Selasa, 27 April 2010

Bacaan Minggu Trinitatis, 30 Mei 2010 Mazmur 57:1-7























Minggu Trinitatis, 30 Mei 2010 Mazmur 57:1-7






TUHAN PERTOLONGANKU



Kita tentu ingat film Titanic yang diangkat dari kisah nyata dari pelayaran kapal Titanic yang sangat mewah dan besar yang pernah dibuat dalam sejarah manusia. Titanic dibangun pada 1914. Para insinyur yang merancang kapal tersebut telah memperhitungkan kemungkinan terjadinya bahaya. Jadi, mereka mendesain kapal itu sedemikian rupa, sehingga apabila misalnya terjadi sebuah tabrakan atau benturan dahsyat, satu bagian dari kapal akan tetap bisa terapung di laut dan tidak akan tenggelam begitu saja. Jadi, semuanya sudah diperhitungkan dengan sangat rinci, tidak ada yang luput sedikipun. Oleh karena itu, nama kapal tersebut diberi nama “Titanic”, yang berasal dari kata “Titan” yang berasal dari mythologi Yunani, yaitu “makhluk super dewa yang kemampuannya jauh diatas manusia.” Itu sebabnya sebagian orang orang pada waktu itu mengatakan bahwa kita tidak memerlukan perlindungan Tuhan, karena kapal ini tidak akan tenggelam. Namun kita tahu bahwa akhirnya hanya dalam tempo waktu 2 jam 40 menit setelah menabrak gunung es, kapal Titanic tenggelam dan menewaskan 1.500 penumpangnya.

Mungkin sering kita membaca peringatan demikian “Warning: This is dangerous area”. Ini merupakan peringatan bahwa daerah ini adalah berbahaya, jadi jangan mendekat daerah itu. Jadi sepanjang kita tidak mendekat, maka amanlah hidup kita. Namun hati-hati, keadaan bahaya bukanlah sifatnya statis, menunggu. Keberadaanya tidak bisa diduga. Kita berpikir bahwa tempat ini aman, tahunya penuh bahaya. Bahkan sering kita dikejar-kejar ancaman bahaya. Jika demikian bila bahaya mendekat dan hinggap maka tempat yang aman sebelumnya akan menjadi “area dangerous”. Lalu tanpa kita sadari kita sedang menuju daerah berbahaya. Boleh saja kita ciptakan suatu tempat yang aman, tapi harus kita sadari bahwa tempat itu juga rentan bahaya di suatu saat.

Kisah kapal Titanic memberikan kita pelajaran berhgarga. Tidak ada yang bisa luput dari ancaman bahaya, sekalipun kita berusaha untuk mengantisipasinya. Inilah yang harus kita sadari bahwa salah satu bagian hidup kita yaitu hidup dalam bahaya, tekanan, dan persoalan. Sekaligus kita di sini menyadari bahwa kita adalah makhluk terbatas. Ingat, ketidaksadaran akan keterbatasan kita akan menjadi malapetaka besar bagi kita.
Daud, ketika kecilnya hidup sebagai seorang gembala. Ternak gembalannya dan ia sendiri selalu diintip oleh binatang buas yang sewaktu-waktu dapat menerkam. Daud telah terbiasa hidup dalam ancaman bahaya. Pada perikop ini kembali kita melihat Daud yang hidup dalam ancaman bahaya. Bukan lagi bahaya oleh binatang buas, tetapi ancaman dari Raja Saul yang hendak membunuhnya. Namun ia tetap menggambarkannya sebagai singa binatang buas bergigi laksana tombak dan panah dan lidah laksana pedang tajam. Boleh kita katakan bahwa hidup Daud senantiasa dibayangi ancaman bahaya. Kini ia mencoba bersembunyi ke gua Adulam (bnd. 1Sam. 22: 1dyb) untuk menghindari bahaya itu. Namun tetap saja ia tidak merasa tenang, penuh ketakukan. Gua Andulam tidak dapat melindunginya dari ancaman bahaya. Daud tentu saja tidak dapat tidur tenang, selalau gelisah. Lalu bagaimana Daud mengatasi rasa takut dan ancaman bahaya itu?

Saya dan Anda, tentu pernah diburu persoalan dan ancaman bahaya. Belum terpecahkan masalah keluarga, masalah keuangan datang mengancam. Kemudian penyakit ikut juga mengganggu kita. Beberapa solusi dilakukan untuk mengatasinya. Kita mencoba untuk mengalihkan pikiran dari ancaman agar tidak semakin tertekan. Tetapi malah persoalan itu semakin rumit. Lalu kita coba untuk mencoba lari dan bersembunyi dari persoalan. Namun tetap saja kita tidak merasa nyaman. Kemudian, kita berusaha untuk menghadapinya dengan kekuatannya sendiri. Dan terakhir, mencari perlindungan. Namun, ternyata tidak ancaman itu tetap datang. Jika demikian apakah yang harus dilakukan?
Barangkali kita masih ingat film “Facing The Giant”, seorang pelatih sepakbola yang selalu gagal membawa tim untuk menang. Berbagai upaya dilakukan namun tetap gagal. Hal ini membuat dia hampir dipecat. Ia sangat stress. Kemudian, hingga bertahun-tahun berkeluarga, namun tak kunjung dikarunia seorang anak. Ia merasa hidupnya pembawa kegagalan. Gagal sebagai pelatih dan gagal dalam berumah tangga. Akhirnya ia introspeksi diri. Ia mulai menyendiri. Ia semakin rajin baca Alkitab sepanjang waktu. Dan sangat menarik, ia mengajak para pemainnya untuk PA sebelum berlatih. Akhirnya Ia menemukan filosofi hidup dari kedekatannya dengan Tuhan. “If you win, praise God, if you lose, praise God too”. Apapun yang terjadi, tetap serahkan hidup pada Tuhan dan pujilah Dia. Rupanya, baginya, itulah solusi yang ampuh. Mujijat terjadi, oleh karena tidak ada beban untuk harus menang, justru itulah yang membuat timnya akhirnya mulai memetik kemenangan dalam setiap pertandingan. Akhirnya dari film tersebut, ia dikaruinia anak.

Kembali ke kisah Daud. Daud memberikan teladan bagi kita bagaimana menang dalam menghadapi ancaman bahaya dan keluar dari tekanan hidup. “Jika diburu ancaman bahaya, burulah Tuhan”. Inilah yang dilakukan Daud. Ia tidak yakin 100% dapat aman jika berlindung di gua Andulam. Ia menyadari dirinya seperti anak-anak manusia yang berhadapan melawan singa yang sudah dewasa dan kuat. Yang diyakininya adalah 100% aman berlindung dibawah sayap Tuhan. Ia meminta pengasihan Tuhan. Ia menyadari salah satu cara yang ampuh mengatasi ancaman itu hanyalah pertolongan Tuhan. Oleh karena itu ia hanya fokus bagaimana berburu Tuhan. Lebih cepat berburu Tuhan adalah lebih baik, jangan sampai ancaman itu lebih dulu menerkam dan mematikan kita. Strategi inilah yang dipakai Daud mengalahkan tekanan berat itu yaitu mengalihkan fokus dari “problem oriented” ke “God’ salvation oriented”. Dampaknya luar biasa. Daud bukan hanya dapat mengalahkan ancaman yang dihadapinya, tetapi juga mampu memenangkan 400 orang yang hidup dalam ancaman menjadi orang yang gagah perkasa (1Sam. 22).

Ketika persoalan datang, jangan biarkan persoalan tersebut terus menghantui hidup kita. Artinya jangan habiskan tenaga dan waktu untuk mengetahui bagaimana persoalan itu bisa terjadi. Siapakah yang membuat persoalan itu? Semuanya itu tidak mengalahkan persoalan dan ancaman. Dunia ini sungguh hebat dan punya kuasa untuk memutar balikkan kebenaran dan keadilan. Tapi dunia ini tidak dapat menahan kuasa Tuhan untuk menyelamatkan yang berseru kepadaNya. Orang jahat dapat saja mencelakai bahkan membunuh umatNya yang membela kebenaran dan keadilan. Tapi ia tidak punya kuasa untuk menghentikan keadilan itu. Dr. Martin Luther King, mati terbunuh pada tahun 1968 oleh karena membela HAM, anti kekerasan dan rasialisme di Amerika Serikat. Namun sekarang, perjuangannya sudah diterima di negerinya bahkan di seluruh dunia. Itu terjadi karena ia menyerahkan perjuangannya kepada Tuhan. Ia diancam oleh lawan-lawannya, namun ia menyerahkan ketakutan kepada Tuhan.
Ada tiga hal yang diyakini jika berburu dan berseru kepada Tuhan, pertama, Tuhan akan menyelamatkan umat-Nya. Hidup kita tidak akan sia-sia. Hidup akan menjadi milik kita selamanya, sekalipun diancam oleh musuh yang sangat kuat. Gereja senantiasa diganggu dan diancam oleh dunia ini. Namun itu tidak berarti dunia ini dapat menghentikan misi Tuhan menyampaikan kabar sukacita. Menurut Rick Warren, setiap harinya 75.000 orang percaya kepada Tuhan. Tentu ini bagian dari kuasa dan kekuatan Tuhan. Oleh karena itu mari kita serahkan ketakutan kita kepada Tuhan. Hanya Tuhanlah yang dapat mengambil ketakutan kita. Kedua, kepada yang memburu kita, kepada yang mengancam hidup kita, kepada yang tidak memperdulikan Tuhan akan dipermalukan dan mendapat cela. Ketiga, Tuhan akan menegakkan kebenaran. Tuhan tidak tinggal diam melihat ketidakbenaran. Tuhan akan membela orang yang menegakkan kebenaran. Inilah pertolongan Tuhan bagi yang berburu dan berseru kepada-Nya.




Pdt. Enig S. Aritonang, M.Th.

Bacaan Pestakosta 2, 24 Mei 2010 Keluaran 31:1-6


Pestakosta 2, 24 Mei 2010 Keluaran 31:1-6


ROH ALLAH MENGARUNIAKAN ANEKA TALENTA



Setiap kali merayakan Pentakosta, kita diingatkan kembali akan peran Roh Allah dalam kehidupan umat percaya. Ada kesan bahwa di gereja-gereja reformasi, Roh Allah seakan-akan mendapat perhatian marjinal saja. Peran-Nya baru ditonjolkan atau direnungkan ketika tiba perayaan khusus yang memperingati turunnya Roh Kudus mula-mula atas para pengikut Kristus di Yerusalem (Kis. 2:1-13). Padahal, di gereja-gereja tertentu, karya Roh justru sangat ditonjolkan dan bahkan menjadi ciri pengenalnya. Oleh karena itu, teks yang berbicara tentang Roh Allah (Ibrani: ruakh elohim) dapat menjadi dasar untuk merenungkan karya Roh itu secara umum maupun lebih spesifik. Mengingat langkanya teks renungan tentang Roh dalam rangkaian teks khotbah di gereja-gereja kita, ada baiknya renungan kali ini lebih bersifat “khotbah pengajaran”.
Apa yang dimaksud dengan “ruakh” dalam pandangan Ibrani? Pertanyaan ini penting karena ruakh memang serupa tetapi tidak sama dengan “roh” yang diambil alih dari bahasa Arab. Istilah ruakh dalam bahasa Ibrani memiliki beberapa arti. Pertama-tama, kata ruakh pada dasarnya berarti ‘udara yang bergerak, angin’. Makna ini memang berkaitan dengan kata kerjanya yang berarti ‘bernafas, menghembus’. Dalam dunia kuno angin rupanya dilihat sebagai kekuatan misterius yang membawa kehidupan dan kesuburan. Dalam tiupan angin dan hembusan nafas, manusia merasakan misteri yang menjadi simbol kehadiran dan aktivitas ilahi. Inilah yang kemudian dimengerti sebagai nafas kehidupan yang berasal dari Allah dan menghidupi alam dengan makhluk-makhluk hidup di dalamnya (bnd. Mzm. 104:29-30).
Kata ruakh juga digunakan untuk menggambarkan reaksi psikologis atau suasana hati. Sebagian penafsir Alkitab tetap melihat kaitannya dengan pengertian ruakh yang diuraikan sebelumnya. Memang teramati, ketika orang sedang marah sekali atau luar biasa berduka, aliran ‘udara’ (ruakh) yang dihirupnya ikut “terganggu”! Nafas orang yang sedang naik pitam, misalnya, terlihat tersengal-sengal. Menariknya, murka Tuhan yang menyala-nyala pun terkadang digambarkan sebagai “hembusan (ruakh) hidung-Nya” (mis. Ayb. 4:9).
Demikian pula, selain maknanya yang lebih konkret, berbagai kualitas moral dan mental dikaitkan dengan ruakh. Itulah sebabnya, ada kalanya pembaruan moral digambarkan sebagai penganugerahan “roh (ruakh) yang baru ke dalam batin” (Yeh. 11:17). Memiliki keahlian tertentu juga diungkapkan sebagai memiliki “roh (ruakh) keahlian” (Kel. 28:3).
Mengingat keragaman makna ruakh, jelaslah ada persoalan mengartikan ruakh elohim yang biasa diterjemahkan sebagai “Roh Allah”! Sebagai contoh, ruakh elohim memang diterjemahkan sebagai “Roh Allah” dalam Kejadian 1:2. Tetapi, apa maknanya? Dalam ayat itu digambarkan bagaimana pada saat penciptaan ruakh elohim melayang-layang di atas permukaan air. Oleh sebab itu, ada yang mengira ayat itu memperlihatkan keikutsertaan Roh Kudus dalam penciptaan. Tidak harus demikian! Banyak ahli yang berpendapat, ruakh di situ harus diartikan seperti ‘topan’, sehingga yang digambarkan pada waktu penciptaan ialah karya Allah yang menata seluruhnya yang masih dalam keadaan kacau balau (tohu wabohu). Ada juga yang menafsirkan ruakh sebagai ‘kuasa’, sehingga ayat itu memperlihatkan betapa Allah mengatasi keadaan serba kacau itu melalui kuasa-Nya. Ada lagi penafsiran lain yang tak perlu dikemukakan satu per satu dalam renungan ini. Yang jelas, ada kesepakatan di antara semua pakar yang menggali makna teks Perjanjian Lama tanpa terlebih dahulu dipengaruhi dogma gereja bahwa ruakh elohim dalam pasal pertama Kitab Kejadian tidak menunjuk kepada salah satu pribadi Allah Tritunggal.
Jika demikian, bagaimana “Roh Allah” (ruakh elohim) dimengerti dalam teks epistel kita? “Roh” dalam konteks ini lebih mungkin merupakan kuasa dinamis-kreatif dari Allah yang menggerakkan dan memberdayakan orang tertentu untuk tugas atau misi khusus dari Tuhan. Kuasa ilahi ini hadir, misalnya, dalam tokoh-tokoh pemimpin yang disebut “hakim-hakim” (sofetim). Tokoh-tokoh ini digerakkan untuk memimpin Israel di saat-saat krisis. Sekonyong-konyong mereka dihinggapi oleh ruakh elohim yang mendorong dan memampukan mereka untuk membebaskan umat Tuhan dari cengkeraman lawan-lawan mereka (bnd. Hak. 3:10; 6:34; 11:29; 14:6 dsb.). Contoh lain yang dapat disebutkan di sini adalah janji Tuhan kepada Zerubabel seperti dinubuatkan Nabi Hagai. Ketika Bait Allah terbengkalai dan perlu diperbaiki, yakni sekembalinya umat Israel dari pembuangan di Babel, kehadiran Tuhan untuk menguatkan pemimpin yang akan melaksanakan pembangunan itu dinyatakan sebagai penyertaan “Roh”-Nya (Hag. 2:5-6).
Kita dapat juga membandingkannya dengan pembagian tugas dan wewenang yang dilakukan terhadap para tua-tua Israel (Bil. 11:17). Menariknya, wewenang itu (authority sharing) berwujud pembagian “Roh” (ruakh): “Maka Aku akan turun dan berbicara dengan engkau di sana, lalu sebagian dari Roh (ruakh) yang hinggap padamu itu akan Kuambil dan Kutaruh atas mereka, maka mereka bersama-sama dengan engkau akan memikul tanggung jawab atas bangsa itu, jadi tidak usah lagi engkau seorang diri memikulnya.”
Demikian pula sesungguhnya yang ditampilkan dalam teks epistel yang kita renungkan. “Roh Allah”, ruakh elohim, tak lain dari kuasa ilahi yang hadir dan memberdayakan orang-orang tertentu sehingga memiliki keahlian dan keterampilan yang diperlukan untuk tugas khusus. Konteks kemampuan khusus itu adalah pembangunan Kemah Suci (bnd. juga 35:31). Menurut pasal-pasal terakhir Kitab Keluaran (25-39), segala rancangan mengenai Kemah ibadah itu beserta berbagai rinciannya telah disampaikan Tuhan kepada Musa. Namun, untuk pelaksanaannya, Musa tidak dapat mengandalkan diri sendiri (single fighter). Sebab, tidak ada pemimpin yang serba bisa dalam segala bidang kehidupan umat Tuhan! Sebagian pemimpin memang memiliki beberapa jenis kemampuan atau talenta sekaligus. Dr. Martin Luther, misalnya, mempunyai talenta musik juga di samping keahliannya sebagai doktor Kitab Suci! Beberapa nyanyian terkenal keluar dari penanya, misalnya “Ein fester Burg is unser Gott” (1959) yang diterjemahkan dalam Kidung Jemaat dengan judul “Allahmu Benteng Yang Teguh”! Tetapi, Luther tidak terbukti sebagai organisator ulung!
Roh, kuasa dinamis-kreatif dari Allah, dalam teks epistel kita disebutkan memenuhi Bezaleel bin Uri bin Hur dari suku Yehuda “keahlian, pengertian dan pengetahuan”, khususnya terkait dengan pembuatan berbagai rancangan dan benda yang diperlukan untuk Kemah Suci (Kel. 31:2). Tetapi, lagi-lagi, ia tidak bekerja sendiri sebagai ahli! Ia masih dibantu oleh seorang “asisten”, yakni Aholiab bin Ahisamakh dari suku Dan (31:5). Dapat dikatakan, ruakh elohim tidak hanya melengkapi individu-individu unggulan dengan berbagai jenis talenta tetapi juga membentuk “tim” pelayanan yang perlu untuk ibadah dan berbagai gerak hidup umat-Nya.
Seperti disebutkan di atas, ruakh elohim dalam Perjanjian Lama belum dilihat sebagai pribadi Allah sendiri sebagaimana halnya Roh Kudus dalam Perjanjian Baru. Dalam Yesaya 63:10-11 (bnd. Mzm. 51:11), memang terdapat istilah “Roh Kudus” tetapi ini merupakan terjemahan dari ruakh qodso (harfiah: ‘Roh kekudusan’). Walaupun boleh jadi, “Roh Kekudusan” dalam Yesaya sudah mulai mengarah kepada aspek pribadi TUHAN, di situ pun “Roh” ilahi ini lebih mengungkapkan aspek batin (inner self) Tuhan yang mahakudus.
Meskipun demikian, dalam keterkaitan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru apa yang terungkap dalam Perjanjian Lama mengenai karya ruakh elohim tentu saja dapat ditafsirkan dalam kaitan ungkapan yang lebih penuh (semacam sensus plenior ‘pengertian yang lebih penuh’) dalam Perjanjian Baru. Perkembangan pemahaman ini bukan hal yang aneh! Sebab, pemahaman umat Tuhan memang terus bertumbuh dengan bimbingan-Nya dalam lintasan sejarah perjalanan mereka bersama Dia! Kalau kita mengingat peristiwa Pentakosta dalam Kisah Para Rasul (2:1-40), yang terjadi sebagai pemenuhan janji Kristus (1:8) bukan hanya transformasi diri yang memberanikan para murid untuk bersaksi. Yang terjadi sesungguhnya mirip dengan pemberdayaan oleh ruakh elohim, yakni pemberdayaan lewat kuasa Roh Kudus!
Mirip dengan pemberdayaan Bezaleel untuk mengerjakan Kemah suci, demikianlah umat Tuhan dalam gereja-Nya diberdayakan oleh Roh-Nya untuk berbagai-bagai tugas kesaksian dan pelayanan. Dan menariknya, kepelbagaian karunia itu benar-benar dilihat sebagai karunia untuk kepentingan bersama (bdk. 1Kor. 12:7)! Ya, untuk kepentingan bersama! Bezaleel dan Aholiab menjadi “tim pelaksana” dengan arahan Musa untuk kepentingan bersama: membuat kemah ibadah! Sebagai umat yang sudah dipercayakan oleh Roh Kudus dengan berbagai karunia dan talenta (bnd. 1Kor. 12), kita pun dipanggil untuk kepentingan bersama! Kepentingan ini dalam wujud yang paling dekat dengan teks renungan kita adalah pembangunan rumah ibadah yang pasti memerlukan berbagai sumber daya yang Tuhan anugerahkan kepada tiap-tiap jemaat. Tetapi, tidak harus sespesifik itu! Kepentingan itu dapat berupa tugas panggilan gereja secara luas yang dikenal sebagia tritugas panggilan gereja: bersekutu (koinonia), bersaksi (marturia) dan melayani (diakonia)!
Roh Tuhan tak henti-hentinya menggerakkan, memberdayakan, mencurahkan berbagai karunia dan talenta buat umat Tuhan sesuai dengan tuntutan kebutuhan pelayanan kepada-Nya. Ini memberi kita harapan akan kesinambungan gerak hidup umat Tuhan di sepanjang masa. Kiranya keyakinan akan karya Roh ini juga menyadarkan kita bahwa segala karunia dan talenta bersumber dari Dia yang sama, seperti yang ditegaskan Rasul Paulus dalam surat pertama Korintus kepada jemaat Korintus yang sedang bergumul soal keutuhannya: “Semuanya ini dikerjakan oleh Roh yang satu dan yang sama, yang memberikan karunia kepada tiap-tiap orang secara khusus, seperti yang dikehendaki-Nya” (1Kor. 12:11). Oleh sebab itu, apa pun karunia dan talenta kita miliki, marilah kita syukuri sebagai anugerah Roh-Nya, dan kita abdikan untuk Dia yang terus berkarya dalam sejarah umat-Nya! Amin.


Pdt.Dr.Anwar Tjen
Pdt.GKPI

Bacaan Pestakosta 1, 23 Mei 2010 Ibrani 8:8-13


Pestakosta 1, 23 Mei 2010 Ibrani 8:8-13


HIDUP DALAM PERJANJIAN YANG BARU


Hari ini kita kembali merayakan Pentakosta, salah satu peristiwa penting dalam sejarah umat Tuhan berupa pencurahan Roh Kudus (Kis. 2). Pada waktu yang bersamaan, peristiwa ini menandai lahirnya gereja, sehingga secara teologis dapat dikatakan, kita sedang merayakan hari ulang tahun gereja! Dalam perayaan ini, firman Tuhan menjadi landasan perenungan kita diambil dari surat Ibrani yang banyak berbicara tentang keunggulan Kristus dan perjanjian baru yang diprakarsai-Nya bila dibandingkan dengan Perjanjian Lama. Harus diakui, teks kita memang tidak berbicara secara langsung tentang Roh Kudus sendiri! Namun, tentu saja kita tetap dapat merefleksikannya dalam kaitan dengan karya Roh dalam kehidupan umat percaya.
Kita tidak tahu siapa penulis surat Ibrani. Kita juga tidak tahu siapa penerima surat ini! Namun, tanpa informasi yang jelas tentang latar belakangnya pun, kita masih dapat merenungkan pesannya bagi kita sekarang. Yang jelas, dibandingkan dengan banyak tulisan Perjanjian Baru, hal-hal yang dibicarakan dalam surat Ibrani memang terkesan sangat Yahudi. Boleh jadi, awalnya surat ini merupakan khotbah-khotbah untuk mereka yang berlatar Yahudi, atau ingin mengetahui hubungan antara sistem lama keYahudian dan sistem baru Kekristenan.
Dan kalau dinilai dari bahasa yang digunakan penulisnya, jelaslah khotbah-khotbah itu disampaikan dengan bahasa “tinggi”. Penulisnya benar-benar seorang yang sangat piawai dalam mengungkapkan pemikirannya dalam bahasa Yunani! Ini merupakan contoh menarik bagi kita sekarang. Adakalanya khotbah harus disampaikan sesederhana mungkin dalam bahasa yang “ringan”, supaya dapat dimengerti dengan mudah. Adakalanya, khotbah perlu juga diuraikan dalam bahasa yang lebih sesuai buat orang-orang yang berpendidikan tinggi ataupun memiliki cita rasa bahasa yang tinggi.
Pesan dari surat yang panjang ini memang terfokus pada hubungan antara sistem lama Keyahudian dan sistem baru Kekristenan. Yang dilakukan mirip dengan apa yang sekarang disebut “kontekstualisasi”. Supaya relevan bagi manusia yang hidup dalam situasi yang berbeda dengan sistem keyakinan yang berbeda pula, isi firman Tuhan itu perlu juga mengambil wujud dan bahkan isi yang sesuai dengan berbagai konteksnya. Penulis surat Ibrani benar-benar piawai dalam soal ini. Sebagai contoh, karena sistem keagamaan Yahudi terpusat pada sistem imamat dan kurban, ia menafsirkan ulang peran dan keutamaan Kristus berdasarkan sistem-sistem ini. Karena Imam Agung sangat penting perannya dalam sistem agama Yahudi, ia mengidentifikasi Kristus sebagai Imam Agung pula! Tetapi, sebagai Imam Agung yang sempurna! “Sebab Imam Besar yang demikianlah yang kita perlukan: yaitu yang saleh, tanpa salah, tanpa noda, yang terpisah dari orang-orang berdosa dan lebih tinggi dari pada tingkat-tingkat sorga, yang tidak seperti imam-imam besar lain, yang setiap hari harus mempersembahkan korban untuk dosanya sendiri dan sesudah itu barulah untuk dosa umatnya, sebab hal itu telah dilakukan-Nya satu kali untuk selama-lamanya, ketika Ia mempersembahkan diri-Nya sendiri sebagai korban.” (7:26-27).
Seperti yang disebutkan dalam teks epistel kita, sebagai Imam Agung yang melintasi semua langit (4:14; 8:1), Kristus menjalankan imamat yang lebih tinggi berdasarkan janji yang lebih tinggi dalam bingkai perjanjian baru yang lebih mulia (8:5-6). Semua yang ada sebelumnya dalam sistem lama hanyalah gambaran dan bayangan dari apa yang sesungguhnya ada di surga (8:5).
Dalam konteks itulah, nubuat Nabi Yeremia dikutip oleh penulis surat Ibrani (Yer. 31:31-34). Ketidaksetiaan Israel sepanjang sejarahnya bersama Tuhan sudah nyata. Hukuman Tuhan atas mereka menandai jalan panjang penuh penderitaan yang mereka lalui di bawah kekuasaan bangsa-bangsa asing. Dalam visi kenabian, rupanya solusinya bukan dengan mengoreksi sistemnya saja. Tetapi, juga orang-orangnya! Tentu saja mereka sudah memiliki Taurat beserta segala rincian yang mengatur berbagai aspek kehidupan mereka. Namun, seperti yang sering dikritik para nabi, semua yang baik itu belum menjamin terwujudnya hidup otentik yang sungguh-sungguh ingin memberlakukan kehendak Tuhan. Simak saja kritik berikut dari seorang nabi lainnya: “Dan Tuhan telah berfirman: ‘Oleh karena bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh dari pada-Ku, dan ibadahnya kepada-Ku hanyalah perintah manusia yang dihafalkan’ (Yes. 29:13).
Rupanya yang juga tidak bisa tidak harus terjadi ialah “pembaruan batin” (bnd. Rm. 12:2), sebagaimana dinubuatkan dalam kutipan dari Yeremia: “Aku akan menaruh hukum-Ku dalam akal budi mereka dan menuliskannya dalam hati mereka, maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku” (Ibr. 8:10). Dengan kata lain, kulit dikontraskan dengan isi. Keberagamaan formal dengan keberagamaan otentik. Sungguh benar yang sering dikeluhkan banyak orang menyangkut sistem apa saja, termasuk religius: sistem yang bagus saja tidak cukup, karena tetap saja akan menjadi korup di tangan manusia korup. Kualitas manusianya juga amat menentukan! Jika batin sudah dibarui sehingga semakin selaras dengan kehendak Allah, maka semua yang diperlukan untuk mengatur kehidupan dan tindak tanduk tidak begitu sulit lagi diciptakan atau diubah sesuai dengan kebutuhan.
Tidak tanggung-tanggung, dalam visi kenabian Yeremia, bahkan kelak orang tak perlu lagi mengatakan: “Kenallah Tuhan”. Mengapa? Sebab mereka telah mengenal Tuhan! Ya, tentu saja aneh jika kepada mereka yang sudah mengenal dan mengaku Tuhan secara sungguh-sungguh masih diminta untuk mengenal-Nya! Jadi, inti perjanjian baru yang diunggulkan melebihi perjanjian lama sebelumnya ialah: pembaruan batin sehingga umat Tuhan benar-benar mengenal Tuhannya, tidak hanya di bibir saja tetapi terlebih lagi nyata lewat buah-buah kehidupannya.
Bagaimanakah pembaruan batin itu terjadi? Lewat karya Roh Kudus! Di sinilah, pekerjaan Roh dapat menjadi renungan yang relevan pada perayaan Pentakosta, kendati teks epistel kita tidak secara ekspisit menyebutnya. Dalam bagian lain dari surat Ibrani, Roh Kudus disebutkan telah memberi kesaksian mengenai kesempurnaan karya Kristus yang menggantikan sistem kurban dan imamat yang lama (10:15; bnd. 9:8). Kristus sendiri digambarkan telah mempersembahkan diri sebagai kurban tak bercatat, yakni dengan perantaraan “Roh yang kekal” (9:14), sehingga darah kurban-Nya itu menyucikan hati nurani kita untuk lepas dari perbuatan sia-sia (harfiah: “perbuatan-perbuatan mati”, nekron ergon).
Ini dapat dibandingkan dengan berbagai uraian Rasul Paulus tentang karya Roh! Dalam surat Galatia, misalnya, ia menegaskan, “Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging” (Gal. 5:17). “Hiduplah oleh Roh maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging” (5:16)! Memakai istilah dalam surat Ibrani, keinginan daging, yakni keinginan menurut tabiat manusia yang berdosa, tidak dapat memenuhi aturan yang berlaku dalam sistem lama! Keadaan yang tidak menguntungkan ini selalu dieksploitasi oleh kuasa dosa (bnd. Rm. 7:13). Sistem yang lebih unggul tentu menawarkan kekuatan yang membebaskan manusia berdosa dari “lingkaran setan” ini!
Dalam Perjanjian Baru, itulah yang dipahami sebagai karya Roh Kudus. Berulang kali ditegaskan, di dalam Kristus, kita telah dibebaskan dari sistem lama berdasarkan Taurat, supaya kita hidup dan melayani dalam keadaan baru menurut Roh (mis. Rm. 7:6; 8:2; Gal 5:16). Roh Kuduslah yang menguduskan dan memperbarui hidup orang percaya (Tit. 3:5; 2Tes. 2:13). Roh inilah juga yang telah mengingatkan agar umat Tuhan tidak mengeraskan hati bila mendengar firman-Nya (Ibr. 3:7).
Berbagai gambaran seperti “ciptaan baru” (2Kor. 5:17) dan “manusia baru” (Ef. 4:24; Kol 3:10) pada dasarnya mengungkapkan pesan yang sama. Di dalam Kristus dan oleh kuasa Roh Kudus, umat percaya kini tak lagi hidup sekadar melaksanakan berbagai kewajiban dan tuntutan hukum ilahi. Sistem yang lama telah terlampaui. Di dalam Kristus, yang baru telah datang (2Kor. 5:17)! Mereka yang hidup dalam perjanjian baru itu, sewajarnya menghasilkan buah-buah Roh seperti kasih, damai sejahtera, kesabaran dan kesetiaan (Gal. 5:20)!
Karya Roh seperti itu memang kurang “spektakuler” bila dibandingkan karunia-karunia Roh dalam bentuk berbagai mujizat melalui orang percaya (Ibr. 2:4; bnd. 1Kor. 12:10; Gal. 3:5). Padahal, bukankah sekarang ini banyak orang mendambakan berbagai pengalaman rohani yang “menggelora” sebagai manifestasi kepenuhan Roh? Pencurahan Roh seperti yang terjadi pada Pestakosta pertama di antara umat Kristen perdana sering diasosiasikan dengan gejala-gejala seperti bahasa lidah, baptisan Roh, penglihatan, dan berbagai mujizat penyembuhan. Namun, dilihat dalam kaitan dengan karya Roh Kudus, teks epistel kita kiranya menggarisbawahi aspek penting dari karya Roh itu, yang tidak kalah pentingnya, kalau tidak lebih penting, daripada fenomena yang serba spektakuler, yakni pembaruan batin yang menghasilkan ketaatan baru! Kristus sebagai Imam Besar yang telah mencapai kesempurnaan (5:9), melalui Roh-Nya masih terus berkarya membarui kita sebagai ciptaan-Nya yang baru (bnd. 2Kor. 5:17).
Seperti yang ditegaskan penulis surat Ibrani sendiri, di dalam sistem perjanjian baru, kita memiliki keberanian untuk masuk ke hadiran Allah yang kudus (10:19). Kita diajak untuk menghadap Dia dengan hati yang tulus ikhlas karena telah dibersihkan dari nurani yang jahat (10:22). Semuanya ini sekali lagi mengandaikan bahwa hukum Tuhan itu kini sudah membatin dan membentuk nurani yang baru (8:10; 10:16).
Bukankah aspek “nurani” ini sangat perlu direnungkan ketika dalam dunia kita semakin banyak manusia yang kehilangan nurani untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah? Bukankah dalam dimensi etis inilah sebenarnya manifestasi Roh sungguh efektif untuk memberi dampak bagi dunia kita? Mungkinkah kita beribadah dengan “nurani yang bersih” sementara kehidupan kita di luar ruang ibadah justru berbanding terbalik dengan apa yang dikehendaki-Nya? Perenungan atas teks epistel mengajak kita untuk mempertanyakan dan mempertanggungjawabkan isi keyakinan kita sebagai umat yang dengan perantaraan Kristus telah menerima perjanjian yang lebih baik. Kiranya Imam Surgawi itu terus menolong kita dalam perjalanan iman kita dan membawanya sampai mencapai kesempurnaan seperti Dia (5:9; 12:2). Amin.





Pdt.Dr.Anwar Tjen
Pdt.GKPI

Bacaan Minggu Exaudi, 16 Mei 2010 Matius 14:22-33


Minggu Exaudi, 16 Mei 2010 Matius 14:22-33


TUHAN, TOLONGLAH AKU !



Evangelium Matius bersama-sama dengan Markus, Lukas dan Yohanes, pertama-tama harus dilihat sebagai satu kesatuan, yang dalam tataran Biblika Perjanjian Baru disebut Injil atau Evangelium. Sesuai dengan namanya, ‘euanggelion’, keempat kitab ini berisikan Kabar Baik tentang Yesus Kristus sebagai jalan keselamatan. Bertitik-tolak dari sudut pandang masing-masing kitab, keempat kitab ini menceritakan tentang Yesus yang datang ke dunia untuk menebus dosa-dosa orang yang percaya kepada-Nya. Kedatangan Yesus sungguh menjadi suka-cita bagi orang percaya; namun sebaliknya, kedatangan Yesus menjadi penghakiman yang berisi penghukuman bagi orang-orang yang tidak percaya. Namun kitab-kitab Injil selalu menekankan bahwa kasih setia dan pengasihan Tuhan lebih besar dari murka-Nya. Itu sebabnya Yesus selalu menyerukan, “Bertobatlah, karena kerajaan Allah sudah hadir!”

1. Namun dalam konstelasi keempat kitab Injil tersebut, masing-masing kitab tentu memiliki karakteristik masing-masing. William Barclay dengan gamblang menggambarkan konstelasi itu sebagai berikut: “Masing-masing penulis dari keempat Injil telah melakukan pekerjaannya dari sudut pandang tertentu. Seringkali para penulis Injil-injil tersebut dilukiskan pada jendela kaca, dalam bentuk simbol. Simbol-simbol itu berbeda-beda tetapi yang paling umum adalah ini. Lambang dari Markus adalah seorang laki-laki. Markus adalah yang paling sederhana dan sangat lugu dalam penyajiannya. Lambang Matius adalah seekor singa. Matius adalah seorang Yahudi yang menulis untuk orang Yahudi dan ia melihat di dalam diri Yesus, Sang Mesias itu, singa dari suku Yehuda, yang telah dinubuatkan oleh nabi-nabi. Lambang Yohanes adalah burung rajawali. Seekor burung rajawali dapat terbang lebih tinggi daripada burung lainnya. Demikianlah Injil Yohanes, Injil ini suatu Injil teologis; pemikiran-pemikirannya lebih tinggi dari yang lain. Lambang Lukas adalah anak lembu. Anak lembu adalah binatang yang biasanya dipakai sebagai kurban; dan Lukas melihat bahwa Yesus adalah kurban untuk seluruh dunia.” Terlepas dari kekhasan masing-masing simbol ini, yang sangat penting kita lihat di sini sehubungan dengan nas kita adalah Injil Matius serta kekhususannya. Berbeda dengan kitab-kitab Injil lainnya, penulis lebih memberi perhatian kepada orang Yahudi. Hal itu berarti, Kabar Baik itu terlebih dahulu ditujukan kepada orang Yahudi.
2. Tentu, nas ini, Matius 14:22-33, akan dilihat, diposisikan dan dipahami dalam konteks besar seperti itu, yakni perhatian Yesus secara khusus kepada orang Yahudi. Berbeda dengan kitab-kitab Injil lainnya, penulis kitab ini melihat pertama-tama orang Yahudi sebagai tujuan keselamatan yang daripada Allah dalam diri Yesus Kristus. Namun kitab ini tidak berhenti hanya di situ. Pergerakan misi bersifat sentrifugal (dari dalam ke luar). Demikian juga berita keselamatan yang daripada Yesus pertama-tama diberitakan kepada orang Yahudi, kemudian kepada seluruh dunia ini. Apakah ini adil? Adil menurut Tuhan. Mengapa? Karena umat Israel dijadikan Tuhan menjadi alat di dalam karya dan tangan-Nya. Israel harus menjadi berkat bagi bangsa-bangsa (election for service). Dalam pemahaman demikianlah hendak kita lihat nas kita, Matius 14:22-33. Nas ini merupakan suatu cerita tentang Yesus berjalan di atas air. Cerita ini juga ada dalam Injil Markus 6:45-52 dan Yohanes 6:16-21 sebagai nas-nas paralel (sinoptis)-nya. Namun seiring dengan kekhasannya, hanya nas ini yang menceritakan tentang kisah Petrus yang memohon kepada Yesus agar dia diijinkan menjumpaiNya dengan berjalan di atas air. Pencantuman cerita ini tentu berhubungan dengan ‘tokoh Petrus’ yang dianggap sangat khas Yahudi.
3. Nas ini ditulis cukup sistematis seiring dengan alur atau jalan pikirannya yang teratur:
a. Ayat 22 – 23: Yesus dan murid-murid-Nya berpisah untuk sementara
Sesudah kelima ribu orang itu makan, terjadilah suatu hal yang tidak biasa terjadi, yakni Yesus yang biasanya bersama-sama dengan murid-murid-Nya, sekarang memerintahkan mereka untuk berangkat tanpa Dia sendiri ikut. Ia melepaskan diri-Nya dari orang banyak juga, sampai Yesus tinggal seorang diri. Yoh. 6:15 menerangkan latarbelakang kelakuan Yesus itu; setelah orang banyak menjadi insaf betul tentang mujizat yang telah terjadi, mereka mau memaksa Yesus untuk menjadi raja (Mesias tokoh politis, Mesias yang triumphant). Memang Tuhan mempunyai rencana supaya Yesus menjadi raja atas seluruh dunia, namun demikian Yesus tahu bahwa pada saat itu belum waktunya. Karena itu, Yesus menjauhkan murid-murid-Nya, supaya mereka tidak dipengaruhi emosi orang banyak, dan Ia menyuruh juga orang banyak itu pergi. Yesus tinggal seorang diri. Namun demikian, Ia bukan seorang diri; Allah ada, dan Yesus memergunakan waktu untuk berdoa kepada-Nya.
b. Ayat 24 – 27: Yesus menjumpai murid-murid-Nya di tengah danau
Keduabelas murid yang pada malam itu berdayung dalam perahu, sementara Yesus berdoa di bukit, mengalami kesusahan. Mereka sudah beberapa mil (kira-kira 5 km) dari pantai; karena angin sakal yang kencang mereka harus berdayung keras-keras untuk maju. Tmbahan pula, hati mereka tidak tenang, oleh karena mereka telah hamper diusir oleh Tuhan Yesus setelah lima ribu orang itu makan.
Tetapi Yesus tidak melupakan murid-murid-Nya. Boleh jadi dari bukit Ia dapat melihat perahu itu sebagai suatu titik di tengah-tengah ombak; di samping itu dapat diduga bahwa dengan pengetahuan ajaib Yesus menyadari kesusahan mereka. Yesus mau datang kepada mereka dan bagi Yesus air tidak menjadi halangan; Ia berjalan di atas air danau itu. Waktu mereka melihat Yesus, yang pada malam itu berjalan di atas air, maka mereka mengira bahwa Ia hantu, dan mereka berteriak-teriak sebab ketakutan. Tetapi Yesus mengatakan: “Tenanglah! Aku ini, jangan takut”.
c. Ayat 28 – 32: Petrus berjalan di atas air
Riwayat ini, tentang Petrus yang berjalan di atas air sama seperti Yesus, hanya ada di Injil Matius. Beberapa orang menganggap cerita ini sebagai ‘legenda atau dongeng tentang orang suci’. Namun biasanya legenda seperti itu menceritakan kepercayaan dari orang-orang suci tertentu. Padahal, dalam cerita ini justru ketidakpercayaan Petrus yang dipaparkan. Itu sebabnya, menurut banyak ahli cerita ini adalah cerita asli juga, oleh karena kelakuan Petrus dalam cerita ini cocok sekali dengan tabiat Petrus yang kita kenal dari peristiwa-peristiwa lain. Petrus adalah seorang yang sangat spontan, dan dengan sifat spontan itu ia memohon supaya ia diperbolehkan datang kepada Yesus dengan berjalan di atas air. Menurut kepercayaan Petrus, andaikata Yesus menyuruhnya datang, maka Yesus akan memberi kepadanya kemungkinan untuk berjalan di atas air. Setelah menerima ijin dari Yesus maka dengan penuh kepercayaan Petrus turun dari pearhu, dan benar-benar ia dapat berjalan di atas air menuju Yesus. Tetapi waktu ia mulai memerhatikan angin dan ombak, takutlah dia dan ia mulai tenggelam. Begitulah hal iman: selama kita memusatkan perhatian kita kepada Yesus, kita kuat dalam iman, tetapi apabila kita melupakan Yesus, iman menjadi pudar dan kita tenggelam.
Waktu Petrus insaf bahwa ia mulai tenggelam, ia berteriak kepada Yesus: ‘Tolonglah aku’. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa seruan itu adalah teriakan yang terakhir dari seorang yang sedang tenggelam dan dengan serentak langkah yang pertama kea rah iman yang baru, sebab ia minta tolong kepada Yesus. Yesus mengulurkan tangan-Nya dan memegang Petrus, tetapi menegurnya juga, sebab ia sudah bimbang dan kurang percaya. Lalu Petrus dapat berjalan di atas air pula bersama-sama dengan Yesus. Bersama-sama mereka naik ke perahu dan atas perintah Yesus angin menjadi reda juga.
d. Ayat 33 : Respons murid-murid atas kedatangan Yesus
Orang-orang yang ada di perahu itu (yakni murid-murid Yesus) tercengang atas semua hal yang baru terjadi dan mereka menyembah Yesus. Perkataan Yunani yang dipakai di sini berarti berlutut di hadapan Yesus. Perkataan ini menandakan sikap yang cocok terhadap Yesus, yakni patut kita bertelut di hadapan-Nya dan kita menyembah-Nya. Pada kesempatan itu murid-murid mengaku bahwa Yesus adalah Anak Allah. Sulit ditentukan di sini apa yang mereka maksudkan dengan gelar tersebut. Murid-murid Yesus percaya kepada Yesus, tetapi pengetahuannya tentang Yesus masih dalam perkembangan. Barulah di Matius 16, Petrus akan mengaku bahwa Yesus adalah Mesias. Boleh jadi maksud mereka bahwa Yesus lain dari segala manusia, atau bahwa Ia wakil Allah, atau bahwa Ia sudah menerima kuasa penuh dari pihak Allah.
4. Nas ini kita perdengarkan sebagai dasar persekutuan kita dalam Minggu Exaudi. Ada tiga hal yang hendak kita lihat di sini:
a. Ketika murid-murid itu ketakutan maka mereka tidak mampu mengenal Yesus. Dalam situasi seperti itu, mereka dengan mudah dan cepat mengambil kesimpulan bahwa Ia adalah hantu. Keadaan seperti ini juga sangat banyak ditemukan masa kini. Ketika manusia dihantui ketakutan maka dia tidak akan mampu mengenal Yesus dan Yesus sendiri dianggap hantu. Dalam keadaan seperti ini Yesus sendiri datang dan berkata, “Ini Aku, Yesus Juru Selamatmu.”
b. Ketika kita percaya kepada Yesus maka kita mungkin dengan mudahnya akan berkata, “Aku dapat dengan mudah menelusuri gelombang dan ombak hidup ini.” Mungkin pada awalnya kita bisa. Namun ketika kita sadar bahwa ombak itu sungguh-sungguh ada dan siap menghadang kita di depan, maka iman kita goyah dan kemampuan kita menghadapi ombak itu segera runtuh. Dalam keadaan seperti itu, kita datang dan berseru kepada Yesus, “Yesus, tolong aku.”
c. Ketika Petrus berteriak minta tolong maka Yesus segera mengulurkan tangan-Nya dan mereka berjalan bersama. Dalam keadaan bersama dengan Yesus maka Petrus kembali dapat berjalan di atas air. Hidup ini juga seperti itu. Ketika kita berseru minta tolong kepada Yesus maka Yesus datang menolong kita. Dalam hidup bersama dengan Yesus maka kita dapat tegar kembali menghadapi ombak hidup ini.
Kesimpulannya ialah, betapa pentingnya memelihara hidup bersama dengan Yesus (to be with Jesus).
5. Teriakan Petrus barangkali menjadi ‘model’ bagi teriakan umat masa kini. ‘Tuhan, tolonglah aku!’ Teriakan ini membawa kita ke ‘alam sadar’ bahwa hidup ini ternyata penuh dengan gelombang dan ombak, besar atau kecil, banyak atau sedikit. Tentu, inilah yang hendak digambarkan dan diingatkan oleh simbol PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia), yakni kapal yang sedang berlayar di tengah lautan. Simbol ini hendak mengingatkan gereja dan setiap orang Kristen bahwa bagaikan kapal yang sedang berlayar di tengah lautan, begitulah hidup di dunia ini. Kita tidak boleh berkata, “Jangan dulu ada tantangan dan pergumulan dalam hidup saya.” Yang boleh kita katakana ialah ‘selamat datang tantangan dan semoga saya siap memenangkannya.’
6. Lau, ketika kita sadar bahwa tantangan silih-berganti menggerogoti hidup kita maka kita segera datang dan berseru minta tolong kepada Tuhan. Pertanyaan selanjutnya ialah, bagaimana kita memahami jawaban Tuhan akan teriakan dan seruan kita? Cerita berikut ini kiranya menjadi perenungan berharga untuk kita:
Seorang sufi yang sungguh-sungguh hidup dalam kesalehan dan sangat bergantung pada Sang Khalik, suatu kali mengalami musibah besar di daerahnya. Daerah tempat tinggalnya mengalami banjir yang sangat hebat, beberapa warga dan jamaahnya sudah mengungsi ke tempat yang lebih aman. Ketua RT setempat meminta supaya sang Sufi turut mengungsi bersama mereka untuk mencari tempat yang lebih aman dan nyaman, tetapi Sufi ini menolak. Dia mengatakan, Sang Khalik akan datang menjemput dia nanti untuk menyelamatkannya, jadi tidak perlu mengungsi.
Hari semakin sore, sementara hujan terus-menerus mengguyur daerah tersebut hingga air mulai menggenangi lantai rumah-rumah penduduk hingga 50 cm. Sebagian besar penduduk sudah mengungsi, sementara Sufi pindah ke teras rumahnya dan naik ke meja makan yang telah dipindahkannya ke teras untuk menyelamatkan diri menunggu Sang Khalik menolong dirinya dengan mengangkatnya ke tempat yang lebih tinggi.
Tiba-tiba datanglah sebuah perahu karet dari tim SAR nasional yang sedang melakukan ‘sweeping’ terhadap penduduk-penduduk yang mungkin belum terangkut untuk diselamatkan, mengingat gelagat alam yang kurang baik dan belum menunjukkan tanda-tanda akan reda. Petugas tim SAR membujuk sang Sufi untuk ikut perahu mereka ke tempat yang aman. Namun, Sufi tersebut tetap bersikeras tidak mau ikut. Dia yakin, Sang Pencipta akan datang sendiri menyelamatkan dirinya. Tim SAR pun tidak bisa berbuat apa-apa atas keyakinan Sufi ini, dan mereka pun pergi. Ketika air sudah menutupi rumah, Sufi ini naik ke atap rumahnya. Rupanya, tim SAR tidak kehilangan akal untuk menyelamatkan Sufi. Mereka menggunakan helicopter menyisir daerah yang terkena banjir dan mendapati sang Sufi sedang duduk di atap rumahnya. Tim SAR kembali mengajak dia untuk ikut ke helicopter mencari tempat yang lebih aman di pengungsian mengingat banjir yang semakin besar. Kembali Sufi tersebut menjawab bahwa dia tidak akan mau ikut tim SAR karena berdasarkan keyakinannya Sang Khalik yang akan turun menolongnya.
Hingga banjir tidak dapat dibendung lagi, seluruh rumah terendam air. Setibanya di surga, pertanyaan yang langsung diajukan kepada Sang Khalik adalah “Gusti yang Maha Mulia, Junjunganku dan Sang Penciptaku, jika hamba diijinkan bertanya kepada-Mu, mengapa ketika banjir tadi Engkau tidak datang menolong hamba. Hamba sudah lama menunggu datangnya pertolongan, namun pertolongan-Mu tak kunjung datang jua hingga hamba bertemu muka dengan Gusti saat ini?”
Dengan tersenyum Sang Pencipta menjawab, “Wahai hamba-Ku yang setia, bukankah Aku sudah mengirim perahu karet dan helicopter untuk menolong engkau?” Barulah sang Sufi merasakan bahwa kehadiran Sang Khalik adalah bersifat transenden dan imanen.
Bukankah pengalaman seperti itu banyak kita temukan juga masa kini? Ketika kita mengalami pergumulan lalu kita berseru kepada Tuhan seperti seruan Petrus ini, “Tuhan, tolonglah aku!” Lalu, apa keyakinan kita? Kita sering masih mengandalkan pikiran dan keinginan kita lalu kita ingin agar jawaban atas seruan kita selalu sesuai dengan pikiran dan keinginan kita juga. Sesungguhnya, ketika kita berseru minta tolong, kita pasti menjawab. Persoalannya ialah jawabannya sesuai dengan kehendak Allah, bukan kehendak kita. Dalam keadaan seperti itu, kita sering tidak mampu menerima atau tidak mampu memahami jawaban Allah.

Begitulah kiranya Gereja dan orang Kristen memahami pertolongan Yesus dalam hidup keseharian kita. Pertolongan Yesus senantiasa hadir dalam hidup kita. Ketika kita berseru minta tolong kepada Yesus maka jawaban Yesus hanya satu, yakni “Ya!” Persoalannya ialah apakah kita percaya akan jawaban ini dan bagaimana kita memahaminya? Percaya akan pertolongan Yesus akan memampukan kita memahami bentuk dan wujud pertolongan-Nya dalam hidup kita.




Pdt. Leo Dunan Sibarani, M.Th.
Dosen STT HKBP Pematangsiantar

Bacaan Kenaikan Tuhan Yesus, 13 Mei 2010 Mazmur 110:1-7


Kenaikan Tuhan Yesus, 13 Mei 2010 Mazmur 110:1-7


DUDUKLAH DI SEBELAH KANAN-KU


1. Menurut ahli Biblika Perjanjian Lama, M.C. Barth dan B.A. Pareira, Mazmur 110 ini digolongkan ke dalam jenis ‘Mazmur Raja’. Sebagai Mazmur Raja, Mazmur ini tentu berbicara tentang raja. Raja adalah pejabat kerajaan Allah. Sebab itu, dia dapat memohon kepada Tuhan supaya diberi kekuasaan atas semua raja dan penguasa di muka bumi ini. Dengan pemahaman demikianlah, takhta Daud adalah takhta Tuhan, Allah yang maha tinggi.
Ada dua unsur di dalam setiap Mazmur jenis ini, yakni :
a. Firman Tuhan kepada raja.
b. Doa untuk raja.
Mazmur 110 ini dinyanyikan pada hari pemahkotaan atau ulang tahun pemahkotaan tersebut. Karena hubungan raja yang erat dengan kerajaan Tuhan dan dengan Sion maka Mazmur-mazmur Raja ini harus selalu diikat dalam hubungan dengan madah ‘Tuhan Raja’ dan ‘Nyanyian Sion’. Mungkin ditanyakan mengapa Mazmur-mazmur ini yang begitu mengagungkan raja Israel oleh jemaah Yahudi sesudah pembuangan tetap dipertahankan dan tidak dikeluarkan dari kitab puji-pujian mereka. Mazmur-mazmur ini tetap dipertahankan karena mereka memupuk pengharapan mesianis. Pengharapan ini dikukuhkan oleh pewartaan para nabi (Yes. 9:1-6; 11:1-10; Am. 9:11-12; Yer. 23:5-8; Yeh. 34:23-24; 37:24).
2. Selanjutnya, Mazmur Raja ini dalam tradisi umat Israel Perjanjian Lama berhubungan dengan ‘pelantikan seorang raja’. Menurut Christoph Barth, pengangkatan seorang raja di Israel ada segi dan tahapnya yang tersembunyi pada pemandangan mata orang. Apabila Allah melihat atau memilih orang-Nya, pun apabila Ia mengurapinya dengan perantaraan seorang nabi, dan terutama sekali apabila roh-Nya mulai berkuasa atas orang yang terpilih itu, maka semuanya ini merupakan tindakan-tindakan yang bersifat rahasia. Tetapi pengangkatan itu ada juga tahapnya yang nyata, di mana segala-galanya berlangsung di muka umum, dengan lembaga-lembaga masyarakat tertentu sebagai pelaksana dan saksi. Upacara resmi ini sudah biasa disebut penobatan atau pelantikan seorang raja. Sungguhpun harus dibedakan, tetapi kedua bidang itu tak dapat dipisah-pisahkan yang satu dari pada yang lain. Jelaslah pengangkatan tersembunyi oleh Tuhan itu sudah merupakan tindakan politik, seperti sebaliknya penobatan nyata oleh masyarakat itupun merupakan upacara keagamaan yang bersifat rohani.
Berdasarkan kesaksian-kesaksian Alkitab, dapatlah diduga dengan cara bagaimanakah upacara penobata itu berlansung. Urutannya kira-kira sebagai berikut:
- Calon raja mengambil tempat berdirinya di atas suatu tempat yang terangkat tinggi, di halaman bait suci.
- Raja dikenakan jejamang, mahkota dan/atau lain lambang jabatan jabatan raja.
- Raja diserahi piagam pelantikan berisi nama-nama penobatan, ketetapan-ketetapan mengenai hak dan kewajibannya, dan firman ilahi dengan pemberian tugas, penyerahan kuasa dan janji penyertaan.
- Raja diurapi sebagai tanda pemberian tugas dan penyerahan kuasa dari pihak masyarakat.
- Raja disambut dengan aklamasi atau sorak-sorai orang banyak.
- Raja dituntun ke istana, lalu dipersilahkan duduk di takhta kerajaan.
- Para pembesar/wakil masyarakat mengangkat sumpah setia di hadapan raja.
Sebenarnya adat penobatan ini tidaklah merupakan keistimewaan. Bangsa-bangsa tetangga orang Israel, bahkan bangsa-bangsa lain di semua benua dan sejak ribuan tahun telah mempunyai adat yang hamper serupa. Di mana saja ada raja, di situpun ada upacara penobatan, lengkap dengan penyerahan lambang kekuasaan berdasarkan tugas masyarakat dan jaminan ilahi. Semuanya diakhiri pada saat di mana raja baru itu sudah duduk di takhtanya. Itu sebabnya, keistimewaan orang Israel tidak terletak di dalam adat penobatan yang mereka pakai. Perbedaannya justru terletak di tiga acara, yaitu penyerahan piagam, pengurapan dan unsure duduk di atas takhta.
3. Dengan menyimak upacara penobatan (pelantikan) tersebut maka dapat dilihat penekanan umat Israel akan prinsip yang tidak boleh hilang dalam pemerintahan mereka, yakni ‘theokrasi’. Prinsip harus jelas, tegas dan tetap; namun teknis yang boleh berubah sesuai dengan kebutuhan dan situasi kondisi. Demikian halnya dalam pemerintahan umat Israel. Prinsipnya adalah teokrasi, di mana Allah-lah yang memerintah atas mereka. Namun di sisi lain, pelaksanaan teokrasi ini yang boleh berubah sesuai kondisi.
4. Dalam pemahaman umat Israel tentang fungsi dan kedudukan seorang raja ini, maka pada akhirnya mereka sampai kepada ‘raja adil yang akan datang’. Pemahaman seperti ini membuka pintu kepada pengharapan Mesias dalam diri seorang raja. Sehubungan dengan itu, J.L. Ch. Abineno mengatakan bahwa Mazmur 110 masuk ke dalam golongan ‘Mazmur Mesias’. Oleh penulis-penulis Perjanjian Baru, mazmur ini banyak sekali dikutip dan dihubungkan dengan hidup dan pekerjaan Yesus. Pertama-tama oleh Markus dalam ceriteranya tentang pemeriksaan Yesus oleh Imam Besar. Di situ kita membaca, bahwa waktu Imam Besar bertanya kepada-Nya apakah Ia Mesias, Anak dari Yang Terpuji, Ia menjawab: “Akulah Dia, dan kamu akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa dan datang di tengah-tengah awan-awan di langit (14:62). Selanjutnya oleh Lukas dalam pemberitaannya tentang khotbah Petrus pada hariraya Pentakosta di Yerusalem. Dalam khotbahnya itu Petrus katakan, bahwa yang dimaksudkan oleh Mazmur 110:1 dengan ‘tuanku – yang Tuhan suruh duduk di sebelah kanan-Nya, sampai Ia membuat musuh-musuhnya menjadi tumpuan kakinya – ialah Yesus, yang telah disalibkan oleh orang-orang Yahudi, tetapi yang telah dibuat oleh Allah menjadi Tuhan dan Kristus (Kis. 2:35). Kesaksian ini kita juga temui dalam surat Ibrani. Dalam Ibrani 1:3 penulis katakan, bahwa sesudah Yesus selesai mengadakan penyucian dosa, Ia ‘duduk di sebelah kanan Yang Mahabesar, di tempat yang tinggi’.
Dengan demikian cukup masuk akal kalau Mazmur ini paling sering dikutip dalam Perjanjian Baru. Fokus perhatian kutipan-kutipan itu adalah dua pernyataan Tuhan bagi raja, yang pertama menyangkut kekuasaan yang diserahkan kepadanya (ay. 1) dan yang kedua martabat imamat untuk selamanya (ay. 4). Dari dua pernyataan ini struktur mazmur ini jelas, terdiri dari dua bait yang disusun sejajar: rumus pengantar singkat (1a dan 4a) mengawali pernyataan meriah Tuhan (1b dan 4b), yang setiap kali disusul oleh enam baris yang keluar dari mulut pemazmur sendiri (ayat 2-3 dan 5-7).
Kebanyakan penafsir sekarang sepakat bahwa – sama seperti Mazm. 2 – mazmur ini pernah digunakan berkaitan dengan raja Yehuda, barangkali dalam rangka penobatannya di Bait Allah. Namun penting dilihat juga bahwa gambaran yang diberikan mazmur ini tentang seorang raja – imam yang duduk di sebelah kanan Allah dan diberi kuasa dan kemenangan atas segala musuhnya, jauh melampaui kenyataan historis lembaga monarkhi di Israel.
5. Dengan latar belakang demikianlah, kita hendak memahami, memosisikan dan memaparkan nas ini, Mazmur 110:1-7.
a. Ayat 1 – 2: Pelantikan raja di Sion (Installation of the King on Zion)
Mazmur ini dibuka dengan ‘the typical oracle of a prophet’ (formula utusan dari seorang nabi). Formula ini merupakan legitimasi bahwa apa yang akan dipaparkan dalam mazmur ini betul-betul merupakan firman Allah, bukan perkataan manusia belaka. Kemudian dalam ayat ini Tuhan member kepada sang raja kedudukan di sebelah kanan-Nya. Tindakan ini tidak lain daripada mengangkatnya sebagai wakil atau wazir-nya yang dengan demikian diberi bagian penuh dalam kemahakuasaan Allah. Lukas melihatnya terwujud dalam pengangkatan Yesus ke surge (Kis. 2:34-35). Kuasa yang diberikan kepada raja itu akan menjadi konkret dalam penaklukan total musuh-musuh (bnd. Yos. 10:24). Allah sendiri akan mengerjakannya untuk raja-Nya.
Dalam ayat 2 pemazmur menjelaskan bahwa Tuhan sendiri mengambil tongkat kekuasaan raja dan membuat lingkaran besar dengannya untuk menggambarkan luasnya wilayah kekuasaan sang raja. Kendatipun penaklukan musuh-musuh masih merupakan masa depan, namun sang raja diajak untuk sekarang juga memerintah atas mereka. Dalam perjuangan itu ia mendapat dukungan penuh dari bangsanya yang rela dan siap baginya. Mereka dinugerahkan kepadanya seperti embun yang lahir dari kandungan pagi.
b. Ayat 3 – 4: Raja dan Imam selama-lamanya (King and Priest for Ever)
Dalam bait kedua Tuhan kembali berbicara, bahkan dengan nada yang lebih pasti dan tidak terbatalkan. Raja-Nya adalah juga imam, sama seperti Melkisedek, raja Salem yang juga imam Allah yang Mahatinggi (Kej. 14:18). Sang raja yang tadi dilantik sebagai wakil Allah di bumi, sekaligus juga mewakili manusia di hadapan Allah. Dalam gabungan pemerintahan dan imamat tergabunglah kuasa dan belas kasih. Raja yang memerintah atas musuh-musuhnya tidak merajalela melainkan juga iba hati bagi yang bersalah. Ia imam untuk selamanya. Pemazmur menjelaskan bahwa itu berkat perlindungan Tuhan yang selalu di sisi raja-imam.
c. Ayat 5 – 7: Kegemilangan dan kemanangan (Triumph and Victory)
Di sini kembali ditegaskan bahwa Ia imam untuk selamanya. Pemazmur menjelaskan bahwa itu berkat perlindungan Tuhan yang selalu di sisi raja-imam (ayat 5a). Sisi balik dari perlindungan itu adalah penghakiman atas musuh-musuh, hal mana digambarkan dengan sangat dahsyat dalam ayat 5b-6. Tidak jelas apakah ‘Ia’ di sini menunjuk kepada Allah atau kepada raja-imam. Barangkali yang terakhir. Raja Mesias ditampilkan dalam peran-Nya sebagai hakim akhir zaman. Ayat terakhir mengiaskan bagaimana Ia dalam perjuangan yang meletihkan selalu disegarkan dengan kekuatan baru, sehingga ia dapat mengangkat kepala dalam keyakinan bahwa akan menang.
6. Nas ini akan menjadi dasar persekutuan kita dalam merayakan pesta peringatan kenaikan Tuhan Yesus ke surga. Sehubungan dengan itu, yang menjadi pertanyaan ialah: Apakah dasar alkitabiah yang dapat disumbangkan oleh nas ini kepada kita orang Kristen dan kepada gereja kita? Kenaikan Yesus ke surga merupakan sebuah momentum bahwa Yesus kembali ke ke-Allah-annya di surga. Realita ini sekaligus juga merupakan peringatan bagi setiap orang Kristen bahwa tujuan hidup manusia bukanlah dunia ini, tetapi surga, di mana di sana Tuhan Allah memerintah selama-lamanya.
Selanjutnya, nas ini juga memberikan ‘model’ takhta kerajaan yang ideal dan sejati bagi orang Kristen dan bagi gereja sepanjang masa. Model apakah itu? Di dalam dunia tetapi bukan dari dunia. Demikian juga kerajaan Allah ada di dunia ini, di tengah-tengah kehidupan umat manusia. Namun, kerajaan Allah bukanlah seperti kerajaan dunia ini, karena Yesus yang adalah Mesias, bukan Mesias tokoh politis yang gilang gemilang (triumphant) akan tetapi Mesias yang menderita, sebagaimana dinubuatkan oleh para nabi Perjanjian Lama.
7. Kalau demikian halnya, nas ini juga sekaligus perenungan untuk kita dalam pesta kenaikan Tuhan Yesus ini. Renungan apa yang patut kita gumuli dalam pesta ini? Berikut ini suatu kutipan dipaparkan guna menolong kita menghayati perenungan itu. Dalam suatu kesempatan Gubernur Nusa Tenggara Timur, Herman Musakabe, mengemukakan bahwa sikap orang Kristen sering kali sama seperti para murid Yesus yang terus-menerus menengadah ke atas ketika Yesus naik ke surga. Begitu asyiknya mereka menengadah sehingga harus diingatkan oleh para malaikat bahwa masalah sebenarnya tidak terletak di ‘atas’ tetapi justru di sini, dalam dunia yang sangat konkret. Kata-kata ini kita pakai sebagai titik tolak untuk melihat tinjauan teologis dari perenungan kita. Hal ini dimaksudkan untuk menjelaskan kaitan antara cara dan sikap kita bertindak di dunia ini (sekularisasi) dengan kehidupan keberagamaan (religiositas) kita. Sekularisasi merupakan pengertian yang sangat melekat dalam kehidupan sehari-hari kita dewasa ini, lebih-lebih ketika sekarang kita sedang memasuki abad ilmu pengetahuan dan teknologi (science and technology). Masalah kita adalah apakah keberagamaan kita cukup ‘kuat’ untuk menghadapi proses sekularisasi yang sedang berlangsung dewasa ini? Sekularisasi adalah sikap yang lebih mengarahkan perhatian kepada hal-hal dan peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan dunia masa kini, suatu kesadaran akan otonomi ranah sekular, sekaligus penolakan terhadap segala sesuatu yang bersifat sekularisme. Tentu saja, defenisi ini adalah perumusan yang sangat popular. Namun demikian, pengertian sesungguhnya tidak sesederhana itu. Sekularisasi tidak dapat hanya dikaitkan dengan ketidakpercayaan dengan ketidakperdulian terhadap hal-hal yang bersifat keagamaan.
Apa yang hendak ditegaskan di sini? Ada dua hal yang harus selalu direnungkan oleh orang Kristen ketika merayakan hari Kenaikan Yesus, yakni:
a. Yesus naik ke surga untuk menyediakan tempat bagi orang-orang yang percaya kepada-Nya. Hal ini sekaligus hendak mengingatkan orang Kristen sepanjang masa bahwa bukanlah dunia ini tujuan hidup orang Kristen. Tujuan hidup orang Kristen adalah surga, di mana di sana orang percaya akan menerima hidup selama-lamanya.
b. Namun peristiwa itu juga hendak mengingatkan bahwa kita, orang-orang Kristen, masih ada dan hidup di dunia ini. Oleh karena itu, orang Kristen ditantang untuk selalu memaknai dan merespons hidup di dunia ini secara benar dan positif. Itu sebabnya, orang Kristen harus memahami secara benar sekularisasi, bukan sekularisme.




Pdt. Leo Dunan Sibarani, M.Th.
Dosen STT HKBP Pematangsiantar

Senin, 26 April 2010

Bacaan Minggu Rogate, 2 Mei 2010 1Timotius 2:1-7


Minggu Rogate, 2 Mei 2010 1Timotius 2:1-7


BERDOA BERSAMA ORANG PERCAYA



Sendainya putri Anda berumur lima tahun datang dan memohon kepada Anda sebanyak tiga kali pada hari itu dengan waktu yang berbeda. Permintaannya seperti ini: “Bapak, ayo bermain bersamaku!” “Aku lapar, beri aku makan” “Maaf, kalau butuh uang, ambil saja tabunganku.” Tidak satupun dari permintaannya dengan rengekan itu berhasil menarik perhatian orang tuanya. Semua permintaan itu penting dan sungguh-sungguh keluar dari hatinya. Tanggapan Anda, mungkin semua permintaan itu sama bagi putrimu, tetapi tidak sama bagi Anda. Keinginannya agar dapat bermain bersama Anda sangat besar, dan dia berharap Anda mau bermain. Bagi putri Anda bermain itu sangat penting dan harus segera dilaksanakan. Anda merasa tersanjung ketika diajaknya bermain, namun Anda merasa bahwa bermain bukan prioritas utama bagi umat manusia. Makan merupakan permintaan yang sangat penting bagi Anda terlebih bila sudah tiba saatnya untuk makan. Namun akan berbeda tanggapan Anda bila meminta makan disertai permintaan bermain sebelumnya. Demikian juga masalahnya dengan tabungan yang diberikan kepada Anda. Jika Anda membicarakan masalah keuangan dengan istri Anda dan putri Anda mendengar tunggakan yang belum dibayar padahal sudah jatuh tempo, tentu dia mendengar pembicaraan itu hanya sebatas masalah uang. Putri Anda mempunyai tabungan ayamnya. Saat itu dia akan menolong Anda dengan memberikan tabungannya. Tawaran itu membuat Anda tersentuh. Apakah Anda segera mengambil tabungannya karena kepekaannya, karena tidak mementingkan dirinya, karena keinginannya untuk menolong Anda?
Ada tiga permohonan yang berbeda. Ada tiga tingkatan keprihatinan yang berbeda.
Pertama, Doa kita dapat juga disebut sebagai daftar permintaan. Allah selalu merasa tergerak dan penuh perhatian terhadap para pendoa yang secara sadar mendoakan sesuatu yang dapat memengaruhi tingkat kepekaan-Nya terhadap kebutuhan kita. Allah tidak akan mendiamkan para pendoa yang sungguh-sungguh memohon dari hatinya yang terdalam di mana Tuhan juga mengetahuinya. Kitab 1 Timotius 2 ini memberitahukan kepada kita agar mendoakan semua orang, raja-raja dan para pembesar. Paulus menulis surat ini dari Makedonia untuk menopang anaknya itu dalam iman. Timotius mengalami masalah dalam jemaat di Efesus, kebaktian-kebaktian umum sudah tidak lagi berjalan menurut peraturan dan tidak efektif sebab para anggota jemaat tidak menaati Firman Tuhan. Secara umum gambaran orang lain terhadap umat Kristen ketika itu tidak baik, sebab mereka tidak ikut menyembah dewi-dewi yang ada di Efesus sehingga mereka tidak disukai pemerintah. Paulus menasihati para anggota jemaat akan tanggung jawab mereka secara rohani. Paulus menuliskan surat ini kepada Timotius agar jemaat hidup sebagai keluarga Allah, yakni jemaat dari Allah yang hidup (1Tim. 3:15). Perilaku yang menarik dari keluarga Allah adalah mengenai doa-doanya. Meski tidak masuk ke kuil untuk sembahyang tetapi setiap orang Kristen diminta agar mendoakan semua orang, raja-raja dan semua pembesar. Paulus meminta agar setiap orang Kristen menjaga perilakunya dalam kehidupan masyarakat yang asing.
Kedua, Doa merupakan komunikasi langsung antara manusia kepada Tuhan dan itu juga alat yang penuh kuasa yang dapat kita gunakan. Doa membuat jaringan antara dunia ini dan dunia kekekalan terhubung dan membuat segala sesuatu menjadi mungkin bagi Tuhan terwujud dalam hidup seseorang dan di dunia ini. Ketiga, Doa juga membawa kita kepada kehendak Allah, mengarahkan sikap dan perasaan kita kepada-Nya. Doa yang benar lebih banyak mendengar daripada berbicara. Kita mendoakan banyak orang karena kita berdoa di dalam Kristus. Di dalam Kristus kita menjadi lebih peduli pada semua orang – meskipun itu musuh kita – dan menginginkan keselamatan mereka. Melalui doa kita semua terhubung dan menyatu di dalam persekutuan bersama Allah atau Tuhan atau Roh Kudus. Kristus menjadi mediator antara manusia dan Allah, dan doalah yang menjadi sarananya. Paulus meminta agar jemaat menaikan doa permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur yang memunyai jenis dan arti yang berbeda tetapi saling terkait.

Jenis-Jenis Doa
Doa merupakan Landasan utama kehidupan seorang Kristen. Tanpa doa tidak ada kuasa. Sehat tidaknya kehidupan doa kita bisa dilihat dari seberapa besar kuasa doa dalam kehidupan Anda, khususnya dalam mengatasi pengaruh dosa. Paulus menasihatkan agar menaikkan permohonan, mengandung arti mengajukan permintaan untuk kebutuhan yang sudah pasti. Dalam menyampaikan permohonan ini kita harus merendahkan hati, dan biasanya doa ini dilakukan ketika menghadapi krisis. Doa syafaat, selalu digunakan untuk memohon pemenuhan kebutuhan yang selalu datang. Permohonan yang disampaikan di sini selalu dalam keadaan khusus. Doa ini biasanya ketika kita menghadapi tugas pengaturan yang rutin. Kemudian mengucap syukur, salam yang diungkapkan untuk memberkati penerima. Biasanya doa seperti ini dilakukan ketika para pemimpin telah membawa negerinya kepada kemakmuran, atau keluar dari krisis. Bentuk apapun yang akan kita pakai dalam berdoa tentunya kita harus menyerahkan hati kita sepenuhnya kepada-Nya. Dengan perkataan lain, di hadapan Allah kita mencurahkan segenap jiwa dan berharap penuh kepada Allah. Paulus meminta jemaat untuk berdoa karena dia tergerak melakukan sesuatu untuk menolong. Ada kuasa yang berlimpah-limpah pada saat kita bersekutu bersama orang percaya di dalam doa. Ada pergumulan iman mereka di dalam doa. Doa tidak mengandalkan kekuatan sendiri sebab akan sia-sia usaha tersebut, tetapi ketekunan dalam berdoa yang dikerjakan di dalam kita melalui Roh Kudus membuat kita berkenan di hadapan Allah. Roh Tuhan akan mengajari dan memampukan kita dalam berdoa (Rm. 8:26). Di dalam persekutuan yang benar, di mana ada Roh Allah yang mendatangkan kesatuan di antara dua orang atau lebih yang beriman di dalam doa tentang sesuatu yang akan diminta kepada Allah, atau di mana Roh Allah menaruh beban yang sama di dalam hati dua orang atau lebih, maka di dalam doa-doa semacam itu ada kuasa penuh yang akan mengubah dunia.

Mendoakan Penguasa
Doa orang percaya sebagai jemaat dan doa-doa pribadi orang percaya adalah untuk semua orang, raja-raja dan para pembesar. Mendoakan para pembesar akan menciptakan kebiasaan baik umat Kristen, meski pada saat itu Kaisar Nero penguasa di Roma. Kekejamannya tercatat dalam sejarah yang membakar banyak umat Kristen sebagai api unggun yang menerangi kota. Mendoakan mereka agar hatinya berubah. Mendoakan raja-raja dan para pembesar agar kita dapat hidup tenang dan tenteram. Hidup dalam ketentraman dapat membuat kita menjalani hidup dengan pasti, dan relasi dengan orang lain dapat lebih baik. Meski di dalam segala kekafiran dan pelecehan agama akan menciptakan situasi yang berbeda antara hidup saleh dan ketegangan. Situasi itu bukan saja terhadap sesama tetapi juga hubungan kita terhadap Tuhan. Namun Allah bisa mengubah segalanya, dan Paulus menyadari bahwa bagi Allah segala kemungkinan bisa terjadi. Di samping itu juiga kita perlu mendoakan agar tercipta kedamaian. Adanya damai menunjukkan bahwa Allah sebagai penguasa mutlak, dan Allah juga dapat memengaruhi penguasa melakukan kehendak-Nya. Untuk itu Paulus mendorong Timotius agar mengajak umat berdoa dengan tiada henti untuk semua orang, terlebih-lebih yang menolak Injil. Terkadang kita lupa untuk mendoakan orang-orang yang membenci kita atau yang memusuhi umat Kristen. Padahal mereka selalu hadir di sekitar kita (lih. Mat. 5:44-45a).
Tuhan menginginkan agar kita selalu mendoakan bukan hanya orang-orang yang kita kenal, tetapi juga yang tidak kita kenal. Tuhan akan mengubah hati mereka, karena kita menyadari bahwa doa-doa kita tidak menuju pada kesia-siaan. Dia bukan seperti allah lain, Dialah Allah Juruselamat kita yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan. Jadi kita selalu datang kehadirat-Nya dalam doa yang tiada henti. Kita memerlukan doa setiap hari dan dukungan agar terhindar dari ketidakjujuran yang bisa muncul perlahan-lahan pada setiap orang dari antara umat Kristen. Dosa selalu mengintip setiap orang karena sifat kedosaan yang telah kita warisi.

Mengapa Kita Harus Berdoa?
Paulus menasihatkan jemaat Efesus agar mendoakan “semua orang” yang menjelaskan semua orang di dunia ini masuk dalam pengaruh doa tersebut. Itu berarti kita mendoakan orang-orang yang sudah selamat dan yang belum selamat, orang-orang yang dekat dengan kita dan yang jauh, musuh-musuh kita dan juga sahabat-sahabat kita. Para pemimpin yang sangat kita hormati atau para pemimpin yang tidak kita hormati sebagai orang yang memimpin kita. Mendoakan mereka adalah untuk kebaikan kita sendiri: “agar kita dapat hidup tenang dan tenteram dalam segala kesalehan dan kehormatan” (2:2b). “Tenang” mengarahkan kita kepada keadaan yang ada di sekeliling kita, sedangkan “tenteram” mempunyai maksud kepada sikap kita yang tenang di dalam diri kita.
Kita mendoakan semua orang karena Allah menghendaki agar semua orang mengetahui rencana keselamatan Allah melalui iman di dalam Yesus Kristus. Lingkungan yang tenang dan tenteram didambakan banyak orang dan keadaan itu memberikan kesempatan kepada umat Kristen melaksanakan ibadahnya dalam kedamaian. Pemerintah yang baik dapat dibantu untuk menciptakan situasi tersebut. Kita patut bersyukur tinggal di negeri yang menghargai kebebasan setiap orang untuk mengungkapkan iman kita tanpa harus bersembunyi. Namun kita juga harus waspada terhadap kebenaran politis yang dapat meniadakan hak-hak kita untuk hal-hal yang pokok dari iman kita. Kita juga harus waspada dan mendoakan umat Kristen yang mangalami penganiayaan karena iman mereka dan juga kekerasan yang dialami oleh umat Kristen di Indonesia dan negara lainnya.
Allah menginginkan semua orang diselamatkan, dan Yesus telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua manusia. Namun Dia juga mengatakan karena sempit jalan menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya (Mat. 7:14). Tawaran itu disampaikan kepada semua orang tetapi tidak semua orang akan menerimanya. Itu sebabnya kita diminta untuk terus mendoakan dan bersaksi kepada setiap orang bahwa kita mampu meraihnya. Bisa saja orang menggunakan “Doa Bapa Kami” dalam mengawali hari-hari dalam hidupnya dan memohon bahwa Nama Allah dikuduskan dan jadilah kehendak-Nya di dalam dan melalui hidup kita. Ada orang yang melakukan kebiasaan ini.
Untuk bersekutu terhadap Tuhan, kita harus bersekutu dengan sahabat kita sesama orang percaya. Yesus menunjuk firman-Nya dalam Matius 5:23 ketika Dia memerintahkan seseorang yang akan mempersembahkan persembahannya di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau berdamailah dahulu sebelum persembahan itu dilaksanakan. Penting sekali untuk kita perhatikan antara kata dan tindakan untuk menunjukkan bahwa iman kita itu benar. Paulus dari awal sudah menunjukkan kepada kita betapa pentingnya berdoa. Diperlukan orang-orang percaya, baik secara pribadi dan komunal untuk berdoa dengan tekun karena dengan doa kita melibatkan Allah dalam tujuan yang hendak kita capai.
Doa adalah nafas kehidupan Kristen. Oleh karena itu doa tidak dipakai hanya sewaktu-waktu melainkan menyangkut seluruh totalitas hidup manusia. Doa menjadi bagian dari hidup manusia yakni kerohaniannya yang dipersiapkan untuk menjadi orang Kristen yang kuat dan bertumbuh dalam iman. Amin





Pdt Tigor Sitanggang, M.Th.

Bacaan Minggu Kantate, 2 Mei 201 Mazmur 66:16-20


Minggu Kantate, 2 Mei 201 Mazmur 66:16-20


PUJILAH ALLAH YANG MENDENGAR DAN MEMPERHATIKAN ENGKAU


Minggu ini disebut dengan Kantate. Artinya, “Nyanyikanlah nyanyian baru bagi Tuhan.” Menyanyikan pujian atas segala perbuatan Allah yang pernah dilakukannya terhadap kita. Apakah alasan kita untuk menyanyikan pujian? Mungkin saja hidup kita susah, mungkin kita harus bekerja keras, mungkin juga pekerjaan kita kurang berhasil. Dalam situasi seperti itu bagaimana kita bisa menyanyikan kidung pujian? Nyanyian pujian bisa dilantunkan bila kita mengingat perbuatan atau apa yang dilakukan-Nya terhadap diri kita. Puji-pujian merupakan saat kita bernyanyi tentang Allah, pujian yang berhubungan dengan tindakan Allah yang kita rasakan karena anugerah, dan berkat-Nya; dan ketika kita beribadah kita bernyanyi kepada-Nya.
Berikut ini pengalaman seorang Bapak ketika keluarga berkunjung ke rumahnya. Kunjungan keluarga merupakan saat bahagia karena berkumpul bersama saudara yang tidak bisa dilakukan setiap saat. Begitu juga dengan kehadiran seorang keponakan yang masih balita bersama dengan keluarga yang datang dari kota lain tentu sangat menyenangkan hati. “Namun selama menginap, ada kebiasaan yang tidak menyenangkan terjadi di mana ia paling sering mengutak-atik pesawat TV kami,” demikian dikatakan oleh seorang Bapak. Meski sudah dilarang, masih tetap melakukannya. Sampai pada akhirnya TV itu rusak akibat perbuatannya. Keadaan itu sangat mengganggu, karena tidak ada TV maka tidak bisa menonton film kesukaan, berita dan acara lainnya. Aku pun mulai mengomel, “wah, kalau TV rusak kita tidak ada hiburan sama sekali nih,” ujar Bapak itu sedikit jengkel sambil melirik keponakan mungil mereka.
Di tengah didera oleh kejengkelan itulah aku merasa Tuhan berbicara lembut dalam hatiku. “Nak, siapakah sumber penghiburanmu? Selama ini matamu lebih banyak tertuju pada-Ku atau pesawat TV?” Seketika itu pun aku bagai disadarkan oleh Tuhan, aku tersadar bahwa tanpa aku sadari aku menjadi pecandu acara TV. Aku lebih menyukai acara TV daripada mencari kehendak Tuhan. Ketikan gundah, aku lebih suka menonton acara komedi atau film. Bukannya mencari penghiburan dan kedamaian dari Tuhan, aku menjadikan TV sebagai sumber penghiburan untukku. Menonton acara TV bisa mengalihkan perhatian kita dari Tuhan sebagai sumber kehidupan.
Pemazmur menikmati berkat Allah bukan formalitas saja tanpa dasar dan penghayatan arti dan makna sesungguhnya, tanpa penghayatan kristiani. Pemazmur merenungkan perbuatan-perbuatan Allah yang dilakukan-Nya ketika mereka berada di tanah Mesir. Mereka diperbudak dan Allah turun tangan melalui Musa untuk melepaskan mereka dari kekuasaan pemerintah Mesir. Peristiwa keluaran tidak dengan serta merta membuat bangsa Israel keluar dari Mesir dan memasuki tanah pengharapan, tetapi peristiwa itu dipakai Allah untuk mendidik bangsa itu agar semakin mengenal dan merasakan perbuatan Tuhan dalam hidup mereka. Begitu dahsyatnya perbuatan Tuhan dalam peristiwa itu yang membuat Firaun tunduk dalam kekuasaan Allah. Bangsa Israel dibebaskan menuju tanah pengharapan. Keluar dari Mesir meningkatkan nilai kemanusiaan bangsa itu, kepala mereka bisa tegak berdiri meninggalkan negeri yang telah memperbudak mereka. Umat Tuhan lahir karena perbuatan Allah di Mesir dan peristiwa Laut Teberau menjadi peristiwa yang tidak terlupakan bangsa itu dan pemazmur sendiri. Dia tidak pernah melupakan kekuasaan Tuhan. Ditambah lagi, dia sering mengalami perlindungan dan berkat Allah dalam hidupnya, meski musuhnya banyak dan mengalami masa-masa sulit dia selalu percaya kepada Tuhan.
Mazmur ini menunjukkan rangkaian antara pujian dan ucapan syukur di dalam doa yang disampaikan secara pribadi maupun bersama-sama atas peristiwa masa lampau dan masa kini. Kita bisa melihat dalam ayat 16-19 dan kesimpulan pada ayat 20 dalam kasih karunia Allah atas kebaikan-Nya. Ayat-ayat itu sebagai kesaksian pribadi yang berdiri di tengah-tengah komunitas peserta ibadah untuk mengajak semua orang dalam ibadah untuk mensyukuri perbuatan-Nya yang ajaib. Kita melihat pemazmur bersyukur dan memuji Allah terus secara berulang-ulang. Rasa syukur bisa mengarah kepada ungkapan pribadi tetapi puji-pujian mengubah doa pribadi menjadi komunal dan meluas. Memuji Allah memerlukan pemusatan pikiran secara komunal, berbeda dari rasa syukur yang melihat apa yang telah dilakukan Allah kepadaku. Namun memuji bisa menciptakan jarak antara si pemuji dan Allah, jadi diperlukan ungkapan rasa syukur untuk melihat peran Allah secara pribadi kepadaku. Hal itu sangat berhubungan antara pengakuan terhadap perbuatan Allah di masa lampau dengan tindakan-Nya di masa kini, keberadaannya tidak terpisah namun berbeda cara mengungkapkannya dan penyataannya meski dari Allah yang sama.
Mazmur ini mengarahkan kita juga kepada peristiwa Paskah. Peristiwa Keluaran diulang dalam peristiwa kebangkitan Yesus dengan cara baru di mana puji-pujian kita berakar dalam kebangkitan-Nya dari kubur. Hal-hal yang membuat kita menderita, susah dan berduka berubah kepada kesatuan dalam kemenangan Tuhan terhadap kematian dan Yesus Kristus tetap hidup di antara orang-orang percaya. Dia menang atas kuasa dosa, maut dan iblis. Dia mati di kayu salib karena dosa-dosa kita. Itulah sukacita kita. Itu jugalah doa rasa syukur kita mengingat karya Allah yang begitu besar di masa lalu dan melihat kuasa yang sama yang bekerja pada masa kini dalam diri setiap orang percaya (umat-Nya). Bagi orang Jahudi seluruh sejarah kehidupan mereka berhubungan dan dirangkum dalam peristiwa Keluaran; bagi umat Kristen peristiwa itu terdapat dalam kebangkitan Yesus. Peristiwa keluaran terjadi kepada bangsa Israel; kebangkitan Yesus terjadi terhadap individu. Namun setiap orang Jahudi menanggapi peristiwa keluaran itu diulang dalam gerak peristiwa hidup mereka sendiri secara pribadi. Selanjutnya, umat Kristiani juga akan melihat kebangkitan Yesus berulang dalam setiap peristiwa hidup mereka secara pribadi dan juga dalam kehidupan bersama sebagai gereja. Kebaikan Allah yang membawa umat Israel keluar dari perbudakan dan Yesus yang bangkit dari mati dapat mengantarkan kita keluar dari godaan – depresi, alkohol, sex, agama, hubungan-hubungan, kerja atau uang. Semua itu dapat dilakukan oleh karena kasih setia (hesed: Ibrani; dan agape: Yunani) dari Allah yang sama. Puji-pujian muncul sebagai tanggapan kita karena kita mengetahui apa yang dilakukan Allah dalam hidup kita.

Apa yang dilakukan-Nya terhadap kita?
Semua orang percaya diajak untuk memuji Allah. Dalam Yesaya 43:21 dijelaskan alasan mengapa kita sebagai ciptaan-Nya harus memuji Tuhan. Puji-pujian berasal dari hati yang penuh kasih terhadap Allah. Kita mengasihi Allah karena Dia telah lebih dulu mengasihi kita. Tanpa kasih setia-Nya pujian kita terasa lemah. Kasih itu lahir dari hubungan kita bersama Tuhan melalui Yesus Kristus yang merupakan bagian terpenting dari puji-pujian kita. Alkitab juga memberitahu kita bahwa bukan hanya kita yang memuji-Nya tetapi: segala ciptaan memuji Dia (Mzm. 148:7-10); matahari, bulan dan segala bintang memuji Dia (Mzm 19:1; 148:3); para malaikat memuji Dia (Mzm. 148:2); bahkan orang-orang yang terhukum dipakai Allah untuk memuji Dia (Mzm. 76:10); anak-anak juga diajar untuk memuji Dia (Mzm. 78:4). Pemazmur memuji Tuhan karena berbagai peristiwa yang telah dilaluinya bersama Tuhan ketika keluar dari Mesir, melewati Laut Merah dan memasuki tanah perjanjian dengan harapan baru yang lebih baik. Allah membebaskan umat-Nya agar umat-Nya menikmati hidup yang lebih berarti dan memiliki tujuan.

Memuji Dia dalam kelemahan kita
Dalam ibadah, orang percaya akan mengaku kebesaran Allah dalam hormat dan rasa takut untuk merespon kekudusan Allah. Pengakuan itu bukan hanya karena Allah kudus tetapi juga dosa merupakan beban dalam hidup dan berdampak pada jawaban Allah terhadap doa kita yang tersembunyi. Jelasnya, agar doa kita cukup efektif, maka dosa harus dihindarkan. Doa berawal dari pengakuan dosa kita kepada Tuhan. Dalam penderitaan kita perlu berpegang teguh terhadap janji Tuhan karena Dia adalah Allah Yang Pemurah, yang mau turun tangan menolong kita yang menderita. Dia turun hingga mati di kayu salib, dan kita melihat anugerah dan kasih karunia-Nya melalui Kristus. Dengan iman kita memegang teguh perkataan Yesus di kayu salib yang mengatakan “sudah selesai”. Itu adalah janji-Nya dan bukan hukuman atas dosa-dosa kita, sebab Allah telah menghukum-Nya. Kita tidak pantas menerima kasih karunia-Nya itu, namun kita menemukannya di dalam Kristus yang mengaruniakannya kepada kita. Itulah yang dilakukan oleh iman kita, yang dapat menyembuhkan ketakutan-ketakutan kita dan yang menjadi ungkapan doa dari Pemazmur.
Seorang Lutheran yang suka menulis lagu himne bernama Paul Gerhardt pernah mengalami kegetiran hidup namun masih mampu menyanyikan lagu pujian karena kasih setia-Nya. Dia mempunyai lima anak tetapi tiga sudah meninggal ketika masih bayi, dan dia kehilangan satu dari dua putranya. Dalam situasi yang menyedihkan itu istrinya mulai letih akibat deraan derita dan cemas. Perlahan-lahan dan dalam waktu yang panjang situasi semakin memburuk dan ibu itu meninggal dunia. Akhirnya Gerhardt ditinggal bersama satu putranya yang berumur 6 tahun ketika itu. Dalam berbagai peristiwa pahit yang dialaminya itu dia mampu menciptakan lagu-lagu yang sangat indah. Ada beberapa lagunya dalam Kidung Jemaat salah satu di antaranya nomor 290: “Takkah Patut ‘Ku Bernyanyi,” dalam ayat pertama kita mendengar:
“Takkah patut ‘ku bernyanyi syukur bagi Tuhanku, kar’na rahmat tak berbanding yang melimpah selalu? Memang sungguh dan setia, tak terhingga kasih-Nya dan kekal bimbingan-Nya bagi yang mengabdi Dia. Biar dunia lenyap, kasih Allah ‘kan tetap.”
Nyanyian ini juga ada dalam Buku Ende HKBP, dan merupakan kesaksian kita bersama seperti Pemazmur. Nyanyian ini sebagai ungkapan perasaan dan iman kita kepada Tuhan. Kalau kita perhatikan doa dan lagu ini mengajak kita untuk bernyanyi seperti Pemazmur:
Marilah, dengarlah … aku hendak menceritakan apa yang dilakukan-Nya terhadap diriku, Allah telah mendengar, Ia memperhatikan doa yang kuucapkan. Allah tidak menjauhkan kasih setia-Nya dari padaku.
Sebagaimana dia mampu mengungkapkan perasaan dan imannya demikian juga dia mampu meraih anugerah Tuhan karena imannya menguatkan dia. Pada bagian akhir Mazmur ini pemazmur memiliki keyakinan yang teguh bukan hanya karena Allah tidak menolak doanya tetapi juga karena kasih setia-Nya melimpah dalam hidupnya. Demikian juga Paul Gerhardt menutup lagu himnenya dengan menuliskan:
“Kar’na tak berkesudahan Bapa kasih sayangMu, maka ‘ku bertadah tangan bagai anak padaMu: b’ri hidupku diiringi oleh kuasa Roh Kudus siang-malam dan terus, agar Dikau kukasihi sampai umurku genap dan kupuji Kau tetap!”
Dalam hidup pemazmur nyanyian ini berlangsung dalam rasa syukur atas pertolongan Tuhan melewati penderitaan dan perjalanan panjang dan sulit yang dapat berakibat pada depresi dan putus asa. Kita berharap bahwa nyanyian dan pujian kita juga akan mengajak kita untuk menyaksikan bagaimana Allah yang setia akan datang menolong kita.
Dalam hidup dan di gereja kita mungkin mengalami perasaan letih, lesu dan lemah, keadaan seperti itu tidak hanya menyerang anda sendiri, namun jangan berkepanjangan. Yeremia juga pernah berada dalam situasi yang kacau dan bahan ejekan orang, dia merasa Allah menipunya dan membuat dia mulai menyerah (Yeremia 20); Paulus juga merasa ditinggalkan Allah ketika di penjara. Namun dalam seluruh persoalan yang mereka hadapi, mereka selalu berdoa agar tetap kuat dan mengarahkan pandangannya kepada Yesus Kristus. Ketika mengalami situasi yang buruk sekalipun dan kita merasa Allah membenci kita, kita ingin diajak oleh pemazmur untuk mendengar nyanyian ini dan belajar dari pemazmur untuk tetap teguh memegang janji-Nya, Dia akan mendengarkan doamu dan membebaskan engkau dari keputusasaan.

Memuji Allah Meneguhkan Iman Kita
Pemazmur di sini meyakini tindakan Allah dalam hidupnya mengarahkan dia kepada kebaikan-kebaikan hidup. Dalam Mazmur 106:12 juga kita bisa melihat ungkapan yang berharga dari umat Israel, mereka percaya maka mereka bernyanyi. Mereka percaya lalu mereka memuji Allah. Puji-pujian merupakan unsur dasar bagi iman mereka. Puji-pujian tidak keluar dari mulut dengan sia-sia atau dengan sembarangan. Iman akan mengarahkan kita kepada puji-pujian. Mungkin kita mengalami banyak persoalan, susah atau berduka, reaksi umat beriman akan berdoa. Doa membuat iman kita tumbuh lalu mengarahkan kita kepada pujian. Kalau iman bertumbuh, namun jika tidak melakukan pujian maka iman akan lenyap. Kita perlu belajar melakukan pujian. Puji-pujian itu timbul karena kasih setia Tuhanterhadap kita, dan kata kasih setia dalam kitab Perjanjian Lama ditulis sekitar 250 kali. Kata ini menunjuk kepada kasih Allah yang setia terhadap segala janji-janji-Nya, dan mempunyai arti yang cukup luas seperti kemurahan, kebaikan dan panjang sabar. Kebaikan Allah itu mengajar kita untuk tidak tegar tengkuk seperti bangsa Israel. Dalam buku “The One-Minute Manager,” Kenneth Blanchard memesankan untuk mengembangkan perilaku “one-minute praising,” di mana para manejer (orang tua, pasutri, dll) mencoba untuk merangkul seseorang agar melakukan sesuatu dengan baik dan benar. Mereka memuji orang itu selama 60 detik untuk hal-hal baik pada diri orang itu. Tindakan itu tidak mudah karena pada kenyataannya kita sering menemukan orang-orang lebih mudah mengecam perilaku seseorang dalam setiap 60 detik daripada memujinya. Ini juga patut diperhatikan oleh gereja, sebab sering ditemukan orang-orang yang tidak bisa memuji Tuhan dalam hidupnya. Sebaiknya kita memuji Tuhan, karena semakin sering kita memuji Dia atas segala hal yang telah diberikan-Nya kepada kita maka kita semakin kurang untuk mengecam orang lain. Bila kita sering memuji Tuhan dalam ibadah di gereja maka kita akan melihat kuasa dan Roh-Nya bergerak melalui gereja.
Mendengar dan mengetahui bahwa Allah memperhatikan kita tentu memerlukan iman yang teguh. Dalam situasi kehidupan yang penuh ketakutan seperti sekarang ini mengakibatkan banyak orang berada di bawah tekanan mental. Untuk mengatasi keadaan itu banyak orang yang mengonsumsi obat penenang yang terjual secara resmi. Banyak penyakit menyerang seseorang diakibatkan oleh stress yang berdampak pada radang pencernaan dan penyakit lainnya karena tekanan rasa takut dan kecemasan. Para pakar kesehatan berpendapat bahwa 70% pasien yang berobat bukan karena memiliki masalah gangguan jasmani, tetapi mereka mengalami ketegangan syaraf, tekanan rasa takut atau khawatir. Banyak orang menderita dari rasa tidak aman. Pakar kesehatan itu menyarankan agar mereka mendekatkan diri kepada Tuhan Yesus. Iman adalah satu-satunya jalan keluar bagi manusia. Iman kepada Kristus mengarahkan pandangan kita ke arah realitas kekal. Melalui iman kita mengetahui bahwa dunia ini akan berlalu. Segala sesuatu akan berlalu. Namun, kemurahan dan kasih setia Tuhan tidak berlalu. Itulah yang membuat kita memuji Tuhan yang tetap mendengar dan memperhatikan kita. Amin



Pdt. Tigor Sitanggang, MTh