Jumat, 11 Februari 2011

Renungan Harian: Matius 5 : 4

widgeo.net
 BERBAGAHIALAH




Bahagia adalah keadaan di mana kita berada dalam situasi tenang, tentram dan damai. Bahagia merupakan idaman setiap orang. Tidak ada manusia yang tidak menginginkan bahagia baik orang miskin maupun kaya, baik berpendidikan maupun tikak, baik kecil maupun besar. Bahagia juga sangat relatif sifatnya. Karena ukuran kebahagiaan itu juga relatif. Ada orang merasa bahagia karena sudah lulus ujian, karena sembuh dari penyakit, mendapatkan hadiah, dan lain sebagainya. 
Namun Yesus berkata lain, orang yang berbahagia adalah orang yang berdukacita. Aneh pendapat ini. Mana mungkin orang yang sedang berdukacita harus berbahagia. Tapi ajaran Yesus ini harus bisa kita amini sebagai jalan Tuhan menghibur kita dikala menghadapi dukacita sekalipun. Di balik duka ada suka. Habis derita timbul bahagia. Karena itu janganlah kita langsung terkubur dan larut dalam penderitaan kita masing-masing tetapi marilah kita melihat dibalik duka ada suka.


Martua ma halak na marsak roha; angke na giot apoan do roha ni halahi.
Mateus 5 : 4

Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur.
Matius 5 : 4


BEAM No.284 : 1+3 “ Huhaholongi Ho Jahowa “

                              Huhaholongi Ho Tuhanku, dibaen  hangoluanki
            Sapanjang ma adong  hosangku laing tong ma ho oloanki
            Dibaen  partobusku Ho, huhaholongi Ho

            Ma marsak situtu rohangku hara lambat hutanda Ho
            Holong bo asi ni roha-Mu, holip dibaen dosa do
            Dibaen au umpudi ro, tutu salangku do

          

”BERDOA DAN BERJAGA-JAGA SENANTIASA” ( Efesus 6 : 18 - 20 )

widgeo.net
BERDOA DAN BERJAGA-JAGA SENANTIASA
( Efesus  6 : 18 - 20 )



Efesus 6:18-19 hendak menunjukkan bahwa kehidupan Kristen harus dijaga dan dipelihara karena berhadapan dengan kuasa jahat di tengah dunia yang sedang mencoba melawan, merongrong dan merusak iman. Tetapi bagian tersebut tidak termasuk dalam rangkaian perlengkapan senjata Allah. Walaupun demikian, bagian terakhir ini tetap mempunyai signifikansi.
Doa tidak dipakai secara sewaktu-waktu (occasional) melainkan menyangkut seluruh totalitas hidup manusia. Dengan kata lain, doa merupakan bagian dari hidup manusia yaitu kerohaniannya yang dipersiapkan untuk menjadi orang Kristen yang kuat dan bertumbuh dalam iman. Itulah alasan mengapa doa permohonan untuk orang kudus termasuk Paulus, tidak dimasukkan sebagai bagian dari perlengkapan senjata Allah. Doa adalah nafas kehidupan Kristen. Orang beragama di seluruh dunia sadar akan pentingnya doa karena dianggap sebagai relasi inti dan sentral yang hakiki antara manusia dengan Allah. Karena itu, se­tiap agama pasti mempunyai, membicarakan dan sangat menekankan doa dengan berbagai macam modelnya.
Di antara semua agama, orang Yahudi terkenal paling sering berdoa. Namun ketika mereka meminta Tuhan Yesus untuk mengajarkan cara berdoa, Ia tidak berespons atau berkomentar negatif bahkan menghina permintaan tersebut. Ia justru menyatakannya sebagai permintaan yang sangat baik karena sebelumnya mereka telah berdoa secara salah yaitu dengan menyombongkan, membanggakan dan menonjolkan kehebatan diri sebagai orang Israel yang secara egois berhak menyebut Abraham dengan sebutan bapa, hanya untuk membuktikan kesalehan dan ketaatan mereka sebagai umat pilihan Allah yang suci dan bukan orang kafir. Setiap point doa mereka menunjukkan betapa arogannya orang Yahudi. Demikian pula sebagian besar orang beragama di tengah dunia ini telah berdoa secara salah, seperti perumpamaan Tuhan Yesus tentang orang Farisi dan pemungut cukai. Padahal si pemungut cukai sambil memukul dadanya, memohon pengampunan Tuhan atas segala dosa yang telah diperbuatnya. Maka kemudian Ia mengajarkan doa yang benar yaitu doa Bapa Kami. Semua Gereja yang masih mengerti dan menyadari pentingnya doa tersebut, akan mendoakannya setiap Minggu sebagai pattern of prayer (pola doa).
Dalam bagian ini, Paulus mengajarkan kembali tentang doa kepada jemaat Efesus, “Berdoalah setiap waktu di dalam Roh dan berjaga-jagalah di dalam doamu itu dengan permohonan yang tak putus-putusnya untuk segala orang Kudus” (Ef. 6:18). Jika dilakukan secara salah maka doa tidak akan sampai kepada Allah melainkan kuasa lain yaitu Setan yang akan menjawabnya sesuai keperluan si pendoa tetapi bukan dari sumber sejati. Akhirnya, doa itu malah membuatnya tersesat jauh dari Tuhan, makin brutal, liar serta egois. Dengan demikian, doa yang sesat sanggup membawa manusia berdosa pada kebinasaan.
Sebelum mengajarkan doa Bapa Kami, Tuhan Yesus mengkritik orang Yahudi secara keras karena berdoa tidak pada tempat yang seharusnya, “Mereka suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang” (Mat 6:5). Dengan demikian, tujuan mereka bukan kepada Allah dan Tuhan Yesus mengatakan, “Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya.” Padahal Tuhan menghendaki, “Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi” (Mat 6:6).
Orang Yahudi sanggup berdoa selama berjam-jam dengan kalimat yang indah tetapi hanya untuk menunjukkan betapa rohaninya dia. Doa seperti itu hanyalah pameran kepalsuan religiusitas yang tidak bernilai. Ironisnya, permainan kepalsuan itu seringkali dilakukan oleh orang beragama. Mereka memang berdoa tapi essensi doanya tidak jelas. Ketika berdoa, jangan ada perasaan takut karena tidak mampu menggunakan kalimat indah. Itu bukan essensi doa sejati dan Tuhan sendiri tidak menghendaki demikian. Doa sejati harus kembali pada essensinya yaitu komunikasi dengan Allah.
Tuhan Yesus juga mengkritik mereka yang berdoa dan berpuasa berjam-jam bahkan berhari-hari atau berbulan-bulan hanya untuk memenuhi kepentingan pribadi, misalnya doa kesembuhan. Itulah doa kafir di mana si pendoa datang pada allahnya hanya ketika membutuhkan sesuatu sehingga allah diperalat dan dimanipulasi untuk kepentingannya sendiri. Tuhan Yesus mengatakan, “Lagipula dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan. Jadi janganlah kamu seperti mereka, karena Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepadaNya” (Mat 6:7-8). Setelah membaca ayat ini, banyak orang Kristen berpikir bahwa doa tidak lagi diperlukan karena Tu­han telah mengetahui permintaannya. Pernyataan ini sangat egois dan duniawi sesuai dengan cara pikir Setan. Kalau manusia menganggap Tuhan tidak mengetahui kebutuhannya hingga perlu diberi penjelasan, berarti ia melecehkan Allah semesta alam. Ternyata banyak orang menyetujui konsep ini dan tentu saja allah palsu mereka berbeda dengan Allah Kristen sejati. Bahkan banyak orang Kristen juga disesatkan dengan prinsip dan cara kerja Setan yang tampak seolah-olah cara kerja Tuhan. Ini bukan prinsip Alkitab. Efesus 6 membukakan konsep doa yang seharusnya berada dalam pikiran orang Kristen yaitu:
Pertama, “Berdoalah setiap waktu di dalam Roh.”  Dengan kata lain, doa Kristen harus dipimpin, dibimbing serta dicerahkan oleh Roh Kudus dan bukannya sesuka hati. Orang Kristen seharusnya berdoa demi kepentingan Roh, sesuai dengan sifat Roh dan menjalankan semua natur pribadiNya di dalam diri si pendoa. Alkitab mengatakan bahwa justru karena Tuhan yang tinggal di dalam diri manusia, telah mengetahui segala kebutuhannya maka ia harus berdoa sesuai dengan kehendakNya. Dengan demikian, doa Kristen berbeda secara total dengan semua konsep doa di dunia. Jikalau orang Kristen belum mampu melihat perbedaan ini, berarti ia belum berdoa secara Kristen.
Ketika anak Tuhan berdoa, seluruh Tritunggal akan terlibat di dalamnya. Tuhan Yesus mengajarkan bahwa orang Kristen harus berdoa kepada Allah Bapa di Surga, dalam nama Allah Anak yaitu Yesus Kristus. Perintah itu menunjukkan struktur Allah Tritunggal yang memposisikan Allah Oknum Kedua sebagai mediator dalam seluruh doa Kristen. Karena itu, tanpa melalui Kristus, tak ada doa yang sampai kepada Bapa. Mengenai peranan Roh Kudus, Ro­ma 8:26 mengatakan, “Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan.” Inilah rumusan sah dan lengkap serta harus dilakukan karena Tuhan sendiri yang menetapkannya. Ketika orang Kristen berdoa, pimpinan Roh Kudus dalam dirinya mengajar sehingga ia tahu apa yang harus didoakan dan peka terhadap kehendakNya. Pengaplikasian struktur ini harus secara tepat dan tidak boleh diputarbalikkan karena inilah identitas doa Kristen yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kedua, “Berdoalah setiap waktu.” Doa Kristen sejati berbeda dengan kebanyakan agama di dunia ini yang berdoa secara rangkaian kata-kata indah (sequential) atau bahkan sewaktu-waktu (occasiona)l. Seluruh kehidupan Kristen sejati sesungguhnya merupakan jaringan hubungan komunikasi dengan Allah. Itulah doa sejati yang menjadi kekuatan spiritualitas Kekristenan. Namun doa Kristen bukan sekedar ritual agama melainkan hubungan Roh antara satu pribadi dengan pribadi lain. Banyak orang ingin mengetahui dan mengerti kehendak Tuhan tapi seringkali tidak bersedia menjalin hubungan erat denganNya. Selain itu, doa Kristen tidak perlu menunggu hingga tiba saatnya untuk berbakti di Gereja melainkan di mana saja dan kapan saja karena komunikasi dengan Allah dilakukan secara Roh dan kebenaran.
Ketiga, “Berdoalah tidak putus-putusnya untuk semua orang Kudus.” Yang dimaksud dengan orang Kudus dalam konteks ini adalah setiap anak Tuhan. Doa seperti ini disebut syafaat, yang merupakan hak istimewa dan panggilan imamat di mana seorang pendoa syafaat terpanggil menjadi imam di hadapan Allah untuk mewakili semua orang Kudus. Inilah fungsi imam yang Tuhan berikan pada orang Kristen. Sesungguhnya manusia tidak berhak untuk mendoakan diri sendiri karena Tuhan sudah mengetahui segala kebutuhannya. Selain itu, Tuhan tidak akan melupakan janjiNya dan pasti memenuhinya karena memang itu adalah hakNya. Jikalau tidak bersedia mengabulkannya, itupun adalah hak dan kedaulatanNya. Alkitab mengajarkan bahwa yang terbaik adalah berdoa dan bergumul dengan kesungguhan hati demi kepentingan orang Kudus antara lain pertumbuhan iman dan penggenapan rencana Allah dalam diri mereka. Dengan kata lain, semua anak Tuhan sebaiknya saling mendoakan. Akibatnya, akan terjadi saling memperhatikan dan memikirkan apa yang terbaik bagi sesama hingga membangun cintakasih. Itulah caranya membangun kesatuan tubuh Kristus. Kalau setiap anak Tuhan hanya mempedulikan diri sendiri maka akhirnya mereka akan menjadi kepingan pecahan yang tidak berhubungan. Padahal doa sejati merupakan teladan Tuhan Yesus sebagai juru syafaat di sebelah kanan Bapa yang selalu berdoa bagi setiap jemaat. Ketika banyak konsep agama dan filsafat dunia mengajarkan doa yang egois, Alkitab justru mengajarkan doa syafaat dan doa bagi penginjilan di seluruh dunia terutama suku di daerah terpencil.
Keempat, “… juga untuk aku (Paulus), supaya kepadaku, jika aku membuka mulutku, dikaruniakan perkataan yang benar, agar dengan keberanian aku memberitakan rahasia Injil.” Dalam konteks ini, Paulus tidak minta didoakan untuk kepentingannya sendiri. Ia memang mengalami banyak kesulitan, penganiayaan dan penderitaan serta sering keluar masuk penjara. Namun ia memiliki jiwa yang memikirkan kehendak Allah. Itulah doa sejati di mana si pendoa rindu untuk mewujudkan isi hati Tuhan dalam kehidupannya di tengah dunia ini hingga terjadi kesamaan visi antara Bapa di Surga dengan dirinya. Paulus mengatakan demikian karena ia merasa belum sempurna, khususnya kegentarannya selama berada di dalam penjara. Namun doa sejati sanggup menghadirkan Kerajaan Allah di tengah dunia. Amin.


Ramli SN Harahap                                                                                                                fidei/gladys’09  150409

PELAJARAN DARI MENARA BABEL

widgeo.net



Melalui keturunan Nuh dari jalur Sem, Kejadian 11 ini memberikan suatu pengajaran penting yang sangat berkesinambungan dengan pasal 9, 10 dan 12 sebagai kesatuan rencana Allah yang utuh. Kisah menara Babel sebenarnya tidak terlepas dari keseluruhan kisah kehidupan Nuh tapi justru menunjukkan suatu signifikansi penting. Di dalam Kej. 10:21-22, 24-25 dikatakan, “Lahirlah juga anak-anak bagi Sem, bapa semua anak Eber serta abang Yafet. Keturunan Sem ialah Elam, Asyur, Arpakhsad, Lud dan Aram. Arpakhsad memperanakkan Selah, dan Selah memperanakkan Eber. Bagi Eber lahir dua anak laki-laki; nama yang seorang ialah Peleg, sebab dalam zamannya bumi terbagi, dan nama adiknya ialah Yoktan.” Namun setelah peristiwa menara Babel, di dalam Kej. 11:10-26 hanya dicatat keturunan Eber secara khusus dari jalur Peleg karena Tuhan telah memberhentikan dan mencabut satu generasi dari silsilah keturunan Sem yaitu Yoktan dan keturunannya yang bersepakat untuk memberontak melawan Tuhan dengan mendirikan suatu kota dan menara yang menjulang tinggi hingga ke langit. Tindakan ini sesuai dengan janji Tuhan kepada Adam dan Hawa, Nuh dan Abraham yaitu bahwa hanya mereka yang taat dan takluk kepada Tuhanlah yang akan menerima berkatNya. Karena motivasi yang salah, menara Babel menjadi kutukan Tuhan karena kedegilan dan keberdosaan hati manusia.
Selain itu, pendirian menara Babel juga mengungkapkan penolakan manusia terhadap Tuhan dengan mendirikan suatu sistem baru di dalam sekularisme dan humanisme serta mulai menegakkan self-dependence (kebebasan dari keterikatan dengan Tuhan). Tindakan penolakan ini dilakukan dengan memanipulasi sifat keberagamaan supaya tidak terlalu menyolok. Namun bagaimanapun juga, inti dari segala usaha tersebut adalah pemberontakan terhadap Allah. Akar pemberontakan itu diawali semenjak manusia jatuh ke dalam dosa pada peristiwa penciptaan (Kej. 3) hingga berakhir pada peristiwa menara Babel.
Di dalam Kejadian 11:4 dicatat, “Juga kata mereka: marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit, dan marilah kita cari nama, supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi.” Dari pernyataan “sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit” dapat diketahui bahwa sebenarnya menara Babel didirikan untuk fungsi keberagamaan karena pada masa itu pengertian langit adalah tempat Tuhan berada. Karena itu, pendirian menara Babel sesungguhnya merupakan cetusan sifat keberagamaan yang Tuhan berikan di dalam diri setiap orang namun telah dimanipulasi karena manusia tidak bersedia dipimpin dan diarahkan oleh Tuhan. Setelah itu, di dalam Kejadian 12:2 dicatat suatu permulaan perjanjian baru antara Allah dan manusia melalui Abraham, “Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat.” Ini merupakan jalur baru bagi mereka yang taat kepadaNya.
Di dalam peristiwa penciptaan, penetapan dan peraturan Tuhanlah yang diutamakan tetapi di dalam peristiwa Babel justru sebaliknya, penetapan manusialah yang dijalankan. Alkitab mengatakan, “Mulai dari sekarang apapun juga yang mereka rencanakan, tidak ada yang tidak akan dapat terlaksana.” (Kej 11:6) Karena itu, penghakiman dan penghukuman Tuhan dijalankan pada masa itu. Dengan kata lain, menara Babel menyimpan sebuah kisah tentang manusia yang hidup di dalam dosa di mana pengertian dosa bukan sekedar pemberontakan terhadap Allah saja tetapi dosa yang diwujudkan dalam bentuk sikap yang menular kepada semua orang di dalam suatu society (masyarakat). Di jaman inipun, kalau tidak berhati-hati maka tanpa disadari, orang Kristen  dapat mendirikan menara Babel di dalam hidupnya.
Semenjak peristiwa penciptaan hingga pendirian menara Babel, terdapat 2 golongan masyarakat: sekelompok orang yang taat kepada Allah dan sekelompok lain yang memberontak terhadap Allah. Dua golongan masyarakat ini akan terus mewarnai dunia hingga kedatangan Tuhan yang kedua kali. Mereka yang tetap menegakkan kebenaran diri sendiri dan tidak mau taat kepada Tuhan bukan berarti bahwa mereka bebas melainkan tanpa disadari sedang menghancurkan diri sendiri. Di lain pihak, mereka yang taat dan tunduk kepada Tuhan akan berakhir di tanah perjanji­an.
Agama di Babel sebenarnya tidak bersifat theosentris melainkan anthroposentris (berpusat pada diri manusia). Walaupun seseorang sudah dibaptis dan mengaku percaya kepada Tuhan tapi masih ada kemungkinan bahwa keberagamaannya bersifat anthroposentris. Orang yang demikian, mengira dirinya mampu membangun nilai kerohaniannya sendiri. Ketika beribadah dan menyembah allah ciptaannya, sesungguhnya pada saat yang sama, ia sedang menyembah dirinya sendiri. Dengan demikian ia dapat berbuat seenaknya terhadap allah ciptaanya itu. Bila allah itu masih dapat memberikan se­gala sesuatu yang diinginkannya maka ia akan tetap memperlakukannya sebagai allah. Jika tidak maka ia dapat membuangnya dan menciptakan allah lain. Inilah manipulasi sifat keberagamaan! Ada kemungkinan hal ini terjadi di dalam Kekristenan namun caranya tidak akan sevulgar itu. Sebagai contoh, Tuhan Yesus akan dijadikan sebagai Tuhan dan Juruselamat tiap pribadi jika Ia mau mendengar dan mengabulkan setiap permohonan. Di satu pihak, orang Kristen mengaku bahwa ia takut akan Tuhan tapi di lain pihak ia berani melawan kehendak Tuhan.
Jika diperhatikan dengan cermat, ada beberapa pelajaran yang dapat diperoleh dari peristiwa menara Babel:
Pertama, semua rencana manusia tidak akan pernah bisa menginterupsi, mengganggu dan menggagalkan rencana Tuhan. Seluruh keturunan Yoktan mengatakan, “Marilah kita cari nama, supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi.” (Kej. 11:4) Padahal sebelumnya, Allah memerintahkan nabi Nuh, “Beranakcuculah dan bertambah banyaklah serta penuhilah bumi.” (Kej.9:1) Ini menunjukkan perlawanan manusia terhadap rencana Tuhan namun pada akhirnya rencana manusia tidak akan pernah berhasil dan rencana Tuhanlah yang tetap terlaksana. Salah satu prinsip dalam mengikuti pimpinan Tuhan adalah prinsip pintu terbuka dan tertutup. Kalau rencana manusia itu berkenan kepada Tuhan maka Ia pasti membuka jalan. Jika tidak maka Tuhan akan menutup semua pintu. Selain itu, ada beberapa tanda yang dapat dikenali jika jalan yang ditempuh tidak sesuai dengan perintah Tuhan: (1) pada saat kehendak Tuhan tidak lagi diperdulikan dan dipertimbangkan di dalam setiap pergumulan; (2) pada saat kehendak Tuhan dengan sengaja dilanggar padahal telah diketahui sebelumnya; (3) pada saat kepentingan pribadi lebih diutamakan. Bagaimanapun juga, dengan melanggar perintah Tuhan bukan berarti rencana Tuhan dapat digagalkan begitu saja. Rencana Tuhan akan tetap berjalan sesuai dengan kehendakNya dan ia pasti menegur mereka yang melanggar namun Ia tetap memberi kesempatan untuk bertobat karena kasihNya yang amat besar kepada manusia.
Kedua, adanya sifat keberagamaan yang supervisial (telah dimanipulasi oleh manusia), yang pada akhirnya akan menghasilkan hidup yang sangat tidak berarti. Sifat keberagamaan semacam ini sebenarnya merupakan kedok untuk menyembunyikan keberdosaan diri sendiri dengan cara aktif membangun sesuatu yang nampaknya saja ber­sifat rohani namun tanpa memperhitungkan kehendak Tuhan.
Ketiga, peranan Firman Tuhan sebenarnya sangat menolong dalam mengarahkan setiap orang yang taat dan memperhatikan janji Tuhan di dalam FirmanNya sehingga pada akhirnya mendapatkan perteduhan sejati bagi jiwanya karena di sanalah akan diperoleh iman sejati. Di Babel, semua orang tidak sungguh-sungguh memperhatikan Tuhan dan FirmanNya. Ini ditunjukkan dengan sikap memberontak dan sengaja mencemooh serta meremehkan janji Tuhan. Orang semacam ini tidak akan pernah memiliki iman yang teguh sebab iman sejati hanya dapat diperoleh melalui ketaatan pada kebenaran Tuhan. Kesimpulannya, seseorang itu sungguh-sungguh beriman atau tidak, akan nampak ketika ia menghadapi kesulitan yang sangat menghimpitnya. Jika ia sungguh-sungguh beriman maka ia akan memiliki kestabilan dan keteguhan jiwa.
Keempat, pendirian menara Babel pribadi menunjukkan adanya Insecurity (ketidakamanan)  di dalam diri. Akibatnya, Firman Tuhan tidak lagi dipertimbangkan. Mereka tetap beribadah kepada Tuhan tapi bukan karena rasa cinta akan Tuhan melainkan karena takut membangkitkan amarah Tuhan. Itulah sikap insecurtity.
Kelima, Allah tetap konsisten pada prinsipNya bahwa Ia akan memberkati semua orang yang taat dan memakai mereka sebagai alat kemuliaanNya. Pada peristiwa Babel, Allah menghentikan jalur Yoktan tapi memberi peluang pada jalur Peleg. Ia juga akan menunjukkan kutuk dan hukuman bagi semua orang yang melawanNya. Prinsip ini tidak akan pernah lapuk oleh jaman karena Allah tidak akan membiarkan diriNya dipermainkan dan dimanipulasi. Amin.?


Jakarta, 28 Mei 2009




Pdt.Tuty Zastini Hutabarat,STh