Kamis, 01 Oktober 2009

Bacaan Minggu 25 Oktober 2009: Yohanes 21 : 20 – 25

MURID YANG DIKASIHI YESUS SEBAGAI SAKSI INJIL

1. Kitab Yohanes sebagai bagian dari empat evangelium (Matius, Markus, Lukas dan Yohanes) memaparkan pelayanan Yesus di dunia ini. Yesus diperkenalkan sebagai Anak Allah, Juru Selamat, bagi orang yang percaya kepada-Nya. Sehubungan dengan itu, keempat Injil ini membentangkan pekerjaan Yesus dalam upaya menghadirkan kerajaan Allah di dunia ini. Yesus berkata: “Bertobatlah karena kerajaan Allah sudah tiba.” Itu sebabnya dari setiap orang dituntut sikap yang tegas, yakni percaya kepada Yesus dan menjadi pengikut-Nya.
2. Secara khusus, Injil Yohanes ditujukan kepada orang Kristen yang berasal dari dunia Hellenis. Itu sebabnya cara pemaparannya disesuaikan dengan cara berpikir Yunani. Yesus diperkenalkan sebagai Logos (Firman). Logos adalah terminus teknikus filsafat Yunani yang dipahami sebagai perantara atau mediator antara dunia materi dengan dunia immateri. Dengan singkat hendak ditegaskan dalam Injil ini bahwa Yesus adalah perantara antara Allah dengan manusia. Pengutusan Yesus menjadi perantara ini adalah belas kasihan Allah. Allah berkenan kembali membuka babak baru dalam kehidupan umat manusia, yakni hidup baru di dalam persekutuan dengan-Nya.
3. Pengasihan Allah ini semakin nyata dalam pelayanan Yesus. Yesus juga berkenan melibatkan manusia dalam pelayanan-Nya. Itu sebabnya Dia memilih dua belas murid yang kelak menjadi saksi Injil hingga akhir hidupnya. Yesus memanggil para murid. Para murid ini kemudian diutus dengan berbagai tugas pelayanan. Kepelbagaian ini adalah kekayaan dalam pelayanan hingga nama Tuhan semakin dimuliakan.
4. Kekayaan pelayanan itulah yang hendak kita lihat dalam nas ini. Yohanes 21:20-25 merupakan bagian penutup dari Injil Yohanes. Dengan menyimak isi perikop ini maka dapat dilihat bahwa Injil ini hendak ditutup dengan sebuah legitimasi akan kedudukan Yohanes sebagai murid Yesus. Legitimasi akan kedudukan ini juga menentukan bagi legitimasi isi bahkan kitab ini sendiri. Injil ini adalah kesaksian dari seorang murid Yesus. Ketidak ragu-raguan akan kedudukan Yohanes sangat menentukan kesahihan Injil itu sendiri.
5. Apa yang hendak kita gali dari nas ini?
a. Orang-orang dalam Gereja purba suka membuat perbandingan. Mereka tentunya menunjukkan bagaimana Paulus pergi sampai ke ujung bumi. Mereka tentunya menunjukkan bagaimana Petrus pergi ke sana-sini menggembalakan umat Tuhan. Dan … mereka rupanya bertanya-tanya apakah fungsi Yohanes yang sudah tinggal di Efesus sampai usianya begitu tua sehingga tidak bisa lagi melakukan aktivitas apa-apa. Inilah jawabnya: Paulus mungkin bisa dipandang sebagai pionir bagi Kristus, Petrus sebagai gembala dari Kristus, dan … Yohanes adalah saksi bagi Kristus. Dia adalah orang yang dapat berkata: “Aku telah melihat semua kejadian itu dan aku tahu semua itu benar.” Dengan demikian tujuan nas ini bukan hendak membanding-bandingkan para pelayan hingga menimbulkan preseden yang kurang baik. Tujuannya ialah hendak menyuguhkan sejenis figur ideal bagi jemaat. Figur ideal ini akan memberikan model pemuridan yang layak dicontoh dan ditumbuh-kembangkan dalam hidup keseharian jemaat.
b. Jawab Yesus: “Jikalau Aku menghendaki, supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang” (ay. 22a), merupakan legitimasi akan kondisi Yohanes pada waktu itu yang memang sudah tua renta. Mungkin ada keraguan akan efektivitas dan efisiensi pelayanan Yohanes sehubungan dengan kondisi fisiknya yang sudah tua. Itu sebabnya melalui nas ini mereka hendak diyakinkan bahwa kehadiran Yohanes senantiasa dalam rencana dan program Allah. Tentu Allah merencanakan sesuatu apabila Yohanes masih diperkenankan hadir di sana . Satu hal yang pasti, keuletan dan kematangan hidup Yohanes akan menjadi contoh yang baik bagi mereka.
c. Pernyataan Yesus: “Tetapi engkau: ikutlah Aku” (ay. 22b) memiliki makna yang sangat dalam. Selain ajakan dan panggilan untuk mengikut Yesus, pernyataan itu juga hendak menegaskan agar setiap orang mengurusi pekerjaannya sesuai dengan pekerjaan yang diberikan oleh Allah. Jangan pernah melalaikan tugas hanya karena asyik membanding-bandingkan pelayanannya dengan pelayanan orang lain.
d. Ayat 24 hendak menegaskan kedudukan Yohanes sebagai saksi bagi Kristus. Sikap apa yang hendak dibangun dari pernyataan dalam ayat 24 ini? Legitimasi kedudukan seorang saksi Kristus hanyalah dari Allah. Pelayanan sebagai saksi Kristus adalah Vocatio Dei (panggilan Allah) melalui Gereja. Hal itu berarti pekerjaan itu diterima dari Allah bukan dari dunia ini. Itu sebabnya legitimasi hanya dari Allah.
e. Perikop ini ditutup dengan sekali lagi menegaskan Allah yang maha besar dalam diri Yesus Kristus. Allah senantiasa bekerja hingga hari ini. Itu sebabnya karya Allah dalam diri Yesus yang maha besar hingga agaknya dunia ini tidak dapat memuat semua kitab yang harus ditulis itu. Apakah sikap yang dapat dibangun dari pernyataan dalam ayat 25 ini? Firman Allah terlalu besar untuk dikuasai oleh manusia hingga tidak seorang pun yang bisa menguasai Firman Allah. Yang dapat dilakukan manusia ialah menyerahkan diri sepenuhnya dengan segenap kerendahan hati untuk dikuasai oleh Firman Allah.

6. Nas ini kita perdengarkan sebagai dasar persekutuan kita dalam Minggu XX Setelah Trinitatis. Apa yang hendak kita tegaskan di sana ? Sebagaimana layaknya Minggu-minggu Trinitatis dan semua Minggu Setelah Trinitatis, maka Trinitatis itu harus dimaknai secara benar. Trinitatis itu hendak kita maknai dalam sebutan Trinitas Ekonomis atau Trinitas Immanen atau Trinitas Ekonomis. Apa artinya itu? Allah yang berkarya sebagai Pencipta, Juru Selamat dan Penghibur itu harus kita kenal dari karya atau perbuatanNya. Manusia hanya mengenal Allah sepanjang Allah memperkenalkan diriNya. Allah memperkenalkan diri melalui karya atau perbuatanNya di dunia ini. Oleh karena itu, menyelusuri jejak karya Allah itulah upaya kita satu-satunya mengenal Dia.
7. Apakah karya Allah dalam nas kita? Memanggil para murid, yakni Petrus dan Yohanes. Kemudian, mengutus mereka menjadi gembala dan saksi Injil. Namun sesungguhnya bukan hanya sebatas itu. Karya Allah tetap berlangsung hingga kini. Jika Petrus dipanggil dan diutus menjadi gembala, Yohanes dipanggil dan diutus menjadi saksi Kristus, maka mereka pasti senantiasa disertai oleh Allah. Hanya atas penyertaan Tuhanlah mereka boleh menjalankan tugas pelayanan dengan baik hingga akhir hidup mereka masing-masing. Realita ini hendaknya menjadi pintu masuk bagi para pelayan masa kini untuk memaknai tugas panggilannya.
8. Nas ini juga hendak membekali para pelayan masa kini. Pelayan masa kini adalah gembala jemaat dan sekaligus saksi bagi Kristus. Sebagai pelayan yang baik, ada beberapa hal yang patut kita renungkan sebagai bahan pelajaran:
a. Kita harus menjadi model pemuridan. Tanpa bermaksud untuk menciptakan persaingan, kita harus menjadi figure ideal bagi jemaat.
b. Kita harus menanamkan prinsip dalam hidup kita bahwa keberhasilan pelayanan kita tidak terletak pada upaya membanding-bangdingkan pelayanan kita dengan orang lain; tetapi dalam ketulusan kita menunaikan tugas panggilan yang diberikan Tuhan.
c. Legitimasi kedudukan kita sebagai pelayanan hanyalah dari Tuhan. Oleh karena itu, alangkah ironisnya kalau masih ada pelayan yang menganggap bahwa legitimasi panggilannya serta kelanggengan pelayanannya terletak dalam legitimasi manusia.
d. Pelayan yang baik harus senantiasa memohon dengan segala kerendahan hati agar dikuasai oleh Firman Allah, bukan menguasai Firman Allah. Dengan demikian, setiap gerak pelayanannya akan didasari dan dituntun oleh Firman Allah.

9. Akhirnya perlu dipertegas, siapakah pelayan itu? Baik gembala maupun saksi bagi Kristus, semuanya adalah murid Yesus. Murid Yesus adalah setiap orang yang bersedia berjalan di belakang Yesus. Berjalan di belakang Yesus berarti menghayati setiap ajaran Yesus hingga hidupnya senantiasa dalam kehendak Yesus. Dengan demikian, semua jemaat, pelayan tahbisan dan pelayan non tahbisan adalah murid Yesus.



Pdt. Leo Dunan Sibarani, MTh
Dosen STT HKBP Pematangsiantar

Bacaan Minggu 18 Oktober 2009: 2Timotius 4 : 1 - 5

“TUNAIKANLAH TUGAS PELAYANANMU”

1. Pendahuluan
Surat kepada Timotius ini termasuk dalam kelompok Surat-surat Pastoral di mana isinya adalah tentang petunjuk-petunjuk mengenai bagaimana jemaat Tuhan harus dilayani oleh Timotius juga oleh pelayan-pelayan sepanjang masa. Surat 2 Timotius memiliki keistimewaan, karena nasihat ini disampaikan Paulus dari dalam penjara dan ia merasa bahwa akhir hidupnya sudah dekat ( 2Tim. 4:6 ).
Dalam nasihatnya, Paulus memberikan nasihat agar Timotius sungguh-sungguh melakukan tugasnya. Nasihat ini lebih menguatkan apa yang sudah disampaikan Paulus sebelumnya sekaligus mengingatkan akan situasi yang akan dihadapi jemaat sampai kedatangan Kristus sebagai hakim kepada orang yang hidup dan yang mati. Nasihat dari Paulus ini di dasarkan pada dasar iman yaitu di hadapan Allah dan Yesus Kristus. Artinya nasihat ini amat penting dan penuh dengan kesungguhan. Setiap orang akan memberi pertanggungan jawab akan dirinya baik sebagai jemaat juga sebagai pemimpin jemaat.

2. Beberapa dari nasihat itu dapat kita lihat dari nas ini antara lain :
2.1 Beritakanlah Injil setiap waktu. Tugas utama dari pemimpin jemaat dan pemberita Injil adalah memberitakan Injil (1Tim. 2:7; 2Tim 1:11) yaitu memberitakan kabar baik kepada dunia. Kabar baik itu adalah keselamatan yang telah diberikan Allah melalui Yesus Kristus kepada manusia. Keselamatan itu hanya ada dalam diri Yesus Kristus sebab tidak ada orang yang sampai kepada Bapa kalau tidak melalui Yesus Kristus (Yoh. 14:6) dan jalan keselamatan itu hanya dalam nama Yesus (Kis 4:12). Tugas pemberitaan Injil ini adalah kewajiban bagi seluruh orang percaya (1 Pet 2:9) walaupun dari kalangan jemaat ada yang harus mengembang tugas khusus. Seluruh aspek lehidupan orang percaya adalah sarana pemberitaan Injil. Sasaran dari pemberitaan injil adalah mencakup seluruh alam ciptaan tidak hanya manusia saja (Mrk. 16:15). Pemberitaan Injil dilakukan dalam setiap waktu selama masih ada kesempatan, tidak menjadi persoalan bagaimana waktunya, tetapi baik atau tidak baik waktunya pemberitaan injil harus berjalan. Sebab injil harus sampai dan bila kesempatan itu berlalu maka tidak akan mungkin dapat diulangi untuk memberitakan Injil. Bahkan Paulus memperingatkan bahwa akan ada suatu ketika Injil tidak lagi dapat diberitakan, oleh sebab itu selagi Tuhan masih memberi kesempatan, beritakan Injil kepada segala mahluk.
2.2. Nyatakanlah apa yang salah. Ketika Injil diberitakan maka sekaligus juga berjalan pemeliharaan rohani melalui keberanian untuk menyatakan yang salah dan menegor perbuatan yang tidak benar. Ini disampaikan Paulus mengingat di dalam jemaat yang dilayani Timotius telah muncul berbagai ajaran sesat, oleh sebab itu mereka semua harus diperingatkan. Harus diakui bahwa tidaklah mudah menyatakan kesalahan sebab ukurannya adalah Firman Tuhan, karena salah satu fungsi atau kegunaan Firman Tuhan adalah menyatakan kesalahan (2Tim 3:16). Kesalahan tidak diukur oleh perasaan atau pertimbangan duniawi tetapi atas dasar Firman Tuhan. Dalam kodisi zaman ini, banyak orang termasuk hamba Tuhan tidak lagi berani menyatakan yang salah, bahkan cenderung membela yang salah paling tidak membiarkan yang salah. Orang Kristen harus berani mengatakan yang benar, jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat (Mat. 5:37). Tidak boleh bermuka dua atau plil-plan, harus senantiasa mampu membela yang benar tanpa diperingaruhi oleh sesuatu apapun.
2.3. Menyampaikan tegoran dan nasihat. Paulus melihat keadaan jemaat ke depan akan mengalami banyak masalah khususnya menyangkut ajaran sesat yang hanya memuaskan telinga dengan dongeng-dongen para tua-tua (bnd 1Tim. 4:7) Ajaran ini sungguh dasyat sebab dapat menutup hati manusia akan ajaran yang benar dan dapat memalingkan telinga dari manusia dari kebenaran. Untuk ini Timotius harus berani menegor dan menasihati mereka agar kembali kejalan yang benar. Orang Kristen tidak perlu takut memberi tegoran dan nasihat, walapun itu penuih dengan resiko. Walaupun kita harus dibenci karena nasihat kita tersebut itu tidak menjadi masalah yang laing utama kita melakukan tugas kita sebab, apabila tugas kita tidak kita laksanakan maka Tuhan akan meminta pertanggungan jawab dari pada kita (bnd Yehz. 3:18-19) Artinya apapun alasannya tegoran dan nasihat tidak boleh tidak disampaikan. Namun tegoran itu harus disampaikan dengan penuh kesabaran.
2.4. Kuasailah dirimu dalam segala hal, dalam bahasa aslinya kalimat ini berbunyi “tetapi kamu hendaklah kamu tetap siuman dalam segala hal” kalimat ini membuktikan bahwa ajaran sesat itu telah menginabobokan atau membius manusia, namun sebagi orang percaya harus tetap siuman, artinya tidak terpengaruh dengan ajaran tersebut. Orang kristen harus tetap mampu membedakan mana ajaran yang benar dan mana ajaran yang sesat. Orang kristen tidak mudah terpengaruh oleh apapun di tengah dunia ini, termasuk karena kuasa, jabatan, harta dan hal lain yang dapat memikat hati manusia. Menguasai diri juga berarti mampu menahan lapar ketika lapar, mampu menahan haus ketika haus dan mampu menahan marah ketika hendak marah, walaupun harus marah harus dipastikan tidak melakukan dosa (Ef 4:26). Orang yang menguasai diri adalah orang yang memiliki hati yang jernih dan mampu menilai segala sesuatu secara obyektif, tidak gegabah melakukan segala sesuatu (bandingkan dengan ajaran Yesus tentang orang yang hendak membangun sebuah menara Luk. 14:28-30).
2.5. Sabarlah menderita. Pemberitaan Injil Kristus pasti akan berlawanan dengan hal-hal duniawi, para pengajar sesat dan pengikut-pengikutnya akan berusaha mempertahankan diri dan mengadakan perlawanan terhadap pemberita Injil Kristus, segala cara pasti akan dilakukan, termasuk melakukan berbagai bentuk kekerasaan, penganiayaan bahkan pembunuhan. Banyak pemberita injil yang harus martir karena injil Kristus. Tetapi bagaimanapun caranya kuasa dunia tidak akan mampu menghalangi Firman Tuhan. Oleh sebab itu jika harus menanggung beban atau penderitaan karena Firman Tuhan orang kristen harus sabar menderita, dan penderitaan karena Injil adalah merupakan kebahagiaan (Mat. 5:10, 1Pet. 3:14) Sebab penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita (Rm. 8:18).
2.6. Tunaikan tugas pelayananmu. Alkhirnya Paulus menginginkan Timotius melaksanakan tugasnya dengan sepenuh hati dan sampai ke tujuan. Walaupun harus menghadapi banyak tantangan sebagai pemberita Injil tetapi tugas pelayanan itu harus dilaksanakan dengan setia. Demikian juga dengan orang kristen, harus setia menyatakan imannya ampai akhir. Jangan berhenti di tengah jalan, atau jangan menyimpang ke kanan atau ke kiri. Sebab hanya yang setia berjuang sampai akhir, itulah yang akan mendapat mahkota kemenangan (Why. 2:10) tentu banyak tantangan yang dihadapi oleh orang kristen, namun sedasyat apapun tantangan itu, iman harus dijaga supaya bisa tampil sebagai pemenang, itulah yang dikatakan Paulus “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya; tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya.”

3. Penutup
Tugas pemberitaan Injil adalah tugas semua orang percaya yang diwujudkan melalui tugas panggilan gereja yaitu Koinonia, Marturia dan Diakonia. Tugas ini harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh kesabaran. Orang percaya harus berani menyatakan kebenaran kepada siapapun termasuk kepada para penguasa. Tetapi sebelum melaksanakan tugas itu orang kristen harus terlebih dahulu membekali diri dengan Firman Tuhan dan senantiasa memberi tempat kepada Roh Kudus untuk berdiam dalam diri kita, sebab oleh Roh Kuduslah kita mampu menguasai diri, kita sabar menderita dan kita dapat menunaikan tugas pelayanan kita sampai akhir.



Pdt. Pahala J. Simanjuntak,MTh

Bacaan Minggu 04 Oktober 2009: Kejadian 39 : 1 - 10

PENYERTAAN TUHAN DI TENGAH PENCOBAAN

Teks yang menjadi dasar perenungan kita merupakan cuplikan kisah panjang tentang Yusuf (Kej. 37-50) yang hidupnya memang diwarnai berbagai pengalaman menyakitkan. Menjadi anak kesayangan terkesan menyenangkan tetapi tidak selalu demikian. Ternyata, perlakuan istimewa membawa beban tersendiri. Apalagi, dalam kasus Yusuf, itu berarti bahwa ia diperlakukan lebih daripada saudara-saudaranya yang lebih tua, termasuk saudara sulungnya. Dalam adat Israel, seperti dalam adat Batak dan banyak suku bangsa lainnya, tindakan ini sebenarnya melanggar “aturan main” yang umumnya memprioritaskan anak sulung.
Mengapa Yakub bersikap pilih kasih? Alasannya kita temukan dalam permulaan kisah menarik itu: “Yusuf itulah anaknya yang dilahirkan pada masa tuanya” (Kej. 37:4). Ada sentuhan manusiawi dalam keterangan singkat ini. Walaupun seorang ayah tentu mengasihi semua anaknya, rupanya anak yang lahir di masa tuanya menempati ruang khusus dalam relung hatinya. Yang barangkali tidak disadari oleh Yakub adalah dampak dari afeksinya yang khusus itu. Kita berhadapan dengan persoalan yang sering merusak hubungan manusia dengan sesamanya: rasa cemburu, iri, dengki, benci (bdk. istilah teal, elat, late dalam bahasa Batak); singkatnya, berbagai jenis emosi yang menjadi akar dari pembunuhan (bdk. Mat. 5:22).
Sering tanpa disadari, komentar yang biasa-biasa saja, bahkan sikap yang lugu pun dapat ditafsirkan lain oleh orang yang memang sudah menyimpan perasaan tak senang pada kita. Hal ini nyata sekali dalam kisah Yusuf. Dengan lugu ia membeberkan isi mimpi-mimpinya yang memperlihatkan keunggulannya atas saudara-saudaranya (Kej. 37:5-11). Pembaca diberitahu, semuanya itu justru mempertebal rasa iri dan benci yang sudah tumbuh. Padahal, kita tidak mendapat kesan apa pun bahwa Yusuf menjadi tinggi hati karena perlakuan istimewa ayahnya atau karena mimpi-mimpi mengenai statusnya yang tinggi kelak.
Dalam episode selanjutnya, kita menyimak suatu konspirasi untuk melenyapkan sang anak emas. Apa yang terjadi dalam kisah konspirasi “spontan” itu pada dasarnya menunjukkan kepada kita betapa berbahaya sesungguhnya rasa cemburu, iri hati dan berbagai emosi negatif jika tidak diolah dan diatasi berdasarkan firman Tuhan. Sungguh benar yang dikatakan, “di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri, di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat” (Yak. 3:16).
Apa yang kita baca dalam teks perenungan kita adalah hasil konspirasi penuh kekerasan itu. Namun, rencana semula untuk membunuh Yusuf gagal terlaksana oleh karena intervensi Ruben, saudara sulungnya. Lagi-lagi, kita melihat adanya sentuhan manusiawi dalam kisah itu. Agaknya, di antara kebencian yang membakar hati, masih juga tersisa rasa sayang di antara saudara-saudaranya! Yehuda pun ternyata masih menghendaki adiknya tetap hidup. Demi “keselamatan” Yusuf, akhirnya ia mengusulkan agar adiknya itu dijual kepada orang Ismael yang sedang dalam perjalanan niaga ke Mesir. Menariknya, kita tidak diberi keterangan apa pun tentang reaksi Yusuf menghadapi tindakan saudara-saudaranya. Seolah-olah, ia telah menjadi obyek yang tak berdaya di tangan saudara-saudaranya!
Kehadiran Yusuf di rumah Potifar merupakan perkembangan selanjutnya dari kisah tragis itu. Bahaya yang mengancam hidupnya telah berlalu. Tentulah menyakitkan merasa tersingkir, dibuang dari antara kaum keluarganya, tanpa alasan yang berarti kecuali rasa iri dan dengki. Lebih-lebih, karena para pelakunya adalah saudara-saudara sendiri! Namun, di balik kekusutan hubungan manusiawi itu, tiba-tiba kita mendengar keterangan ini: “Tetapi TUHAN menyertai Yusuf!” (Kejadian 39.4). Kita dibuat tersentak! Benar, dalam episode sebelumnya, tidak ada keterangan sama sekali tentang kehadiran Tuhan. Seolah-olah semua ketidakadilan dan kekerasan yang kasatmata itu adalah kejadian di antara manusia semata-mata, tanpa suatu kehadiran Yang Lain! Nyatanya, dalam lensa iman, Tuhan tidak meninggalkan sang korban begitu saja.
Tidak hanya sampai di situ. Kehadiran Tangan Yang Tak Kelihatan itu mulai memperlihatkan dampaknya. Penyertaan Tuhan membawa berkat bagi Yusuf. Pada gilirannya, kehadiran Yusuf “menularkan” berkat bagi tuannya! Dikatakan, “TUHAN memberkati rumah orang Mesir itu karena Yusuf” (Kej. 39:5). Ya, karena Yusuf, atau “demi” Yusuf! Betapa seringnya kita lupa akan kehadiran yang diam-diam itu. Ketika kehidupan seolah cuma penuh persoalan, diam-diam Pemilik Sejarah itu memperhatikan.
Dari seorang buangan status Yusuf diubah menjadi orang kepercayaan; dari seorang yang terbuang menjadi orang yang berwewenang! Akan tetapi, drama itu belum berakhir. Lagi-lagi, kita diberitahu, ada tantangan “baru” di balik berkat yang diterimanya. Godaan datang dari rumah Potifar sendiri dalam wujud seorang perempuan. Ini memang cerita klasik. Ada yang mengistilahkannya dengan Godaan Tiga “TA”: harTA, takhTA, waniTA. Tetapi, kita harus berhati-hati untuk tidak menarik kesimpulan yang salah, seolah-olah perempuanlah sumber masalah! Lihat, Hawa menggoda Adam. Lihat, istri Potifar menggoda Yusuf, dan seterusnya. Generalisasi seperti ini picik, tidak adil dan melecehkan perempuan. Dalam kisah yang kita simak, yang ingin digarisbawahi adalah ujian berat buat integritas Yusuf. Kalau orang sudah diberkati oleh Tuhan, tak jarang integritasnya pun menjadi sasaran berikut yang bakal menghadapi ujian. Bagi seorang laki-laki yang posisinya makin mapan, salah satu ujian paling umum adalah godaan untuk mencari kesenangan yang dapat “dibeli” dengan posisi dan uang. Nyatanya, tanpa dicari pun, kenikmatan seksual sering ditawarkan dan menawarkan diri sendiri. Bukankah kekusutan hingga kehancuran dalam kehidupan berumahtangga kerap disebabkan hubungan-hubungan “liar” ini?
Mengapa Yusuf bertindak “bodoh”, tidak memanfaatkan kesempatan dan menikmati kesenangan yang ditawarkan di depan mata? Ada banyak orang dalam dunia kita kini yang akan berkesimpulan demikian. Bukan rahasia lagi, berbagai negosiasi bisnis dan politik sering dilengkapi dengan “bonus” seperti itu. Namun, inilah yang luar biasa dari teladan seorang Yusuf. Ketika jerat nafsu nyata-nyata terpasang di hadapannya, ia serta merta ingat Tuhan yang telah menolong dan memberkatinya. Reaksinya didasari oleh integritas etis-teologis: “Bagaimanakah mungkin aku melakukan kejahatan yang besar ini dan berbuat dosa terhadap Allah?” (Kej. 49:9). Jika Dia Yang Tak Kelihatan benar-benar memperhatikan hidupnya, bukankah Dia juga melihat apa yang tidak kelihatan oleh mata telanjang?
Kita harus menyimak lebih jauh daripada perikop yang menjadi bahan perenungan kita. Dalam bagian berikutnya, kita memperlajari, ternyata integritas Yusuf harus dibayar amat mahal! Tidak tanggung-tanggung, penolakan terhadap ajakan menyeleweng harus ditebus dengan hukuman penjara yang justru membawa kesengsaraan (Kej. 39:20-23). Benarkah ini mirip dengan yang dikatakan orang: “Tak perlu jujur-jujur. Buktinya, orang jujur malah terbujur, orang sabar malah terkapar!” Pil yang harus ditelan karena mempertahankan sebuah integritas sering pahit sekali. Orang yang tidak mau dilibatkan dalam kejahatan bersama, tak jarang harus menjadi korban fitnah dan konspirasi. Orang seperti ini memang sering bisa berbahaya, maka harus disingkirkan. Kalau kita pernah mengalami hal yang serupa, ingatlah, ketidakadilan demikian sudah setua sejarah manusia berdosa dan sudah menjadi bahan perenungan sejak ribuan tahun silam!
Namun, sekali lagi, kalau kita telusuri terus cerita berikutnya tentang Yusuf yang dipenjara, kita menemukan pernyataan yang sama, “Tetapi TUHAN menyertai Yusuf!” (Kej. 39:21). Perhatikan penggunaan kata “tetapi”. Ya, sejarah ketidakadilan itu masih terus-menerus berlangsung itu, tetapi jangan pernah lupakan, Dia Yang Lain itu hadir! Tuhan menyertai Yusuf sehingga apa yang dikerjakannya berhasil.
Mungkinkah kisah Yusuf menjadi kisah kita bersama sebagai umat Allah? Bukankah ketika malapetaka dan ketidakadilan menimpa orang-orang yang tak bersalah, sering iman kita menjadi goyah? Orang yang ditipu berkali-kali, boleh jadi ia akan memutuskan, tak ada gunanya lagi bersikap jujur. Begitu pula, orang yang sudah disakiti atau dikecewakan berkali-kali, bisa habis kesabarannya. Demikianlah kenyataannya, menghadapi kegagalan, kemalangan dan ketidakadilan, orang dapat mengambil berbagai kesimpulan. Wajar-wajar saja jika kesimpulannya bersifat negatif. Orang bisa-bisa kehilangan kepercayaannya pada manusia. Dalam kasus ekstrem, Tuhan pun tak dipercayai lagi!
Namun, kesimpulannya tidak seharusnya demikian bila kita bercermin dari kisah Yusuf. Kita perlu belajar dari perspektif “lain” dalam memaknai berbagai pengalaman buruk dalam hidup ini. Boleh jadi kita pernah menjadi korban kecemburuan sosial atau ketidakadilan. Tanpa berbuat salah pun, kita menjadi sasaran kebencian. Tanpa mengganggu orang lain pun, ada yang ingin mempersulit, bahkan menyingkirkan kita. Tanpa pernah bermaksud mengancam pun, kehadiran kita dilihat sebagai ancaman, sehingga perlu disingkirkan. Namun, di balik berbagai situasi negatif seperti itu, rupanya kita diajak untuk tetap meyakini Kehadiran Yang Lain dalam sejarah manusia. Siapa yang menyangka di balik penderitaan Yusuf terselip rencana Tuhan untuk menyelamatkan saudara-saudaranya kelak dari bencana?
Penyertaan Tuhan mengandung tanggung jawab etis pula yang patut kita renungkan. Memang luar biasa, kehadiran yang membawa berkat itu bukan saja menolong Yusuf menghadapi kesulitannya sendiri tetapi sekaligus membawa berkat bagi orang lain! Kita teringat pada pesan nabi Yeremia kepada orang-orang yang dibawa ke pembuangan: “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu” (Yer. 29:7). Sikap positif ini dimungkinkan oleh iman yang menatap ke depan, kepada karya Allah yang menuntun sejarah sesuai dengan rancangan damai sejahtera-Nya (Yer. 29:11). Ketika kita terbentur oleh perlakuan yang tidak adil, ketika kita tergoda untuk membalas kejahatan dengan kejahatan, kita diingatkan untuk berhenti sejenak membaca tanda-tanda kehadiran ilahi itu, yang oleh Rasul Paulus diyakini “turut bekerja dalam segala sesuatu mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia” (Rm. 8:28).
Akhirnya, seperti Yusuf, kita pun diajak untuk menyadari betapa pentingnya integritas dalam kehidupan kita ketika berhadapan dengan berbagai godaan. Ketika tersedia peluang untuk mencari untung dengan segala cara, merampas yang bukan milik kita, membengkokkan yang mestinya diluruskan, bagaimana sikap kita menghadapi ujian-ujian yang mempertaruhkan integritas kita? Dalam perspektif iman, kehadiran Tuhan yang diharapkan memberkati hidup kita semestinya juga mengilhami sepak terjang kita sehingga benar-benar menjadi berkat bagi sesama! Amin.

Bogor-Jakarta, November 2008
Pdt. Anwar Tjen, PhD