”KETAATAN MENDATANGKAN BERKAT DARI TUHAN”
(Bacaan Alkitab: 1Raja 9:1 – 10:29; 2Taw.7:11 – 9:28)
Orang bijak berkata, "Kita akan menuai apa yang kita tabur“. Jika kita menanam satu biji jagung, maka kita menuai setongkol jagung. Satu tongkol berisi ratusan biji jagung. Jelas, bahwa yang dituai selalu lebih banyak daripada yang ditanam.
Ketaatan, yaitu melakukan perintah atau ketetapan Firman Tuhan, juga bisa digambarkan seperti menanam. Tuhan memberkati orang yang taat kepadaNya. Ketika raja Salomo melakukan segala sesuatu sesuai dengan Firman Tuhan, kerajaannya menjadi jaya dan bangsa Israel menikmati berbagai berkat Tuhan.
Janji Tuhan Kepada Salomo (1Raja-Raja 9:1-9)
Sekali Tuhan berjanji, maka tidak akan pernah diingkariNya, Ia pasti menepati janjiNya. Dalam ayat 4-7, terdapat kata: “Jika… maka…”, berarti janji Tuhan itu bersyarat. Syaratnya adalah, kesetiaan serta ketaatan umat dalam melakukan firmanNya. Apabila umat Tuhan taat, maka Dia pasti memberkati sesuai dengan janjiNya. Jika umat Tuhan memberontak dan melanggar firmanNya, maka Tuhan pasti menghukum. Tuhan memberkati orang yang taat, sebab itu kita harus berkeputusan untuk selalu menaati Dia.
Janji Tuhan kepada Salomo adalah perjanjian bersyarat. Untuk dapat mengetahui isi perjanjian itu serta persyaratannya, bacalah 1Raja-Raja 9:4-8! Jika Salomo setia kepada Tuhan, maka Tuhan akan meneguhkan kerajaannya; dan apabila Salomo tidak setia, maka Tuhan akan mendatangkan malapetaka terhadap kerajaannya. Jika Salomo dan bangsa Israel memberontak kepada Tuhan, maka Bait Allah tempat nama Tuhan diam pun akan ditinggalkan Tuhan, dihancurkan, bahkan bangsa Israel akan dibuang.
Tuhan sangat marah terhadap umatNya yang menyembah berhala. Tetapi Tuhan berkenan kepada setiap orang yang taat melakukan firmanNya dan setia beribadah hanya kepada Dia. Beribadah kepada Tuhan berarti melayani Tuhan dengan benar dan dengan hati yang murni, teguh, jujur dan tulus.
Dalam Alkitab terdapat banyak janji Tuhan kepada umatNya. Agar kita dapat menaati Tuhan setiap hari dalam perkataan dan perbuatan, maka kita harus membaca dan mendengar firmanNya setiap hari. Janji-janji Tuhan akan menjadi berkat bagi setiap orang yang menaatiNya.
Keberhasilan Usaha Salomo (1Raja-Raja 9:10-28)
Setiap usaha yang dilakukan dengan gigih, penuh perjuangan, dan pantang menyerah, cepat atau lambat akan mendatangkan hasil. Kegagalan hanya untuk orang yang gampang menyerah. Dalam ayat 10 tercatat secara ringkas kerja keras Salomo dalam membangun Bait Allah dan istana kerajaannya. Ia menghabiskan waktu selama 20 tahun.
Sebahagian orang menghendaki keberhasilan secara instant (baca:gampang dan cepat), tanpa doa dan tanpa kerja keras. Keberhasilan yang diraih dengan cara yang instant, biasanya tidak tahan uji dan kadangkala dicapai dengan menghalalkan segala cara. Misalnya, ada orang yang ingin cepat kaya, lalu meminta bantuan kepada dukun. Akan tetapi orang yang hidup taat kepada Tuhan, meraih keberhasilan sebagai berkat Tuhan melalui perjuangan yang keras, yaitu berdoa dan bekerja (Ora et Labora).
Setiap usaha yang dilakukan Salomo diberkati Tuhan, karena ia mencari Tuhan terlebih dahulu dengan membangun Bait Suci bagi Allah; kerajaannya menjadi jaya sehingga orang Israel hidup aman dan sejahtera. Salomo menghargai bantuan Hiram (ay.11), ia memperkuat hubungan internasional. Salomo berhasil menjalankan pemerintahannya dengan baik.
Keberhasilannya adalah berkat dari Tuhan, dan kerja keras adalah cara untuk memperolehnya. Oleh karena itu, Tuhan tidak boleh dilupakan. Salomo mengingat dan memuliakan Tuhan dengan membawa persembahan kepada Tuhan (ay.25).
Harta Kekayaaan Salomo (10:14-29)
Berkat Tuhan bisa bersifat rohani, bisa pula bersifat materi. Harta kekayaan Salomo yang dicatat dalam 1Raja-Raja 10:14-29 adalah berkat-berkat yang bersifat materi. Artinya, Salomo diberkati Allah dengan berkat materi, sehingga ia menjadi sangat kaya. Kekayaan Salomo merupakan bukti bahwa Tuhan selalu menepati janjiNya (1Raja 3:11-13).
Kekayaan Salomo tidak terhitung banyaknya. Dalam ayat 14 disebutkan, "Adapun emas, yang dibawa kepada Salomo dalam satu tahun ialah seberat enam ratus enam puluh enam talenta“. Satu talenta sama dengan 34 kilogram. Berarti penghasilan dari emas setahun adalah 666 x 34 = 22.644 kilogram. Jika harga emas satu gram Rp. 100.000,- maka harga emasnya setiap tahun adalah 22.644 x 100.000 = 2.264.400.000.000,-
Untuk mengetahui semua kekayaan Salomo bacalah 1Raja-Raja 10:14-29! Salomo memperoleh kekayaan itu bukan dengan korupsi atau mencuri. Ia adalah raja yang bijaksana, penuh dengan hikmat Tuhan, sehingga ia dapat menjalankan roda kerajaan dengan baik. Sebagai hasilnya adalah kekayaan dan kemakmuran kerajaan Israel. Dengan kata lain, Salomo menjadi kaya raya karena hikmat dari Tuhan.
Kesimpulan
Tuhan berjanji akan memberkati orang yang taat kepadaNya. Selama menaati Tuhan, Salomo mengalami berbagai keberhasilan. Keberhasilan yang berkenan kepada Tuhan adalah keberhasilan karena usaha dan kerja keras yang dilakukan dalam ketaatan kepada FirmanNya. Tuhan memberkati orang yang hidup sesuai dengan firmanNya.
Penerapan
Pada sehelai kertas, tulislah:
1. Hasil-hasil yang pernah kau terima karena ketaatanmu
2. Hukuman-hukuman yang pernah kau terima karena ketidaktaatanmu, baik dalam hal berdoa, belajar, maupun berkaitan dengan ketaatanmu terhadap perintah orang tua, peraturan di sekolah Minggu, di sekolah, maupun dalam bermain, dan lain-lain.
BLOG INI BERSIFAT TERBUKA UNTUK DIKOMENTARI DAN DIKRITISI DEMI KEMAJUAN WAWASAN BERPIKIR, DAN BERTEOLOGI MASA KINI
Jumat, 01 Mei 2009
RENUNGAN: 1Petrus 3:8-12
PERSEKUTUAN DAN PERSAUDARAAN
1Petrus 3 : 8 - 12
"Persekutuan dan persaudaraan yang rukun adalah dambaan setiap orang di dunia ini. Bagaimanakah agar impian ini menjadi kenyataan? Persektuan dan persaudaraan ini terwujud jika kita memiliki nilai-nilai hidup seperti: Pertama, Seia sekata. Harus kita akui bahwa kita memiliki banyak latar belakang yang berbeda-beda menurut suku, bahasa dan adat istiadat, pendidikan, pekerjaan, cara berpikir dan sebagainya, namun kita harus benar-benar sehati, seia-sekata, supaya dapat hidup sebagai persekutuan yang mau mengerti satu dengan yang lain. Situasi yang demikian menggambarkan bahwa jemaat merupakan organ atau badan yang hidup, di mana terdapat berbagai-bagai anggota atau suatu badan yang sangat berlainan bentuknya dan sangat beraneka ragam fungsinya. Di dalam keberanekaragaman itu anggota-anggota dapat saling membantu dan saling mengisi satu sama lain. Tidak ada yang menganggap dirinya lebih berharga dan lebih tinggi. Baik Tuhan Yesus maupun rasul-rasul, sering menekankan kesatuan di dalam persekutuan. Tuhan Yesus dalam doaNya supaya "murid dan pengikutNya, menjadi satu“ (ut omnes unum sint). Rasul Paulus menggarisbawahi dalam surat kirimannya kepada jemaat di Roma, Korintus, dan Efesus, “meskipun anggota-anggota itu berlainan dan mempunyai talenta-talenta yang sangat berlainan, namun mereka tetap satu badan, satu organ yang hidup“.
Kedua, seperasaan (sympathein=sama merasai sakit). Dalam satu organ yang hidup, bila tangan terluka, sesungguhnya tidak hanya tangan saja yang menderita, melainkan seluruh tubuh menderita kesakitan. Begitulah sifat organ yang hidup, di mana semua anggota ikut menderita apabila salah satu anggota mengalami kesakitan dan sama-sama bersukacita apabila salah satu anggota bersukaria (1Kor.12:26).
Ketiga, mengasihi. Pusat atau azas hidup orang Kristen adalah kasih karena hakikat atau kesempurnaan Allah adalah mengasihi dunia. Kasih adalah sumber dari segala kebajikan. Kasih itu panjang sabar, kasih menjauhkan dengki, kasih tidak memegahkan diri dan tidak sombong dan sebagainya. Artinya kita diharapkan memiliki persekutuan dan persaudaraan yang rukun (bd.Mzm.133). Jika pada kita tidak ada kasih sudah barang tentu persaudaraan itu tidak dapat dinikmati.
Keempat, penyayang. Sifat penyayang ini harus didasari atas kepenyayangan Tuhan kepada kita yang rela berkorban menjadi manusia untuk menyelamatkan manusia. Kita juga harus mampu menyayangi suami-istri dan anak-anak, serta orang lain tanpa memandang suku, ras dan budaya.
Kelima, rendah hati. Dengan rendah hati kita mampu mengalahkan kesombongan dan kecongkakan kita. Karena sifat kesobongan dan kecongkakan inilah yang sering merusak persekutuan dan persaudaraan di antara kita. Sifat rendah hati akan menjadikan persekutuan kita akan semakin indah dan bahagia.
1Petrus 3 : 8 - 12
"Persekutuan dan persaudaraan yang rukun adalah dambaan setiap orang di dunia ini. Bagaimanakah agar impian ini menjadi kenyataan? Persektuan dan persaudaraan ini terwujud jika kita memiliki nilai-nilai hidup seperti: Pertama, Seia sekata. Harus kita akui bahwa kita memiliki banyak latar belakang yang berbeda-beda menurut suku, bahasa dan adat istiadat, pendidikan, pekerjaan, cara berpikir dan sebagainya, namun kita harus benar-benar sehati, seia-sekata, supaya dapat hidup sebagai persekutuan yang mau mengerti satu dengan yang lain. Situasi yang demikian menggambarkan bahwa jemaat merupakan organ atau badan yang hidup, di mana terdapat berbagai-bagai anggota atau suatu badan yang sangat berlainan bentuknya dan sangat beraneka ragam fungsinya. Di dalam keberanekaragaman itu anggota-anggota dapat saling membantu dan saling mengisi satu sama lain. Tidak ada yang menganggap dirinya lebih berharga dan lebih tinggi. Baik Tuhan Yesus maupun rasul-rasul, sering menekankan kesatuan di dalam persekutuan. Tuhan Yesus dalam doaNya supaya "murid dan pengikutNya, menjadi satu“ (ut omnes unum sint). Rasul Paulus menggarisbawahi dalam surat kirimannya kepada jemaat di Roma, Korintus, dan Efesus, “meskipun anggota-anggota itu berlainan dan mempunyai talenta-talenta yang sangat berlainan, namun mereka tetap satu badan, satu organ yang hidup“.
Kedua, seperasaan (sympathein=sama merasai sakit). Dalam satu organ yang hidup, bila tangan terluka, sesungguhnya tidak hanya tangan saja yang menderita, melainkan seluruh tubuh menderita kesakitan. Begitulah sifat organ yang hidup, di mana semua anggota ikut menderita apabila salah satu anggota mengalami kesakitan dan sama-sama bersukacita apabila salah satu anggota bersukaria (1Kor.12:26).
Ketiga, mengasihi. Pusat atau azas hidup orang Kristen adalah kasih karena hakikat atau kesempurnaan Allah adalah mengasihi dunia. Kasih adalah sumber dari segala kebajikan. Kasih itu panjang sabar, kasih menjauhkan dengki, kasih tidak memegahkan diri dan tidak sombong dan sebagainya. Artinya kita diharapkan memiliki persekutuan dan persaudaraan yang rukun (bd.Mzm.133). Jika pada kita tidak ada kasih sudah barang tentu persaudaraan itu tidak dapat dinikmati.
Keempat, penyayang. Sifat penyayang ini harus didasari atas kepenyayangan Tuhan kepada kita yang rela berkorban menjadi manusia untuk menyelamatkan manusia. Kita juga harus mampu menyayangi suami-istri dan anak-anak, serta orang lain tanpa memandang suku, ras dan budaya.
Kelima, rendah hati. Dengan rendah hati kita mampu mengalahkan kesombongan dan kecongkakan kita. Karena sifat kesobongan dan kecongkakan inilah yang sering merusak persekutuan dan persaudaraan di antara kita. Sifat rendah hati akan menjadikan persekutuan kita akan semakin indah dan bahagia.
Rabu, 29 April 2009
RENUNGAN: Matius 16:16
WHO IS JESUS?
Hingga kini ketiga Injil Sinoptik memperkenalkan Yesus terutama lewat ajarannya, lewat penyembuhan yang dilakukannya, termasuk tindakan mengusir roh jahat, dan lewat peristiwa perbanyakan roti. Orang mulai bertanya-tanya, siapa sebenarnya dia itu dan bagaimana ia dapat mengerjakan semua itu. Semakin disadari bahwa dia lain dari orang-orang luar biasa lainnya. Siapakah dia sesungguhnya? Dalam Mat 16:13-19 yang dibacakan pada hari raya Petrus. Petrus menyuarakan kesadaran para murid bahwa Yesus itu Mesias, anak Allah yang hidup. Penegasan ini sebetulnya satu sisi saja dalam pewartaan mengenai siapa sebenarnya Yesus. Sisi yang lain menyangkut perjalanan ke arah penderitaan, wafat dan kebangkitan Yesus yang diungkapkan ketiga Injil Sinoptik langsung sesudah penegasan akan kemesiasan Yesus.
POKOK PEWARTAAN
Memang ada pelbagai perkiraan di masyarakat mengenai siapa Yesus itu. Dan di Kaisaria Filipi para murid diajak Yesus berbicara mengenai pelbagai pendapat mengenai dirinya. Sudah matang saatnya para murid dituntun mengenali siapa dia itu sebenarnya. Mereka telah mendengar ajarannya, telah melihat perbuatannya, dan menyaksikan kekuatannya. Kini tibalah waktunya memahami siapa dia itu.
Tentu saja mulai disadari bahwa Yesus yang mempesona dan diikuti banyak orang ini ialah dia yang resmi ditugasi Allah dan kedatangannya yang dinanti-nantikan banyak orang. Dialah Mesias yang diharapkan membangun kembali umat Allah seperti dahulu kala. Dialah yang bakal memimpin orang banyak makin mendekat kepada Allah sendiri. Di dalam kesadaran orang banyak, Mesias ini ialah keturunan Daud yang akan mengawali zaman adil dan damai. Dalam keagamaan Yahudi, gagasan Mesias seperti ini disatukan dengan pengertian "Anak Manusia", seperti terungkap dalam penglihatan Daniel (Dan 7:13). Gereja Awal juga percaya bahwa Yesus ialah tokoh ini.
Keyakinan di atas mau tak mau berhadapan dengan kenyataan bahwa Yesus akhirnya mengalami penderitaan, ditolak oleh para pemimpin masyarakat Yahudi yang sah ("tetua, imam kepala dan ahli Taurat" ialah tiga macam anggota di dalam Sanhedrin, badan resmi masyarakat Yahudi) sampai dibunuh. Namun demikian, nanti dengan pelbagai cara para murid Yesus juga mengalami kebangkitan Yesus pada hari ketiga. Dan pengalaman inilah yang membuat mereka percaya bahwa Yesus itulah sungguh Mesias.
Rumusan penegasan Petrus yang disampaikan secara sederhana tapi tegas dalam Mrk 8:29 "Engkaulah Mesias" mengungkapkan pokok kepercayaan yang tumbuh dalam Gereja Awal. Bukan tanpa arti bila dalam ketiga Injil Sinoptik pemberitahuan pertama mengenai penderitaan, wafat dan kebangkitan didahului dengan penegasan Petrus mengenai siapa sebenarnya Yesus itu. Penegasan ini kemudian dipertajam rumusannya oleh Matius dan Lukas dengan cara masing-masing. Menurut Mat 16:16, Petrus berkata, "Engkaulah Mesias, anak Allah yang hidup!" (Mat 16:16). Matius menambahkan "anak Allah yang hidup" untuk menggarisbawahi bahwa Allah-lah yang memilih Yesus sebagai pewarta kehadiranNya di dunia. Matius juga bermaksud menjelaskan bahwa Mesias yang dinanti-nantikan ini bukan pemimpin politik atau penguasa yang bakal membangun kembali kejayaan Israel dengan kekuatan militer. Maklum di kalangan Yahudi harapan akan Mesias politik ini amat kuat. Persoalan ini tidak amat terasa dalam lingkungan Lukas yang bukan berasal dari kalangan Yahudi. Mereka lebih berminat memahami apakah kuasa dan kekuatan Yesus itu memang berasal dari Allah sendiri. Karena itu ditandaskan dalam Luk 9:20 bahwa Mesias tadi "dari Allah". Maksudnya, Yesus datang dari Dia dan menunjukkan bahwa Allah sendiri bertindak dalam diri Yesus untuk membebaskan manusia dari kuasa-kuasa jahat, dari penyakit, dari kekersangan batin. Inilah yang membuat Yesus betul-betul menjadi Mesias bagi semua orang.
SIAPAKAH "ANAK MANUSIA" ITU?
Ketika Yesus menanyai murid-muridnya apa kata orang mengenai siapa "Anak Manusia" ada jawaban yang bermacam-macam. Ungkapan "Anak Manusia" dipakai merujuk pada diri Yesus. Dalam kesadaran orang Yahudi pada zaman Yesus, ada kaitan antara tokoh yang dinanti-nantikan datangnya sebagai Mesias dengan penglihatan dalam Dan 7:13 yang menggambarkan tokoh yang mirip manusia itu terlihat datang mengarah kepada Yang Mahakuasa dan mendapat kuasa di bumi dan di langit.
Dengan memakai ungkapan itu Yesus hendak memperkenalkan dirinya yang sesungguhnya. Ia tidak bertanya mengenai apa kata orang mengenai ajarannya, mengenai tindakannya, mengenai kelakuannya. Ia ingin mendengar bagaimana orang menerapkan siapa tokoh yang terarah kepada Yang Mahakuasa itu, siapa "Anak Manusia" tadi. Para murid diajak menengarai pelbagai pandangan yang ada mengenai dirinya: ia seperti Yohanes Pembaptis, tokoh spiritual yang masih segar dalam ingatan orang, juga bisa dibandingkan dengan Elia, seorang nabi besar yang diceritakan telah naik ke langit dan tentunya akan kembali diutus Allah mendatangi umat pada saat-saat mereka membutuhkan dampingan dan arahan, atau seperti nabi Yeremia yang dikenal tak jemu-jemunya memperingatkan umat dan para pemimpin agar tetap setia pada Allah di tengah penderitaan dan mengajarkan kerohanian yang sejati dan bukan praktek luar-luar saja.
BAGI KALIAN, SIAPA AKU INI?
Pendapat-pendapat itu tidak bisa dikatakan meleset. Walaupun demikian, ada pemahaman yang dapat lebih menolong. Yesus menanyai Petrus dengan ungkapan yang berbeda, "Tetapi apa katamu, siapakah aku ini?" Tidak lagi ditanyakan apa kata orang, melainkan apa katamu. Juga tidak lagi dipakai sebutan "Anak Manusia", melainkan "aku". Petrus kini tampil sebagai wakil para murid yang kemudian mempersaksikan Yesus Kristus dan meneruskan wartanya. Pertanyaan Yesus kepadanya bukan pertanyaan kepada individu Petrus saja. Setelah menanyai para murid, pada ay. 15 disebutkan Yesus bertanya kepada "mereka" - yakni para murid tadi. Terjemahan LAI "apa katamu" tidak amat jelas. Memang dalam bahasa Indonesia "-mu" bisa berarti tunggal bisa pula jamak. Teks asli dalam bahasa Yunani memakai kata "kalian" yang hanya bisa berarti jamak. Maka pertanyaan tadi jelas ditujukan kepada para murid, begitu juga menurut Injil Markus dan Lukas. Dalam situasi itulah Petrus tampil mewakili para murid. Oleh karena itu, tak usah ditafsirkan bahwa di sini ada imbauan untuk menumbuhkan jawaban iman yang digarap secara pribadi, bukan rumus-rumus yang siap pakai saja. Memang iman yang dewasa dan kuat juga semakin pribadi sifatnya. Tetapi tanya jawab dengan Petrus ini bukan ke sana arahnya.
Jawaban Petrus juga mencerminkan pemahaman para murid. Memang kemudian Matius secara khusus menyoroti Petrus. Setelah penegasan tadi, pada ay. 17, Matius menambahkan episode Yesus menyebut Petrus berbahagia karena pengetahuan tadi didapat bukan dari manusia melainkan dari Bapa di surga. Kemudian dalam dua ayat berikutnya Simon disebut Yesus sebagai batu karang dasar Gereja dibangun yang tak bakal terkalahkan oleh maut, ia juga disebut pemegang kunci surga (Mat 16:18-19). Tambahan ini tidak ada dalam Injil lain.
BATU KARANG DAN KUNCI
Batu karang jadi tempat berlindung dari hempasan ombak dan tempat berpegang agar tak hanyut oleh arus-arus ganas. Dengan menyebut Petrus sebagai batu karang, Yunaninya "petra", ditandaskan bahwa ia bertugas melindungi umat yang dibangun Yesus dari marabahaya yang selalu menghunjam. Dikatakan juga bahwa alam maut (Yunaninya "hades", Ibraninya "syeol") takkan bisa menguasainya, maksudnya takkan dapat mematikan kumpulan orang yang percaya tadi.
Orang dulu membayangkan jalan ke alam maut sebagai lubang yang menganga lebar. Seperti liang lahat yang besar. Semua orang mati pasti akan ke sana dan tak ada jalan kembali. Satu-satunya cara untuk mencegah agar orang tidak tersedot ke dalamnya ialah dengan menyumbatnya dengan batu besar yang tidak bakal tertelan dan tak tergoyah. Petrus digambarkan sebagai tempat Yesus mendirikan umat yang takkan terkuasai alam maut.
Gambaran di atas dapat membantu mengerti mengapa kepada Petrus diberikan kunci Kerajaan Surga. Bukannya ia dipilih menjadi orang yang menentukan siapa boleh masuk siapa tidak, melainkan sebagai yang bertugas menahan agar kekuatan-kekuatan maut tidak memasuki Kerajaan Surga! Ia mengunci surga dari pengaruh yang jahat. Apa yang diikatnya di bumi, yang tetap dikunci di bumi, yakni jalan ke alam maut akan tetap terikat dan tidak akan bisa merambat ke surga. Tak ada jalan ke surga bagi daya-daya maut. Apa yang dilepaskannya di bumi, yakni manusia yang bila dibiarkan sendirian akan menjadi mangsa lubang syeol menganga tadi. Tidak amat membantu bila kata-kata itu ditafsirkan sebagai penugasan Petrus menjadi "juru kunci gerbang surga" menentukan siapa orang diperkenankan masuk dan dibiarkan di luar tidak peka konteks. Malah tafsiran itu akan membuat warta Injil Matius kurang terasa.
Bisakah gagasan kunci Kerajaan Surga dipakai sebagai dasar bagi wibawa takhta apostolik Paus penerus Petrus? Tentu saja, asal dilandasi dengan pengertian di atas. Bukan dalam artian juru kunci gerbang ke arah keselamatan, membuka atau menutup akses ke surga, melainkan sebagai penangkal kekuatan-kekuatan alam maut. Pernyataan itu memuat penugasan melindungi umat, bukan pemberian kuasa menghakimi.
Hingga kini ketiga Injil Sinoptik memperkenalkan Yesus terutama lewat ajarannya, lewat penyembuhan yang dilakukannya, termasuk tindakan mengusir roh jahat, dan lewat peristiwa perbanyakan roti. Orang mulai bertanya-tanya, siapa sebenarnya dia itu dan bagaimana ia dapat mengerjakan semua itu. Semakin disadari bahwa dia lain dari orang-orang luar biasa lainnya. Siapakah dia sesungguhnya? Dalam Mat 16:13-19 yang dibacakan pada hari raya Petrus. Petrus menyuarakan kesadaran para murid bahwa Yesus itu Mesias, anak Allah yang hidup. Penegasan ini sebetulnya satu sisi saja dalam pewartaan mengenai siapa sebenarnya Yesus. Sisi yang lain menyangkut perjalanan ke arah penderitaan, wafat dan kebangkitan Yesus yang diungkapkan ketiga Injil Sinoptik langsung sesudah penegasan akan kemesiasan Yesus.
POKOK PEWARTAAN
Memang ada pelbagai perkiraan di masyarakat mengenai siapa Yesus itu. Dan di Kaisaria Filipi para murid diajak Yesus berbicara mengenai pelbagai pendapat mengenai dirinya. Sudah matang saatnya para murid dituntun mengenali siapa dia itu sebenarnya. Mereka telah mendengar ajarannya, telah melihat perbuatannya, dan menyaksikan kekuatannya. Kini tibalah waktunya memahami siapa dia itu.
Tentu saja mulai disadari bahwa Yesus yang mempesona dan diikuti banyak orang ini ialah dia yang resmi ditugasi Allah dan kedatangannya yang dinanti-nantikan banyak orang. Dialah Mesias yang diharapkan membangun kembali umat Allah seperti dahulu kala. Dialah yang bakal memimpin orang banyak makin mendekat kepada Allah sendiri. Di dalam kesadaran orang banyak, Mesias ini ialah keturunan Daud yang akan mengawali zaman adil dan damai. Dalam keagamaan Yahudi, gagasan Mesias seperti ini disatukan dengan pengertian "Anak Manusia", seperti terungkap dalam penglihatan Daniel (Dan 7:13). Gereja Awal juga percaya bahwa Yesus ialah tokoh ini.
Keyakinan di atas mau tak mau berhadapan dengan kenyataan bahwa Yesus akhirnya mengalami penderitaan, ditolak oleh para pemimpin masyarakat Yahudi yang sah ("tetua, imam kepala dan ahli Taurat" ialah tiga macam anggota di dalam Sanhedrin, badan resmi masyarakat Yahudi) sampai dibunuh. Namun demikian, nanti dengan pelbagai cara para murid Yesus juga mengalami kebangkitan Yesus pada hari ketiga. Dan pengalaman inilah yang membuat mereka percaya bahwa Yesus itulah sungguh Mesias.
Rumusan penegasan Petrus yang disampaikan secara sederhana tapi tegas dalam Mrk 8:29 "Engkaulah Mesias" mengungkapkan pokok kepercayaan yang tumbuh dalam Gereja Awal. Bukan tanpa arti bila dalam ketiga Injil Sinoptik pemberitahuan pertama mengenai penderitaan, wafat dan kebangkitan didahului dengan penegasan Petrus mengenai siapa sebenarnya Yesus itu. Penegasan ini kemudian dipertajam rumusannya oleh Matius dan Lukas dengan cara masing-masing. Menurut Mat 16:16, Petrus berkata, "Engkaulah Mesias, anak Allah yang hidup!" (Mat 16:16). Matius menambahkan "anak Allah yang hidup" untuk menggarisbawahi bahwa Allah-lah yang memilih Yesus sebagai pewarta kehadiranNya di dunia. Matius juga bermaksud menjelaskan bahwa Mesias yang dinanti-nantikan ini bukan pemimpin politik atau penguasa yang bakal membangun kembali kejayaan Israel dengan kekuatan militer. Maklum di kalangan Yahudi harapan akan Mesias politik ini amat kuat. Persoalan ini tidak amat terasa dalam lingkungan Lukas yang bukan berasal dari kalangan Yahudi. Mereka lebih berminat memahami apakah kuasa dan kekuatan Yesus itu memang berasal dari Allah sendiri. Karena itu ditandaskan dalam Luk 9:20 bahwa Mesias tadi "dari Allah". Maksudnya, Yesus datang dari Dia dan menunjukkan bahwa Allah sendiri bertindak dalam diri Yesus untuk membebaskan manusia dari kuasa-kuasa jahat, dari penyakit, dari kekersangan batin. Inilah yang membuat Yesus betul-betul menjadi Mesias bagi semua orang.
SIAPAKAH "ANAK MANUSIA" ITU?
Ketika Yesus menanyai murid-muridnya apa kata orang mengenai siapa "Anak Manusia" ada jawaban yang bermacam-macam. Ungkapan "Anak Manusia" dipakai merujuk pada diri Yesus. Dalam kesadaran orang Yahudi pada zaman Yesus, ada kaitan antara tokoh yang dinanti-nantikan datangnya sebagai Mesias dengan penglihatan dalam Dan 7:13 yang menggambarkan tokoh yang mirip manusia itu terlihat datang mengarah kepada Yang Mahakuasa dan mendapat kuasa di bumi dan di langit.
Dengan memakai ungkapan itu Yesus hendak memperkenalkan dirinya yang sesungguhnya. Ia tidak bertanya mengenai apa kata orang mengenai ajarannya, mengenai tindakannya, mengenai kelakuannya. Ia ingin mendengar bagaimana orang menerapkan siapa tokoh yang terarah kepada Yang Mahakuasa itu, siapa "Anak Manusia" tadi. Para murid diajak menengarai pelbagai pandangan yang ada mengenai dirinya: ia seperti Yohanes Pembaptis, tokoh spiritual yang masih segar dalam ingatan orang, juga bisa dibandingkan dengan Elia, seorang nabi besar yang diceritakan telah naik ke langit dan tentunya akan kembali diutus Allah mendatangi umat pada saat-saat mereka membutuhkan dampingan dan arahan, atau seperti nabi Yeremia yang dikenal tak jemu-jemunya memperingatkan umat dan para pemimpin agar tetap setia pada Allah di tengah penderitaan dan mengajarkan kerohanian yang sejati dan bukan praktek luar-luar saja.
BAGI KALIAN, SIAPA AKU INI?
Pendapat-pendapat itu tidak bisa dikatakan meleset. Walaupun demikian, ada pemahaman yang dapat lebih menolong. Yesus menanyai Petrus dengan ungkapan yang berbeda, "Tetapi apa katamu, siapakah aku ini?" Tidak lagi ditanyakan apa kata orang, melainkan apa katamu. Juga tidak lagi dipakai sebutan "Anak Manusia", melainkan "aku". Petrus kini tampil sebagai wakil para murid yang kemudian mempersaksikan Yesus Kristus dan meneruskan wartanya. Pertanyaan Yesus kepadanya bukan pertanyaan kepada individu Petrus saja. Setelah menanyai para murid, pada ay. 15 disebutkan Yesus bertanya kepada "mereka" - yakni para murid tadi. Terjemahan LAI "apa katamu" tidak amat jelas. Memang dalam bahasa Indonesia "-mu" bisa berarti tunggal bisa pula jamak. Teks asli dalam bahasa Yunani memakai kata "kalian" yang hanya bisa berarti jamak. Maka pertanyaan tadi jelas ditujukan kepada para murid, begitu juga menurut Injil Markus dan Lukas. Dalam situasi itulah Petrus tampil mewakili para murid. Oleh karena itu, tak usah ditafsirkan bahwa di sini ada imbauan untuk menumbuhkan jawaban iman yang digarap secara pribadi, bukan rumus-rumus yang siap pakai saja. Memang iman yang dewasa dan kuat juga semakin pribadi sifatnya. Tetapi tanya jawab dengan Petrus ini bukan ke sana arahnya.
Jawaban Petrus juga mencerminkan pemahaman para murid. Memang kemudian Matius secara khusus menyoroti Petrus. Setelah penegasan tadi, pada ay. 17, Matius menambahkan episode Yesus menyebut Petrus berbahagia karena pengetahuan tadi didapat bukan dari manusia melainkan dari Bapa di surga. Kemudian dalam dua ayat berikutnya Simon disebut Yesus sebagai batu karang dasar Gereja dibangun yang tak bakal terkalahkan oleh maut, ia juga disebut pemegang kunci surga (Mat 16:18-19). Tambahan ini tidak ada dalam Injil lain.
BATU KARANG DAN KUNCI
Batu karang jadi tempat berlindung dari hempasan ombak dan tempat berpegang agar tak hanyut oleh arus-arus ganas. Dengan menyebut Petrus sebagai batu karang, Yunaninya "petra", ditandaskan bahwa ia bertugas melindungi umat yang dibangun Yesus dari marabahaya yang selalu menghunjam. Dikatakan juga bahwa alam maut (Yunaninya "hades", Ibraninya "syeol") takkan bisa menguasainya, maksudnya takkan dapat mematikan kumpulan orang yang percaya tadi.
Orang dulu membayangkan jalan ke alam maut sebagai lubang yang menganga lebar. Seperti liang lahat yang besar. Semua orang mati pasti akan ke sana dan tak ada jalan kembali. Satu-satunya cara untuk mencegah agar orang tidak tersedot ke dalamnya ialah dengan menyumbatnya dengan batu besar yang tidak bakal tertelan dan tak tergoyah. Petrus digambarkan sebagai tempat Yesus mendirikan umat yang takkan terkuasai alam maut.
Gambaran di atas dapat membantu mengerti mengapa kepada Petrus diberikan kunci Kerajaan Surga. Bukannya ia dipilih menjadi orang yang menentukan siapa boleh masuk siapa tidak, melainkan sebagai yang bertugas menahan agar kekuatan-kekuatan maut tidak memasuki Kerajaan Surga! Ia mengunci surga dari pengaruh yang jahat. Apa yang diikatnya di bumi, yang tetap dikunci di bumi, yakni jalan ke alam maut akan tetap terikat dan tidak akan bisa merambat ke surga. Tak ada jalan ke surga bagi daya-daya maut. Apa yang dilepaskannya di bumi, yakni manusia yang bila dibiarkan sendirian akan menjadi mangsa lubang syeol menganga tadi. Tidak amat membantu bila kata-kata itu ditafsirkan sebagai penugasan Petrus menjadi "juru kunci gerbang surga" menentukan siapa orang diperkenankan masuk dan dibiarkan di luar tidak peka konteks. Malah tafsiran itu akan membuat warta Injil Matius kurang terasa.
Bisakah gagasan kunci Kerajaan Surga dipakai sebagai dasar bagi wibawa takhta apostolik Paus penerus Petrus? Tentu saja, asal dilandasi dengan pengertian di atas. Bukan dalam artian juru kunci gerbang ke arah keselamatan, membuka atau menutup akses ke surga, melainkan sebagai penangkal kekuatan-kekuatan alam maut. Pernyataan itu memuat penugasan melindungi umat, bukan pemberian kuasa menghakimi.
Bacaan Alkitab Minggu, 3 Mei 2009: 1Tesalonika 2 : 13 - 20
DI BALIK PERJUANGAN BERAT: “KAMULAH SUKACITA KAMI”
Betapa melegakan, betapa membahagiakan! Demikian ungkapan seorang ibu yang baru saja menyaksikan wisuda putranya yang bungsu. Peristiwa yang kelihatan biasa-biasa itu baginya luar biasa! Betapa tidak, dalam usia relatif muda, ia ditinggal suami dan harus berjuang mengasuh enam orang anak. Dengan gaji minim seorang guru ditambah dengan berbagai kerja “serabutan”, akhirnya perjuangan panjang itu berbuah! Semua anaknya yang menyadari betapa beratnya perjuangan sang ibu, berjuang sepenuh hati untuk menyelesaikan studi sebaik mungkin dan secepat mungkin. Bahkan, ada yang mulai bekerja sementara studi. Ketika ditanya apakah ibu yang mengagumkan ini pernah merasa nyaris putus asa (mandele), ia mengaku dengan jujur: Ya, tentu saja. Tetapi, dengan pertolongan Tuhan, tegasnya, itu tidak sampai menghentikan perjuangannya demi anak-anaknya. Sudah sepantasnyalah, ibu yang telah berjuang keras itu bersukacita dan bangga melihat hasil jerih lelahnya!
Serupa tapi tak sama, sungguh berat pergumulan yang dialami Paulus dalam misinya mewartakan Kabar Baik “sampai ke ujung bumi” (Kis 1.8). Beberapa kali ia menyebutkan bagaimana ia ditindas, habis akal, dianiaya, dihempas, dihajar, didera, dipenjara (2Kor 4.8-9; 6.4-10), pendeknya “nyaris mati”! Situasi ini juga yang dialaminya ketika ia tinggal di Tesalonika. Sebelumnya, ia dipenjara di Filipi karena hasutan beberapa orang yang meraup keuntungan besar dari hasil tenungan (Kis 16:13-18). Paulus barangkali tidak menyadari “pil pahit” yang harus ditelannya dengan mengusir roh tenung dari seorang perempuan!
Namun, ia bukan Paulus yang kita kenal jika menyerah begitu saja kepada kesulitan! Memang luar biasa, tampaknya ia tidak mengenal kata “jera”, persis seperti yang ditulisnya: “Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa” (2Kor. 4:8). Jadi, sama sekali tidak mengherankan jika setelah dilepaskan dari penjara, ia langsung meneruskan kegiatan misinya, “seperti biasa”. Ya, seperti biasa seolah peristiwa yang masih segar itu tidak meninggalkan trauma apa-apa.
Di Tesalonika, seperti biasa, ia mulai dari sinagoge, tempatnya beribadah secara rutin sebagai orang Yahudi (Kis. 17:1-2). Ia bersaksi tentang Mesias yang menderita sampai mati, tetapi bangkit lagi membawa kehidupan! Beberapa orang sebangsanya menjadi percaya. Namun, yang paling banyak menyambut pewartaannya justru sejumlah besar orang Yunani dan perempuan-perempuan terkemuka. Orang-orang inilah yang menyambut pewartaan Paulus bukan sebagai perkataan manusia tetapi sungguh-sungguh sebagai firman Allah (1Tes. 2:13). Paulus berhasil meletakkan fondasi bagi berdirinya gereja Kristus di kota itu. Lagi-lagi, bukan tanpa perlawanan! Paulus dan Silas kembali menjadi korban hasutan. Oleh orang-orang sebangsanya yang iri hati, mereka difitnah sebagai sebagai pengacau yang tunduk kepada raja selain Kaisar di Roma (Kis. 17:6). Situasi yang kembali memanas memaksa Paulus dan Silas meninggalkan Tesalonika.
Perlawanan orang Yahudi terhadap pewartaan Injil oleh Paulus, seperti yang diungkapkan dalam surat pertama kepada jemaat Tesalonika, harus kita renungkan dengan hati-hati. Cukup ganjil juga, Paulus berbicara seolah-olah sebagai “orang luar”, seolah-olah ia tidak termasuk orang Yahudi. Bahasanya pun bukan main tajam. “Orang-orang Yahudi itu”, tegas Paulus, “telah membunuh Tuhan Yesus dan para nabi dan telah menganiaya kami” (1Tes. 2:15). Mereka betul-betul digambarkan sebagai orang yang tak peduli pada apa yang dikehendaki Tuhan. Bahkan, tidak tanggung-tanggung, mereka dicap sebagai orang yang memusuhi semua manusia! Pernyataan Paulus terkesan begitu keras: “Sekarang murka telah menimpa mereka sepenuh-penuhnya!”
Kita perlu berhati-hati! Pernyataan seperti ini selama ribuan tahun telah menjadi karikatur gereja terhadap umat Yahudi. Dalam kitab-kitab Injil, potret negatif ini turut dilestarikan. Begitu pula, tulisan Bapa-bapa Gereja turut mengabadikannya. Yohanes Krisostomus, misalnya, mengecam orang Yahudi sebagai penipu, sinagogenya penuh setan dan lebih najis dari tempat pelacuran. Bahkan, Bapa Reformator kita Martin Luther tidak terlepas dari sikap anti-Yahudi! Dalam suatu polemik terhadap orang Yahudi, Luther mengecam mereka sebagai pembantai manusia. Ia bahkan menganjurkan agar sinagoge mereka dibumihanguskan, kitab-kitab suci mereka disita dan mereka diusir saja ke Palestina! Sungguh tragis, gambaran anti-Yahudi senegatif itu kelak berkembang menjadi kebijakan anti-Semitik di masa Hitler yang pada masa kecilnya pernah aktif dalam paduan suara di gereja. Seperti yang kita ketahui dari sejarah, lebih dari enam juta orang Yahudi dibantai oleh rezim Nazi di bawah pemerintahan Hitler.
Ya, kita harus membaca Alkitab dengan hati-hati. Paulus dalam surat pertama Tesalonika tidak menganjurkan agar orang Kristen membenci, apalagi membalas perbuatan saudara sebangsa Yesus! Benar, Paulus mengalami penghambatan dari saudara-saudara sebangsanya. Namun, seperti yang diungkapkannya kelak dalam surat Roma, “keinginan hatiku dan doaku kepada Tuhan ialah supaya mereka diselamatkan” (Rm. 10:1)! Dapat dikatakan, keinginan dan doa Paulus sama bagi saudara sebangsanya dan orang-orang dari bangsa bangsa lain.
Fokus perhatian Paulus dalam teks yang menjadi bahan perenungan kita adalah pada hubungannya dengan orang Kristen Tesalonika. Sejarah misi sudah menunjukkan betapa sulitnya masa-masa permulaan itu umumnya bagi gereja-gereja muda. Wajar saja jika terdapat resistensi terhadap apa yang dianggap “asing” dan bisa mengancam tatanan yang sudah mapan. Itu berlaku baik bagi masyarakat Yahudi maupun yang bukan Yahudi. Paulus mengalami penolakan dari kalangan sebangsanya. Orang Kristen Tesalonika yang kebanyakan berasal dari kalangan bukan Yahudi juga mengalami hal yang serupa dari teman-teman sebangsanya (1Tes. 2:14).
Oleh karena situasi yang penuh tantangan itu, Paulus yang terpaksa meninggalkan Tesalonika sewajarnya merasa prihatin! Ia ingin tahu apa yang bakal terjadi dengan jemaat yang masih muda itu. Ia kemudian mengutus Timotius ke Tesalonika untuk mencari tahu tentang keadaan mereka dan sekaligus meneguhkan iman mereka (1Tes. 3:1-2). Demikianlah semestinya hati seorang gembala jemaat yang bagaikan bapa terhadap anak-anaknya (2:11). Kabar seperti apa yang dibawa Timotius ketika ia menemui Paulus di Korintus? Ternyata, kabar sukacita. Sungguh patut disyukuri, jemaat yang didirikannya dengan perjuangan berat tetap hidup dalam firman Tuhan! Tidak sia-sia kehadiran Paulus di antara mereka (2:1)! Kabar sukacita itulah yang mendorongnya untuk menyurati mereka. Tentu tak terbayangkan oleh Paulus, surat pertama yang ditulisnya sekitar tahun 50 akan dihimpun kelak sebagai bagian Perjanjian Baru dan dibaca sebagai firman Tuhan bagi generasi Kristen selanjutnya!
Sejarah misi di tanah Batak merupakan salah satu contoh tentang tantangan yang harus dihadapi gereja yang baru terbentuk. Tidak sedikit resistensi dari masyarakat Batak terhadap kehadiran orang-orang asing yang dijuluki sibontar mata, pembawa agama asing ke tanah Batak. Sejarah mencatat, penolakan itu bahkan telah menelan korban jiwa dari pihak para pewarta Injil, seperti yang terjadi pada Munson dan Lyman di Lobu Pining. Orang-orang Batak yang kemudian menjadi Kristen juga menghadapi hambatan dari saudara-saudara sebangsanya. Apa yang terjadi seandainya para perintis pewartaan Injil itu dipaksa kembali ke negeri asal mereka hanya beberapa bulan setelah mereka “berhasil” mendirikan gereja di tanah Batak? Apakah gereja yang baru seumur jagung itu segera lenyap? Mungkin saja. Tetapi, mungkin juga tidak! Jemaat di Tesalonika adalah contoh nyata. Tanpa dampingan Paulus, tokoh perintisnya, mereka tetap berdiri di atas dasar firman Tuhan, sungguh pun mereka menghadapi tantangan berat. Benih yang ditabur tetap tumbuh. Bukan penabur yang menentukan, tetapi Allah sendirilah yang memberi pertumbuhan (1Kor. 3:6).
Kita dapat belajar dari hubungan yang “sehat” antara tokoh Paulus dengan jemaat yang dirintisnya! Walaupun peran perintis seperti Paulus tentu saja penting dan patut dikenang, iman jemaat tidak tergantung padanya. Malah, Paulus dalam bagian lain surat pertama Tesalonika menyatakan betapa hatinya terhibur oleh anak-anak rohaninya yang ternyata tetap berdiri teguh tanpa dia (1Tes. 2:7). Tidak begitu banyak contoh-contoh seperti ini dalam sejarah misi. Kebanyakan, perintis yang notabene adalah orang asing tidak langsung memberdayakan orang Kristen setempat untuk mandiri. Bahkan, menurut almarhum Uskup Stephen Neill, kebanyakan memiliki mentalitas penjajah (colonial complex). Dalam penilaian mereka, orang Kristen setempat belum mampu berdikari. Iman mereka masih belum matang. Tunggu matang dulu, dan tidak jarang sampai “kematangan”, barulah diserahkan wewenang untuk mengelola sumber-sumber daya setempat.
Sampai sekarang pun, mentalitas seperti itu masih ada. Hampir semua tergantung pada pelayan gereja yang ditahbiskan. Pendeta atau mereka yang dipanggil “hamba Tuhan” memegang peran utama sampai ke urusan yang kecil-kecil. Jemaat merasa kurang “afdal” kalau bukan pelayan tahbisan yang berdoa. Dalam bentuk yang agak ekstrem, yang terjadi adalah kultus individu. Jika ketergantungan seperti ini yang membuat sang hamba Tuhan merasa sukacita, itu namanya salah kaprah! Begitu pula, tak perlu seorang hamba Tuhan merasa bersukacita, apalagi berbangga hati, hanya karena telah berhasil mengerahkan sumber-sumber daya dalam jemaat untuk membangun berbagai fasilitas fisik yang kasatmata. Kerja keras seperti itu bukan tak berguna dan dari sudut pandang manusia boleh-boleh saja disebut “prestasi”. Akan tetapi, jika kita belajar dari apa yang ditulis Paulus, harus dikatakan, “prestasi” demikian tidak dapat dijadikan dasar untuk bersukacita. Proyek-proyek “mercu suar” tidak akan diperhitungkan pada kedatangan Tuhan!
Yang seharusnya membuat seorang pelayan Tuhan bersukacita adalah ketika firman Tuhan yang ditabur sungguh-sungguh bertumbuh dan berbuah dalam kehidupan umat. Di rumah, dalam hidup bertetangga. Di tempat-tempat kerja. Dalam sepak terjang di masyarakat pada umumnya. Ya, dalam hidup sehari-hari di luar gereja! Kemuliaan seorang hamba Tuhan dan sukacitanya terletak pada firman yang bekerja dalam hidup umat. Ya, firman yang bekerja (energeomai, 2:13), yang energinya terwujud dalam hidup orang percaya secara nyata! Itulah iman yang teruji dalam segala situasi, termasuk dalam krisis dan berbagai kesulitan. Seperti doa dan harapan Paulus, iman demikianlah yang nyata dalam kasih yang melimpah-limpah kepada saudara-saudara seiman dan juga semua orang (1Tes. 2:13). Jika itu yang terjadi, segala jerih juang yang dilakukan barulah dapat dikatakan tidak sia-sia dan benar-benar membawa sukacita! Amin.
Betapa melegakan, betapa membahagiakan! Demikian ungkapan seorang ibu yang baru saja menyaksikan wisuda putranya yang bungsu. Peristiwa yang kelihatan biasa-biasa itu baginya luar biasa! Betapa tidak, dalam usia relatif muda, ia ditinggal suami dan harus berjuang mengasuh enam orang anak. Dengan gaji minim seorang guru ditambah dengan berbagai kerja “serabutan”, akhirnya perjuangan panjang itu berbuah! Semua anaknya yang menyadari betapa beratnya perjuangan sang ibu, berjuang sepenuh hati untuk menyelesaikan studi sebaik mungkin dan secepat mungkin. Bahkan, ada yang mulai bekerja sementara studi. Ketika ditanya apakah ibu yang mengagumkan ini pernah merasa nyaris putus asa (mandele), ia mengaku dengan jujur: Ya, tentu saja. Tetapi, dengan pertolongan Tuhan, tegasnya, itu tidak sampai menghentikan perjuangannya demi anak-anaknya. Sudah sepantasnyalah, ibu yang telah berjuang keras itu bersukacita dan bangga melihat hasil jerih lelahnya!
Serupa tapi tak sama, sungguh berat pergumulan yang dialami Paulus dalam misinya mewartakan Kabar Baik “sampai ke ujung bumi” (Kis 1.8). Beberapa kali ia menyebutkan bagaimana ia ditindas, habis akal, dianiaya, dihempas, dihajar, didera, dipenjara (2Kor 4.8-9; 6.4-10), pendeknya “nyaris mati”! Situasi ini juga yang dialaminya ketika ia tinggal di Tesalonika. Sebelumnya, ia dipenjara di Filipi karena hasutan beberapa orang yang meraup keuntungan besar dari hasil tenungan (Kis 16:13-18). Paulus barangkali tidak menyadari “pil pahit” yang harus ditelannya dengan mengusir roh tenung dari seorang perempuan!
Namun, ia bukan Paulus yang kita kenal jika menyerah begitu saja kepada kesulitan! Memang luar biasa, tampaknya ia tidak mengenal kata “jera”, persis seperti yang ditulisnya: “Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa” (2Kor. 4:8). Jadi, sama sekali tidak mengherankan jika setelah dilepaskan dari penjara, ia langsung meneruskan kegiatan misinya, “seperti biasa”. Ya, seperti biasa seolah peristiwa yang masih segar itu tidak meninggalkan trauma apa-apa.
Di Tesalonika, seperti biasa, ia mulai dari sinagoge, tempatnya beribadah secara rutin sebagai orang Yahudi (Kis. 17:1-2). Ia bersaksi tentang Mesias yang menderita sampai mati, tetapi bangkit lagi membawa kehidupan! Beberapa orang sebangsanya menjadi percaya. Namun, yang paling banyak menyambut pewartaannya justru sejumlah besar orang Yunani dan perempuan-perempuan terkemuka. Orang-orang inilah yang menyambut pewartaan Paulus bukan sebagai perkataan manusia tetapi sungguh-sungguh sebagai firman Allah (1Tes. 2:13). Paulus berhasil meletakkan fondasi bagi berdirinya gereja Kristus di kota itu. Lagi-lagi, bukan tanpa perlawanan! Paulus dan Silas kembali menjadi korban hasutan. Oleh orang-orang sebangsanya yang iri hati, mereka difitnah sebagai sebagai pengacau yang tunduk kepada raja selain Kaisar di Roma (Kis. 17:6). Situasi yang kembali memanas memaksa Paulus dan Silas meninggalkan Tesalonika.
Perlawanan orang Yahudi terhadap pewartaan Injil oleh Paulus, seperti yang diungkapkan dalam surat pertama kepada jemaat Tesalonika, harus kita renungkan dengan hati-hati. Cukup ganjil juga, Paulus berbicara seolah-olah sebagai “orang luar”, seolah-olah ia tidak termasuk orang Yahudi. Bahasanya pun bukan main tajam. “Orang-orang Yahudi itu”, tegas Paulus, “telah membunuh Tuhan Yesus dan para nabi dan telah menganiaya kami” (1Tes. 2:15). Mereka betul-betul digambarkan sebagai orang yang tak peduli pada apa yang dikehendaki Tuhan. Bahkan, tidak tanggung-tanggung, mereka dicap sebagai orang yang memusuhi semua manusia! Pernyataan Paulus terkesan begitu keras: “Sekarang murka telah menimpa mereka sepenuh-penuhnya!”
Kita perlu berhati-hati! Pernyataan seperti ini selama ribuan tahun telah menjadi karikatur gereja terhadap umat Yahudi. Dalam kitab-kitab Injil, potret negatif ini turut dilestarikan. Begitu pula, tulisan Bapa-bapa Gereja turut mengabadikannya. Yohanes Krisostomus, misalnya, mengecam orang Yahudi sebagai penipu, sinagogenya penuh setan dan lebih najis dari tempat pelacuran. Bahkan, Bapa Reformator kita Martin Luther tidak terlepas dari sikap anti-Yahudi! Dalam suatu polemik terhadap orang Yahudi, Luther mengecam mereka sebagai pembantai manusia. Ia bahkan menganjurkan agar sinagoge mereka dibumihanguskan, kitab-kitab suci mereka disita dan mereka diusir saja ke Palestina! Sungguh tragis, gambaran anti-Yahudi senegatif itu kelak berkembang menjadi kebijakan anti-Semitik di masa Hitler yang pada masa kecilnya pernah aktif dalam paduan suara di gereja. Seperti yang kita ketahui dari sejarah, lebih dari enam juta orang Yahudi dibantai oleh rezim Nazi di bawah pemerintahan Hitler.
Ya, kita harus membaca Alkitab dengan hati-hati. Paulus dalam surat pertama Tesalonika tidak menganjurkan agar orang Kristen membenci, apalagi membalas perbuatan saudara sebangsa Yesus! Benar, Paulus mengalami penghambatan dari saudara-saudara sebangsanya. Namun, seperti yang diungkapkannya kelak dalam surat Roma, “keinginan hatiku dan doaku kepada Tuhan ialah supaya mereka diselamatkan” (Rm. 10:1)! Dapat dikatakan, keinginan dan doa Paulus sama bagi saudara sebangsanya dan orang-orang dari bangsa bangsa lain.
Fokus perhatian Paulus dalam teks yang menjadi bahan perenungan kita adalah pada hubungannya dengan orang Kristen Tesalonika. Sejarah misi sudah menunjukkan betapa sulitnya masa-masa permulaan itu umumnya bagi gereja-gereja muda. Wajar saja jika terdapat resistensi terhadap apa yang dianggap “asing” dan bisa mengancam tatanan yang sudah mapan. Itu berlaku baik bagi masyarakat Yahudi maupun yang bukan Yahudi. Paulus mengalami penolakan dari kalangan sebangsanya. Orang Kristen Tesalonika yang kebanyakan berasal dari kalangan bukan Yahudi juga mengalami hal yang serupa dari teman-teman sebangsanya (1Tes. 2:14).
Oleh karena situasi yang penuh tantangan itu, Paulus yang terpaksa meninggalkan Tesalonika sewajarnya merasa prihatin! Ia ingin tahu apa yang bakal terjadi dengan jemaat yang masih muda itu. Ia kemudian mengutus Timotius ke Tesalonika untuk mencari tahu tentang keadaan mereka dan sekaligus meneguhkan iman mereka (1Tes. 3:1-2). Demikianlah semestinya hati seorang gembala jemaat yang bagaikan bapa terhadap anak-anaknya (2:11). Kabar seperti apa yang dibawa Timotius ketika ia menemui Paulus di Korintus? Ternyata, kabar sukacita. Sungguh patut disyukuri, jemaat yang didirikannya dengan perjuangan berat tetap hidup dalam firman Tuhan! Tidak sia-sia kehadiran Paulus di antara mereka (2:1)! Kabar sukacita itulah yang mendorongnya untuk menyurati mereka. Tentu tak terbayangkan oleh Paulus, surat pertama yang ditulisnya sekitar tahun 50 akan dihimpun kelak sebagai bagian Perjanjian Baru dan dibaca sebagai firman Tuhan bagi generasi Kristen selanjutnya!
Sejarah misi di tanah Batak merupakan salah satu contoh tentang tantangan yang harus dihadapi gereja yang baru terbentuk. Tidak sedikit resistensi dari masyarakat Batak terhadap kehadiran orang-orang asing yang dijuluki sibontar mata, pembawa agama asing ke tanah Batak. Sejarah mencatat, penolakan itu bahkan telah menelan korban jiwa dari pihak para pewarta Injil, seperti yang terjadi pada Munson dan Lyman di Lobu Pining. Orang-orang Batak yang kemudian menjadi Kristen juga menghadapi hambatan dari saudara-saudara sebangsanya. Apa yang terjadi seandainya para perintis pewartaan Injil itu dipaksa kembali ke negeri asal mereka hanya beberapa bulan setelah mereka “berhasil” mendirikan gereja di tanah Batak? Apakah gereja yang baru seumur jagung itu segera lenyap? Mungkin saja. Tetapi, mungkin juga tidak! Jemaat di Tesalonika adalah contoh nyata. Tanpa dampingan Paulus, tokoh perintisnya, mereka tetap berdiri di atas dasar firman Tuhan, sungguh pun mereka menghadapi tantangan berat. Benih yang ditabur tetap tumbuh. Bukan penabur yang menentukan, tetapi Allah sendirilah yang memberi pertumbuhan (1Kor. 3:6).
Kita dapat belajar dari hubungan yang “sehat” antara tokoh Paulus dengan jemaat yang dirintisnya! Walaupun peran perintis seperti Paulus tentu saja penting dan patut dikenang, iman jemaat tidak tergantung padanya. Malah, Paulus dalam bagian lain surat pertama Tesalonika menyatakan betapa hatinya terhibur oleh anak-anak rohaninya yang ternyata tetap berdiri teguh tanpa dia (1Tes. 2:7). Tidak begitu banyak contoh-contoh seperti ini dalam sejarah misi. Kebanyakan, perintis yang notabene adalah orang asing tidak langsung memberdayakan orang Kristen setempat untuk mandiri. Bahkan, menurut almarhum Uskup Stephen Neill, kebanyakan memiliki mentalitas penjajah (colonial complex). Dalam penilaian mereka, orang Kristen setempat belum mampu berdikari. Iman mereka masih belum matang. Tunggu matang dulu, dan tidak jarang sampai “kematangan”, barulah diserahkan wewenang untuk mengelola sumber-sumber daya setempat.
Sampai sekarang pun, mentalitas seperti itu masih ada. Hampir semua tergantung pada pelayan gereja yang ditahbiskan. Pendeta atau mereka yang dipanggil “hamba Tuhan” memegang peran utama sampai ke urusan yang kecil-kecil. Jemaat merasa kurang “afdal” kalau bukan pelayan tahbisan yang berdoa. Dalam bentuk yang agak ekstrem, yang terjadi adalah kultus individu. Jika ketergantungan seperti ini yang membuat sang hamba Tuhan merasa sukacita, itu namanya salah kaprah! Begitu pula, tak perlu seorang hamba Tuhan merasa bersukacita, apalagi berbangga hati, hanya karena telah berhasil mengerahkan sumber-sumber daya dalam jemaat untuk membangun berbagai fasilitas fisik yang kasatmata. Kerja keras seperti itu bukan tak berguna dan dari sudut pandang manusia boleh-boleh saja disebut “prestasi”. Akan tetapi, jika kita belajar dari apa yang ditulis Paulus, harus dikatakan, “prestasi” demikian tidak dapat dijadikan dasar untuk bersukacita. Proyek-proyek “mercu suar” tidak akan diperhitungkan pada kedatangan Tuhan!
Yang seharusnya membuat seorang pelayan Tuhan bersukacita adalah ketika firman Tuhan yang ditabur sungguh-sungguh bertumbuh dan berbuah dalam kehidupan umat. Di rumah, dalam hidup bertetangga. Di tempat-tempat kerja. Dalam sepak terjang di masyarakat pada umumnya. Ya, dalam hidup sehari-hari di luar gereja! Kemuliaan seorang hamba Tuhan dan sukacitanya terletak pada firman yang bekerja dalam hidup umat. Ya, firman yang bekerja (energeomai, 2:13), yang energinya terwujud dalam hidup orang percaya secara nyata! Itulah iman yang teruji dalam segala situasi, termasuk dalam krisis dan berbagai kesulitan. Seperti doa dan harapan Paulus, iman demikianlah yang nyata dalam kasih yang melimpah-limpah kepada saudara-saudara seiman dan juga semua orang (1Tes. 2:13). Jika itu yang terjadi, segala jerih juang yang dilakukan barulah dapat dikatakan tidak sia-sia dan benar-benar membawa sukacita! Amin.
Langganan:
Postingan (Atom)