Senin, 26 Juli 2010

Bacaan Minggu 13 Setelah Trinitatis, 29 Agustus 2010: Roma 13:8-10

SIKAP KASIH
Roma 13:8-10
Minggu 13 Setelah Trinitatis, 29 Agustus  2010


Sebenarnya pasal 13:6-8 merupakan peralihan dari tema “takluk kepada pemerintah” ke tema “kasih”. Taat kepada pemerintah dan membayar pajak merupakan kewajiban yang dapat diselesaikan, sedangkan kasih merupakan kewajiban yang tak ada habis-habisnya.
“Janganlah kamu berhutang apa-apa kepada siapa pun juga, tetapi hendaklah kamu saling mengasihi. Sebab barangsiapa mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat” (Ay. 8). Ada dua kemungkinan untuk menerjemahkan ayat ini: 1) “Janganlah kamu berhutang apa-apa kepada siapa pun juga...” atau 2) “Janganlah kamu juga membiarkan kewajiban yang tidak diselesaikan terhadap siapa pun juga...” Menurut Cranfield, ayat ini mengulangi apa yang dikatakan dalam pasal 13:7, yaitu bahwa kita harus membereskan segala kewajiban kita, dan tidak membiarkan utang yang sudah harus dilunasi. Menurutnya, ayat ini tidak melarang pinjam-meminjam, tetapi setiap utang harus dilunasi tepat sesuai dengan perjanjian. Menurut Dunn, kalimat ini disusun dengan sengaja seperti itu supaya dua arti tersebut muncul.
“...tetapi hendaklah kamu saling mengasihi”. Masalah pinjam-meminjam kurang jelas dalam ayat ini, tetapi satu hal sungguh jelas, yaitu bahwa kita yang telah ditebus oleh Yesus Kristus berutang besar kepada-Nya. Denan mengasihi, kita mulai melunasi utang tersebut yang sebenarnya bersifat kekal. Kasih merupakan kewajiban atau utang yang tidak dapat dilunasi karena selalu ada kesempatan-kesempatan baru untuk mengasihi orang lain.
Dalam pasal 8:12 Paulus berkata, “...kita adalah orang berhutang, tetapi bukan kepada daging,” tetapidalam pasal itu ia tidak menjelaskan ia tidak menjelaskan kepada siapa kita berutang. Hal ini dilengkapi dalam pasal 13:8 di mana kita mengerti bahwa kita berutang kepada Tuhan, dan kepada sesama kita.
“Sebab barangsiapa mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat”. Jika pada suatu saat kita mengasihi orang, maka pada saat itu kita memenuhi perintah hukum Taurat  yang berkaitan dengan situasi itu.
“Karena firman: jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan mengingini dan firman lain mana pun juga, sudah tersimpul dalam firman ini, yaitu: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!” (Ayat 9). Ayat ini membuktikan bahwa “barangsiapa mengasihi sesama manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat”. Ayat ini, dari Imamat 19:18, dikutip beberapa kali dalam Perjanjian Baru.
Rabi Hillel, seorang tokoh agama Yahudi yang terkemuka, pernah berkata, “Apa yang kaubenci janganlah kaulakukan kepada sesamamu manusia; demikianlah seluruh hukum Taurat; sisanya hanya komentar, pergi dan pelajari!” Bagi rabi Hillel, tekanannya adapada “pergi dan pelajari”, sedangkan Rasul Paulus secara tidak langsung berkata, “Pergi dan lakukan!” Rupanya Paulus merasa puas, jikalau kita sungguh mengasihi sesama kita seperti diri kita sendiri, sedangkan rabi Hillel lebih menekankan supaya hukum Taurat dipelajari.
“Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!” Beberapa tokoh sejarah gereja mengatakan bahwa kita harus mengasihi diri kita sendiri sebelum kita dapat mengasihi orang lain. Ajaran tersebut juga dipakai dalam psikologi Kristen pada jaman ini. Sesungguhnya ajaran tersebut tidak sesuai dengan firman Allah, dan tidak berasal dari ayat ini. Dalam firman Allah kita diperintahkan untuk mengasihi Allah dan juga mengasihi sesama kita manusia, tetapi sama sekali tidak ada perintah supaya kita mengasihi diri kita sendiri. Mengasihi diri sendiri adalah dosa. Mengasihi Allah dan sesama manusia adalah kehendak Allah.
Ayat ini berkata, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!” bukan merupakan kekecualian. Dalam ayat ini kita diperintahkan untuk mengasihi orang lain, bukan diri kita sendiri. Manusia tidak perlu diperintahkan untuk mengasihi dirinya sendiri karena manusia yang berdosa sudah cukup pandai dalam mengasihi dirinya sendiri. Tidak ada orang yang harus dilatih untuk mengutamakan kepentingannya sendiri. Dengan kasih yang kuat seperti itu kamu harus mengasihi sesamamu manusia!
Luther berkata, “Saya percaya bahwa dengan perintah ‘seperti dirimu sendiri’ manusia tidak diperintahkan untuk mengasihi dirinya sendiri, tetapi kasih jahat yang dimilikinya dinyatakan kepadanya. Dengan kata lain, firman ini berkata kepadanya: Secara utuh Anda terarah kepada diri Anda sendiri, dan Anda penuh dengan kasih pada diri sendiri. Anda tidak dapat hidup secara benar, kecuali berhenti mengasihi diri sendiri dan dengan melupakan diri sendiri, Anda mengasihi sesama manusia.”
“Kasih tidak berbuat jahat terhadap sesama manusia, karena itu kasih adalah kegenapan hukum Taurat”. Dalam ayat ini pernyataan dalam pasal 13:9, di mana kita harus mengasihi, diulangi secara negatif. Karena dalam ayat ini dikatakan bahwa kita tidak berbuat jahat. Di bawah Hukum Taurat masyarakat diatur supaya tidak ada yang menyakiti atau menysahkan orang lain; dengan kata lain, supaya sesama manusia dikasihi. Utang yang pembayarannya ditunda-tunda merupakan salah satu kelakuan yang menyusahkan orang. Maka sesuai dengan hukum Taurat, dan sesuai dengan kehendak Allah, kita harus memberikan “kepada semua orang apa yang wajib.”
“Kasih adalah kegenapan hukum Taurat” Tujuan hukum Taurat adalah kebenaran, tetapi hukum Taurat tidak dapat mencapai tujuan itu. Sama seperti Kristus adalah tujuan hukum Taurat (bnd. 10:4), demikian juga kasih (yang dicapai dalam Kristus) adalah kegenapan hukum Taurat.
Apa yang mau disuarakan teks ini kepada kita? Pertama, kita jangan menolak tanggung jawab. Kekristenan jangan menolak tanggungjawab kita kepada siapapun baik itu kepada pemerintah terlebih kepada sesama manusia. Artinya, dari setiap orang dituntut pertanggung jawaban hidup. Apa yang telah dilakukannya kepada pemerintah dan kepada sesama nantinya semuanya itu dituntut dari kita. Karenanya, kita diajar untuk hidup lebih baik agar ketika kita diminta pertangunggjawaban, maka laporan kita baik kepada Tuhan.
Kedua, kita terus memiliki hutang kasih kepada sesama manusia. Hutang kasih ini harus kita bayar setiap hari kepada sesama manusia. Origenes berkata, “Hutang kasih tetap ada pada kita selamanya dan tidak pernah meninggalkan kita; inilah hutang yang kita semua laksanakan setiap hari dan selamanya berhutang.” Keyakinan Paulus ialah jika orang dengan jujur berusaha untuk menyelesaikan hutang kasih ini, ia akan dengan sendirinya memeliharakan semua hukum Allah. Ia tidak akan melakukan perzinahan, jika dua orang memperbolehkan nafsu jasmaninya menguasai mereka, sebenarnya, mereka tidak saling mengasihi, tetapi oleh karena kasih di antara mereka terlalu kecil: dalam kasih yang sejati, sekaligus ada hormat dan pengekangan nafsu yang mencegah kelakuan berdosa.
Ketiga, kasih tidak membinasakan. Karena kasih Kristus ada sama kita, maka tidak pernah sedetik pun kita berusaha menyakiti orang lain dan atau membinasakan mereka. Manusia tidak akan membunuh, karena kasih tidak pernah berusaha untuk membinasakan, bahkan kasih itu akan selalu membangun; kasih itu selalu baik hati.


Ramli SN Harahap

Bacaan Minggu 12 Setelah Trinitatis, 22 Agustus 2010: Kejadian 33:1-11

BERDAMAI KEMBALI DENGAN ESAU
                                                         Kejadian 33:1-11                                                                          


Untuk memahami teks ini secara utuh kita harus membacanya mulai dari pasal 32:1-33:20. Sementara Yakub melalukan perjalanan ke arah selatan, ia bertemu dengan “malaikat-malaikat Allah” (32:1). Ketika melihat mereka barangkali hati Yakub mendapat keberanian dan tentu pemandangan itu mengingatkan dia akan penglihatannya di Betel (28:11-15). Ia menamai tempat itu Mahanaim, yang artinya “dua perkemahan”, yang telah ditafsirkan sebagai dua kelompok malaikat atau sebuah perkemaham lain yang cocok dengan perkemahannya.
Setelah perpisahan selama bertahun-tahun oleh karena kebencian Esau yang sengit, Yakub berusaha untuk berdamai kembali dengan kakaknya. Yakub mengutus hamba-hambanya kepada Esau dengan salam yang rendah hati dan berbagai pemberian. Akan tetapi, Esau sudah dalam perjalanan untuk menemui Yakub, dan ia disertai empat ratus orang. Ketika Yakub mendengar hal ini, ia merasa sangat ketakutan. Cepat-cepat ia membagi seluruh kawanan ternak dan segala miliknya menjadi dua kelompok dengan maksud agar setidak-tidaknya satu kelompok bisa luput dari serangan, dan ia berdoa kepada Allahnya.
Doa Yakub ini membuktikan kerendahan hatinya yang tulus. Ia memohon kepada Allah supaya dilindungi dari Esau agar janji-janji perjanjian Tuhan dapat dipenuhi (28:11,22). Sekalipun Yakub percaya kepada Tuhan untuk memperoleh perlindungan, ia mengambil langkah selanjutnya untuk berdamai kembali dengan Esau. Sebagai suatu persembahan baginya Yakub memilih lebih dari lima ratus ekor domba dan ternak.
Ketika Yakub merenungkan pertemuannya dengan Esau, ia manjadi sangat prihatin dan cemas. Ia tinggal seorang diri dan melewatkan beberapa waktu sendirian saja. Keadaan ini akhirnya menimbulkan salah satu pengalaman yang paling luar biasa dalam hidupnya.
Sementara ia seorang diri, Yakub bergulat dengan seorang laki-laki sampai fajar menyingsing. Yakub memperingati pengalamannya itu dengan memberi nama khusus bagi tempat itu dengan nama Pniel karena “Aku telah melihat Allah berhadapan muka” (28:30).
Situasi itu menarik dan tegang. Pada waktu Esau dan Yakub saling mendekati, Yakub mengatur barisan keluarganya sedemikian rupa sehingga hamba-hamba perempuan beserta anak-anak mereka berada di muka, lalu Lea beserta anak-anaknya di belakang mereka dan Rahel beserta Yusuf di belakang sekali (33:1-2). Yakub menyambut Esau dengan bersujud sampai ke tanah tujuh kali (3), mengingatkan pada rasa hormat orang timur yang tercermin dalam Lempengan-lempengan Amarna. Pertemuan itu sama sekali tidak menunjukkan sikap gemar berperang, melainkan memperlihatkan sikap hangat dan akrab (4-7). Sebenarnya Esau agak terkejut karena pemberian yang banyak sekali dari Yakub; pada awalnya ia menolak tetapi akhirnya menerima pemberian itu (8-11). Keduanya sepakat untuk berpisah dengan damai, Esau ke pegunungan Seir (14) dan Yakub ke daerah sekitar Sikhem (17-20).
Jika kita rinci teks ini, maka kita akan membagi teks ini dalam dua bagian: 1) Yakub bertemu dengan Esau (33:1-7); dan 2) Yakub memberi hadiah kepada Esau (33:8-11).

1)    Yakub bertemu dengan Esau (33:1-7)

Yakub belum lama bertemu dengan Allah di Pniel. Di situ ia menerima nama agung yaitu Israel serta jaminan keamanan dalam perjalanan kehidupannya. Meskipun demikian, ketika melihat Esau, ia diliputi ketakutan. Ketakutannya adalah ketidakpercayaannya. Hal itu terbutkti dengan kenyataan berikut: (1) Yakub membentuk urutan kelompok-kelompok keluarganya sesuai dengan urutan untuk mengurangi bahaya; (2) Yakub maju kepada Esau dengan ‘sujud menyembah sampai ke tanah tujuh kali’. Sikap Yakub seperti ini lebih tepat disebut tindakan yang sangat pengecut dari sikap menghormati kakaknya. Jika dibandingkan dengan sikap Esau yang tidak begitu takut akan Allah, perbuatannya seperti memalukan. Malahan Esau menghadapi adik dan keluarganya dengan sikap yang terus terang (4-7). Esau berlari mendapatkan Yakub dan memeluk lehernya dan menciumnya serta memberi perhatian kepada keluarga Yakub.

2)    Yakub memberi hadiah kepada Esau (33:8-11)

Pemberian hadiah kepada Esau bukanlah suatu kesalahan Yakub. “Memang melihat mukamu adalah bagiku serasa melihat wajah Allah”, perkataan Yakub ini bukan suatu penjilatan tetapi ungkapan atas pekerjaan Allah yang dinyatakan melalui Esau, kakaknya. Yakub pernah melihat wajah Allah, yaitu dalam peristiwa yang dialaminya di Pniel. Pada saat ini, Allah menyelamatkan Yakub dari tangan Esau seperti yang telah Ia janjikan kepadanya. Ketika bertemu dengan Esau, Yakub merasa bertemu dengan Allah yang telah bertemu dengannya di Pniel, oleh karena Allah bekerja melalui sifat Esau.

Apa yang mau disuarakan teks ini bagi kita? Pertama, usahakanlah berdamai walau ada banyak tantangan. Perseteruan Yakub dengan Esau sudah menjadi peristiwa yang sungguh memedihkan hati Esau. Yakub dipihak yang merasa bersalah jauh lebih kuatir dan ketakutan untuk bertemu dengan Esau. Karena Yakub yang memulai persoalan dengan Esau maka dialah yang mencoba membuat usaha perdamaian itu dengan Esau. Hal ini menjadi pelajaran bagi kita saat ini. Jika kita merasakan bahwa kitalah yang membuat suatu persoalan dengan orang lain, maka sekarang usahakanlah agar dirimu kembali berdamai dengan dia yang engkau sakiti. Memang harus kita akui ada banyak tantangan yang dihadapi Yakub ketika mau berdamai itu. Hal itu menjadi tantangan bagi kita bukan menjadi penghalang bagi kita untuk tetap berdamai. Apapun yang terjadi usahakanlah agar kita bisa berdamai dengan yang kita sakiti yang kita benci selama ini.
Kedua, terimalah dengan baik ungkapan perdamaian orang lain. Ketika Yakub memberikan ungkapan perdamaian kepada Esau, Esau menolak ungkapan tersebut. Namun, akhirnya Esau menerima pemberian tersebut. Hal ini bukan berarti setiap perdamaian harus disimbolkan dengan pemberian sesuatu kepada yang kita sakiti. Bukan. Tetapi jika ada sesuatu yang diberikan karena rasa syukurnya atas perdamaian itu, terimalah dengan hati yang senang. Banyak hal mungkin yang tidak bisa kita ungkapkan dengan pemberian sesuatu. Dengan terjadinya perdamaian itu sebenarnya sudah menjadi kado atau pemberian yang cukup berharga yang harus kita terima.
Ketiga, hentikan segala permusuhan. Idealnya memang sebagai umat percaya, kita harus menghindari segala bentuk kekerasan dan permusuhan. Apalagi jika kita pakai kekerasan atau kelicikan demi mendapatkan kesenangan pribadi, itu perbuatan yang sungguh tidak terpuji. Walaupun dalam kisah ini Yakub memakai cara yang salah untuk mendapatkan berkat dari Tuhan, hal ini bukan berarti harus kita contoh dalam jaman ini. Kisah ini mau menyuarakan bahwa apa yang dikerjakan Yakub yang tidak benar di hadapan Tuhan harus tetap dipertanggungjawabkannya di hadapan Tuhan. Konsekuensinya ialah Yakub harus merubah jati dirinya, dan bahkan namanya pun berubah menjadi Israel. Artinya, marilah kita berusaha dalam hidup ini menjauhkan diri dari hal-hal yang membuat orang lain sakit hati, membuat orang kurang enak sama kita, membuat orang lain jengkel terhadap kita. Tetapi marilah kita berbuat yang terbaik bagi sesama manusia, sebab Tuhan telah berbuat baik bagi kita (bnd. Mzm. 145:9a).





Ramli SN Harahap

Bacaan Minggu 11 Setelah Trinitatis, 15 Agustus 2010: 1Petrus 3:8-12

TIGA KARAKTER YANG
MEMBUAT DUNIA MAKIN BAIK
1Petrus 3:8-12
Minggu 11 Setelah Trinitatis, 15 Agustus  2010 




Di tengah dunia yang sangat diwarnai oleh kekerasan, agaknya ucapan Mahatma Gandhi sangat perlu untuk didengarkan kembali. Ia berkata, ”Mata ganti mata, maka seluruh dunia akan menjadi buta.” Di dalam setiap agama agaknya terdapat benturan yang hebat antara dua cara berpikir. Yang pertama adalah cara berpikir yang berporos pada keadilan yang mempergunakan hukum balas-dendam. Dalam cara berpikir ini, sesuatu disebut adil jika apa yang diterima seseorang diterima juga oleh orang lain dengan bobot yang sama. Jika seseorang berbuat jahat pada kita, maka kita berhak membalas orang itu dengan perlakuan yang sama. Jika perlu lebih kejam. Bahkan akibat cara berpikir yang pertama ini maka banyak manusia yang memberlakukan huku rimbah dalam hidupnya. Siapa yang lebih kuat maka dialah yang menang. Pokoknya keadilankulah yang paling adil di luar itu tidak ada keadilan lain. Makanya manusia cenderung untuk berkelahi karena cara berpikir yang pertama ini lebih menonjol dalam kehidupannya.
Cara berpikir yang kedua dilandasi sebuah semangat perdamaian yang menghargai kehidupan bersama sebagai tujuan yang mulia. Dalam Alkitab, akhirnya, kita membaca bahwa cara berpikir yang kedualah yang menang. Di dalam Yesus kita menyaksikan bahwa sikap mengalah tak sama dengan kalah; bahwa membalas kejahatan dengan kebaikan merupakan keluhuran yang mampu membuat kehidupan masih punya arti untuk dijalani secara serius; bahwa memberkati si pengutuk merupakan panggilan hidup setiap orang percaya. Cara berpikir inilah yang menjadi kehidupan orang percaya yang mengaku pengikut Kristus. Kita harus menunjukkan semangat perdamaian yang menghargai kehidupan bersama sehingga orang lain merasa sama dengan kita. Tujuan kita adalah sama-sama memuliakan Tuhan dalam segala profesi yang kita miliki. Walaupun ada perbedaan, tetapi bukan untuk mencerai-beraikan kita namun semakin melihat karya Tuhan dalam kepelbagaian itu.
   Teks kita (1 Petrus  3:8-12) mewartakan semangat hidup yang sama. Dalam pasal ini memberikan serangkaian nasihat praktis yang patut dikerjakan oleh semua orang percaya dalam hidup mereka. Serentetan nasihat praktis tersebut dapat dikelompokkan menjadi bagian penting, yang semuanya menjadi tanda bagi karakter ”orang-orang benar” (ay. 12). Setidaknya ada tiga karakter orang Kristen di dunia ini, yakni:
  
1.     Karakter yang pertama terkait dengan sikap hidup di dalam persekutuan yang terus-menerus mengusahakan kesatuan (ay. 8).
Di tengah dunia di mana perpecahan menjadi cara pintas untuk mengatasi perbedaan dan keberagaman, orang Kristen diundang untuk sungguh-sungguh mengusahakan kesatuan hati di dalam persekutuan cinta-kasih. 
2.     Karakter kedua muncul lewat kesediaan untuk memutuskan lingkaran balas dendam melalui pengampunan (ay. 9a).
Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan,” kata penulis surat ini. Kejahatan tak akan pernah selesai jika dibalas dengan kejahatan, selain bahwa ia akan makin menguat dan membelenggu kedua belah pihak. Hanya pengampunan yang mampu mengatasi kejahatan. Yang menarik, penulis mengusulkan cara untuk mengatasi lingkaran balas dendam itu, yaitu melalui kesediaan untuk memberkati (ay. 9b). Dan, pada saat kita membalas kejahatan dengan berkat, kita pun akan mendapat berkat (ay. 9c). 
3.     Karakter ketiga lebih bersifat personal, yaitu kesediaan kita untuk mengendalikan ucapan kita terhadap sesama (ay. 10).
Tidak jarang pertikaian, kebencian dan permusuhan muncul karena ketidakmampuan seseorang mengendalikan mulutnya. Ucapan seseorang lantas mengiris hati sesamanya atau menyelewengkan fakta menjadi gosip.
  
Ketiga karakter utama di atas tentu saja tidak akan membuat dunia bebas dari masalah, bahkan tak juga membuat gereja kita bebas dari problem. Namun, ketiganya, jika sungguh-sungguh diupayakan, akan membawa perubahan yang tak kecil bagi kehidupan kita di dalam gereja maupun masyarakat.
   Lebih dari itu, ketiga karakter tersebut memiliki dua sisi yang sama pentingnya: menjauhi yang jahat dan melakukan yang baik. Keduanya perlu seimbang dan saling menopang. Kesediaan menjauhi kejahatan tanpa usaha melakukan yang baik hanya muncul dari orang-orang Kristen yang lari dari persoalan. Sejauh ia tak berbuat salah—sekalipun tak perlu juga melakukan kebaikan pada sesama—maka itu sudah cukup. Sebaliknya, kesediaan untuk melakukan kebaikan tanpa usaha menjauhi kejahatan hanya akan mengaburkan batas antara kebaikan dan kejahatan. Bukankah tindakan-tindakan yang tampak baik bisa menjadi manifestasi dari kejahatan yang luar biasa? Maka, keduanya perlu seimbang dan saling mendukung: jauhi kejahatan dan usahakan kebaikan.
   Komitmen untuk mengusahakan semua ini tentu saja bakal berbenturan dengan realitas sesehari yang jauh dari impian hidup bersama yang lebih baik. Tak jarang kita frustasi dan kecewa menyaksikan kepahitan hidup, sekalipun kita sudah berusaha untuk menaati kehendak Allah ini. Karena itu, percayalah, Saudara-saudara, bahwa seluruh nasihat yang kita baca hari ini tidak sekedar mengajar kita untuk menjadi seorang-orang yang berbudi dan bermoral baik. Lebih dari itu, semua kebaikan itu kita perjuangkan karena keyakinan bahwa Allah hidup, aktif bekerja dan memihak pada “orang-orang benar” dan mereka yang berusaha berjuang untuk hidup lebih baik sekalipun harus menderita dan “minta tolong” pada-Nya (ay. 12).




Pdt. Dr. Joas Adiprasetya
Puket I STT Jakarta

Bacaan Minggu 10 Setelah Trinitatis, 8 Agustus 2010 : Yeremia 23:1-8

SEBUAH JANJI BAGI UMAT YANG TERCERAI-BERAI
Yeremia 23:1-8 
Minggu 10 Setelah Trinitatis, 8 Agustus 2010



Salah satu akibat buruk dari gerakan Reformasi, di samping tentu akibat-akibat lain yang patut disyukuri, adalah kecenderungan yang kuat untuk bertikai dan menjadikan perpecahan sebagai jalan pintas untuk mengatasi pertikaian tersebut. Ketika seorang pemimpinan bersitegang dengan pemimpin lainnya, masing-masing berusaha mencari dukungan umat. Maka, umat yang tadinya tak tahu-menahu soal perseteruan para pemimpin mereka akhirnya terpengaruh dan ikut-ikutan memihak dan mengelompok. Maka, perpecahan pun sukar untuk dihindari. Perpecahan menjadi solusi bagi mereka. Berpisah lebih baik daripa tetap bersama dengan musuh. Sehingga dewasa ini semakin banyak berjamur gereja-gereja baru yang tumbuh di mana-mana di bumi persada nusantara ini. Akibat buruk ini sangat merugikan orang Kristen itu sendiri. Sesama penganut iman yang sama, tetapi saling bermusuhan.
Selain itu, umat juga bisa tercerai-berai dengan mudah karena para pemimpin gereja yang tak mampu menjadi teladan. Mereka kecewa dengan para gembala yang ternyata menampilkan sebuah pola hidup yang berkebalikan dengan apa yang mereka ucapkan sendiri. Maka, terjadilah krisis kepemimpinan. Dan, sekali lagi, umatlah yang menjadi korban. Pemimpin tidak lagi menjadi teladan umat gembalaannya. Pemimpin sibuk memikirkan jabatan organisasi gereja saja, dan mengabaikan jemaat gembalaannya. Yang diutamakan tugas-tugas organisasi melulu bukan tugas pelayanan umat. Umat bukan skala prioritas utama. Sehingga tidak jarang warga jemaat banyak yang merasa tidak simpatik dengan pemimpin rohaninya. Inilah juga akibat lain dari gerakan reformasi itu.
Kedua isu di atas hanyalah sedikit dari banyak contoh bagaimana umat bisa tercerai-berai karena para gembala yang gagal menjalankan fungsi penggembalaannya dengan baik. Mereka gagal meneladani Sang Gembala Agung, yaitu Yesus Kristus. Mereka gagal menjadikan Yesus tiruan dan Guru Agung. Sehingga banyak gembala saat ini belajar kepada gembal dunia yang sukses. Ketika dia melihat pendeta A berhasil dan terkenal, maka dia belajar kepada pendeta A tersebut agar dia bisa minimal menyamai ketenaran pendeta A itu. Manusia meneladani manusia biasa. Pada hal seharusnya seorang gembala itu harus meneladani dan belajar kepada Sang Guru Agung itu yakni Yesus Kristus.
Bacaan kita pagi ini juga berbicara tentang masalah yang kurang-lebih sama. Tidak terlalu jelas kesalahan apa yang dilakukan oleh para pemimpin Israel yang disebut sebagai ”para gembala” itu. Yang pasti, akibat kesalahan mereka, domba gembalaan yang sesungguhnya menjadi milik Allah itu tercerai-berai. Tak ada lagi kesatuan umat yang ditandai oleh cinta kasih, penghargaan dan persekutuan. Itulah makanya Allah berfirman, "Celakalah para gembala yang membiarkan kambing domba gembalaan-Ku hilang dan terserak!" Allah marah kepada para gembala yang tidak memperhatikan gembalaannya. Allah murka kepada para gembala yang hanya mengambil keuntungan pribadi dari para dombanya.
Akan tetapi, berita baik yang hendak disampaikan oleh teks kita adalah bahwa Allah tidak tinggal diam. Ia prihatin dengan umat-Nya yang tercerai-berai akibat kesalahan para gembala yang tadinya sangat dipercayai-Nya. Yang menjadi perhatian Allah pertama-tama adalah umat-Nya, bukan para pemimpin agama. Karena itu, ketika umat Allah tercerai-berai, Allah mengambil sikap yang sangat tegas. Sikap ini tentu menakutkan bagi para pemimpin agama, namun sekaligus menggembirakan bagi umat Allah. Dan Aku sendiri akan mengumpulkan sisa-sisa kambing domba-Ku dari segala negeri ke mana Aku mencerai-beraikan mereka, dan Aku akan membawa mereka kembali ke padang mereka: mereka akan berkembang biak dan bertambah banyak. Aku akan mengangkat atas mereka gembala-gembala yang akan menggembalakan mereka, sehingga mereka tidak takut lagi, tidak terkejut dan tidak hilang seekor pun, demikianlah firman TUHAN.
Dari teks ini kita dapat melihat bahwa setidaknya ada tiga tindakan ilahi yang Allah lakukan kepada umat yang tercerai-berai itu:

Pertama, Ia mencela habis-habisan para pemimpin agama yang ”membiarkan kambing domba gembalaan-Ku hilang dan terserak!” (ay. 1) dan “tidak menjaganya” (ay. 2).

Allah akan menghukum para pemimpin yang teledor dalam menjalankan tugas mereka sebagai seorang pemimpin. Dalam konteks kehidupan bergereja kita, para pemimpin itu bisa jadi adalah pendeta, sintua, atau pemimpin lainnya. Jika para pemimpin agama ini terus-menerus membiarkan warga jemaatnya disesah dan terserak oleh persoalan dunia yang tidak digembalakan para gembalanya, maka Tuhan akan marah kepada pemimpin agama ini. Mereka harus sungguh-sungguh sadar bahwa ketika mereka gagal menjalankan tugas yang Allah percayakan dan malah membuat umat Allah tercerai-berai, mereka akan berurusan dengan Allah sendiri. Agaknya, hal pertama ini dapat menjadi sebuah batu-uji bagi kepemimpinan kristiani. Seorang pemimpin Kristen yang baik selalu menjaga keutuhan gereja.

Kedua, Allah akan mengumpulkan kembali domba-doma yang tercerai-berai itu (ay. 3).

Bahkan, di ayat yang sama, Allah berjanji bahwa “mereka akan berkembang biak dan bertambah banyak.” Maka, khotbah ini sesungguhnya ditujukan bukan hanya kepada para pemimpin gereja, namun juga kepada semua anggota jemaat. Percayalah, bahwa Allah sungguh memperhatikan nasib umat-Nya. Ia akan memulihkan jemaat-Nya yang tercerai-berai dan mengasuh mereka, agar mereka dapat terus bertumbuh dan berkembang. Jika pemimpin agama tidak mau lagi memperhatikan umat Tuhan, maka Tuhan akan turun tangan menggembalakan umat-Nya agar umat-Nya itu tidak dimangsa para pengajar sesat di dunia ini.

Ketiga, Allah juga berjanji untuk memberikan kepada umat-Nya para gembala baru yang setia dan bertanggung jawab (ay. 4).

Gereja kita mungkin pernah terluka karena keterpecahan yang menyedihkan hati Allah dan hati kita. Karena itu, doakanlah para pemimpin Anda yang ada sekarang, agar dapat menjadi pemimpin yang baik dan bertanggung jawab dalam menjaga keutuhan gereja Tuhan. Doakanlah terus agar setiap pendeta, sintua, dan majelis menjadi orang-orang yang takut akan Tuhan dalam menjalankan tugas pelayanannya.
Yang menarik, janji Allah untuk menghimpun kembali umat-Nya dipandang setara dengan tindakan Allah dalam membebaskan bangsa Israel dari tanah Mesir (ay. 7-8). Usaha menyatukan gereja Tuhan, dengan demikian, merupakan sebuah proses pembebasan, karena keterpecahan tak ubahnya dengan pembelengguan dan penindasan. Kemanusiaan kita terpecah ketika kita berseteru dengan sesama kita. Sebaliknya, kita menjadi manusia sejati dan merdeka tatkala kita bersekutu dengan saudara-saudara seiman kita.
Karena itu, Saudara-saudara, usahakanlah selalu persaudaraan di dalam jemaat ini. Segala sesuatu yang mengakibatkan pertikaian dan perpecahan sudah pasti bukan berasal dari Allah, karena jika Allah berkarya, maka apapun yang dikerjakan Allah selalu mempersatukan.




Pdt. Dr. Joas Adiprasetya
Puket I STT Jakarta

Bacaan Minggu 9 Setelah Trinitatis, 1 Agustus 2010: Keluaran 23:6-9

TUHAN: PEJUANG DAN PENCINTA KEMERDEKAAN
Keluaran 23:6-9
Minggu 9 Setelah Trinitatis, 1 Agustus 2010 


Perintah TUHAN: Berpihak Pada Kebenaran.

Firman TUHAN dari Keluaran 23:6-9 menyapa kita pada hari ini. Firman TUHAN ini berisi: Larangan memperkosa hak orang miskin. Orang miskin sering menjadi korban kekuasaan dan korban kebijakan. Dalam masyarakat yang tidak sehat, orang miskin tidak berdaya membela haknya. Karena hukum sering dikangkangi, uang lebih memainkan peranan, maka orang atau yang lebih miskin menjadi korban. Siapa yang lebih kuat, finansial dan kuasa, dia yang menang.

Menjauhi diri dari perkara dusta. Akibat dari kekuatan financial dan kuasa, maka dusta merajalela ditempat penegakan keadilan.
Larangan membunuh orang tak bersalah dan orang benar. Akibatnya orang yang tak bersalah, atau orang benar menjadi korban. Pembunuhan orang benar dan kebenaran terjadi mulai dari tingkat terendah hingga hukuman mati.

Larangan menerima suap. Di belakang peristiwa atau proses peradilan, terjadi suap yang membuat penegak keadilan silau dan akhirnya memutarbalikkan kebenaran fakta.
Larangan menekan atau menindas orang asing. Keempat hal pertama dapat kita lihat dari perspektif hukum atau keadilan, karena memang konteks perintah yang disampaikan TUHAN sifatnya umum. Sedangkan yang terakhir sifatnya khusus, terhadap orang asing, umat dilarang menindas karena. Umat bisa dengan cepat memahami arti perintah TUHAN yang ke lima ini karena umat sudah pernah mengalami penindasan dalam bentuk perbudakan di Mesir.

Dengan demikian firman TUHAN berisi perintah kepada umat untuk berpihak kepada kebenaran. Perintah ini juga berlaku bagi kita. Berpihak pada kebenaran adalah ciri khas orang yang benar. Dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, orang yang percaya sering disebut sebagai orang benar. Mereka adalah orang yang berpihak kepada kebenaran, membela kebenaran dan menjunjung tinggi kebenaran. Dengan demikian, perintah yang berisi larangan melakukan yang tidak benar, atau kejahatan, sama artinya dengan anjuran untuk menjunjung tinggi kebenaran. Itu tidak berlaku hanya untuk umat Allah dalam Perjanjian Lama, tetapi juga untuk. bagaimana perintah tersebut berlaku bagi kita? Kita adalah orang yang percaya kepada Allah di dalam Yesus Kristus. Yesus Kristus datang bukan untuk meniadakan taurat dan kitab para nabi, melainkan untuk menggenapinya (Mateus 5:17). “Menggenapinya” berarti melaksanakannya sehingga tuntutannya tetap diberlakukan secara penuh sepanjang masa. Percaya kepada Yesus berarti turut serta memberlakukan tuntutan taurat dan kitab para nabi. Jadi, firman TUHAN juga mengajak kita untuk berpihak kepada kebenaran.

Perintah TUHAN: Petunjuk Kehidupan

Kepada siapa perintah ini ditujukan? Tadi kita bertanya dan belum terjawab secara tuntas. Perintah tersebut ditujukan kepada umat Tuhan. Kalau bukan, siapa lagi? Mari kita perhatikan ayat 9. Orang asing di tanah Mesir dalam Perjanjian Lama itu pasti mengacu kepada umat Allah, Israel. Mereka adalah keturunan Abraham, Ishak dan Yakub. Yakub kemudian disebut Israel. Keturunan Yakub menjadi besar di Israel. Mereka hidup dalam perbudakan. Kita dapat membayangkan betapa berat kehidupan umat, sebagai orang asing, yang diperbudak.
Sadar betapa berat kehidupan umat, baik secara religious, menyangkut kebebasan beribadah, maupun secara politis, diperbudak dan menjadi warga kelas rendah. Bagi umat itu sesuatu yang sangat menyakitkan. Kita bisa rasakan itu sedikit-sedikit. Memang, sedikit-sedikit. Karena menurut para ahli, dalam sejarah dunia, tidak ada yang lebih berat dari perbudakan di Mesir. Apakah itu betul? Yang jelas sangat berat! Tidak seberat di Indonesia.

Sangat berat, tetapi bukan akhir dari segala-galanya. Firman Tuhan ini merupakan bagian dari serangkaian firman yang panjang, dimulai dengan pernyataan: “Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan” (Keluaran 20:2). Setelah pernyataan ini, barulah TUHAN menyampaikan sepuluh perintah TUHAN dan dilanjutkan dengan serangkaian perintah, seperti yang kita dengar hari ini.

Apa artinya pernyataan itu bagi kita? Artinya, perintah TUHAN diberikan setelah TUHAN membebaskan umat dari perbudakan di Mesir. Dia bukan TUHAN yang sadis, memberi perintah yang berat dalam situasi hidup yang sangat berat, di perbudakan. Dia adalah TUHAN yang penuh anugerah. Dia tahu persis pergumulan umatNya. Dia mendengar seruan umatNya minta tolong. Dia ahli dalam berempati dan solidaritas. Dia membebaskan umatNya. Bagi TUHAN dan bagi umatNya, penderitaan yang sangat berat di Mesir bukan akhir dari segala-galaNya, karena Dialah TUHAN, Allah Israel!
Kita sekarang bisa mengerti. Setelah membebaskan umat, TUHAN memberi perintah. Perintah yang bisa dilaksanakan. Perintah yang berisi petunjuk kehidupan, yaitu petunjuk kehidupan bagi orang yang sudah dimerdekakan. Petunjuk untuk apa? Tidak lain dan tidak bukan: Petunjuk untuk hidup sebagai orang-orang merdeka! Perintah TUHAN memang kalau tidak dilaksanakan, maka akan menuding kita bersalah! Berbuat jahat! Kalau umat melaksanakannya, bukan agar mereka menjadi orang merdeka. Tetapi agar mereka hidup sesuai dengan kemerdekaan yang telah diterima dan memberlakukan itu bagi orang lain. Bagi umat itu berarti, dimerdekakan untuk menghormati kemerdekaan atau memerdekakan orang lain.

Apa artinya bagi kita? Kemerdekaan dari perbudakan di Mesir sering disejajarkan dari kemerdekaan dalam Kristus. Peristiwa itu bukan sekedar masa lalu. Kalau sekedar masa lalu, untuk apa itu menjadi khotbah saat ini? Itu kita hayati juga. Seluruh teologi pembebasan dan kemerdekaan dimotivasi dan digerakkan oleh pembebasan Allah Israel dari perbudakan di Mesir. Pembebasan dari Mesir sering disejajarkan dengan pembebasan dari perhambaan dan perbudakan dosa. Allah yang megerjakan pendamaian itu di dalam Kristus (2 Korintus 5:19). Ini merupakan aktualisasi dari pembebasan yang dikerjakan Allah Israel! Sebagai orang yang sudah merdeka, kita melaksanakan perintah TUHAN dalam arti menyesuaikan cara hidup kita agar sesuai dengan keberadaan kita sebagai orang merdeka. Bukan agar kita menjadi orang merdeka! Pembebasan yang derdimensi religious dan politis, ini mengisyaratkan tugas dan pelayanan kita sebagai orang Kristen. Orang Kristen tidak lagi memahami pelayanannya murni religious, menyangkut ibadah di gereja. Pelayanannya tidak sekedar berdimensi politis, tetapi harus politis. Kehidupan umat dan masyaraklat sudah lebih banyak diatur secara politis, dan dipolitisir. Konsekuensinya, pelayanan yang aktual dan kontekstual harus politis. Khotbah juga harus politis, menyentuh kehidupan warga yang sudah dipolitisir, tanpa harus mempolitisir kehidupan warga. Kita belum terbiasa dengan khotbah seperti ini, tetapi TUHAN, Allah Israel, sudah mendemonstrasikannya.

Perintah TUHAN: Menghormati Kemerdekaan Orang Lain

Kita masih bertanya lebih spesifik, lantas apa arti firman TUHAN ini bagi kita? Perintah TUHAN merupakan petunjuk kehidupan bagiorang yang merdeka. Tujuannya, agar sebagai orang merdeka,turut memerdekakan orang lain. Dengan kata lain, kita diajak firman TUHAN untuk terlibat dalam karya agung TUHAN, Allah Israel, memerdekakan orang lain, memperluas wilayah kemerdekaan. Ciri khas orang yang merdeka adalah hak untuk hidup dan mengatur kehidupannya. Dia juga merdeka untuk menghormati kemerdekaan orang lain.
Kemerdekaan untuk hidup layak dan sejahtera di bumi, tidak diberikan oleh siapapun. Oleh karena itu tidak bisa diberangus atau dikebiri oleh siapapun atau lembaga apapun. Realita menunjukkan bahwa hak untuk hidup sejahtera di bumi sering kali tidak dimiliki. Siapa yang memberikannya? TUHAN! Bagaimana TUHAN memberikannya? Ini sangat teologis! TUHAN ingin memberikannya melalui orang-orang yang merdeka. Melalui kita, melalui saudara dan saya.
Melalui perintahNya TUHAN membayangkan suatu kehidupan di dunia yang merdeka. Kemerdekaan yang dibutuhkan oleh dunia yang merasa terikat di dalamnya. Sayangnya sering kali dalam haliman kita mengatakan bahwa kita merdeka. Kita dimerdekakan Kristus. Tetapi kenyataannya, kita sering mengorbankan kemerdekaan kita bukan untuk kehidupan orang lain. Bukan untuk kebahagiaan orang lain. Sebaliknya, untuk kebahagiaan dan kesenangan semu:
Orang yang melakukan suap untuk mendapat jabatan atau posisi adalah orang yang tidak merdeka. Dia terikat oleh kuasa dan jabatan.
Orang yang menerima suap dan memutarbalikkan kebenaran fakta adalah orang yang tidak merdeka. Dia terikat oleh kenikmatan uang.
Orang yang memerkosa orang miskin karena merasa lebih berkuasa adalah orang yang tidak merdeka. Dia terikat oleh sistem yang korup.
Orang yang menindas adalah orang yang tidak merdeka. Dia terikat pada keangkuhan diri.

Sebagai pelayan TUHAN, saya juga harus mengatakan, orang yang takut posisi pelayanannya digeser dari tempat yang tidak “enak”, sehingga mendekatkan diri kepada kekuasaan, juga bukanlah pelayan yang merdeka. Ini berlaku juga bagi saya, karena saya juga adalah pelayan TUHAN. Semua kita sedang ditantang oleh firman TUHAN. Firman TUHAN sudah member kabar gembira, yaitu pembebasan.Kita telah dimerdekakan. Apakah kita mengikuti perintah TUHAN, petunjuk kehidupan dari TUHAN, sebagai orang merdeka? Atau, sebetulnya kita bukanlah orang merdeka? Saya mengajak kita semua berdoa,mohon kekuatan dan pimpinan Roh Kudus untuk hidup sebagai orang merdeka, mengikuti teladan dari TUHAN,Allah Israel dan teladan Yesus Kristus.Kiranya TUHAN semakin dipermuliakan melalui kehidupan kita, amin.

Pdt. Dr. Ir. Fridz P. Sihombing
Dosen STT HKBP P.Siantar