HIDUPLAH SENANTIASA DALAM BIMBINGAN ROH KUDUS
Pendahuluan
Kedatangan Roh Kudus atau hari turunnya Rohu’ul Kudus adalah bukti kebenaran Firman Tuhan Yesus, karena di kala Dia mau naik ke Sorga, Dia pernah menjanjikan bahwa akan diutusnya Roh Kudus untuk bersama murid-murid-Nya (Kis. 1:8).
Dipahami secara kronologis bahwa saat kedatangan Roh Kudus adalah hari kelima puluh, yang dihitung dari hari kebangkitan hingga ke hari kenaikan Tuhan Yesus: 40 hari dan dari hari kenaikan hingga hari kedatangan Roh Kudus: 10 hari, maka dimengerti bahwa hari kedatangan Roh Kudus adalah hari kelima puluh atau dalam sebutan bahasa Yunani disebut hari Pentakosta (hari kelima puluh).
Hari turunnya Roh Kudus adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh para murid Tuhan Yesus, hal itu terjadi sewaktu mereka berkumpul di Yerusalem yang terdiri dari 16 suku bangsa dan dengan jumlah jiwa mencapai 120 orang.. Dalam acara perkumpulan itu mereka juga melakukan pemilihan Rasul untuk menggantikan Yudas Iskariot yang telah mengakhiri hidupnya dan di sana terpilihlah Matias sebagai pengganti Yudas Iskariot lewat proses undi. (Kis. 1:23 – 26).
Setelah itulah tiba-tiba terdengar suara yang menderu dibarengi tiupan angin keras dan tanpak lidah-lidah seperti nyala api dan menghinggapi mereka maka penuhlah mereka dengan Roh Kudus (Kis. 2:1-4).
Peristiwa itu adalah suatu kejutan besar dan menimbulkan berbagai interpretasi dan pemahaman yang bercorak ragam, namun melalui khotbah Petrus yang sungguh bersemangat, maka jelaslah maksud dari peristiwa itu, yakni tentang kebenaran kebangkitan Kristus dan Dialah yang telah naik ke sorga serta menjanjikan kedatangan Roh Kudus sebagaimana kamu lihat dan kamu dengar di sini. Dengan demikian jelaslah bagi mereka arti dari semua peristiwa itu (Kis. 2 : 32 - 33).
Oleh pengamat Sejarah Gereja memahami bahwa pada hari turunnya Roh’ul Kudus, di situlah juga hari kelahiran gereja di dunia yang mengemban minimal 3 (tiga) pokok tugas yang sangat mendesak dan prinsip, yakni : Koinonia (bersekutu), Marturia (bersaksi), dan Diakonia (melayani).
Setelah orang banyak memahami makna peristiwa besar itu, lalu mereka bertanya kepada Petrus, apakah yang harus kami perbuat ? Jawab Petrus: “Bertobatlah kamu, agar memperoleh pengampunan dan menerima karunia Roh Kudus“.
Penjelasan Nats.
Sama halnya dengan makna nas ini (Yehez. 11:19–20) karena sengaja dikenakan kepada hari Pantakoste ke II, bahwa Israel perlu mendapat pertobatan, perubahan dan pembaharuan. Selaku umat yang dipanggil Tuhan menjadi umat pilihan-Nya perlu menyadari dirinya, perilakunya, perbuatan termasuk sikap mereka kepada Tuhan yang sering menunjukkan kemurtadan. Maka perlu mereka dengan segera berpaling kepada Tuhan dan meninggalkan kepercayaan kepada dewa-dewa yang menjijikan serta melupakan segala perbuatan-perbuatan yang keji itu. Soalnya bagi mereka perlu dengan segera ada perubahan yang signifikan yang betul-betul tampil beda dari antara bangsa-bangsa sekitar.
Secara konkrit bahwa selaku umat pilihan Tuhan dan yang dipanggil hidup dalam suatu persekutuan dan di tempatkan di satu tempat yakni, tanah Israel, maka Tuhan sungguh-sungguh menghendaki agar mereka memiliki:
Pertama : Hati yang lain (yang baru) dan betul-betul berbeda dari sifat orang di sekitar mereka (tampil beda).
Kedua : Roh yang baru (kekuatan baru, sikap yang baru, karakter yang baru, perilaku dan kepribadian yang baru). Ada perubahan hidup yang prinsip dan mendasar.
Ketiga : Tekad untuk menjauhkan hati yang keras, hati yang membantu, hati yang degil.
Keempat : Hati yang taat, yang loyal, tidak menentang dan tidak selalu bersungut-sungut dan komplein.
Dengan demikian maka dalam praktek kehidupan mereka sehari-hari akan nampak di depan mata umum bahwa mereka dengan setia :
Hidup sesuai dengan ketetapan dan peraturan Tuhan, tanpa ada alternatif (pilihan) yang lain.
Hidup dan berperilaku sebagai umat Tuhan.
Dan itu perlu dan harus dinampakkan sebab Tuhan adalah Allah mereka. Dengan kata lain mereka wajib dan bertanggung jawab berperilaku yang lajim sebagai umat dan pilihan Tuhan.
Applikasi dan Renungan
a. Merayakan hari kedatangan Roh Kudus pada hari kedua telah semakin menipis (sirna). Agaknya sebagian besar umat kristen tidak lagi memanfaatkan hari pesta kedua turunnya Roh Kudus untuk menyelenggarakan ibadah / kebaktian yang sungguh-sungguh (sama halnya hari kedua Natal dan hari kedua Paskah). Jika kita renungkan sebentar bahwa pernah hari kedua Roh Kudus, kebangkitan dan Natal di negara ini sebagai hari fakultatif dalam hubungan hari kerja. artinya jika benar-benar dipergunakan untuk berkebaktian maka tidak menjadi persoalan (tidak dianggap absen) kalaupun tidak masuk kantor. Tetapi sekarang tidak lagi, kenapa? Karena memang orang Kristen ternyata tidak berkebaktian lagi di pesta ke II (dua), sehingga dipastikanlah hari raya kedua Natal , Paskah dan Pentakosta menjadi hari kerja penuh.
b. Kedatangan Roh Kudus menyadarkan segenap umat kristen dan seluruh warga jemaat tentang perilaku dan perbuatan kita masing-masing. Apakah dalam setiap kegiatan dan aktifitas di keseharian kesibukan kita menunjukkan keperbedaan yang khas (tampil beda) dari yang bukan Kristen selaku orang yang percaya kepada Kristus dan menjadi contoh dan teladan bagi sesama kita ?
c. Apakah tanda-tanda dalam hidup ini, bahwa kita yang memperoleh kekuatan Roh Kudus memiliki sikap yang menunjukkan ketaatan, dan jauh dari kekerasan dan hati yang degil dan membatu ?
d. Bagaimana selayaknya yang hendak kita nampakkan dalam praktek hidup sehari-hari sebagai pertanda bahwa kita adalah orang yang menuruti perintah dan Firman Tuhan ?
e. Bagaimana supaya gereja : warga dan majelis gereja berhati lembut, taat dan jauh dari kekerasan ?
Scopus.
Hiduplah senantiasa dalam bimbingan Roh Kudus. sebab semua orang yang dipimpin Roh Allah adalah anak Allah (Rom. 8 ; 14).
Medan, awal Oktober 2008
Pdt. M.S.P Sitorus, MTh
Pendeta HKBP Ressort Medan II
BLOG INI BERSIFAT TERBUKA UNTUK DIKOMENTARI DAN DIKRITISI DEMI KEMAJUAN WAWASAN BERPIKIR, DAN BERTEOLOGI MASA KINI
Selasa, 26 Mei 2009
Bacaan Minggu 31 Mei 2009: Yesaya 40 : 12 - 14
SIAPAKAH YANG SETARA DENGAN ALLAH?
Pengantar
Kita hidup di dalam masyarakat majemuk, yang memiliki beragam kepercayaan. Dalam kondisi demikian, kadangkala jemaat mengalami kebingungan dan bertanya: “Allah manakah yang benar?”
Pertanyaan tersebut adalah sebuah pertanyaan yang sangat relevan dan penting untuk dijawab. Untuk itu, nas Alkitab, yang menjadi epistel di hari Pentakosta pertama ini, sangat baik untuk kita simak bersama-sama. Nas ini berbicara mengenai topik yang sangat penting, yaitu tentang diri Allah sendiri. Perjanjian Lama menggambarkan bahwa sejak umat Allah keluar dari Mesir, umat tersebut sering berpindah-pindah, dari satu tempat ke tempat lain. Dalam kondisi yang demikian, umat tersebut diperhadapkan kepada allah-allah (ilah-ilah) lokal yang dipercayai oleh masyarakat setempat. Meski demikian, melalui nabi-nabi, TUHAN ALLAH dengan tegas mengingatkan agar umat menjauhkan diri dari ilah-ilah tersebut dan tetap percaya kepada-Nya. Dengan perkataan lain, Allah menuntut loyalitas tunggal kepada-Nya.
Pembahasan
Kitab Yesaya dapat dibagi menjadi tiga periode. Periode pertama adalah pasal 1-39 (739-701 SM). Periode kedua adalah pasal 40-55 (605-539 SM) dan periode ketiga adalah pasal 56-66 (539-400 SM). Teks Alkitab yang baru kita baca termasuk periode kedua, di mana pada periode tersebut, umat Allah (bangsa Yehuda) berada dalam pembuangan di Babel. Hal itu terjadi akibat dosa dan pelanggaran mereka, di mana mereka hidup memberontak dengan percaya dan beribadah kepada ilah lain. Dalam keadilan-Nya, Allah menghukum umat tersebut melalui tangan musuh mereka. Sebagai bangsa yang hidup dalam pembuangan, mereka tidak memiliki kemerdekaan, umat Allah sangat menderita dan hidup putus asa.
Alkitab menjelaskan bahwa Allah yang adil, adalah juga Allah yang penuh kasih. Karena itu, Dia tidak menghendaki umat-Nya terus hidup dalam penderitaan. Dia berkenan menerima mereka yang mau bertobat dan kembali kepada-Nya. Pasal ini dengan jelas menyatakan kabar baik, berita keselamatan dan penghiburan bagi umat-Nya. Itulah sebabnya, di dalam ayat permulaan kita membaca: “Hiburkanlah, hiburkanlah umat-Ku, demikian firman Allahmu, tenangkanlah hati Yerusalem dan serukanlah kepadanya, bahwa perhambaannya sudah berakhir, bahwa kesalahannya telah diampuni, sebab ia telah menerima hukuman dari tangan TUHAN dua kali lipat karena segala dosanya (Yes. 40:1-2). Pada ayat berikutnya, nabi menunjuk kepada Allah yang kuat dan berkuasa (10) yang sanggup memelihara dan menggembalakan umat-Nya (11). Selanjutnya, kita membaca serangkaian pertanyaan yang berhubungan dengan pribadi. Perhatikan kata “Siapa” diulang beberapa kali dalam pasal ini (ayat 12, 13, 14, 18, 25).
Manusia jauh lebih kecil dari ciptaan Allah
Kita akan membagi pertanyaan dalam nas bacaaan kita tersebut menjadi dua bagian. Mari kita mulai dengan yang pertama, yaitu, yang berhubungan dengan ciptaan. Salah satu cara untuk mengenal kekerdilan manusia dan kebesaran Allah, adalah dengan memandang kepada alam, ciptaan Allah. Pada ayat 12, pertanyaan berhubungan dengan kebesaran ciptaan Allah. Di sini ada empat pertanyaan:
• Siapa yang menakar air laut dengan lekuk tangannya?
• Siapa yang mengukur langit dengan jengkal?
• Siapa yang menyukat debu tanah dengan takaran?
• Siapa yang menimbang gunung-gunung dengan dacing, atau bukit-bukit dengan neraca?
Bagaimanakah jemaat sekalian menjawab pertanyaan tersebut di atas? Isi dari pertanyaan tersebut mengandung kontras yang sangat menyolok. Di satu sisi, air laut sangatlah luas, dan di sisi lain, lekuk tangan manusia sangatlah kecil. Lalu, siapakah yang memiliki lekuk tangan yang sanggup menakar air laut tersebut? Jawabnya, tentu saja tidak ada. Hal yang sama dengan langit yang sedemikian luas. Siapakah yang memiliki jengkal sedemikian besar sehingga sanggup mengukur langit? Jawabnya juga tidak ada. Demikian juga dengan debu tanah yang sedemikian berat. Siapakah yang memiliki takaran yang sanggup menyukat debu tanah tersebut? Jawabnya, juga negatif. Hal yang sama dengan gunung-gunung atau bukit-bukit yang sedemikian tinggi dan berat. Siapakah yang sanggup menimbangnya? Sudah pasti, jawabnya, kembali tidak ada. Dengan perkataan lain, jika kita menyimak tantangan nabi tersebut di atas, maka semua jawabnya bersifat negatif: tidak ada. Atau lebih tegas lagi, tidak mungkin ada. Jika ada pribadi yang sanggup melakukannya, maka pribadi itu hanyalah Allah, yaitu satu-satunya pribadi yang menciptakan semua hal tersebut.
Allah jauh lebih besar dari semua
Jika pada ayat 12 pertanyaan pertama dikaitkan dengan ciptaan Allah, yang jauh lebih besar dari manusia, maka pada ayat 13 dan 14, pertanyaan yang kedua, berhubungan dengan diri Allah sendiri. “Siapa yang dapat mengatur Roh TUHAN atau memberi petunjuk kepada-Nya sebagai penasihat?” (13). Jika kita perhatikan dengan teliti, maka pertanyaan kedua ini (ay. 13) muncul segera setelah pertanyaan pertama (ay. 12). Jadi, kedua pertanyaan tersebut masih berhubungan. Jika demikian, jawaban apakah yang diharapkan dari ayat 13 tersebut? Sama dengan pertanyaan pertama, jawabnya juga bersifat negatif. Artinya, tidak ada seorangpun, termasuk ilah manapun yang dapat mengatur Roh Tuhan. Tidak mungkin seorang manusia atau ilah, bagaimanapun besarnya, dapat memberi petunjuk dan nasihat kepada Allah.
Jika demikian halnya, pertanyaan-pertanyaan dalam ayat 14 juga harus dijawab dengan nada negatif. Allah tidak perlu meminta nasihat kepada siapapun. Tidak ada seorangpun yang sanggup mengajar Allah tentang keadilan, pengetahuan dan pengertian. Hal itu tidak mungkin dilakukan oleh manusia atau mahluk apapun. Jadi, dengan jelas dan tegas teks tersebut menyatakan bahwa Allah di atas semua mahluk. Tidak ada yang dapat disejajarkan dengan Allah. Kebenaran itulah yang kemudian diulang-ulang pada ayat-ayat berikutnya: “Jadi dengan siapa hendak kamu samakan Allah, dan apa yang dapat kamu anggap serupa dengan Dia?”(40:18; Lih. juga ay. 25).
Penerapan
Disadari atau tidak, masih ada dari anggota jemaat kita yang belum menjadikan Allah satu-satunya pribadi yang dipercaya dan disembah. Hal itu dapat terlihat dari praktek perdukunan di sekitar kita. Dengan sedih saya memberitahukan bahwa beberapa kali saya bertemu dengan anggota jemaat yang masih berhubungan dengan dukun-dukun. Pada kondisi ‘normal’, mereka kelihatannya, baik-baik saja. Percaya kepada Tuhan dan rajin ke Gereja. Akan tetapi, ketika dalam kondisi ‘kepepet’, misalnya, ketika penyakit yang diderita anggota keluarga tidak sembuh-sembuh juga, maka mereka pergi kepada orang ‘pintar’ (istilah kita, “nisungkun ma na malo”). Yang lebih menyedihkan lagi, beberapa dari yang terlibat dukun tersebut di atas adalah majelis (sintua)! Praktek perdukunan tersebut, sungguh merupakan tindakan yang menyesatkan dan sia-sia. Beberapa dari mereka yang saya layani, bahkan sempat menjadi gila dan dipasung (kedua kaki dan tangan diikat dengan balok). Ada lagi, seorang istri yang baru menikah, akhirnya terancam bercerai karena setiap kali roh jahat itu menyerangnya (kambuh), maka dia membenci suaminya.
Di pihak lain, kita juga dapat melihat gaya hidup orang-orang yang walaupun kelihatannya percaya kepada Allah, tetapi dalam kenyataan hidup sehari-hari, mereka mengandalkan manusia. Itulah yang terjadi dengan seorang ayah yang saya layani. Ayah tersebut sedemikian ingin agar anaknya berhasil dalam kariernya. Karena itu, sekalipun dia telah berdoa, dia jungkir balik mencari backing untuk mendukung karier anaknya tersebut. Dalam hati, muncul pemikiran, sejauh mana sebenarnya orang tersebut percaya kepada doanya. Apakah semangatnya untuk berserah mencari backing kepada manusia (pejabat tertentu) sama dengan kepada Allah? Nampaknya, tidak demikian. Kiranya, melalui firman Tuhan hari ini, saudara semua semakin beriman dan bersandar hanya kepada Allah dan tidak pernah beralih kepada dukun, ilah atau ciptaan lainnya. Firman Tuhan hari ini menegaskan kembali bahwa hanya ada satu Allah yang sejati. Dia adalah Pencipta alam semesta serta yang mengatur dan mengendalikannya. Tidak ada yang dapat disejajarkan dengan-Nya.-
Pdt. Ir. Mangapul Sagala, D.Th
Pengantar
Kita hidup di dalam masyarakat majemuk, yang memiliki beragam kepercayaan. Dalam kondisi demikian, kadangkala jemaat mengalami kebingungan dan bertanya: “Allah manakah yang benar?”
Pertanyaan tersebut adalah sebuah pertanyaan yang sangat relevan dan penting untuk dijawab. Untuk itu, nas Alkitab, yang menjadi epistel di hari Pentakosta pertama ini, sangat baik untuk kita simak bersama-sama. Nas ini berbicara mengenai topik yang sangat penting, yaitu tentang diri Allah sendiri. Perjanjian Lama menggambarkan bahwa sejak umat Allah keluar dari Mesir, umat tersebut sering berpindah-pindah, dari satu tempat ke tempat lain. Dalam kondisi yang demikian, umat tersebut diperhadapkan kepada allah-allah (ilah-ilah) lokal yang dipercayai oleh masyarakat setempat. Meski demikian, melalui nabi-nabi, TUHAN ALLAH dengan tegas mengingatkan agar umat menjauhkan diri dari ilah-ilah tersebut dan tetap percaya kepada-Nya. Dengan perkataan lain, Allah menuntut loyalitas tunggal kepada-Nya.
Pembahasan
Kitab Yesaya dapat dibagi menjadi tiga periode. Periode pertama adalah pasal 1-39 (739-701 SM). Periode kedua adalah pasal 40-55 (605-539 SM) dan periode ketiga adalah pasal 56-66 (539-400 SM). Teks Alkitab yang baru kita baca termasuk periode kedua, di mana pada periode tersebut, umat Allah (bangsa Yehuda) berada dalam pembuangan di Babel. Hal itu terjadi akibat dosa dan pelanggaran mereka, di mana mereka hidup memberontak dengan percaya dan beribadah kepada ilah lain. Dalam keadilan-Nya, Allah menghukum umat tersebut melalui tangan musuh mereka. Sebagai bangsa yang hidup dalam pembuangan, mereka tidak memiliki kemerdekaan, umat Allah sangat menderita dan hidup putus asa.
Alkitab menjelaskan bahwa Allah yang adil, adalah juga Allah yang penuh kasih. Karena itu, Dia tidak menghendaki umat-Nya terus hidup dalam penderitaan. Dia berkenan menerima mereka yang mau bertobat dan kembali kepada-Nya. Pasal ini dengan jelas menyatakan kabar baik, berita keselamatan dan penghiburan bagi umat-Nya. Itulah sebabnya, di dalam ayat permulaan kita membaca: “Hiburkanlah, hiburkanlah umat-Ku, demikian firman Allahmu, tenangkanlah hati Yerusalem dan serukanlah kepadanya, bahwa perhambaannya sudah berakhir, bahwa kesalahannya telah diampuni, sebab ia telah menerima hukuman dari tangan TUHAN dua kali lipat karena segala dosanya (Yes. 40:1-2). Pada ayat berikutnya, nabi menunjuk kepada Allah yang kuat dan berkuasa (10) yang sanggup memelihara dan menggembalakan umat-Nya (11). Selanjutnya, kita membaca serangkaian pertanyaan yang berhubungan dengan pribadi. Perhatikan kata “Siapa” diulang beberapa kali dalam pasal ini (ayat 12, 13, 14, 18, 25).
Manusia jauh lebih kecil dari ciptaan Allah
Kita akan membagi pertanyaan dalam nas bacaaan kita tersebut menjadi dua bagian. Mari kita mulai dengan yang pertama, yaitu, yang berhubungan dengan ciptaan. Salah satu cara untuk mengenal kekerdilan manusia dan kebesaran Allah, adalah dengan memandang kepada alam, ciptaan Allah. Pada ayat 12, pertanyaan berhubungan dengan kebesaran ciptaan Allah. Di sini ada empat pertanyaan:
• Siapa yang menakar air laut dengan lekuk tangannya?
• Siapa yang mengukur langit dengan jengkal?
• Siapa yang menyukat debu tanah dengan takaran?
• Siapa yang menimbang gunung-gunung dengan dacing, atau bukit-bukit dengan neraca?
Bagaimanakah jemaat sekalian menjawab pertanyaan tersebut di atas? Isi dari pertanyaan tersebut mengandung kontras yang sangat menyolok. Di satu sisi, air laut sangatlah luas, dan di sisi lain, lekuk tangan manusia sangatlah kecil. Lalu, siapakah yang memiliki lekuk tangan yang sanggup menakar air laut tersebut? Jawabnya, tentu saja tidak ada. Hal yang sama dengan langit yang sedemikian luas. Siapakah yang memiliki jengkal sedemikian besar sehingga sanggup mengukur langit? Jawabnya juga tidak ada. Demikian juga dengan debu tanah yang sedemikian berat. Siapakah yang memiliki takaran yang sanggup menyukat debu tanah tersebut? Jawabnya, juga negatif. Hal yang sama dengan gunung-gunung atau bukit-bukit yang sedemikian tinggi dan berat. Siapakah yang sanggup menimbangnya? Sudah pasti, jawabnya, kembali tidak ada. Dengan perkataan lain, jika kita menyimak tantangan nabi tersebut di atas, maka semua jawabnya bersifat negatif: tidak ada. Atau lebih tegas lagi, tidak mungkin ada. Jika ada pribadi yang sanggup melakukannya, maka pribadi itu hanyalah Allah, yaitu satu-satunya pribadi yang menciptakan semua hal tersebut.
Allah jauh lebih besar dari semua
Jika pada ayat 12 pertanyaan pertama dikaitkan dengan ciptaan Allah, yang jauh lebih besar dari manusia, maka pada ayat 13 dan 14, pertanyaan yang kedua, berhubungan dengan diri Allah sendiri. “Siapa yang dapat mengatur Roh TUHAN atau memberi petunjuk kepada-Nya sebagai penasihat?” (13). Jika kita perhatikan dengan teliti, maka pertanyaan kedua ini (ay. 13) muncul segera setelah pertanyaan pertama (ay. 12). Jadi, kedua pertanyaan tersebut masih berhubungan. Jika demikian, jawaban apakah yang diharapkan dari ayat 13 tersebut? Sama dengan pertanyaan pertama, jawabnya juga bersifat negatif. Artinya, tidak ada seorangpun, termasuk ilah manapun yang dapat mengatur Roh Tuhan. Tidak mungkin seorang manusia atau ilah, bagaimanapun besarnya, dapat memberi petunjuk dan nasihat kepada Allah.
Jika demikian halnya, pertanyaan-pertanyaan dalam ayat 14 juga harus dijawab dengan nada negatif. Allah tidak perlu meminta nasihat kepada siapapun. Tidak ada seorangpun yang sanggup mengajar Allah tentang keadilan, pengetahuan dan pengertian. Hal itu tidak mungkin dilakukan oleh manusia atau mahluk apapun. Jadi, dengan jelas dan tegas teks tersebut menyatakan bahwa Allah di atas semua mahluk. Tidak ada yang dapat disejajarkan dengan Allah. Kebenaran itulah yang kemudian diulang-ulang pada ayat-ayat berikutnya: “Jadi dengan siapa hendak kamu samakan Allah, dan apa yang dapat kamu anggap serupa dengan Dia?”(40:18; Lih. juga ay. 25).
Penerapan
Disadari atau tidak, masih ada dari anggota jemaat kita yang belum menjadikan Allah satu-satunya pribadi yang dipercaya dan disembah. Hal itu dapat terlihat dari praktek perdukunan di sekitar kita. Dengan sedih saya memberitahukan bahwa beberapa kali saya bertemu dengan anggota jemaat yang masih berhubungan dengan dukun-dukun. Pada kondisi ‘normal’, mereka kelihatannya, baik-baik saja. Percaya kepada Tuhan dan rajin ke Gereja. Akan tetapi, ketika dalam kondisi ‘kepepet’, misalnya, ketika penyakit yang diderita anggota keluarga tidak sembuh-sembuh juga, maka mereka pergi kepada orang ‘pintar’ (istilah kita, “nisungkun ma na malo”). Yang lebih menyedihkan lagi, beberapa dari yang terlibat dukun tersebut di atas adalah majelis (sintua)! Praktek perdukunan tersebut, sungguh merupakan tindakan yang menyesatkan dan sia-sia. Beberapa dari mereka yang saya layani, bahkan sempat menjadi gila dan dipasung (kedua kaki dan tangan diikat dengan balok). Ada lagi, seorang istri yang baru menikah, akhirnya terancam bercerai karena setiap kali roh jahat itu menyerangnya (kambuh), maka dia membenci suaminya.
Di pihak lain, kita juga dapat melihat gaya hidup orang-orang yang walaupun kelihatannya percaya kepada Allah, tetapi dalam kenyataan hidup sehari-hari, mereka mengandalkan manusia. Itulah yang terjadi dengan seorang ayah yang saya layani. Ayah tersebut sedemikian ingin agar anaknya berhasil dalam kariernya. Karena itu, sekalipun dia telah berdoa, dia jungkir balik mencari backing untuk mendukung karier anaknya tersebut. Dalam hati, muncul pemikiran, sejauh mana sebenarnya orang tersebut percaya kepada doanya. Apakah semangatnya untuk berserah mencari backing kepada manusia (pejabat tertentu) sama dengan kepada Allah? Nampaknya, tidak demikian. Kiranya, melalui firman Tuhan hari ini, saudara semua semakin beriman dan bersandar hanya kepada Allah dan tidak pernah beralih kepada dukun, ilah atau ciptaan lainnya. Firman Tuhan hari ini menegaskan kembali bahwa hanya ada satu Allah yang sejati. Dia adalah Pencipta alam semesta serta yang mengatur dan mengendalikannya. Tidak ada yang dapat disejajarkan dengan-Nya.-
Pdt. Ir. Mangapul Sagala, D.Th
Langganan:
Postingan (Atom)