menjatuhkan harkat dan martabat manusia, sejajar dengan hewan, sehingga tidak layak lagi disebut sebagai anak Bapa (bnd. Luk. 15:11-32). Memang, kaum Libertinis, yaitu mereka yang hidup bebas dan liar seperti hewan, tidak memerdulikan nilai-nilai moral yang umum, mereka jatuh ke lumpur hedonisme. Gaya hidup seperti itu bukan saja menjadi fenomena yang mengancam warga Gereja pada masa Rasul Petrus. Gaya hidup hedonis yang libertinis seperti itu juga sedang mengancam warga Gereja abad 21, khususnya di kota-kota metropolitan. Kaum hedonis dan libertinis menganggap seks bebas, narkoba, dan makan – minum secara mewah dan berlebihan dilihat sebagai kenikmatan hidup. Celakanya, banyak orang melihatnya juga sebagai kehidupan yang terberkati. Padahal sebaliknya, Rasul Petrus menyebutnya sebagai kotoran dan noda (ayat 13).
Kehidupan yang sederhana perlu dilatih sebagai dasar pembangunan moral Kristiani. Hidup sederhana adalah awal dari tenang dan damai, dimana setiap orang dapat dengan sadar menggunakan waktu dan potensi yang dimiliki untuk berkarya. Sebaliknya, mereka yang menggunakan waktu kerja (ayat 13: “siang hari”) untuk berfoya-foya adalah orang-orang yang bermoral rendah dan terkutuk (ayat 14). Sebab, waktu siang mestinya adalah waktu untuk melayani, berkarya secara maksimal untuk masyarakat, bangsa dan dunia. Orang-orang yang sederhana akan memiliki waktu dan kesempatan yang lebih besar untuk melayani sesama, daripada mereka yang hidup dalam pesta pora dan kenikmatan duniawi. Artinya, orang yang hidup sederhana bekerja keras bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera. Bekerja keras dan kepedulian terhadap sesama adalah moralitas Kristiani yang luhur, sebagaimana dicontohkan Yesus Kristus di tengah-tengah para murid dan khalayak ramai. Singkat kata, kehidupan yang sederhana pada akhirnya akan membentuk manusia yang menghargai dan mengasihi orang lain seperti diri sendiri, dan bukan sebagai objek yang memuaskan hawa nafsu kedagingan. Sebaliknya, mereka yang hidup bebas dan foya-foya tidak jemu-jemunya melakukan kejahatan, termasuk kejahatan seksual dimana wanita/pria yang lain juga dilihat sebagai objek kenikmatan duniawi.

Hidup benar: tidak materialis (ayat 15)

Membangun moralitas Kristiani bagi setiap warga Gereja adalah sasaran yang hendak dicapai dengan penulisan Surat Rasul Petrus ini. Secara psikologis, memang orang-orang yang rentan terhadap pengaruh ajaran sesat adalah mereka yang menghadapi tekanan hidup yang berat, baik secara social maupun secara ekonomi. Secara umum, mereka yang miskin dan tersingkir dari kehidupan social lebih mudah tergoda untuk mengikuti nasihat yang tidak rasional. Misalnya, mereka yang tergoda untuk mengadu peruntungan dengan perdukunan, berbagai macam praktek perjudian, bahkan ramalan-ramalan keberuntungan yang sama sekali tidak rasional. Orang-orang miskin dan tertekan secara social apabila dirasuki oleh roh materialisme akan menjadi sasaran empuk dari para guru-guru palsu yang pandai menjual ide, menjanjikan keberhasilan dan bahkan kenikmatan hidup. Oleh karena itu, Gereja harus memberikan perhatian utama untuk membekali warga Gereja yang rentan seperti itu.
Gereja secara khusus perlu melindungi warga Gereja dari praktek bisnis yang mengelabui orang-orang miskin dan menderita, di mana orang-orang seperti Bileam mengambil kesempatan untuk meraup keuntungan material dan popularitas pribadi. Rasul Petrus secara sengaja menggunakan Bileam sebagai typos dari guru-guru palsu yang dengan serakah mencari keuntungan dan popularitas diri dengan mempengaruhi orang banyak, bahwa tuntutan Allah dapat ditawar. Seolah-olah, untuk mendapatkan hidup yang lebih sejahtera dan keuntungan yang lebih besar, maka kebenaran Allah dapat ditawar, dan moralitas Kristen dapat diabaikan. Orang Kristen tidak dapat kompromi dengan kejahatan dalam bentuk apa pun. Sebagaimana dikatakan oleh Rasul Paulus, orang Kristen justru harus mengalahkan kejahatan dengan kebaikan (Rm. 12:21). Oleh karena itu, seorang Kristen yang benar senantiasa berpegang pada ajaran yang benar dan nilai-nilai moral yang tinggi luhur. Amin.




Pdt. Willem TP Simarmata, M.A.
KRP HKBP/Dosen STT HKBP

Bacaan Minggu 7 Setelah Trinitatis, 11 Juli 2010: Amsal 23:1-8


Minggu 7 Setelah Trinitatis, 11 Juli 2010 Amsal 23:1-8













INTEGRITAS DAN STATUS SOSIAL ORANG BERHIKMAT



Hikmat berasal dari Tuhan. Sejak awal, penulis kitab Amsal menyaksikan bahwa: “takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan.” (Ams. 1:7). Jadi ada kaitan yang jelas antara orang berhikmat dengan hidup yang takut akan Tuhan. Orang yang takut akan Tuhan akan beroleh hikmat. Tetapi mereka yang mencoba mengenal Allah dari analisa pemikiran atau dari pertimbangan-pertimbangan atas perhitungan manusia, akan gagal, bahkan banyak yang akhirnya sesat dengan menyangkal Tuhan. Artinya, orang yang mengandalkan pikiran dan pertimbangan duniawi tidak identik dengan orang berhikmat.
Orang berhikmat itu adalah orang yang memiliki pengetahuan yang memungkinkan orang itu mengenal Yang Mahakudus (Ams. 30:3). Sehingga, orang yang berhikmat akan mampu melihat perbuatan-perbuatan Tuhan yang besar dalam setiap perjalanan hidup dan pelayanannya di tengah-tengah realitas dunia ini. Mereka yang mengalami perbuatan-perbuatan besar Tuhan dalam hidupnya akan memiliki integritas dan nilai-nilai yang mendahulukan harkat dan martabat manusia. Mengapa? Sebab, hikmat yang dari Tuhan, itu menuntunnya kepada sikap yang tenang dan keyakinan akan anugerah Tuhan yang memberikan segala sesuatu yang perlu dalam hidupnya.

Orang berhikmat tidak akan mengerjakan sesuatu tanpa campurtangan Tuhan. Sehubungan dengan itu, Amsal 23:1-8 ini secara halus mengingatkan beberapa hal agar setiap orang berhikmat menjaga integritasnya dalam mengejar cita-cita, karier dan status sosial yang diinginkannya.

Peluang dan ancaman bersama seorang pembesar (ayat 1-3).

Memiliki relasi dengan seorang pembesar adalah sebuah peluang, dan sekaligus juga ancaman. Ada banyak hal yang dapat diharapkan dari hubungan yang baik dengan orang-orang terhormat. Secara umum, kita senang dan bangga dekat dengan seorang pembesar, bukan saja dengan pejabat dan orang kaya, tapi juga dengan seorang publik figur, seorang artis misalnya. Namun, orang berhikmat yang dekat dengan seorang pembesar tidak akan terjebak dengan penampilan dan gaya hidup pembesar itu. Orang bijak yang menuliskan Amsal ini memiliki pengalaman yang mesti dicamkan oleh siapa saja yang memiliki relasi dengan seorang pembesar. Sebab, duduk satu meja dengan seorang pembesar, bukan saja menjanjikan sebuah kesempatan untuk promosi jabatan dan sejenisnya, tetapi sebaliknya juga dapat menjadi ancaman yang mematikan karier dan bahkan nyawanya.

Pengalaman yang paling menyakitkan dari orang-orang yang memiliki kedekatan khusus dengan seorang pejabat, penguasa dan orang kaya adalah ketika, oleh satu dan lain hal, sang pembesar mencampakkan dan meninggalkannya bagaikan sampah di Tempat Pembuangan Akhir. Penulis Amsal ini, luput dari tragedi seperti itu karena hikmat sungguh menuntun hidupnya, yakni dengan sangat hati-hati terus mengevaluasi kedekatannya dengan sang pembesar. Orang bijak yang menulis Amsal ini dengan cermat memerhatikan apa yang ada di depannya (ayat 1); dia bukan saja memperhatikan hidangan yang disuguhkan pembesar itu, tetapi jauh ke dalam motiv dan tujuan jamuan makan pembesar itu. Sebab, orang bijak harus menjaga integritas dan nilai-nilai yang mendahulukan kehormatan daripada kemewahan hidup. Kalimat perintah yang mengatakan: “Taruhlah sebuah pisau pada lehermu, bila besar nafsumu!” (ayat 2) secara tegas mengingatkan bahwa jamuan makan mewah yang menjebak sungguh merupakan ancaman bagi orang yang tidak berhikmat. Oleh karena itu, jangan sampai tertipu dengan makanan pembesar yang lezat (ayat 3). Orang berhikmat, sebagai orang yang takut akan Tuhan, tidak akan menjual status dan harga dirinya demi makanan yang lezat seperti Esau (Kej. 25:29-34). Tetapi, seseorang yang takut akan Tuhan, dengan hikmat mengalahkan godaan makanan, seperti Yesus Kristus yang menang dalam pencobaan oleh iblis (Mat. 4:3-4).

Orang berhikmat tidak materialisme (ayat 4-5).

Orang bijak dalam Amsal ini sama sekali tidak alergi dengan kekayaan. Menjadi kaya tidak ada salahnya. Namun, ungkapan orang bijak pada Amsal ini jelas mengingatkan kesia-siaan mengejar status sosial melalui kekayaan. Status sosial yang didasarkan pada kekayaan material tidak bertahan lama; karena kekayaan dapat hilang sekejap mata, terbang seperti burung rajawali (ayat 5). Status sosial memang penting, namun bukan dengan memburu uang. Sebagaimana diingatkan oleh Paulus kepada Timotius, bahwa oleh karena memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa diri dengan berbagai-bagai duka (1Tim. 6:10). Artinya, orang yang berhikmat akan menjaga ambisinya agar tidak jatuh kepada roh materialisme. Orang berhikmat boleh saja kaya raya, tetapi tidak materialis, sebab memperoleh hikmat sungguh jauh melebihi memperoleh emas (Ams. 16:16). Mengejar kekayaan dengan susah payah bukanlah suatu obsesi orang berhikmat, karena kekayaan selalu dilihat sebagai berkat yang kemudian ditambahkan oleh Tuhan kepada setiap orang yang bersungguh-sungguh melakukan kehendak-Nya (Ams. 10:22). Oleh karena itu, seseorang yang berhikmat berjerih payah untuk melakukan kebenaran, yang berkenan bagi Tuhan, serta menghindari jalan yang menyesatkan. Sehubungan dengan itu pula Yesus Kristus mengajarkan, supaya setiap orang percaya mencari terlebih dahulu kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semua hal, termasuk kekayaan akan ditambahkan kemudian. Kekayaan dilihat sebagai bonus, bukan sebagai goal yang mau dicapai (Mat. 6:33).

Menjadi orang yang tulus dan berbelas kasih (ayat 6-8)

Orang bijak melihat ada kaitan yang erat antara kekayaan dan ketulusan hati serta belas kasihan. Di sini jelas bahwa orang kaya tidak selalu dilihat negatif; yang negatif adalah kekikiran dan ketidak tulusan dalam memberi (jamuan) kepada orang lain. Oleh karena itu, larangan orang bijak pada ayat 6, “jangan makan roti orang yang kikir” harus dilihat dalam konteks kepribadian orang kaya yang menyuguhkan makanan lezat itu. Apakah orang kaya yang memberikan jamuan makan itu merupakan pribadi yang tulus dan pengasih, atau sebaliknya ia memang seseorang yang biasa menggunakan kekayaannya untuk menjerat orang lain demi kepentingan pribadi? Orang berhikmat tidak akan menjual harga dirinya dengan memakan suap yang lezat atau memberikan kata-kata yang manis untuk menyenangkan hati orang kaya yang tidak tulus (ayat 8). Namun demikian, orang bijak tidak akan apriori terhadap orang kaya. Orang bijak malahan harus memberikan pengaruh yang positip agar setiap orang kaya menjadi orang yang memberi dengan tulus, dan memiliki kepedulian terhadap mereka yang miskin, terbelakang, dan terlindas oleh kemajuan zaman.

Orang kaya yang tulus hati dan penuh kepedulian terhadap nasib sesama yang menderita akan sangat efektip mengatasi berbagai masalah sosial dan ekonomi. Malahan boleh dikatakan, bahwa cara yang paling efektip untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran serta kekerasan, yang menjadi bahaya laten dalam negara-negara berkembang, seperti Indonesia, adalah dengan membangun moralitas orang kaya melalui penganugerahan penghargaan yang tinggi bagi setiap orang kaya yang berusaha keras memerangi kemiskinan, membuka lapangan kerja yang luas, dan mendirikan pusat perlindungan terhadap korban-korban kekerasan. Sebaliknya, sebagai upaya pencegahan dan menekan orang-orang kaya yang menyalah gunakan kekayaannya untuk suap dan berbagai usaha yang merusak kehidupan masyarakat, maka diperlukan langkah-langkah yang bijak dengan sikap dan tindakan hukum yang tegas dan konsisten.

Orang kaya yang berhikmat akan membangun integritas dan status sosial yang terhormat dan mulia apabila dengan tulus hati memberikan perhatian dan karya nyata yang dapat mengangkat nasib orang miskin, dengan membangun lapangan kerja dan mendukung semua upaya peningkatan taraf hidup rakyat banyak. Orang kaya yang berhikmat malahan dapat memberikan pengaruh yang kuat terhadap pemerintahan yang sehat dan bersih dengan menggugat oknum-oknum pejabat publik yang bermental korup.




Pdt. Willem TP Simarmata, M.A.
KRP HKBP/Dosen STT HKBP

Bacaan Minggu 5 Setelah Trinitatis, 4 Juli 2010 : Ayub 28:1-12


Minggu 5 Setelah Trinitatis, 4 Juli 2010 Ayub 28:1-12












“MENCARI YANG TIDAK PERNAH ADA”


Pendahuluan


Ada filsafat buah yang merefleksikan kehidupan seperti ini: Jadilah jagung, jangan jambu monyet, jagung membungkus bijinya yang banyak, sedangkan jambu monyet memamerkan bijinya yang cuma satu-satunya. Jangan pamer, kecuali kalo lagi pameran. Jadilah pohon pisang, pohon pisang kalau berbuah hanya sekali, lalu mati. Kesetiaan dalam pernikahan. Jadilah duren, jangan kedondong walaupun luarnya penuh kulit yang tajam, tetapi dalamnya lembut dan manis, beda dengan kedondong, luarnya mulus, rasanya agak asem dan di dalemnya ada biji yang berduri.

Jadilah bengkoang walaupun hidup dalam kompos sampah, tetapi umbinya isinya putih bersih. Jagalah hati jangan kita nodai meskipun mainnya di tempat sampah. Jadilah Padi makin berisi, makin merunduk. Tapi awas ada wereng; Jadilah pohon kelapa sudah terkenal dengan serba gunanya, tidak bisa dimanipulasi (maksudnya kelapa tidak bisa dicangkok); Jadilah tandan Pete, bukan tandan rambutan.Tandan pete membagi makanan sama rata ke biji petenya, semua seimbang, ngak seperti rambutan ada yang kecil ada yang besar. Jadilah cabe makin tua makin pedes, makin tua makin bijaksana. Jadilah buah manggis bisa ditebak isinya dari bokong buahnya, maksudnya jangan munafik. Jadilah buah nangka, selain buahnya, nangka memberi getah kepada penjual atau yg memakannya, artinya berikan kesan kepada semua orang (tentunya yang baik). Perikop ini mengarahkan kita untuk lebih memaknai hikmat dan kebijaksanaan, yang disimbolkan oleh buah-buah di atas.



Penjelasan Teks

Banyak yang mengatakan Kitab Ayub adalah kisah yang menceritakan masalah penderitaan, sang tokoh mengeluh tanpa henti. Ia kehilangan anak-anak dan semua ternak. Ia menggaruki borok-boroknya. Akan tetapi apakah yang menjadi pokok masalah dalam penderitaan tersebut? Banyak orang bertanya-tanya mengapa penderitaan itu terjadi? Bahkan penderitaan justru malah terjadi pada seseorang yang dikenal saleh dan taat kepada Tuhan pada zamannya. Mengapa demikian?

Sebagai manusia, Ayub memiliki kemampuan untuk merasakan kedamaian dan ketidakadilan. Jika manusia itu mengalami ketidakadilan, maka timbul keinginan untuk melawannya. Ayub merasakan bahwa Allah tidak adil terhadapnya, dia bertanya-tanya apakah sebenarnya kesalahan yang telah diperbuatnya kepada Allah sehingga ia bisa menderita seperti itu. Ia minta keadilan kepada Allah.

Nama Kitab Ayub berasal dari bahasa Ibrani ‘Iyyob’, yang juga diwakili oleh bahasa Yunani yaitu ‘Iob’, dan kemudian dalam bahasa latin datang dalam bentuk Inggris yaitu ‘Job’ yang berati namanya sendiri, yaitu Ayub (1:1). Kitab Ayub seperti halnya Kitab Yosua dan Ruth mengambil nama tokoh utamanya. Dalam kitab ini, Ayub digambarkan sebagai seorang pahlawan (hero). Dalam Perjanjian Lama ini, Kitab Ayub juga termasuk dalam sastra hikmat Israel bersama dengan Amsal dan Pengkotbah. Kitab-kitab ini disebut demikian karena Kitab Amsal, pengkotbah dan Ayub ditulis oleh seorang yang bijak yang sangat menekankan akan hikmat dan kebijaksanaan.
Tokoh Ayub hidup dalam budaya kesukuan dan ikatan keluarga yang sangat erat. Salah satu ciri budaya kesukuan itu adalah bersifat lisan, dimana komunikasi dan pendidikan bergantung pada kata-kata yang diucapkan. Selain itu budaya kesukuan (lisan) adalah budaya malu. Saat itu nama baik dan harga diri dapat membuat seseorang terhormat. Dalam konteks keagamaan, ada beberapa poin utama yang dapat kita ambil, terutama mengenai kitab Ayub ini.

Dalam perikop ini, Ayub menggambarkan pekerjaan penembang untuk mencari benda-benda dalam tanah, Ayub memimpin pikiran kita dengan tiba-tiba kepada suatu persoalan yang pelik sekali. Penambang bisa mengeluarkan permata yang indah dari hati bumi. Tetapi hikmat di manakah dicari? Di perut bumi sekalipun bahkan menyelam di dasar laut sekalipun tidak akan dapat menemukannya. Tidak ada seorang pun manusia mengetahui jalan ke situ.

Emas dan perak bukanlah tandingannya. Ia tidak bisa disamakan dengan emas bukan juga dengan permata. Pertanyaan Ayub menarik dan cukup dalam,”Darimana kah datang hikmat dan tempatnya di mana? Hikmatlah yang kita perlukan dalam hidup dan mati akan berdiri teguh dalam terang, kegelapan, sukacita, penghiburan, kedukaan dan akan mendapat keteduhan hati dalam ribut dunia. Dalam segala abad di antara bangsa-bangsa selalu mencarinya tetapi belum pernah didapatkan, dia sungguh tersembunyi dari segala makhluk. Ia adalah sebuah rahasia kehidupan dan teka-teki alam.

Tetapi hanya Tuhan sajalah yang tahu. Tuhan tahu jalan ke sana bahkan tempatnya pun tahu karena ia bisa memandang sampi ke ujung bumi dan segala makhluk di bawah langit dapat ia lihat. Lihat saja, Dialah yang menentukan beratnya angin, menentukan sifat dari air. Mengatur musimnya hujan, petir. Tuhan memiliki memakai dan menggunakan hikmat, dengan cara memperlihatkannnya, mendidik dan menaruh tempatnya. Hanya Tuhanlah yang dipenuhi sagala hikmat. Hikmat yang dari awal dan kekal akan ada selamanya. Dalam dan dibalik alam, bekerjalah hikmat Allah walaupun tidak tampak dan kita tidak rasakan. Ingin berhikmat, manusia harus mengerti dan mengenal persukutuan dengan Allah



Refleksi

Sejarah menjadi unsur hakiki seorang manusia. Hidup manusia bukanlah serupa batu-di-ruang-hampa, dalam arti senantiasa sama sejak awal ampai akhir, melainkan menyejarah dengan kata lain dalam perkembangan hidup manusia pada umumnya tidak disediakan jalan pintas. Apabila orang dengan paksa mau mengusahakan jalan pintas (entah bidang pengetahuan atau perasaan dan sebagaianya), biasanya akan merusak keseimbangan pribadi dan malah dapat menghancurkan si pribadi sendiri. Dengan kata lain panggilan hidup manusia menuntut sepenuhnya tanggung jawab dari setiap pribadi.
“Hanya ada dua tragedi dalam kehidupan ini; orang yang tidak mendapatkan apa yang diinginkannya dan orang yang mendapatkannya” seperti halnya cerita di bawah ini.

Pada suatu ketika, Nasrudin berbincang-bincang dengan hakim kota. Sang hakim membuka percakapan, ”Seandainya saja setiap orang mau mematuhi hukum dan etika,..? Nasrudin menimpalinya, “Bukan manusia yang harus mematuhi mematuhi hukum, melainkan hukumlah yang harus disesuaikan dengan kemanusiaan.”

Hakim mencoba mendebat dengan mengajukan pertanyaan, “Tapi bagi cendikiawaan seperti Anda, kalau Anda dihadapkan pada pilihan: kekayaan atau kebijaksanaan, mana yang akan Anda pilih? Nasrudin menjawab, “Tentu saya memilih kekayaan.” Sang hakim membalas sinis, “Memalukan sekali, Anda adalah cendikiawaan yang diakui masyarakat. Dan Anda lebih memilih kekayaan daripada kebijaksanan?” Nasrudin balik bertanya kepada sang hakim, Kalau pilihan Anda sendiri apa?” sang hakim menjawab tegas, “Tentu saya memilih kebijaksanaan.” Mendengar jawaban itu, Nasrudin menutup pembicaraan dan berkata, “Terbukti, semua orang memilih untuk memperoleh apa yang belum dimilikinya”.

Momentum inilah yang memberi hikmat dan kebijaksan kepada Ayub menjadi kesadaran baru tentang persekutan dengan Allah. Persekutuan dengan Allah yang bukan tradisi agama seperti yang dipertahankan oleh sahabat-sahabat Ayub, melainkan persekutaun yang hidup, dengan Allah yang hidup. Allah yang menyatakan dirinya lewat angin topan membuat Ayub lebih mengenal dan menikmati persekutuan dengan Allah yang memberi makna dalam hidup ini. Implikasi dari pertobatan Ayub menjadi lebih berarti lewat anugerah Allah. Jadi inti dari kitab Ayub adalah persekutuan dengan Allah yang menceritakan pertobatan Ayub. Dimana penderitaan yang dia alami adalah merupakan karakter persekutuan dengan Allah yang melahirkan hikmat dari Allah.




Pdt.Maruasas SP Nainggolan S.Si (Teol)
Melayani di Kantor Pusat HKBP Pearaja-Tarutung
Sekhus Kadep Diakonia