Jumat, 12 Maret 2010

Bacaan Paskah 1, 4 April 2010 : Roma 6:4-13


Paskah 1, 4 April 2010 Roma 6:4-13


MATI DALAM DOSA DAN
HIDUP BARU DALAM KRISTUS

Seorang anak SD kelas dua sedang belajar perkalian satu sampai sepuluh. Lalu ia ditanya oleh kakeknya, “Coba, berapa enam kali enam (6x6)?” “Tiga puluh enam kek!”. Jawabnya dengan lantang. Lalu kakeknya kembali bertanya: “Berapa sembilan kali delapan (9x8)?”. “Tujuh puluh dua kek!”, jawabnya dengan bangga lalu kakeknya bertanya lagi untuk yang ketiga kalinya: “Berapa dua kali dua belas?” anak itu terdiam sebentar, lalu berteriak, “itu tidak ada kek!” Anak itu baru mengenal perkalian satu sampai sepuluh. Ia tidak tahu perkalian dua belas. Karena ia tidak tahu, lalu ia menganggap perkalian dua belas itu tidak ada.
Apa yang tidak kita ketahui, belum berarti bahwa itu tidak ada. Apa yang masih merupakan misteri, belum berarti bahwa itu tidak benar. Misalnya, mengenai tubuh Yesus yang dibangkitkan dalam peristiwa paskah. Apakah tubuh Yesus sesudah kebangkitan itu sama dan serupa dengan tubuh sebelum kebangkitan? Di mana letak kebenarannya? Alkitab memberi dua macam berita yang tampaknya seolah-olah saling bertentangan.
Di satu pihak, tubuh Yesus yang bangkit adalah sama dengan tubuhnya yang semula. Murid-murid-Nya mengenal Dia. Ia memperlihatkan lubang bekas paku pada tangan-Nya dan lubang bekas tombak pada lambung-Nya. Ia makan sepotong ikan di depan para murid-murid-Nya.
Namun, di lain pihak Yesus hadir dengan cara berada yang lain daripada sebelum kebangkitan-Nya. Ia bisa masuk begitu saja ke ruangan yang terkunci, sehingga para murid ketakutan karena dikiranya hantu. Dan kitab Injil Markus mencatat bahwa Yesus menampakkan diri “dalam rupa yang lain”. Dari kedua berita itu kita bisa menarik kesimpulan bahwa, di satu pihak ada kesinambungan, namun di lain pihak ada ketidak-sinambungan antara tubuh sebelum dan sesudah kebangkitan-Nya. Jika demikian apa yang hendak dimaksudkan Alkitab? Berita tentang tubuh Tuhan Yesus yang sinambung tetapi juga tidak sinambung? Alkitab hendak menegaskan bahwa Yesus yang bangkit itu adalah Yesus yang benar-benar Allah. Hal ini juga menunjukkan bahwa kebangkitan Tuhan Yesus bukan hanya sekedar hidup lagi dari kematian melainkan bahwa Ia dibangkitkan ke suatu hidup yang lain.
Kadang-kadang memang ada orang yang secara klinis sudah dinyatakan meninggal dunia oleh dokter, lalu beberapa jam kemudian ia hidup lagi. Kebangkitan Yesus sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan kejadian seperti itu. Tuhan Yesus bukan hanya sekedar hidup lagi, melainkan Ia dibangkitkan ke suatu hidup yang baru. Sebelum Yesus bangkit dari kematian Dia mempunyai tubuh seperti manusia biasa (tubuh sarx), yaitu tubuh yang sementara, yang dapat sakit, rusak, mati dan busuk. Sedang tubuh Yesus setelah bangkit berubah menjadi tubuh kekal (soma) yaitu tubuh yang baru, yang tidak mau rusak, mati, busuk, melainkan kekal dan tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu. Itulah makna kebangkitan Yesus dari kematian. Dia telah mengalahkan dosa, iblis dan maut. Demikian juga orang yang percaya akan kebangkitan-Nya, akan beroleh keampunan dosa dan kehidupan yang kekal (Yoh. 3:16). Orang percaya selamat bukan karena kebaikannya dan karena kemampuannya untuk melakukan Hukum taurat dan tidak berbuat dosa, melainkan hanya karena anugerah Allah dalam iman Yesus Kristus (Rm. 3:21-31).
Seperti yang sering Paulus katakan dalam surat Roma ini, sekali lagi, di sini ia memberikan suatu argumentasi dalam perdebatannya melawan penentang yang mengatakan, bila keselamatan hanya oleh iman, marilah kita berbuat dosa. Pokok perdebatan itu timbul dari kalimat terakhir dari pasal yang lalu: “Di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah” (6:1-2). Paulus sangat menentang pandangan seperti itu. Ia bertanya: “Apakah kamu berpendapat, bahwa seharusnya kita tetap berbuat dosa agar supaya memberikan lebih banyak kesempatan kasih karunia dinyatakan?” Allah melarang kita melakukan jalan seperti itu.
Hal itu berkenaan dengan keadaan di mana Paulus pada waktu itu menghadapi kebudayaan bahkan agama-agama misteri Yunani di kota Roma, yang penuh keajaiban. Mereka menawarkan kepada manusia kelepasan dari kesusahan, kesedihan dan ketakutan dalam dunia ini; dengan jalan mengadakan persekutuan dengan salah satu dewa. Agama misteri itu selalu dipentaskan dan selalu didasarkan pada cerita tentang suatu dewa yang menderita, mati dan bangkit kembali. Cerita itu dinamakan dalam suatu drama, sebelum seseorang boleh melihat drama itu, ia harus menjalani disiplin petapa. Ia harus dipersiapkan dengan cermat. Drama itu dimainkan dengan musik, lampu, dupa dan kegaiban. Ketika drama itu sedang dimainkan, orang itu melalui pengalaman emosional dipersatukan dengan dewa itu. Sebelum ia memasuki ini, ia harus melewati upacara yang selalu melambangkan kematian yang diikuti dengan kelahiran baru, dengan jalan inilah orang dilahirkan kembali (renatus in alternum) untuk hidup di kekekalan. Seorang yang telah melewati upacara ini mengatakan, bahwa ia melakukan “suatu kematian suka rela”. Hal ini sama sekali bukan hendak mengatakan bahwa Paulus meminjam ide-ide maupun kata-katanya dari praktek-praktek keyahudian atau kekafiran; tetapi kata-kata dan gambaran yang digunakannya sudah dikenal dan dimengerti oleh orang Yahudi dan Yunani ketika itu.
Berkaitan dengan itu, ada tiga hal yang perlu difahami orang Kristen: Pertama, hal yang sangat buruk sekali jikalau berusaha mengandalkan kasih karunia Allah dan menjadikannya alasan untuk berbuat dosa. Itu berarti bahwa ia mengambil keuntungan dari kasih untuk menghancurkan hati orang yang mengasihinya yaitu Allah sendiri. Kedua, orang yang masuk dalam persekutuan Kristen ialah orang yang bertekun dalam cara hidup yang sama sekali baru, dan harus berbeda dari dunia. Ketiga, seorang yang menerima Kristus, maka itu lebih daripada sekedar perubahan moral-etis, tetapi ada sesuatu identifikasi yang nyata dalam Kristus. Perubahan moral-etis tidak mungkin tanpa adanya persekutuan di dalam Kristus. Dalam arti manusia tidak dapat berbuat apa yang baik dan benar kecuali dia barada dalam Kristus (Yoh. 14:6)
Dengan demikian, seorang yang percaya dan hidup dalam Kristus, dia telah mati dalam dosa dan hidup baru dalam kasih Kristus dan pada wau yangsa harus menunjukkan pengalaman rohaninya dalam praktiknya. Kekristenan bukanlah hanya suatu pengalaman emosional, atau hanya pengakuan, melainkan suatu jalan hidup yang dinyatakan melalui tindakan dan perbuatan: “Christianity not only Creed, but also Deed”. Menjadi orang Kristen bukan untuk menikmati suatu pengalaman, bagaimanapun hebatnya. Tetapi bagaimana seseorang itu diarahkan untuk keluar dan menghadapi serangan-serangan dari dunia dan masalah-masalah yang ada. Memang biasa dalam kehidupan beragama untuk duduk di dalam Gereja dan menikmati gelombang perasaan yang meluap di hati kita. Dan tidak aneh jika kita duduk sendiri dan merasakan Kristus amat dekat. Tetapi Kekristenan yang berhenti sampai di situ adalah Kekristenan yang berhenti di tengah jalan. Emosi pengalaman rohani itu harus dinyatakan dalam tindakan. Kekristenan tidak hanya pengalaman pribadi, tetapi harus nyata dalam praktek hidup sehari-hari..
Pada saat seseorang masuk ke gelanggang kehidupan dunia, ia dihadap-mukakan dengan situasi-situasi menakjubkan. Untuk itu orang percaya harus turur serta berperan di dalamnya. Allah dapat bekerja melalui manusia, apabila ia hendak mengucapkan sepatah kata, Ia harus mencari orang untuk mengucapkannya. Apabila Allah ingin melakukan sesuatu, Ia harus mencari orang untuk mengerjakannya. Apabila Allah ingin membesarkan hati seseorang, Ia harus mencari orang untuk melakukan hal itu. Demikian juga dengan iblis, setiap orang didorong untuk berbuat dosa. Iblis mencari orang yang mau menggoda orang lain untuk berbuat dosa melalui kata-kata dan perbuatan mereka. Paulus seolah-olah mengatakan: Dalam dunia ini ada suatu perlawanan antara Allah dengan iblis, “pilihlah pihakmu!” Kita diperhadapkan dengan dua pilihan, yaitu menyerahkan diri menjadi orang yang berada di pihak Allah atau di pihak iblis.
Seseorang mungkin berkata: “Pilihan seperti itu tidak dapat saya lakukan, saya pasti gagal”. Paulus menjawab, “Jangan berkecil hati dan jangan putus asa: kamu tidak akan dikuasi lagi oleh dosa”. Mengapa? Karena kita tidak lagi dibawah Hukum Taurat melainkan dibawah anugerah dalam Krisus. Kita tidak lagi berusaha memenuhi tuntutan Hukuman Taurat, tetapi berusaha untuk hidup dalam Kristus yang hidup dalam kasih dan kasih karunia Allah. Kehidupan Kristen bukanlah suatu belaan untuk dipikul, melainkan suatu hak untuk hidup sesuai dengan kasih itu. “Bukanlah pengekangan tetapi dorongan kasih yang membebaskan kita dari dosa; bukan Gunung Sinai melainkan Kalvari yang menjadikan orang, anak-anak Allah” (Denney). Inspirasi orang-orang Kristen bukan datang dari ketakutan akan hukuman, tetapi dari keyakinan tentang apa yang telah Allah kerjakan bagi dia. Untuk itu, terimalah Yesus Kristus yangg telah bangkit itu menjadi Juru Selamatmu, matilah bersama dia dam dosa dan hiduplah dalam ehidupan baru dalam kasih-Nya. Amin




Pdt. B.T. Simarmata, M.Th
Dosen STT HKBP P.Siantar

Bacaan Jumat Agung, 2 April 2010 : Mika 7:7-12


Jumat Agung, 2 April 2010 Mika 7:7-12


BERHARAP KEPADA TUHAN

Renungan pada Jumat Agung ini, sangat mengesankan bagi kita. Mengapa? Sungguh, Firman Tuhan ini berhubungan dengan kondisi kita dewasa ini. Sebagai seorang nabi yang hidup di Israel Selatan (Moresyet), Mika memberitakan tuntutan Allah di tengah situasi kesederhanaan hidup seperti persoalan ladang-ladang yang dimiliki orang desa (2:2; 4:5). Dalam situasi seperti itu, perhatian lebih besar diberikan kepada nafsu serakah dan tindakan kasar dari orang-orang yang datang dari kota besar Yerusalem, yang rumah-rumah mewah mereka disewakan di Moresyet. Mereka suka menipu (6:11) dan merebut apa saja yang mereka inginkan (2:1-2; 6:9-11). Mereka merebut ladang-ladang karena utang yang tidak dibayar (2:2, 4).
Apa hubungannya antara teks ini dengan Jumat Agung yang umumnya berisikan via dolorosa (jalan penderitaan)? Lalu apa keterkaitan ini semua dengan kehidupan kita? Apa yang mau Tuhan sampaikan kepada kita semua? Inilah ketertarikan itu!
Di saat-saat cerminan hidup yang benar tidak dapat diharapkan, keadilan dan kebenaran seharusnya ditegakkan, suara nabi seharusnya berbicara, namun tidak juga berbicara, di saat-saat manusia seharusnya hidup saling tolong-menolong, namun berubah menjadi hidup yang serba ganas dan buas, kerakusan konsumtif dan konsumerisme semakin membahana. Di saat-saat seorang ayah dan ibu menjadi teladan tapi tidak kunjung menjadi teladan, di saat-saat pemimpin seyogianya melayani tapi malah memerintah sekehendak hatinya, hukum dipermainkan oleh mereka pemegang kendali hukum. Akibat situasi seperti itu, maka mulailah muncul krisis diri, krisis identitas. Tidak lagi ada yang bisa dipercaya. Tidak ada lagi yang menjadi panutan dan teladan. Tidak ada lagi yang memotivasi dan memberi semangat. Umumnya bila hal ini muncul maka timbul pesimistik. Hidup dipenuhi dengan sikap pesimis. Segala sesuatu tidak punya tujuan dan pengharapan. Begitulah kondisi Israel ketika itu. Seperti Indonesia saat ini seperti sebuah negeri kaum bedebah (hidup yang dikuasai para penguasa tanpa atau dengan menginjak-injak hukum).
Namun yang menarik bagi kita adalah, Mika tidak sama dengan orang yang pesismistik. Selalu ada pengharapan yang baru yang ia nantikan, sekalipun kondisi Israel tidak lagi mencerminkan umat Allah ketika itu (7:1-6). Iman Mika hidup dalam ungkapan dengan kesadaran dan pergumulan, Celakah aku!
Apa kiat agar kita tidak terjatuh dalam krisis identitas tersebut? Kuncinya ialah berharap kepada Tuhan. Tidak ada lagi selain itu. Hidup berpusat hanya pada Tuhan semata. Totalitas diri hanya berpaut pada-Nya. Masalahnya, sering dihadapi pemahaman bahwa hidup berpusat dengan Tuhan tentu hidup yang sukses. Hidup dengan Tuhan pasti jauh dari penderitaan dan kesengsaraan. Sadar atau tidak, teologi sukses sering menyelimuti pikiran manusia, yang berpikir: ”Hidup bersama dengan Tuhan tidak akan mengalami penderitaan lagi”. Padahal, hidup bersama Tuhan adalah lebih tepat dengan gambaran via dolorasa saat ini. Tidak ada keberhasilan diraih tanpa perjuangan (No sucsessfull without strugle. No crown without ross!. No gain without pain). Tuhan tidak pernah berjanji untuk memberikan kenyamanan dalam hidup ini. Yang Tuhan janjikan adalah Tuhan menyertai kita dalam segala perjalanan hidup ini. Artinya, dalam perjalanan kehidupan kita yang pasti terjadi dan nyata adalah penyertaan Tuhan kepada kita. Tuhan menyertai kita di kala susah dan juga menyertai kita di kala berbahagia. Tuhan menyertai kita di kala sakit dan pasti juga Tuhan menyertai kita di dalam masa-masa sehat. Tuhan menyertai kita di masa kesulitan ekonomi, dan juga menyertai kita di kala kita memiliki harta yang banyak. Tuhan pasti menyertai kita di kala anak-anak kita tidak berlaku baik kepada kita, dan pasti juga menyertai kita di kala anak-anak kita mendapatkan kesuksesannya. Penyertaan Tuhan tiada batasnya, bahkan Ia rela mati demi penyertaannya bagi kehidupan kita. Dia mati di kayu salib agar kita memperoleh hidup. Dia mati agar kita hidup. Sungguh luar biasa penyertaannya bagi kita umat ciptaan-Nya.
Sama seperti Kristus yang telah merendahkan diri-Nya di kayu salib untuk memenangkan banyak orang. Ia mati untuk kehidupan manusia. Ia mati agar kita hidup. Ia mengorbankan segalanya demi manusia mendapatkan segalanya. Ia menaklukkan kuasa kematian agar manusia tidak takut lagi kepada kuasa kematian. Kematian selalu menghampiri manusia. Persoalannya, sering kita menganggap kematian merupakan musibah. Namun bagi orang Kristen kematian adalah proses untuk meraih kehidupan yang kekal itu sendiri. Yesus sudah membuktikan itu.
Umumnya orang paling suka membalaskan kejahatan. Seharusnya, persoalan pembalasan atas kejahatan itu bukanlah hak manusia karena pembalasan sesungguhnya milik Tuhan walau memang benar dari realitanya manusia saling membalas kejahatan dan jatuh dalam jurang permusuhan. Paling tragisnya, kita paling suka menanti-nantikan lawan kita tersandung dan bersiap-siap menertawakannya. Itulah sikap mental orang bermusuhan. Mika tidak demikian. Persoalan hidupnya dibawa kepada Tuhan, dan ketika itulah sesungguhnya musuh telah bertekuk padanya. Mengapa? Karena musuh sesungguhnya diri sendiri. Bukan orang lain. Mika mengenal kelemahan dan kekurangannya sehingga ia mengharapkan Tuhan akan memuaskannya (7:8-10).
Dalam masa-masa Jumat Agung ini, marilah kita tidak saling menghujat dan membalas segala kesalahan dan dosa sesama manusia. Sama seperti Yesus ketika Dia dianiaya, difitnah selama perjalanan-Nya menuju kayu salib, Dia tidak pernah meminta pembalasan kepada musuh-musuh-Nya, melainkan Dia melepaskan pengampunan bagi orang yang telah berbuat jahat kepada-Nya. Dengan melepas pengampunan kepada pihak musuh kita, berarti kita telah memperoleh kekuatan ilahi dari Tuhan.
Dalam pergumulan hidunya, Mika pada akhirnya memiliki pengharapan akan masa depan. Ia punya visi yang jelas. Akan datang suatu hari bahwa pagar tembokmu akan dibangun kembali; pada hari itulah perbatasanmu akan diperluas. Pada hari itu orang akan menghadap engkau dari Asyur sampai Mesir, dari Mesir sampai sungai Efrat, dari laut ke laut, dari gunung ke gunung. Keterpautan Mika yang selalu berpusat pada Tuhan saja pada akhirnya menghasilkan pengharapan bahwa pasti ada perubahan. Pasti. Habis gelap terbitlah terang karena tidak mungkin gelap terus hadir dan berkuasa! Tidak mungkin setiap masalah dan persoalan tanpa solusi. Semua pasti ada jalan keluar. Kristus telah membuktikan itu. Ia membuktikan bahwa tahun rahmat Tuhan telah datang dan dibuktikannya dengan via dolorosa. Ini artinya tanpa pengharapan, tanpa semangat, tanpa kegairahan hidup kita tidak mampu berpikir jernih dan hidup bersemangat. Jadi hidup orang Kristen hendaknya punya visi ke depan karena hidup ini berjalan terus lurus ke depan menuju kekekalan.

Bahan diskusi
1. Bila hidup mengancam, apakah dasar pijakan kita? Hartakah? Posisi atau jabatan?
2. Bila situasi dalam keadaan kacau, hukum tidak diindahkan, kebenaran dan keadilan diinjak-injak, orang-orang lemah diperlakukan tidak wajar, apa yang dapat kita perbuat?
3. Bagaimana perasaan Bapak/Ibu dan Saudara/Saudari saat berhadapan dengan orang yang paling dibenci? Maukah kita memaafkannya seperti Kristus telah mengampuni kita dari dosa kita?
4. Apakah menurut Bapak/Ibu dan Saudara/Saudari sudah memiliki visi ke depan?
5. Bila kita memiliki misi ke depan, bagaimana cara kita untuk mewujudkan itu melalui misi?




Pdt. Budiman Tua Simarmata, M. Th.
Dosen STT-HKBP Pematangsiantar