PASTOR DAN PENDETA
Ramli SN Harahap
Kedua kata ini tidak asing lagi bagi kita. Mendengar kata “Pastor” maka dalam benak kita pasti berasumsi bahwa dia adalah rohaniwan atau pemimpin umat Katolik. Demikian juga sebaliknya, jika kita mendengar kata “Pendeta” kita selalu beranggapan bahwa mereka ada rohaniwan atau pemimpin umat Protestan. Anggapan ini belum tentu benar sepenuhnya. Misalnya kata “Pastor” di Indonesia, sebutan ini biasanya digunakan untuk imam di lingkungan Gereja Katolik Roma (GKR), sementara di negara-negara berbahasa Inggris, biasanya kata “Pastor” dipakai di lingkungan Gereja Protestan. Istilah pastor dipakai sebagai gelar (mis., Pastor Ramli Harahap) atau sebagai sebutan pekerjaan (misalnya Pastor Senior atau Pastor Peribadatan). Bagi GKR, Pastor dipahami sebagai “imam” yang dikhususkan untuk mempersembahkan persembahan kepada Allah, pengantara umat dengan Allah di dalam ibadah di Bait Allah. Perannya dalam kehidupan spiritualitas umat menjadi begitu penting karena imam mewakili umat untuk masuk ke ruang Maha Kudus. Di sana, imam tidak saja mempersembahkan kurban tetapi serentak juga berdoa memohon pengampunan dari Allah atas dosa dan kesalahan umat. Imam selalu dikaitkan dengan tugas-tugas ritual di dalam bait Allah.
Bagi gereja Protestan sebutan imam untuk merujuk kepada pendeta yang ditahbiskan bertentangan dengan doktrin Protestan tentang imamat am orang percaya. Karena itu, gereja Protestan menolak penggunaan istilah imam untuk para pemimpin gereja (pendeta). Denominasi-denominasi tersebut mencakup Lutheran, Mennonit, Methodist, Presbyterian, gereja-gereja dari tradisi Reformasi, Gereja-gereja Kristus Amerika, Sidang Jemaat Allah dan Baptis.
Di Indonesia, sebutan "pendeta" (Gembala Sidang/Jemaat) digunakan sebagai ganti istilah kata "pastor". Kata pastor sendiri berasal dari bahasa Latin pastōr yang berarti gembala. Dengan demikian pendeta adalah gembala yang menggembalakan umat. Menggembalakan umat berarti dia harus memperhatikan kehidupan mereka setiap hari. Kendatipun pendeta bisa berfungsi sebagai imam di dalam ibadah Kristen.
Penggunaan istilah pastor untuk merujuk pada jabatan pemimpin di lingkungan Protestan di masa modern berasal dari masa Yohanes Calvin dan Ulrich Zwingli. Keduanya, dan juga para Reformator tampaknya telah menghidupkan kembali istilah ini untuk menggantikan istilah imam dari kalangan Katolik dalam benak pikiran para pengikut mereka, meskipun Pastor masih dianggap terpisah dari sidang penatua atau presbiter.
Penggunaan kata pastor berasal dari Alkitab. Dalam Kitab Suci Ibrani (atau Perjanjian Lama), digunakan kata הער (ra'ah) dari bahasa Ibrani. Kata ini digunakan 173 kali untuk menggambarkan tindakan memberi makan kepada domba-domba seperti dalam Kitab Kejadian 29:7 dan juga sehubungan dengan manusia seperti dalam Yeremia 3:15, "Aku akan mengangkat bagimu gembala-gembala yang sesuai dengan hati-Ku; mereka akan menggembalakan kamu dengan pengetahuan dan pengertian." (LAI).
Dalam Perjanjian Baru, kata dalam bahasa Yunani, ποιμην (poimēn) digunakan dan biasanya diterjemahkan sebagai gembala. Kata ini digunakan 18 kali dalam Perjanjian Baru. Misalnya, Surat Efesus 4:11, "Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar" (LAI). Yesus juga menyebut dirinya sebagai "Gembala yang Baik" dalam Yohanes 10:11.
Para penulis Perjanjian Baru menggunakan kata pastor atau gembala sebagai sinonim untuk jabatan gereja penatua (presbuteros) atau penilik jemaat atau uskup (episkopos). Misalnya, dalam Kisah 20:17, Rasul Paulus mengimbau para penatua gereja di Efesus untuk menyampaikan pesan terakhir kepada mereka. Dalam prosesnya, dalam Kisah 20:28, ia mengatakan kepada mereka bahwa Roh Kudus telah membuat mereka penilik, dan bahwa tugas mereka adalah menggembalakan gereja mereka. Petrus menggunakan bahasa yang sama dalam 1 Petrus 5:1-2, dan mengatakan bahwa para penatua di antara para pembacanya bahwa mereka pun harus menggembalakan kawanan domba yang dipercayakan kepada mereka, dan bertindak sebagai penilik jemaat.
Secara umum dapat dikatakan bahwa tugas Pendeta adalah: memberitakan Firman Allah dan melaksanakan kegiatan Pekabaran Injil, melaksanakan Penggembalaan, dan pelayanan Diakoni Sosial sesuai dengan teladan Yesus Kristus, melaksanakan katekisasi dan pengajaran Iman Kristiani, melayani Jemaat baik dalam Kebaktian-kebaktian/Upacara-upacara Gerejawi menurut Tata Ibadah yang berlaku, maupun dalam hidup sehari-hari, memperlengkapi anggota untuk bersaksi, melayani dan untuk mampu menghadapi ajaran yang tidak sesuai dengan Iman Kristiani, menciptakan dan memupuk kerukunan dan kesatuan dalam Kristus dilingkungan Jemaat, membina anggota-anggota Jemaat menjadi manusia yang bertanggung jawab secara rohani, membimbing dan membina anggota Jemaat menjadi warga Gereja yang baik dan bertanggung jawab.
Pendeta sebagai gembala harus meneladani kisah yang terdapat dalam Alkitab. Hal ini tidak heran karena sejarah nenek-moyang bangsa Israel sangat dikenal sebagai kisah para gembala. Kita bisa lihat bagaimana Abraham, Ishak, dan Yakub hidup. Begitu juga dengan Daud dalam petualangan masa mudanya sebelum menjadi raja Israel. Yesus dalam Injil Yohanes pun (Yoh 10:1-12) memberikan gambaran yang akurat dan lengkap mengenai kehidupan seorang gembala. Pendeta sebagai gembala berarti dia harus menjadi teladan bagi jemaat.
Pendeta sebagai gembala berarti orang yang hidup dekat dengan umat/jemaat. Ia adalah seorang pemelihara dan penjaga warga jemaat. Ia mencurahkan seluruh diri dan hidup untuk mereka. Melindungi mereka dari serangan penyesat. Membimbing mereka menuju sumber air ketika haus dan menuntun menuju hijaunya padang rumput waktu mereka lapar akan kebenaran Firman Tuhan. Dengan demikian, seorang gembala adalah orang yang tidak pernah takut dan gentar terhadap resiko apapun atas jalan yang telah dipilih untuk jemaatnya. Sekalipun hujan guntur angin badai membayangi dan menghadang perjalanannya, ia tidak akan pernah meninggalkan jemaatnya. Ia melakukan semuanya itu sedemikian rupa, bukan hanya karena ia mengenal dan memahami mereka menurut namanya masing-masing, tetapi karena ia sungguh mencintai mereka. Di mata seorang gembala, prinsip kehidupannya adalah kedamaian, kegembiraan dan kebahagiaan jemaatnya. Lantas, keselamatan kawanan gembalaan (jemaat) adalah di atas segalanya dalam hidupnya.
Dari paparan di atas haruslah kita pahami bahwa tugas kependetaan itu lebih mengena pada kepedulian dan keterlibatan sosial untuk hidup umat (kawanan gembalaan). Sejauh mana kehadirannya menjawab kebutuhan dan masalah umat. Ini mengatakan soal aksi, tindakan praktis dalam pelayanan pastoral. Karenanya tugas pendeta bukan dititikberaratkan hanya pada pemberitaan Firman Tuhan di atas mimbar dan pemimpin ibadah dan upacara keagamaan saja. Pendeta bukan seorang imam, karena imam lebih menyentuh pada ibadah dan persembahan dalam kurban altar. Walaupun seorang pendeta bisa memimpin ibadah dan upacara keagamaan. Namun pendeta bisa menjadi pengantara umat yang membawa hidup umat di hadapan Allah. Ini mengatakan soal kontemplasi, penghayatan ke-pengantara-annya dalam doa. Pendeta sebagai pengantara umat berarti keutuhan hidup Kristus sebagai Gembala dan Imam Agung yang diikutinya diwujudkan dalam hidup, diaktualkan dalam kata serentak perbuatan. Bukankah Yesus sendiri sudah mengingatkan kita bersama bahwa seringkali khotbah di mimbar lebih mudah daripada kesaksian hidup di tengah masyarakat dalam kisahNya tentang “Orang Samaria yang Baik Hati”.
Pertanyaan kita adalah apakah pendeta yang menjadi pemimpin umat Protestan di Indonesia atau di gereja kita masing-masing masih setia kepada tugas panggilannya sebagai gembala? Ataukah sudah terjadi perubahan? Pendeta menjadi imam yang hanya mau berkhotbah di mimbar saja tanpa pernah turun ke bawah (turba) melihat langsung penderitaan jemaat. Ataukah para pendeta sekarang sudah sibuk untuk menggembalakan dirinya sendiri? Artinya hanya memikirkan keuntungan yang akan diraup dari penggembalaan yang dilakukannya untuk dirinya sendiri sehingga dirinya semakin "gemuk" sementara jemaat gembalaannya semakin ”kurus“. Jangan-jangan apa yang tertulis dalam Yehezkiel 34:3 sudah benar-benar terjadi saat ini, "Kamu menikmati susunya, dari bulunya kamu buat pakaian, yang gemuk kamu sembelih, tetapi domba-domba itu sendiri tidak kamu gembalakan". Jika hal ini memang menjadi kenyataan sekarang maka nasihat ini berlaku untuk mereka: "Celakalah gembala-gembala Israel, yang menggembalakan dirinya sendiri! Bukankah domba-domba yang seharusnya digembalakan oleh gembala-gembala itu?“ (Yehz.34:2).
Di sisi lain, terkadang betapa sulit para pendeta ditemui oleh umatnya. Mengapa ini terjadi ? Berbagai alasan sering muncul : sibuk dalam tugas (kalau benar, terima kasih) – tetapi juga ada tugas-tugas burem yang tampaknya sengaja dibuat untuk alasan-alasan tertentu supaya ia tampak sebagai seorang yang mahasibuk dan maha terkenal, sehingga amat sulit ditemui. Padahal, untuk kalangan tertentu, pendeta sangat mudah sekali mengadakan date sehingga mereka dapat berbincang-bincang santai sambil makan di restoran-restoran elit bahkan di hotel bintang lima sekedar untuk refreshing. Sedangkan, mungkin di gerejanya ada umat yang (maaf, kurang dapat perhatian dan tidak biasa memberi perhatian lebih bagi pendetanya) juga membutuhkan pelayanan seorang pendeta.
Banyak pula pendeta yang berlagak seperti eksekutif muda, padahal saat ini negara dan bangsa kita masih dalam keadaan sulit dan umat sering kali mendapat imbauan agar hidup sederhana seperti Injil. Tetapi bagaimana dengan gaya hidup para pendeta ? Tidak sedikit pendeta yang maunya selalu tampil dengan barang-barang bermerek seperti gaya hidup seorang pengusaha, dan bahkan memiliki gaya borjuis. Di kantong baju ada handphone seri terbaru sekaligus PDA. Dimanakah kesederhanaan itu ?
Tak bisa dipungkiri juga bila umat berdasi atau umat papan atas meninggal dunia, banyak sekali para pendeta yang datang melayat bahkan menawarkan diri untuk memimpin upacara. Tetapi coba kita lihat kalau umat yang meninggal adalah orang sederhana yang sungguh-sungguh sulit keadaannya, maka sang pendeta mencari segala macam dalih agar bisa menghindar tugas tersebut – paling-paling yang datang asistennya. Memang ironis, tetapi ini adalah kenyataan.
Hal ini terlihat sangat nyata di kita besar. Mungkin karena arus kota besar yang begitu kejam, sehingga banyak para pendeta yang lupa atau menjadi tidak jelas akan kekhasannya sebagai pendeta, sehingga gaya hidup mereka seperti layaknya seorang jejaka yang bebas keluar-masuk pertokoan bahkan gedung bioskop dengan umatnya yang katabelece wanita atau sekretaris pelayanannya. Bukankah pendeta sebenarnya adalah wakil Tuhan di dunia ini? Oleh sebab itu, marilah kita mulai dari nurani yang putih, jangan dinodai lagi dengan hal-hal yang tidak pantas. Sepantasnyalah para pendeta memakai waktu pelayanannya untuk menampung keluhan umat baik umat papan atas ataupun papan rendahan sekalipun.
Apa lagi sisi lain dari kehidupan pendeta sekarang? Jika diakhir tahun 80-an kita mendengar seorang dokter yang juga berprofesi sebagai dukun, sehingga keluarlah istilah “Terkun” (Dokter dukun). Sekarang, kita juga bisa menemukan “Pekun” (Pendeta dukun). Mengapa demikian? Karena pendeta zaman sekarang punya hobi meramal/kwamiah, yang dalam bahasa Alkitab disebut “bernubuat”. Dengan kemampuan ini otomatis si pendeta bisa menaikkan pamornya sebagai seorang Nabi, sebab inilah gelar tertinggi yang didambakan oleh kebanyakan hamba Tuhan, di samping itu akan diakui kesaktiannya. Bagi pendeta yang belum memiliki karunia bernubuat, berarti masih tergolong kelas bawah alias kelas kolong – belum elit. Coba bayangkan, bagaimana bahagianya seorang “Pertu” (perawan tua) bila pada suatu saat sang pendeta datang kepadanya dan bersabda,”Aku mendengar Roh Kudus/Tuhan berkata” bahwa doa kamu telah dikabulkan sehingga dalam waktu dekat ini kamu akan ketemu sang pangeran yang tidak kalah gantengnya dengan Tao Mingshe dari F4. Apakah hati sang gadis tidak akan berapi-api setelah mendengar sabda sang penjual serabi eh nabi itu? Apalagi kalimat tersebut diawali dengan kata-kata “Aku mendengar Tuhan berkata” atau diakhiri dengan “Demikianlah firman Tuhan”.
Banyak juga pendeta yang merasa dirinya seperti Mega Star. Tanpa aku, gereja ini akan kosong. Kalau aku khotbah, dijamin ribuan orang akan datang. Di samping itu, ini gereja kan punyanya owe juga. Apalagi para pemimpin agama ini sudah mempunyai ayat-ayat penyumpal mulut. “Taatilah pemimpin-pemimpinmu dan tunduklah kepada mereka” (Ibr.13:17) atau “tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya” (Rm.13:1-2) atau “tunduklah kepada orang-orang yang tua” (1Ptr.5:5). Dengan ketiga ayat ini saja sudah cukup dijadikan instrumen untuk memberangus mulut umatnya. Alasan yang paling penting dan paling utama kenapa umat harus bungkem kepada pendeta adalah karena ia seorang pendeta. Kalau kita berani mengkritik seorang pendeta, maka dosanya sama beratnya seperti kalau kita mengkritik Allah, sebab pendeta itu adalah orang yang telah diurapi Allah. Ajarana, kritikan dan kecaman hanya boleh one way direction. Jadi jurusannya hanya boleh dari atas mimbar ke bawah, bukan kebalikannya. Lebih baik bersikap manis dan selalu mengembik “amin”. Banyak anggota jemaat dari berbagai aliran gereja bukannya dibebaskan dari segala macam beban, malah sebaliknya diperberat dan ditambah dengan bermacam-macam doktrin yang bukan hanya memberatkan, tetapi juga sudah merupakan doktrin yang salah.
Para hamba Tuhan sekaranga sering menamakan dirinya dengan sebutan Gembala Sidang dan panggilan Gembala itu sebenarnya sangatlah mulia, sehingga Allah dalam PL berulang-ulang melukiskan diri-Nya sebagai Gembala Israel: “Seperti seorang gembala Ia menggembalakan kawanan ternak-Nya dan menghimpunkannya dengan tangan-Nya; anak-anak domba dipangku-Nya, induk-induk domba dituntun-Nya dengan hati-hati” (Yes.40:11). Gembala dalam arti harfiah mengemban panggilan tugas yang banyak tuntutannya. Ia harus memcari rumput di daerah yang kering dan berbatu-batu, harus melindungi kawanan domba gembalaannya terhadap cuaca buruk dan binatang buas, dan harus bisa mencari dan membawa kembali domba yang sesat. Seperti yang ditulis dengan sangat indahnya dalam Mazmur 23. Gembala yang ideal haruslah kuat, rela berkorban dan tidak mementingkan diri sendiri. Seperti yang dinyatakan oleh Tuhan Yesus sendiri, “Akulah gembala yang baik” (Yoh.15:11-15). Kitab Suci menekankan betapa pentingnya tanggung jawab setiap pemimpin atas pengikutnya. Walaupun demikian, tidak perlu kita menghakimi mereka, sebab sejak zaman PL sudah banyak gembala serupa yang tidak setia, di mana mereka lebih mementingkan diri sendiri, dan bukan domba-dombanya; domba mereka dibunuh dan diserahkan demi kentungan mereka sendiri, mereka menghianati tugas mereka yang sesungguhnya. Walaupun demikian, saatnya akan tiba di mana Allah akan mengumpulkan kembali domba-domba itu dan menghakimi gembalanya (Yer.25:34). Kita pergi ke gereja untuk mencari Allah yang benar, bukannya untuk mencari hamba Tuhan yang benar, karena hamba Tuhan yang benar-benar sempurna tanpa cela dan dosa tidak akan ditemui di gereja mana pun juga di dunia ini, terkecuali Yesus.