BLOG INI BERSIFAT TERBUKA UNTUK DIKOMENTARI DAN DIKRITISI DEMI KEMAJUAN WAWASAN BERPIKIR, DAN BERTEOLOGI MASA KINI
Sabtu, 15 Oktober 2011
Jumat, 14 Oktober 2011
Renungan: GEREJA YANG BERMARTURIA
SERMON PARHOBAS DUA RESORT
Bacaan Minggu, 16 Oktober 2011: Lukas 12:15-21
Jamita Minggu, 16 Oktober 2011: Lukas 12:15-21
ORANG KAYA YANG BODOH HATORANGAN NI JAMITA MINGGU 17 DUNG TRINITATIS MINGGU, 16 OKTOBER 2011 Jamita : Lukas 12:15-21 Sibasaon : 2Korintus 9 :6-15 Satu Gambaran Keberhasilan Ini adalah suatu perumpamaan di mana Tuhan Yesus menarik gambaran tentang seorang pengusaha, atau seorang petani, yang sangat sukses. Dunia akan menilai dia sebagai orang yang sangat berhasil, namun yang menjadi persoalan adalah bahwa keberhasilan secara duniawi tidaklah sama dengan keberhasilan rohani. Lalu apa arti sukses itu sesungguhnya? Apakah mendapatkan promosi dalam pekerjaan merupakan suatu sukses? Apakah mendapatkan gelar kesarjanaan dengan nilai sempurna dari universitas yang ternama adalah suatu sukses? Lulus dengan nilai pas-pasan berarti tidak sukses? Jadi apa itu sukses? Apakah kesuksesan itu berkaitan dengan pendidikan? Apakah ia dinilai berdasarkan gelar yang kita raih? Apakah ia didasari oleh nilai uang? Apakah sukses itu diukur berdasarkan keberhasilan usaha kita? Apa itu sukses? Si petani dalam perumpamaan ini merasa bahwa ia sudah mendapatkan kesuksesan. Bagaimana sukses dapat diraih? Sukses diraih dengan melalui berbagai macam cara. Sebagai contoh, sukses dapat datang lewat suatu kerja keras. Ia didapat dari hasil perencanaan dan pemanfaatan waktu serta sumber daya yang baik. Sukses sangat jarang datang sebagai suatu kebetulan, unsur ini sangat sedikit peranannya. Sebagian besar unsur pembentuk sukses adalah kemampuan dan kerja keras, dan beberapa orang menyatakan bahwa peranan kemampuan hanya sekitar 5% dan 95% sisanya adalah hasil dari kerja keras. Jika dilihat dari segi ini, maka si petani dalam perumpamaan ini adalah orang yang memiliki kedua kualitas itu. Ia adalah orang yang giat bekerja. Ia pastilah seseorang yang sangat berpengalaman di bidang pekerjaannya. Cobalah kita menjalankan usaha tani dan lihat sendiri hasilnya. Jika saya disuruh untuk mengelola lahan pertanian, di tahun pertama saja saya mungkin sudah bangkrut. Saya tidak tahu apa-apa tentang usaha pertanian. Tidak ada sedikitpun petunjuk yang saya miliki untuk dapat menjalankan usaha pertanian. Saya tidak punya pengalaman apa-apa dalam bidang ini. Tapi orang yang sedang kita bahas ini adalah orang yang tahu persis seluk-beluk bidang usahanya, ia sangat terlatih di bidang usaha ini dan sangat berhasil. Ia tahu bagaimana cara mengelola uangnya. Ia tahu bagaimana cara mengelola waktunya. Jadi apakah ada yang kurang dari orang ini? Singkatnya, dia adalah gambaran dari kesuksesan! Kebanyakan orang berusaha sekuat tenaga, akan tetapi hanya dia yang mendapatkan panen berlimpah. Kenyataannya, masih ada lagi hal yang dapat ditambahkan. Orang dapat berkata bahwa ia diberkati oleh Allah. Allah memberinya cuaca yang bagus. Cuaca memegang peranan yang sangat menentukan di dalam usaha pertanian. Ia mungkin saja seseorang yang sangat ahli dalam bercocok-tanam, ia mungkin sudah tahu bagaimana menangani tanaman, akan tetapi jika cuaca tidak mendukung, jika tidak ada hujan, akibatnya akan sangat merugikan. Atau jika hujan turun terlalu banyak, atau turun di saat yang tidak diharapkan, akibatnya sama saja yaitu kerugian besar. Mungkin tidak ada bisnis lain dengan tingkat ketergantungan yang sangat tinggi terhadap cuaca dibandingkan dengan pertanian. Bisnis pertanian, menurut orang Yahudi, dapat dikatakan sangat bergantung pada belas kasihan Allah. Jadi, bukankah di dalam penglihatan kita orang ini sedang menerima berkat Allah berupa panen yang melimpah? Di atas segala kemampuan dan kerja kerasnya, ia mendapatkan cuaca yang sangat bagus. Orang lain akan mengira bahwa ia mendapatkan suatu kerja sama dari Allah. Dan mungkin ia sendiri akan berpikir seperti itu, ia mengira bahwa Allah berada di pihaknya. Segala sesuatunya berjalan dengan baik. Cuaca baik dan hasil panen setiap tahunnya sangat baik! Akhirnya ia mendapatkan sangat banyak hasil panen. Sedemikian banyaknya hasil panen yang ia dapatkan sehingga lumbungnya yang sekarang ini tidak dapat lagi menampung semua hasil panen itu. Ia justru harus memecahkan masalah kelebihan hasil panen ini. di dalam Lukas 10:17 ia berkata, "Apa yang harus kulakukan? Tidak ada cukup tempat untuk menampung hasil panenku? Baiklah, aku akan melakukan hal ini." Kita lihat, ia adalah orang yang cepat memikirkan jalan keluar. Ia bukan jenis orang yang berkata, "Aduh, aku tidak tahu harus berbuat apa." Ia cepat tanggap dan segera berkata, "Aku akan melakukan ini." Jenis orang yang tangkas mengambil keputusan. Ia tahu apa yang harus diperbuat. Ia tidak sampai kehilangan akal. Ia bertanya dan ia sendiri yang segera memutuskan jawabannya, "Aku akan merombak lumbungku dan menggantikannya dengan yang besar untuk menyimpan semua hasil panen dan barang-barangku." Gambarannya terlihat ideal. Mengapa Yesus Menyebutnya Bodoh? Apa masalahnya? Persoalan moral apa yang bisa kita amati dari sini? Kita tidak dapat menuduhnya secara moral karena tidak disebutkan bahwa ia adalah orang yang berbuat dosa, bahwa ia sudah melakukan perbuatan jahat seperti perampokan ataupun penipuan. Tuduhan semacam itu tidak dapat dialamatkan kepadanya. Kenyataannya, seringkali orang-orang yang bekerja keras adalah orang-orang yang baik secara moral. Orang-orang malaslah yang biasanya, karena tidak suka bekerja, punya banyak waktu untuk keluyuran di jalanan serta menimbulkan banyak masalah. Akan tetapi orang-orang pekerja keras adalah orang-orang yang jadi teladan di tengah masyarakat. Mereka selalu jauh dari masalah karena mereka tidak punya waktu untuk membuat masalah. Mereka terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Bayangkanlah tentang seorang peneliti yang rajin yang jarang meninggalkan laboratoriumnya. Ia bekerja siang dan malam di sana, jadi kapan ia punya waktu untuk pergi keluar dan berbuat dosa? Kapan dia punya waktu untuk mencuri, merampok, berzinah atau melakukan dosa-dosa lainnya? Ia tidak punya waktu untuk semua ini. Ia terlalu dalam terlibat dengan pekerjaannya. Bayangkanlah orang-orang seperti suami-istri Curie (peneliti bahan-bahan radioaktif dan cahaya, pent.) yang selalu sibuk di dalam laboratorium mereka. Ada lagi orang seperti Newton (perumus teori gravitasi, pent.) yang sangat sibuk dan selalu memikirkan pekerjaannya sehingga ketika hari pernikahannya tiba, ia membiarkan istrinya duduk menunggu di luar laboratorium. Sebelumnya ia berpesan bahwa ia hanya akan beberapa menit saja di dalam laboratorium itu. Akan tetapi kemudian calon istrinya itu harus menunggu sampai berjam-jam karena begitu ia masuk ke dalam laboratorium, ia menjadi begitu asyik dengan pekerjaannya sehingga lupa bahwa hari itu adalah hari pernikahannya. Dan di dalam kesempatan yang lain, ketika sedang di dalam suatu penelitian, ia bermaksud untuk memasak makanan siangnya, akan tetapi yang dimasukkannya ke dalam kuali adalah jam, bukannya telur. Pikirannya sangat terkonsentrasi pada pekerjaan sehingga ia tidak ada waktu lagi untuk memikirkan hal-hal yang lain. Orang-orang ini sangat menikmati pekerjaan mereka. Mereka adalah orang-orang yang bermoral. Mereka tidak keluyuran di jalanan dan melakukan perbuatan-perbuatan dosa. Terlebih lagi, nama baik sangat penting bagi orang-orang yang sukses itu. Mereka tidak akan mau melakukan dosa yang akan merusak reputasi mereka. Mereka ingin agar orang memandang mereka sebagai pengusaha yang jujur. Apakah mereka benar-benar jujur, itu lain persoalan. Akan tetapi mereka ingin agar dipandang seperti itu. Dan mereka akan berjuang keras untuk menjaga reputasi itu. Jadi kira-kira seperti inilah gambaran dari si petani yang kaya ini. ia adalah seorang pekerja keras, yang tidak suka cari masalah, yang punya banyak rencana, ide dan sangat berhasil. Lalu apa kesalahannya? Apa persoalannya? Keadaan orang ini tampaknya sangat ideal. Selain itu, ia tampaknya diberkati oleh Allah, mendapatkan cuaca yang baik. Saya menyebutkan hal ini karena ada kecenderungan di kalangan orang Yahudi untuk memandang bahwa orang yang kaya adalah orang yang berkenan di hadapan Allah dan mereka yang miskin tidak. Saya sangat prihatin karena cara pandang orang Yahudi ini ternyata juga jamak terdapat di tengah lingkungan orang Kristen. Sebagai contoh, setiap kali seseorang mendapat keberhasilan, ia berkata, "Oh, terima kasih Tuhan, Engkau sungguh baik!" Ia memuji Allah, namun ketika bisnisnya bermasalah, ia mulai berkata, "Ya Tuhan, apa salahku? Mengapa aku harus mengalami semua ini?" Masih banyak orang Kristen yang menghubungkan keberhasilan dengan berkat dari Allah, dan kegagalan dengan kutukan dari Allah. Ini adalah pandangan yang sangat berbahaya, dan ini bukan pandangan yang alkitabiah. Ini adalah pandangan manusiawi dan bukannya pandangan Alkitab. Penilaian bahwa jika kita gagal adalah akibat dari hukuman Allah tidak selalu dapat dibenarkan. Saya mengenal orang-orang yang sudah belajar keras namun masih juga gagal dalam ujian. Namun peristiwa itu sama sekali bukan bukti bahwa Allah sedang menghukum atau memusuhi mereka. Dalam beberapa peristiwa, kegagalan tersebut ternyata justru menjadi berkat bagi sebagian dari mereka. Dan seringkali, sukses justru merupakan kutuk bagi seseorang. Ada beberapa orang yang mendapatkan sukses yang sangat besar dan akibatnya mereka malah murtad dari Allah. Dan memang sering orang yang memperoleh sukses besar justru menghadapi masalah rohani yang paling berat. Ada seorang sahabat erat saya di London. Kami berdua sama-sama belajar di sebuah perguruan tinggi, namun di fakultas yang berbeda. Ia kuliah di fakultas teknik. Dan ia sangat berhasil karena kecerdasannya. Ia lulus dengan nilai yang tertinggi, mendapatkan medali emas. Saya tidak tahu apakah ia pernah mendapatkan nilai di bawah sempurna pada masa kuliahnya. Seolah-olah masih belum cukup, ketika lulus dari Imperial College di University of London, ia lulus dengan predikat sebagai yang terbaik dari tujuh lulusan terbaik di angkatannya. Sangat sukses! Lalu ia melanjutkan kuliah di Montreal untuk gelar doktornya. Inipun dijalaninya dengan prestasi yang sama. Sekarang ini, ia menjadi profesor dalam bidang studinya, namun secara rohani, ia adalah pecundang. Sukses dapat menjadi hal yang paling buruk dalam hidup kita. Saya harap kita dapat mengerti persoalan ini. Tidak ada hubungan yang baku antara sukses dengan berkat Allah. Orang yang dikisahkan di dalam perumpamaan ini adalah orang yang selalu mendapatkan sukses. Ia tidak pernah mengalami kegagalan. Kemakmuran, cuaca baik dan keberhasilan, semuanya ada padanya. Dan ia menjadi orang yang gagal total, secara rohani, mirip seperti sahabat saya yang mengalami kegagalan dalam kerohaniannya. Saya juga mengenal beberapa orang yang giat belajar serta sangat cerdas, namun aneh, mereka tetap gagal dalam ujian. Sangat aneh! Jangan mengira bahwa kita adalah orang bodoh jika kita tidak lulus dalam ujian. Ada juga orang cerdas yang gagal dalam ujian, dan orang lain tidak tahu apa sebabnya. Kita mungkin tahu bahwa Albert Einstein (perumus teori relativitas, pent.) bukan orang yang menonjol di masa sekolahnya. Boleh dibilang bahwa ia pada saat itu dianggap bodoh. Saya pernah berkhotbah di sebuah sekolah di Swiss, dan sekolah itu adalah tempat di mana Albert Einstein pernah belajar. Sesudah acara kebaktian, salah satu guru di sana bertanya kepada saya, "Tahukah kita bahwa Albert Einstein adalah salah satu lulusan dari sekolah ini?" Dan saya menjawab, "Tidak, ini hal yang sangat menarik. Pastilah dia merupakan siswa yang sangat menonjol kecerdasannya." Tapi guru itu menjawab, "Oh, tidak. Ia adalah murid yang sangat bodoh." Guru itu menjelaskan bahwa Einstein sedemikian bodohnya sehingga nyaris saja tidak dapat melanjutkan ke universitas. Hampir semua universitas menolaknya. Akhirnya ia diterima di University of Zurich, setelah nyaris ditolak. Ia diberi kesempatan untuk masuk walaupun tidak ada prestasi yang dapat dibanggakan darinya. Nah, prestasi selanjutnya dari Albert Einstein tentunya sudah kita ketahui. Jadi, kenyataan bahwa selama masa sekolahnya ia berprestasi buruk bukanlah akhir dari segalanya. Kisah-kisah kegagalan selama masa sekolah tidak membuktikan bahwa ia sudah tidak punya harapan. Yang mana yang disebut sukses dan yang mana yang disebut sebagai berkat dari Allah? Ini adalah perkara yang perlu dipahami, dan kegagalan dalam memahami hal ini akan berakibat timbulnya berbagai macam masalah. Jika demikian halnya, lalu apa yang menjadi masalah dengan petani kaya ini? Apa kesalahannya? Tidakkah kita akan setuju bahwa apa yang dia lakukan adalah hal yang sangat masuk akal? Jika kita memperoleh banyak hasil panen dan tidak ada lagi tempat untuk menyimpannya, tindakan apa yang masuk akal selain membangun lumbung yang lebih besar? Itu adalah tindakan yang mungkin akan kita atau saya lakukan di dalam keadaan yang sama. Adakah hal lain yang akan kita lakukan? Jadi ketika kita mengamati orang ini, kelihatannya kita tidak dapat melihat kesalahannya. Sebagaimana yang saya katakan, sangatlah penting untuk memahami bahwa menurut ukuran dunia, orang ini jelaslah orang yang terhormat, orang yang akan sangat disegani di tengah masyarakat. Jika orang ini masuk ke gereja, kita akan berkata, "Nah, ini dia orang yang sangat diberkati oleh Allah. Hasil panennya melimpah, orangnya baik dan tidak pernah berbuat jahat." Dan saya tidak akan heran jika ia juga sangat murah hati dalam memberikan persembahannya. 1. Tidak Memahami Kenyataan Rohani Jadi, mengapa ia disebut bodoh? Kita memandang ia sangat bijak. Dengan standar duniawi, ia adalah orang yang sangat bijak. Apa masalah orang ini? Persoalan orang ini tidak terletak pada kepribadiannya. Ini adalah hal yang perlu dipahami. Tuhan tidak pernah menyatakan bahwa ia adalah orang yang jahat. Tuhan juga tidak menyatakan bahwa ia tidak pandai. Kata 'bodoh' di dalam Alkitab tidak mengandung arti 'tidak pandai'. Kata ini perlu dipahami secara rohani, bukannya secara intelektual. Ini adalah perkara yang perlu diperhatikan. Jadi, apa pokok permasalahannya? Kebodohan rohani. Apa itu kebodohan rohani? Mari kita berhenti sejenak untuk meneliti apa persoalan yang terdapat pada orang ini. Kata Yunani bagi 'kebodohan' terdiri dari dua bagian. Bagian yang di depan adalah penyangkalan, pernyataan yang bersifat negatif, dan bagian belakangnya berarti 'pikiran'. Jadi secara kasar dapat diterjemahkan dengan 'tidak punya pikiran', atau tidak berakal. Atau dapat kita katakan, tidak punya pemahaman rohani karena kata 'pikiran' di sini diartikan secara rohani. Mengapa ia disebut tidak memiliki pemahaman rohani? Kesalahan apa yang ia lakukan? Kata 'bodoh' juga dipakai di dalam 2 Korintus 12:6a. Mari kita lihat ayat ini sehingga kita dapat memahami makna alkitabiah dari kebodohan, dengan demikian kita dapat menguji diri kita masing-masing untuk melihat apakah kita sudah bijak atau masih bodoh jika kita menilai orang lain sebagai orang bodoh. Firman Allah berkata, di dalam ayat ini, "Sebab sekiranya aku hendak bermegah juga, aku bukan orang bodoh lagi, karena aku mengatakan kebenaran." Di dalam ayat ini, Paulus berkata, "Aku tidak mau bermegah, namun jika aku akan bermegah, aku tidak mau memegahkan hal yang bodoh." Kata 'bodoh' di sini mengandung makna tentang orang yang kehilangan hubungan dengan realitas, orang yang tidak tahu persoalan. Maksud perkataan Paulus adalah, "Apa yang akan aku megahkan adalah kebenaran. Aku akan mengatakan kebenaran. Aku tidak akan berbicara lepas dari kebenaran. Aku memiliki alasan untuk bermegah sekalipun aku tidak ingin bermegah." Paulus memiliki banyak dasar untuk dapat bermegah secara manusiawi. Kita semua tahu bahwa Paulus adalah orang yang dapat dikatakan sukses menurut ukuran dunia. Ia adalah seorang cendekiawan yang besar. Otaknya cemerlang. Kita hanya perlu membaca tulisan-tulisannya atau mempelajari kitab Roma untuk dapat melihat bahwa ia adalah orang yang sangat cerdas, yang mampu menguraikan pokok pikiran dengan singkat dan tepat. Saya mengenal beberapa orang dengan kecerdasan seperti Paulus. Ketika saya masih kuliah di London, saya biasa mengikuti pelayanan Martin Lloyd Jones. Ia adalah penulis buku dan seorang pengkhotbah dari Inggris yang terbesar di angkatan ini. Saya rasa tidak ada pengkhotbah yang lebih besar dari dia dalam angkatan ini, saya sudah mengikuti khotbah sebagian besar pengkhotbah besar dari Inggris. Martin Lloyd Jones tadinya adalah seorang dokter spesialis jantung sebelum ia meninggalkan dunia berikut segala gemerlapnya demi mengabarkan Injil. Saya ingat rekan sejawatnya - seorang dokter spesialis kulit yang sangat ternama - yang berkata bahwa ketika Martin Lloyd Jones meninggalkan bidang kedokteran, dunia kedokteran sangat terkejut karena ia adalah bintang baru yang berkembang sangat pesat di dalam dunia kedokteran. Ia orang yang sangat cerdas. Sedemikian cerdasnya sehingga ia sudah terkenal di Inggris sebagai seorang ahli jantung sebelum menginjak usia 30. Akan tetapi Tuhan menumpangkan tanganNya atas Lloyd Jones dan ia berpaling dari dunia medis dan menjadi pendeta di sebuah gereja kecil di Wales, gereja yang sangat tidak terkenal. Di sanalah ia mengabarkan Injil, dan Allah memakai dia dengan sangat luar biasa. Jika kita mendengarkan dia, misalnya, ketika sedang membahas persoalan gereja, kita segera akan menyadari bahwa ia adalah orang yang sangat cerdas. Ia sangat cepat memahami pokok persoalan; sepertinya sangat mudah dan sederhana. Ketika orang-orang masih berputar-putar berusaha memahami masalah yang terjadi, dan masih juga belum mampu menyentuh pokok yang paling utama, ia duduk menunggu dan mendengarkan. Ketika tiba gilirannya berbicara, ia menguraikan persoalan yang dihadapi langsung ke titik utamanya hanya dalam beberapa kalimat. Otaknya sangat cemerlang. Jika saya membayangkan dia, maka saya selalu teringat pada Paulus, orang yang terpanggil oleh Allah, yang juga berotak cemerlang. Kemampuan untuk dapat melihat sampai ke pokok persoalan di dalam perkara rohani sangatlah penting. Sayangnya, walaupun orang yang sukses di dalam perumpamaan ini sangatlah cemerlang secara manusiawi, ia tidak memiliki kebijaksanaan rohani. Akalnya tidak menjangkau sampai ke perkara rohani. Itu sebabnya, ia disebut bodoh. Ia tidak melihat persoalannya sampai ke perkara rohani. Ia tidak dapat memahami keadaan yang dihadapinya secara rohani. Ia hanya memegang satu aspek saja dalam hidup ini, aspek jasmani. Namun pokok keberadaan manusia secara utuh, yaitu mencakup sampai ke aspek rohani, tidak dapat dilihatnya. Saya tidak tahu apakah kita sudah dapat memahami kenyataan rohani dengan baik. Jika belum, maka kita akan gagal menangkap pesan dari perumpamaan ini. Kita akan masuk ke dalam kategori yang sama dengan orang kaya yang bodoh ini, sangat sukses di dunia, akan tetapi berantakan dan tidak mampu memahami persoalan rohani. Banyak orang yang bingung mengapa Martin Lloyd Jones meninggalkan bidang kedokteran. Mengapa ia, sebagai seorang yang sangat berbakat di dunia kedokteran, melakukan hal ini, yang merupakan suatu tindakan bodoh secara duniawi? Maksud saya, kita masih dapat membantu orang lain, secara jasmani dan rohani, sambil mengembangkan karir yang sukses sebagai seorang dokter ahli jantung. Kita benar-benar boleh melakukan itu! Ia seharusnya dapat mempertahankan pekerjaannya sebagai ahli jantung, dan menjadi ahli jantung bagi Ratu Inggris, suatu nominasi yang sedang dipertimbangkan bagi dia saat itu di dalam usianya yang masih muda. Akan tetapi ia sudah terlanjur sampai pada pengertian yang mendalam tentang kenyataan hidup. Ia sudah mampu memahami realitas kehidupan jasmani, dan kemudian ia juga sampai pada pemahaman akan realitas kehidupan yang baru yaitu kehidupan rohani. Dan di dalam terang pemahamannya yang mendalam inilah ia mengambil keputusan tersebut. Bidang yang baru ini harus ditekuni dengan segenap perhatian karena hanya sisi inilah yang akan bertahan kekal selamanya. Itulah alasannya. Ia sampai pada keputusan yang sangat menentukan ini dengan sangat cepat. Ia orang yang mampu untuk melihat pokok persoalan dengan cepat. Orang lain mungkin membutuhkan waktu lebih lama untuk dapat memahami perkara ini. Mereka kurang cepat dalam memahami perkara rohani, dan mungkin juga perkara jasmani! Namun pada akhirnya mereka juga akan sampai pada poin tersebut. Ada seorang sahabat karib saya yang lain, seorang ahli bedah juga, yang meninggalkan praktek medisnya yang sudah dijalaninya selama puluhan tahun di Timur Jauh. Ia seorang yang sangat ahli dan menjadi andalan banyak lembaga. Sudah banyak operasi sulit yang berhasil dijalankannya. Akan tetapi sekarang ia meninggalkan karir yang sudah dijalaninya selama lima belas tahun di Asia Tenggara itu, termasuk karir sebagai dokter bagi Raja Laos, dan melayani Tuhan. Akhirnya, sesudah lima belas tahun berkarir, ia sampai pada kesimpulan bahwa mulai sekarang, sampai akhir hayatnya, ia akan menghabiskan seluruh waktunya untuk mengabarkan Injil karena ia merasa bahwa menjalankan dua hal itu sekaligus tidaklah mungkin. Orang dapat menjalankan dua pekerjaan akan tetapi tidak akan dapat menjalankan keduanya dengan baik. Itulah persoalannya. Dan akhirnya, seseorang harus memilih satu prioritas. Mana yang akan dipilih? Tentu saja, setiap orang yang mencapai pemahaman yang mendalam tentang kehidupan rohani tidak harus menjadi seorang pelayan full-time. Saya tidak ingin menciptakan kesan seperti itu. Menjadi seorang pelayan full-time mungkin bukan merupakan panggilan bagi kita. Allah mungkin saja tidak menghendaki kita untuk meninggalkan karir kita sekarang ini. Jika kita masih menjalankan pekerjaan kita sekarang ini, maka hal itu tidak selalu berarti bahwa kita kurang memahami perkara rohani, saya tidak bermaksud menimbulkan kesan seperti itu. Namun yang menjadi maksud saya adalah bahwa orang yang berpaling dari dunia dan menjadi pelayan full-time, seringkali, merupakan orang yang mendapat pemahaman yang mendalam tentang kehidupan rohani, dengan kasih karunia Allah, dan yang sudah dapat menembus kedangkalan pemahaman serta menjangkau inti dari pokok perkara kehidupan. Jadi, pemahaman pertama dari kata 'bodoh' bukanlah merupakan suatu penghinaan. Saya harap kita dapat memahami bahwa ungkapan ini tidak dimaksudkan sebagai penghinaan di dalam Alkitab akan tetapi sebagai suatu deskripsi. Ia merupakan deskripsi bagi keadaan kita sebagai suatu diagnosa. Ketika dokter berkata bahwa kita sedang sakit, tentunya ia tidak bermaksud untuk menghina kita. Yang sedang ia lakukan adalah memberikan diagnosa. Kata 'bodoh' di dalam Alkitab ini juga merupakan diagnosa. Ia memberitahu kita bahwa secara rohani kita masih belum sampai pada pemahaman yang tepat akan fakta yang ada. 2. Gagal dalam Memahami Kehendak Allah Paulus juga memakai kata ini di dalam Efesus 5:17, yang memberi kita makna kedua dari ungkapan ini, "Sebab itu janganlah kamu bodoh, tetapi usahakanlah supaya kamu mengerti kehendak Tuhan". Jadi poin yang kedua adalah, menjadi bodoh berarti bahwa kita gagal memahami kehendak Allah bagi kita. Hal ini berkaitan dengan poin yang pertama yaitu bahwa kebodohan berarti kurangnya pemahaman atas kenyataan-kenyataan rohani. Seseorang yang mendapatkan pemahaman tentang perkara-perkara rohani secara mantap tidak semestinya meninggalkan pekerjaannya dan beralih menjadi pelayan full-time. Hal ini akan ditentukan oleh poin yang kedua: memahami kehendak Allah atas kita. Dapat saja terjadi bahwa Allah menghendaki agar kita menjadi pelayan full-time bagiNya, akan tetapi karena kita tidak memahami perkara rohani, kita tidak memahami apa kehendak Allah bagi kita, maka kita tidak melibatkan diri ke dalam pekerjaan Allah. Atau mungkin sebaliknya, kita sekarang adalah seorang pelayan full-time, akan tetapi hal itu sebenarnya bukan merupakan kehendak Allah bagi kita. Kita menjadi seorang pelayan full-time, atau menjadi teolog atau apa pun, dan melakukan banyak kegiatan di gereja, yang sebenarnya bukan merupakan perintah Allah bagi kita. Dan kita melakukan semua ini karena kita belum dapat memahami apa kehendak Tuhan. Demikianlah, kejadiannya bisa berlangsung seperti itu. Apakah kita memahami apa yang menjadi kehendak Tuhan bagi kita? Apakah kita benar-benar mengetahui hal itu? Sebelum kita memuji diri dan merasa lebih pintar dari orang kaya ini, mari kita tanyakan dua pokok hal: - Apakah kita benar-benar mengerti fakta-fakta rohani? Sudahkah kita menyadari bahwa segala yang ada di dunia ini akan segera berlalu? Apakah kehidupan kita bukan mengenai menimbunkan kelebihan bagi diri sendiri? - Apakah arah tujuan hidup ini sangat jelas bagi kita? Untuk apa kita menjalani kehidupan ini? Apa tujuan hidup kita? Apa sasaran yang sedang kita kejar? Sangatlah penting untuk dapat memahami hal ini dengan pasti. Kita akan membuat keputusan akan hal-hal ini berdasarkan kokoh atau tidaknya pemahaman kita atas fakta-fakta rohani. Jika bagi kita hanya hal-hal jasmani yang dianggap nyata, sama seperti orang kaya ini, sudah tentu keputusan kita akan didasari oleh pandangan kita atas perkara jasmani, dan kurangnya pandangan kita akan perkara rohani. Namun jika kita sudah memahami bahwa segala yang ada di dunia ini hanya sementara, dan sedang berlalu, maka segala yang sedang kita kejar sekarang ini mendadak menjadi tidak berarti, kita akan beralih pada hal-hal yang kekal karena kita menyadari bahwa hanya hal-hal itulah yang akan bertahan selamanya. Ketika John Sung ditanyai, "Mengapa kita menjadi penginjil? Kita kan seorang ahli kimia." Ia menjawab, "Karena saya sudah mendapat pemahaman tentang dunia ini. Untuk apa saya berjuang mengejar sesuatu yang akan berlalu? Saya ingin mengejar hal-hal yang kekal, hal-hal yang memang benar-benar penting." Ini adalah alasan yang diberikan oleh Paulus juga. Ia berkata di dalam 2 Korintus 4:18b, "karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal" (mengenai Allah). Jika kita sudah dapat menangkap fakta ini, maka kita akan membuat keputusan berdasarkan pemahaman kita akan fakta ini. Mengapa saya melayani Tuhan? Karena dengan kasih karunia Allah, saya akhirnya sampai pada pemahaman bahwa hanya hal-hal yang kekal sajalah yang benar-benar penting. Hal-hal yang lain akan segera berlalu. Apa gunanya saya berjuang untuk mendapatkan sesuatu dari dunia? Apa gunanya saya menjadi pimpinan utama sebuah perusahaan? Apa gunanya saya menjadi profesor di sebuah universitas? Jika saya berjuang untuk mengejar hal-hal itu, saya rasa saya punya peluang yang bagus untuk mendapatkannya. Jika saya mencurahkan usaha saya untuk mengejar hal-hal itu, saya rasa peluang saya tidak kalah dengan mereka yang sekarang ini sudah membuktikan kelayakannya dalam memperoleh posisi-posisi itu. Saya tidak berminat pada hal-hal itu. Mengapa? Karena perkara-perkara itu akan segera berlalu. Hal-hal itu tidak mampu menarik minat saya. Saya hanya tertarik pada perkara-perkara kekal, dan pada usaha-usaha untuk terlibat di dalam pekerjaan kekal itu. Jika ada satu orang yang berpaling kepada Tuhan dan memperoleh keselamatan melalui usaha saya, saya akan memandang hal itu sebagai hal yang sangat berarti. Namun jika saya menjadi seorang profesor di sebuah universitas, apa yang menjadi pencapaian saya? Mungkin nama saya akan dicantumkan dalam sejarah kampus tersebut: "Di tahun 19XX, Profesor Eric Chang mengajar di kampus ini." Jadi saya akan mendapatkan sedikit perhatian. Dan seseorang yang membaca nama saya di dalam artikel tentang kampus tersebut akan bertanya-tanya, "Siapa orang ini?" lalu ia membuang artikel itu ke tong sampah. Lalu apa artinya saya menjadi profesor? Apa manfaatnya? Apakah yang menjadi tujuan hidup kita? Jika kita merasa, sebagai contoh, bahwa kita ingin melayani Allah lewat bidang kedokteran karena kita tidak memiliki karunia untuk berkhotbah, puji Tuhan! Dalam hal ini, alasan kita untuk menekuni bidang kedokteran memang berbeda. Namun sangat sulit untuk dapat membuat suatu pengakuan seperti itu di dalam kejujuran. Saya ceritakan tentang seorang sahabat dan teman sekamar saya dahulu - orang yang lulus dengan nilai sempurna, yang memenangkan medali emas untuk nilai kelulusannya, yang telah mendapatkan sukses luar biasa di bidang akademis, dan sekarang menjadi profesor bidang teknik di Malaysia - bagaimana keadaannya secara rohani sekarang? Dulu ketika masih kuliah, ia selalu berkata kepada saya, "Aku belajar dengan giat hanya untuk satu tujuan. Untuk melayani Tuhan." Dan hal ini membingungkan saya, bagaimana ia akan dapat mencapai hal itu? Bagaimana kita akan melayani Tuhan dengan mengejar nilai kelulusan sempurna di bidang teknik? Namun saya tidak mempersoalkan hal. Saya menduga bahwa mungkin saja hal ini bisa dilakukan. Lagi pula, apa hak saya untuk mempertanyakan hal itu? Ia juga biasa berkata, "Saya tidak peduli dengan nilai kelulusan sempurna. Saya tidak peduli dengan medali emas." Dan saya berpikir bahwa ia benar-benar tulus akan hal itu. Ia belajar giat benar-benar untuk suatu tujuan yang jauh melampaui kemegahan diri, akan tetapi mempertahankan visi rohani yang jernih tidaklah mudah. Sangat sulit menjaga agar mata kita tetap tertuju pada tujuan rohani. Tak lama berselang, ia sudah berpaling, tergelincir dan jatuh. Dan sekarang ini, saya mendengar bahwa ia sudah jarang ke gereja lagi. Kita lihat, bukan hanya sekadar kejelasan tujuan saja, akan tetapi kita juga harus benar-benar jujur dengan niat kita. Kita harus benar-benar tulus. Sangat bodoh jika kita tidak tulus. Jadi, pemahaman akan fakta-fakta rohani harus diimbangi dengan ketulusan atas fakta-fakta itu dan tidak bermain-main dengan berkata, "Saya melakukan ini demi Tuhan. Saya membeli rumah ini bagi Tuhan, dan saya membeli rumah yang kedua juga, dan yang ketiga, juga buat Tuhan." Tak lama kemudian kita akan membeli separuh kota buat Tuhan. Sebenarnya, apa yang akan dilakukan oleh Tuhan dengan rumah-rumah kita? Ada orang yang berkata seperti ini, "Saya ingin memperoleh banyak uang bagi Tuhan." Boleh-boleh saja. Sebagian besar dari uang yang didapatkan akan menjadi milik orang itu, namun sebagian lagi akan dipakai untuk Tuhan jika orang ini memang memiliki nurani yang bersih. Namun, apakah memberi kepada Tuhan memang benar-benar merupakan niatnya? Kita mungkin berkata, "Gereja tidak akan dapat berbuat banyak tanpa uang." Baiklah, hal ini ada benarnya. Gereja memang memerlukan uang untuk sebagian kegiatannya, namun niat kita untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya bagi Tuhan sangatlah meragukan! Ini bukan pemahaman yang benar akan kehendak Tuhan bagi kita. Namun inilah pokok kedua yang saya inginkan agar dapat kita pahami. Mengertikah kita apa kehendak Allah bagi diri kita? Jika tidak, maka seperti orang kaya yang bodoh ini, kita akan berakhir dalam kebodohan juga sekalipun mungkin kita orang yang cerdas dan terhormat. Seperti yang sudah kita amati sebelumnya, tidak ada tuduhan yang bersifat moral atas orang kaya ini, akan tetapi ia mengalami kegagalan dalam memahami apa kehendak Allah bagi manusia di dunia ini. Ini adalah perkara yang sangat mendasar bagi kita untuk dipahami sampai ke pusat permasalahannya. Orang kaya ini tidak memahami apa kehendak Allah dalam hal pemilikan kekayaan. Kekayaan Menyebabkan Keserakahan dan Keegoisan Bacalah pengajaran Alkitab dan kita akan melihat bahwa di sepanjang Alkitab, kekayaan dipandang sebagai perusak yang gawat bagi kehidupan rohani. Jangan memandangnya sebagai berkat rohani dalam masa Perjanjian Baru ini; kekayaan adalah pengacau. Ia adalah hal yang sangat berbahaya untuk ditangani. Alkitab berkata kepada kita, akar segala kejahatan ialah cinta uang (1 Timotius 6:10). Namun di jaman sekarang ini, kekayaan mendapat kehormatan lagi di tengah lingkungan gereja. Orang akan berkata bahwa tidak ada yang salah dengan kekayaan. Tentu saja, tidak akan ada orang yang berkata bahwa ada sesuatu yang salah dengan kekayaan. Namun kekayaan memiliki cara untuk membuat kita mencintainya sepenuh hati, dan di sanalah masalahnya dimulai. Demikianlah, kita baca di dalam 1 Timotius 6:9,17, peringatan untuk waspada terhadap kekayaan. Ayat 9 berkata, "Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan" Dan ayat 17 berkata, "Peringatkanlah kepada orang-orang kaya di dunia ini agar mereka jangan tinggi hati dan jangan berharap pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan, melainkan pada Allah yang dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati". Di dalam Matius 19:23-24, Markus 10:24-25 dan Lukas 18:24-25, kita mendapatkan ungkapan tegas yang dipakai oleh Tuhan Yesus, "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya sukar sekali bagi seorang kaya untuk masuk ke dalam Kerajaan Surga. Sekali lagi Aku berkata kepadamu, lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah." Seorang yang kaya adalah orang yang sukses di dunia, bukankah demikian? Ia menjadi anggota Rotary Club. Ia bepergian dengan menaiki Rolls Royce, atau Cadillac, atau mobil mewah lainnya. Walaupun dunia menghormati orang kaya, Tuhan Yesus berkata bahwa orang kaya akan sangat sulit untuk dapat masuk ke dalam kerajaan Allah. Kekayaan akan menjadi penghambat yang besar bagi kita untuk dapat memasuki kerajaan Allah. Pahamilah poin ini. Apakah kita ingin memahami apa kehendak Tuhan? Marilah kita pahami pernyataan ini dengan jelas. Para hamba Allah, kata Yakobus di dalam Yak.2:5, "...Bukankah Allah memilih orang-orang yang dianggap miskin oleh dunia ini untuk menjadi kaya dalam iman dan menjadi ahli waris Kerajaan yang telah dijanjikan-Nya kepada barangsiapa yang mengasihi Dia?" Apakah kita ingin mengetahui apa itu kehendak Allah? Apakah kita ingin memiliki hikmat? Maka dengarkanlah ini: Allah telah memilih orang yang dianggap miskin oleh dunia untuk menjadi kaya dalam iman dan menjadi ahli waris kerajaan. Alkitab nyaris tidak pernah berbicara yang baik tentang orang kaya. Tidak ada sama sekali! Cukup kita baca Yakobus 5:1-6, sebagai contoh, tentang kecaman terhadap orang kaya, "Jadi sekarang hai kamu orang-orang kaya, menangislah dan merataplah atas sengsara yang akan menimpa kamu! Kekayaanmu sudah busuk, dan pakaianmu telah dimakan ngengat! Emas dan perakmu sudah berkarat, dan karatnya akan menjadi kesaksian terhadap kamu dan akan memakan dagingmu seperti api. Kamu telah mengumpulkan harta pada hari-hari yang sedang berakhir. Sesungguhnya telah terdengar teriakan besar, karena upah yang kamu tahan dari buruh yang telah menuai hasil ladangmu, dan telah sampai ke telinga Tuhan semesta alam keluhan mereka yang menyabit panenmu. Dalam kemewahan kamu telah hidup dan berfoya-foya di bumi, kamu telah memuaskan hatimu sama seperti pada hari penyembelihan. Kamu telah menghukum, bahkan membunuh orang yang benar dan ia tidak dapat melawan kamu." Dan jika kita telusuri Alkitab, maka kecaman terhadap orang kaya akan terus bermunculan di sana-sini. Namun sekarang ini, jika saya mendengarkan program siaran Kristen di televisi dan di radio di Amerika - entah itu oleh PTL atau yang lainnya, walaupun saya tidak bermaksud untuk menjelek-jelekkan nama baik pihak lain - tampak ada suatu kecenderungan umum di dalam gereja bahwa kekayaan dipandang sangat baik. Apakah kita sudah tidak peduli lagi dengan isi Alkitab? Prasangka dan tradisi kita sudah menggusur Firman Allah keluar dari hidup kita. Kita memiringkan Firman Allah untuk mencocokkannya dengan pandangan dan tradisi kita. Dan kita melakukan hal ini juga dalam hal kekayaan. Cobalah selidiki buku konkordansi kita dan pelajarilah kata 'kekayaan' di dalam Alkitab dan khususnya di dalam Perjanjian Baru, maka kita akan segera melihat tidak ada penilaian yang baik terhadap kekayaan. Ini sangat mengejutkan! Dan juga, berkaitan dengan orang muda yang kaya di dalam Matius 19:16-22 (Markus 10:17-22; Lukas 18:18-23), yang keadaannya sangat mirip dengan orang kaya yang bodoh ini, kita mendapati bahwa persoalan yang muncul sama saja. Sangatlah susah bagi seorang kaya untuk dapat masuk ke dalam kerajaan. Mengapa? Bukan karena kekayaan itu jahat namun karena ia mengumpulkan kekayaan bagi dirinya, dan itu menunjukkan betapa ia kurang memahami kenyataan rohani. Kekayaan membuat orang menjadi sangat egois. Di dalam perumpamaan kita hari ini, perhatikanlah sikap dari orang kaya yang bodoh ini dan lihatlah kebodohan rohaninya. Perhatikan bahwa ia sangat mementingkan diri sendiri saja. Kata "aku' dan 'ku' terus menerus muncul dari ayat 17 samai 19. Perhatikanlah kemunculan kedua kata tersebut ini, "Apakah yang harus aku perbuat, sebab aku tidak mempunyai tempat di mana aku dapat menyimpan hasil tanahku. Lalu katanya: Inilah yang akan aku perbuat; aku akan merombak lumbung-lumbungku dan aku akan mendirikan yang lebih besar dan aku akan menyimpan di dalamnya segala gandum dan barang-barangku. Sesudah itu aku akan berkata kepada jiwaku..." demikianlah, kata 'aku' dan 'ku' berkali-kali muncul dalam ayat-ayat itu. Orang ini perhatiannya hanya terpusat pada diri sendiri. Periksalah jalan pikiran kita sebagaimana saya juga memeriksa jalan pikiran saya. Betapa banyak pikiran kita diisi dengan kata 'aku' - masa depanku, pendidikanku, tugasku, pekerjaanku, kesejahteraanku, jiwaku, segala sesuatu disisipi oleh kata 'aku'. Seluruh pikiran kita beredar di sekitar 'aku'. Sepanjang hari kita memikirkan diri kita sendiri saja. Kita adalah orang-orang yang bodoh, bukankah begitu? Kita belum memahami apa kehendak Allah karena pikiran kita hanya berkisar pada diri sendiri saja. Apa itu kehendak Allah? Kehendak Allah adalah agar kita mengasihiNya dengan segenap hati, jiwa dan akal kita. Jika kita sangat mengasihi seseorang, kita akan terus memikirkan tentang orang itu, dan bukannya diri kita sendiri. Jika kita pernah jatuh cinta, maka kita akan mengerti apa maksud saya. Ketika kita sedang jatuh cinta, apa yang kita lakukan? Kita akan terus memikirkan tentang orang itu sepanjang hari. Kita lupa makan dan minum, susah tidur, lupa belajar, lupa pekerjaan, lupa segala-galanya. Mengapa? Karena hati ini dipenuhi oleh orang itu - 'kekasihku'! Titik beratnya bukan pada 'aku' tapi pada 'kasihku'! Segenap pikiran kita tertuju padanya. Kita membatin, "Apa saja yang sedang dilakukannya sekarang? Di mana dia sekarang? Apa yang akan dikerjakannya hari ini?" lalu kita bergegas pergi menelpon, dan ketika tidak ada orang yang mengangkat telepon di sana, kita mulai cemas, "Ada masalah apa di sana? Apa yang terjadi dengannya? Kenapa ia tidak menjawab telpon saya?" Seluruh pikiran kita tersita olehnya. Kita harus mengasihi Allah seperti ini, dengan segenap hati kita. Sebelum kita memuji diri sendiri, periksalah seberapa banyak di antara kita yang memiliki hikmat? Berapa banyak di antara kita yang hatinya tersita olehNya dan oleh saudara-saudara seiman? Marilah kita jujur pada diri sendiri. Kita tidak lebih baik daripada orang kaya yang bodoh ini karena setiap hari yang kita pikirkan adalah, "Apa yang harus kulakukan hari ini? Makan apa hari ini? Aha! Sekarang hari Minggu! Aku akan pergi mencari rumah makan dan menikmati hidangan spesial di sana!" Kita lihat, isi pikiran kita adalah, "Apa yang akan kulakukan dengan waktuku? Siapa yang akan kukunjungi? Apa yang akan kunikmati?" isi hati ini dipenuhi dengan kata 'aku' dan 'milikku'. Alkitab mengungkapkan isi hati kita, bukankah demikian? Ia mengungkapkan jati diri kita, seperti apa kita sebenarnya, pada saat kita merasa patut bangga akan diri sendiri. Bahkan bagi seorang pelayan full-time, ujilah dengan jujur, hal apa yang memenuhi isi hati ini? Sebagian besar masih dipenuhi oleh 'aku' dan 'milikku' - keluargaku, pekerjaanku, rumahku dan kesuksesanku! Nah, sekarang kita dapat memahami persoalan yang ada pada diri orang kaya yang bodoh ini: kegandrungannya pada diri sendiri. Itulah gejala penyakit yang menimpanya. Perhatikan lagi hal lainnya. Ia selalu saja berbicara pada diri sendiri, "Apa yang harus kukatakan? Apa yang harus kulakukan?" Ia bertanya dan ia sendiri yang menjawab. Ia punya banyak waktu untuk berdialog dengan diri sendiri. Kita tahu mengapa? Karena ia menyukai dirinya lebih dari segalanya. Ia sangat mencintai dirinya sendiri. Kita lebih suka untuk berbicara dengan orang yang kita kasihi, dan jika orang itu adalah kita sendiri, maka kita akan lebih suka berdialog dengan diri sendiri sepanjang hari! Dan orang ini berkata kepada dirinya sendiri, di dalam Lukas 12:19, sampai pada tingkat seperti ini, "aku akan berkata kepada jiwaku" (ia sudah memutuskan apa yang akan dikatakannya kepada jiwanya. Ia tidak hanya menikmati pembicaraan dengan dirinya di saat itu, akan tetapi juga sudah memutuskan isi pembicaraan di waktu akan datang.) 'Jiwaku, persediaan dan kekayaan yang ada akan cukup untuk waktu lama; bergembiralah, makan, minum dan menikahlah.' Ia berkata, "Oh, kita akan menikmati setiap saat yang ada, aku dan jiwaku! Kita akan menikmati saat-saat yang indah dalam hidup ini!" Jangan merasa lebih baik darinya, bagaimana dengan kita? Kita juga selalu berbicara pada diri sendiri. Pernahkah kita belajar untuk membalikkan semua arah pikiran dan menujukannya kepada Allah? Apakah kita benar-benar mengasihi Allah sedemikian rupa sehingga kita ingin berbicara padaNya, "Tuhan, apa yang hendak Engkau perintahkan padaku hari ini?" Atau, "Tuhan, aku ingin menghabiskan hari ini dengan memujiMu. Sangat senang dapat memuji dan bersyukur padaMu. Engkau begitu baik padaku dan aku tahu bahwa Engkau akan terus memenuhi cawanku sampai meluap, jadi aku ingin memujiMu sebelum itu semua terjadi. Ku akan berkata, 'Tuhan aku sudah memutuskan apa yang akan kukatakan padaMu'". Ini adalah sikap yang berbeda. Jadi kita harus belajar untuk mengubah pusat perhatian dalam hidup kita dari diri sendiri menjadi Allah. Kita masih banyak menyimpan 'kebodohan' di dalam diri kita, bukankah begitu? Kita mendapati bahwa, ternyata, perumpamaan ini menyingkapkan keadaan kita. Kaya di Dunia? Perhatikan kesalahan besarnya di sini, dalam Lukas 12:19, "Aku akan berkata kepada jiwaku..." Apakah ia masih tertarik dengan jiwanya? Orang ini masih memikirkan tentang jiwanya. Jadi, ia tidak sepenuhnya buta pada perkara rohani. Namun kesalahannya adalah mengira bahwa jiwanya akan dapat dipuaskan dengan kekayaan jasmani. Bukankah ini kesalahan yang umum melanda gereja-gereja dengan mengira jiwa dapat dipuaskan oleh kesejahteraan jasmani? Itu sebabnya kita bekerja begitu keras. Kita ingin menggelembungkan isi rekening kita agar dapat berkata, "Sekarang kita boleh beristirahat." Orang kaya yang bodoh ini melakukan perbuatan yang ingin kita lakukan juga, tidakkah demikian? Jika kita sudah memiliki rekening bank yang besar nilainya, untuk apa kita bekerja keras lagi? Kita dapat duduk dan bersantai. Apa gunanya bekerja keras jika bukan untuk menikmati saat santai pada akhirnya? Jadi, orang kaya ini berpendapat bahwa jiwanya dapat dipuaskan oleh kesejahteraan jasmani. Lihatlah keindahan dari perumpamaan ini: ketika orang itu berbicara kepada jiwanya, Allah berbicara kepadanya di dalam ayat yang berikutnya, "Pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu..." Atau, dengan kata lain, "Jadi kamu sedang memikirkan jiwamu? Nah, malam ini jiwamu akan diambil darimu." Orang ini tidak memahami prinsip rohani, sebagai contoh, di dalam Matius 16:26, "Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya?..." Apa gunanya memiliki seluruh isi dunia tetapi kehilangan nyawa? Ia gagal untuk memahami hal ini. Ia belum sampai pada pemahaman itu. Ini adalah poin pertama dari kebodohan. Fakta bahwa tidak ada gunanya jika kita mendapatkan seluruh dunia tetapi kehilangan nyawa. Dan bukan hanya ini kesalahan yang dibuatnya. Kesalahan kedua adalah bahwa ia tidak memahami apa kehendak Allah bagi hidupnya. Kita dapat melihat apa itu kehendak Allah di dalam Yohanes 12:25, di mana Tuhan Yesus berkata, "Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal". Ayat ini dapat diungkapkan lewat kalimat berikut, "Orang yang mencintai kehidupan duniawi akan kehilangan hidupnya. Akan tetapi yang membenci kehidupan duniawi akan memelihara hidupnya untuk masa yang kekal." Itulah jalan keselamatan. Jika kita mencoba untuk menyelamatkan nyawa kita di dunia ini, atau, mencintai kehidupan duniawi dengan menimbun kekayaan bagi diri sendiri, maka kita akan kehilangan hidup kita. Namun jika kita siap untuk membenci nyawa kita, artinya membenci kehidupan duniawi, atau merelakan kekayaan kita, maka kita akan memelihara hidup kita untuk masa yang kekal. Kita dapat mengatakan bahwa dari pandangan duniawi, Martin Lloyd Jones membenci nyawanya dan berpaling dari karir duniawinya yang sukses itu. Dan ia memperoleh hidup yang kekal. Itulah prinsip yang Alkitabiah. Itu sebabnya mengapa Tuhan Yesus berkata, "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku" (Mat.16:24; Mar.8:34; Luk.9:23). Berpalinglah dari dunia, maka kita akan memperoleh hidup yang kekal, pada akhirnya kita harus mengambil pilihan. Betapa inginnya kita berdiri di tengah-tengah! Kita ingin menikmati yang terbaik dari kedua sisi. Kita berkata, "Baiklah, saya tidak ingin menjadi terlalu kaya. Asal cukup makmur saja bolehlah. Dan pada saat yang sama saya boleh berpijak di dalam kerajaan Allah." Pilihan ini tidak dapat diambil. Jangan mengira bahwa kita dapat menipu Allah dengan membuat kompromi. Yang kita lakukan justru menipu diri sendiri. Kita harus memutuskan akan ke mana tujuan hidup kita. Jangan mengira bahwa kompromi, 'jalan tengah', atau zhong dao (dalam bahasa China), adalah pemecahannya. Jangan berharap untuk dapat memperoleh bagian dari dunia dan dari Allah, dan kita sudah memperoleh segala-galanya. Tapi kenyataannya adalah kita tidak akan memperoleh apa-apapun! Kaya di hadapan Allah? Ini pilihan yang lain, mengikut Allah sepenuhnya. Berkomitmen total kepada Allah. Ini bukan berarti bahwa akan selalu mengalami kelaparan dan kekurangan. Bukan, akan tetapi ini berarti bahwa arah tujuan hidup kita akan diarahkan sepenuhnya kepada Allah. Segala sesuatu yang dipercayakanNya kepada kita adalah milikNya. Kita hanya akan menjadi seorang pengelola kekayaan tersebut. Kita tidak akan berkata, "Apa yang akan kulakukan dengan uangku? Apa yang akan kulakukan dengan barang-barangku? Kekayaanku?" Seperti diri saya, tidak punya apa-apa. Jika ada sesuatu yang menjadi milik saya, maka itu adalah milik Tuhan dan saya hanya seorang pengurus saja. Jika Ia berkata kepada saya, "Berikan," maka saya akan memberikan. Jika Ia berkata, "Bagaimana dengan jaketmu? Orang itu membutuhkannya" maka jaket itu akan berpindah kepada orang tersebut. Ia bukan jaket saya. Jika orang tersebut membutuhkannya, maka ia boleh mendapatkannya. Jika Tuhan memberi saya tempat untuk tinggal, maka saya akan bersyukur kepadaNya atas hal itu. Tentu saja saya butuh tempat untuk menetap. Akan tetapi jika Tuhan berkata, "Pergilah," maka saya segera berangkat. Itu bukan rumah saya. Saya tidak punya apa-apa. Yang saya miliki hanya Tuhan dan itu sudah lebih dari cukup buat saya. Saya tidak tertarik dengan hal-hal lainnya. Seperti yang dikatakan oleh Paulus di dalam 1 Korintus 7:31, "pendeknya orang-orang yang mempergunakan barang-barang duniawi seolah-olah sama sekali tidak mempergunakannya," yaitu, tidak menjadi serakah atas barang-barang tersebut. Kita harus makan. Betul sekali, akan tetapi makanan bukanlah persoalan pokok. Kita perlu tempat tinggal. Betul, akan tetapi rumah saya bukanlah milik saya. Jika Tuhan berkata, "Pergilah,' maka kita harus pergi dan meninggalkan segala sesuatu di belakang karena segala sesuatu adalah milikNya dan hidup saya ini pun milikNya. Tujuan hidup kita harus jelas. Pastikan bahwa kita sudah membuat pilihan yang benar. Namun saya ingatkan kita sekali lagi bahwa segala tindakan kompromi pasti berujung pada kebinasaan. Tidak pernah ada orang yang berhasil dalam kehidupan rohani lewat jalan kompromi. Jalan kompromi dipenuhi oleh bangkai-bangkai mereka yang telah jatuh dalam bencana kerohanian. Tetapkan putusan kita dan pilihlah jalur yang tunggal, apakah sepenuhnya melayani Allah atau Mamon. Tuhan Yesus berkata bahwa kita tidak dapat melayani Allah dan Mamon sekaligus. Mamon adalah uang. Kita tidak dapat melayani Allah dan uang. Kita harus dengan jujur dan tulus membuat keputusan, menetapkan tujuan kita, apakah Allah atau Mamon. Dan akhirnya, apa yang terjadi dengan orang kaya yang bodoh ini? ia kehilangan jiwanya dan Tuhan Yesus bertanya kepadanya di dalam Lukas 12:20, "Dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti?" Sering kali saya membaca berita di koran di Inggris, dan saya membaca pengumuman tentang kematian; orang ini meninggalkan kekayaan senilai 40 ribu poundsterling, orang itu meninggalkan 60 ribu poundsterling. Akan menjadi milik siapa uang tersebut? Mereka mengumpulkan uang sebanyak itu, siapa yang akan memilikinya? Dinas pajak akan mengambil sebagian. Lalu sisanya lagi? Jadi kesimpulannya seperti yang disampaikan di dalam ayat 21, "Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah." Jika kita ingin menjadi kaya, cara yang paling benar untuk itu adalah dengan menjadi kaya di hadapan Allah. Bagaimana caranya menjadi kaya di hadapan Allah? Seperti yang Tuhan Yesus katakan dalam Khotbah di Bukit, "Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya" (Mat.6:19-21). Berikan milik kita kepada mereka yang membutuhkan dan kemudian kita akan memperoleh harta di surga. Di situlah harta duniawi dapat memberi arti. Kita tidak akan pernah kehilangan. Jika kita menaruh uang kita di bank, kita akan kehilangan uang itu suatu saat nanti, entah karena inflasi, deflasi, perang atau pun sebab-sebab lainnya. Akan tetapi berikanlah harta kita kepada orang miskin dan kita akan menjadi kaya di hadapan Allah. Kekayaan tersebut akan kekal selamanya. Kiranya Allah memberi kita hikmat yang kekal. Ramli SN Harahap GKPA Resort Medan Barat |
Langganan:
Postingan (Atom)