BLOG INI BERSIFAT TERBUKA UNTUK DIKOMENTARI DAN DIKRITISI DEMI KEMAJUAN WAWASAN BERPIKIR, DAN BERTEOLOGI MASA KINI
Sabtu, 04 April 2009
Bahan Sermon Ama GKPA
PEMURIDAN GAYA HIDUP”
(Yesaya 54 : 13)
Semua anakmu akan menjadi murid TUHAN, dan besarlah kesejahteraan mereka
Ketika saatnya tiba, kita akan mengakhiri perjalanan hidup kita di dunia ini. Jika hidup kita berakhir, hal apakah yang akan kita wariskan bagi anak-cucu kita? Jika kita mewariskan hal-hal duniawi saja, hal itu tidak akan kekal, warisan itu akan sirna dan habis seturut dengan waktu dan kondisi. Namun jika harta rohani kita wariskan, maka warisan ini tidak akan hilang begitus saja, melainkan warisan itu akan tetap dikenang sepanjang masa. Oleh sebab itu, selama masih ada kesempatan diberikan Tuhan kepada kita, marilah kita mengembangkan sistem rohani dalam diri anak-cucu kita. Bagaimana caranya? Dalam Ulangan 6:4-6, Musa memerintahkan para orangtua mengikuti perintah Allah. “Haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu” (Ul.6:7-9).
Selanjutnya ada suatu pertanyaan yang sangat penting: pada zaman ini, bagaimana kita dapat membicarakan dan mengulang-ulang kebenaran itu sementara berada di rumah, dalam perjalanan, sedang berbaring, atau sedang bangun? Ada beberapa cara yang harus kita hidupi dan lakoni dalam rangka memperkuat dasar rohani anak-anak kita yaitu:
1. Jadilah teladan. Ketika anak kita melihat hidup kita, apakah mereka hanya melihat seseorang yang memiliki pengetahuan tentang Allah, memercayai hal-hal yang benar, dan menghindari hal-hal buruk, ataukah mereka sungguh-sungguh dapat melihat seseorang yang akrab dan punya hubungan kasih yang terus bertumbuh dengan Yesus Kristus? Panggilan utama kita bukan menjadi orangtua yang baik. Panggilan utama kita adalah menjadi teladan tentang hubungan kasih yang nyata dengan Allah yang hidup.
2. Mendefinisikan kerohanian yang sesungguhnya. Kerohanian yang sejati ditandai oleh banyak hal, terutama orangtua yang lapar dan haus akan kebenaran. Dunia telah membuat kita lapar dan haus akan kesenangan, dorongan, hal-hal baru, kepuasan, berkat, dan keberhasilan. Budaya kita lebih menekankan materialisme daripada kedewasaan. Kita hidup dalam generasi adiktif yang lebih dikendalikan oleh keinginan akan kepemilikan materi dan hal-hal lain yang membuat kita tampak berhasil. Allah tidak menciptakan kita untuk lapar dan haus akan pengalaman, berkat dan keberhasilan. Musuh besar dari lapar akan Allah bukanlah racun, tetapi makanan enak. Bukan sekumpulan dosa yang akan melemahkan hasrat kita akan perkara surgawi, tetapi tanggapan kita yang tak habis-habisnya terhadap hal-hal yang dunia tawarkan.
3. Tunjukkan kedisiplinan. Hadapilah kenyataan ini: hal penting yang dapat dilakukan orangtua adalah mencetak dan membentuk karakter rohani anak. Namun bagaimana kita dapat membantu anak-anak mengembangkan karakter yang saleh dalam masyarakat yang tidak mengetahui arti integritas? Tidak cukup sekedar mendisiplinkan anak-anak sehingga mereka berlaku baik dan tidak mempermalukan kita. Pengembangan karakter yang sejati harus dimulai dari batin, dengan motif yang benar, hasrat yang tidak mementingkan diri sendiri, dan pikiran murni yang timbul dari hubungan yang akrab dengan Allah. Jika anak-anak sehat secara rohani, kita tidak perlu khawatir ketika mereka bergaul dalam masyarakat. Pembentukan rohani melaju melampaui informasi rohani. Pembentukan rohani meliputi proses pembentukan karakter dan sifat-sifat Kristus dalam diri kita. Unsur kunci dari pembentukan rohani adalah pengembangan rohani. Menerapkan kedisiplinan saja tidak akan menghasilkan murid. Menampilkan perilaku rohani tidak secara otomatis dapat menghasilkan kerinduan akan Tuhan.
4. Mengembangkan kepekaan suara hati. Eli seorang pilihan Allah. Sebagai imam, ia tampak cukup berhasil. Ia memimpin bangsa Israel selam 40 tahun. Ia berkuasa, berpengaruh dan disegani. Ia dihormati, dikenal sebagai pekerja keras, dan setia dalam banyak hal. Namun, Eli sadar bahwa keberhasilan dalam satu hal tidak menjamin keberhasilan dalam hal lain. Kegagalannya sebagai orangtua, ketidakmampuannya dalam membantu anak-anaknya mengembangkan kepekaan suara hati mereka, membuat Eli kehilangan pengaruh sebagai seorang imam. Kegagalannya untuk menuntun anak-anaknya menodai kekudusan Allah dan Bait Suci (baca 1Sam.1:12,17,25-26). Anak-anak Eli tidak mengembangkan kepekaan mereka terhadap suara hati dan mereka tidak tahu bagaimana merasa malu. Mereka tidak peka terhadap dosa mereka sendiri dan mengabaikan ajaran Allah serta peringatan ayah mereka. Akar permasalahan yang dihadapi anak-anak bukanlah kurangnya gizi, informasi, atau lingkungan sosial yang lebih baik. Bukan pula rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri dan kurangnya kesempatan. Masalah utama mereka adalah bahwa mereka berdosa. Oleh sebab itu, tugas kita sebagai orangtua adalah menuntun dan membantu anak-anak agar tidak melakukan dosa dan menjadi orang yang benar. Anak-anak tidak akan pernah mengembangkan kepekaan terhadap suara hati mereka jika tidak melihat keteladanan pada diri orangtua mereka.
5. Perdalam kehidupan doa kita. Tujuan kita berdoa bukanlah untuk bergantung pada jawaban doa itu, tetapi kepada Allah. Banyak keluarga Kristen sangat sedikit menghargai kuasa doa dalam kehidupannya. Doa sangat penting dalam pengasuhan anak. Kita harus menekankan kepada anak-anak kita bahwa kegiatan yang dilakukan di Gereja tidaklah lebih rendah daripada kegiatan yang dilakukannya di sekolah maupun di luar sekolah. Kita harus menegaskan dan menanamkan kepada anak-anak kita bahwa Pendalaman Alkitab dan doa merupakan hal yang terpenting dilakukan daripada yang lainnya (bnd. Mat.6:33). Dengan penekanan seperti itu, maka anak-anak kita akan belajar mengasihi Tuhan. Mereka dapat belajar pentingnya hidup bagi Dia. Mereka dapat mulai mengembangkan disiplin rohani. Mereka dapat dipakai Allah memengaruhi dunia sekitar mereka.
Masih banyak hal yang mungkin kita bisa daftarkan di luar yang baru saja kita bahas di atas. Dari berbagai pengalaman kita mari kita gali dan sharing bersama, bagaimanakah kita sebagai orangtua meletakkan dasar rohani kepada anak-anak kita. Dan harus kita ingat bahwa cara yang terbaik dalam rangka meletakkan dasar iman rohani anak kita adalah dengan gaya pemuridan. Hidup kita menjadi guru dan pembelajaran kepada anak-anak kita. Artinya kita harus jadikan pemuridan sebagai gaya hidup kita sehari-hari. Amin!
Ramli SN Harahap fidei/gladys’08 211108
Jumat, 03 April 2009
ULASAN TEOLOGI: KESULITAN MENERAPKAN HUKUM TAURAT DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI ORANG KRISTEN
DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI ORANG KRISTEN
I. PENDAHULUAN
Orang-orang Kristen sering menghadapi beberapa rintangan dan kesulitan untuk mengerti Hukum Taurat dan menerapkan serta melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Dan mereka merasa bahwa ada sebuah jarak antara mereka dengan hukum-hukum Taurat yang tertulis dalam Perjanjian Lama (PL) yang sudah kuno.
Peranan, fungsi dan makna Hukum Taurat dalam perjalanan kehidupan ke-Kristen-an saat ini sudah mulai ‘kabur’. Hukum Taurat tidak lagi dipahami dan dimengerti sebagai hukum yang bersumber dari Allah sendiri yang harus dipatuhi dan dilakukan. Orang Kristen saat ini sudah lebih mematuhi produk hukum yang dibuat oleh manusia dari pada mematuhi hukum yang dibuat oleh Allah sendiri. Manusia lebih takut melanggar hukum manusia dari pada melanggar hukum Tuhan.
Ada banyak tantangan dan kesulitan yang dihadapi oleh Gereja untuk menerapkan Hukum Taurat dalam perjalanan kehidupan orang percaya. Dalam bahasan ini kita akan mencoba melihat beberapa kesulitan yang dihadapi Gereja dan bagaimana solusi yang akan ditempuh baik secara teologis maupun secara praktis.
II. PENGERTIAN HUKUM TAURAT
a. Pengertian
Alkitab bahasa Indonesia menerjemahkan tora - תורה (bhs.Ibrani) dan nomos - ηομος (bhs.Yunani), yang masing-masing muncul kira-kira 200 kali, dengan ‘hukum Taurat’, ‘hukum’ saja. Sejak permulaan istilah tora digunakan untuk menggambarkan ajaran mengenai satu hal, keputusan-keputusan yang diambil untuk memecahkan soal yang musykil. Contoh yang baik ditemukan dalam Hag.2:11-13, di mana ditanyakan keputusan para imam mengenai soal ketahiran. Keputusan para imam, petunjuk mereka bagi tingkah laku umat disebut tora, ‘ajaran’.
b. Sifat dari Hukum Perjanjian Lama
Hukum PL ialah koleksi hukum-hukum yang Allah berikan kepada bangsa Israel selama zaman Musa. Lebih dari enam ratus hukum mengatur ketaatan bangsa Israel kepada Allah. Kita mendapatkan kumpulan hukum-hukum ini di tiga bagian utama dalam Pentateukh (lima kitab pertama dari PL). Koleksi tertua dikenal dengan sebutan kitab perjanjian (Kel.20:1-23:33, sebutan ini dipakai di 24:7). Yang paling akhir terdapat di hukum-hukum dari kitab Ulangan (4:33-29:1). Hukum ini diberikan oleh Musa di lembah Moab sebelum ia meninggal dan sebelum bangsa Israel masuk ke Negeri Perjanjian. Tujuan Musa ialah untuk memperingati bangsa Israel agar tidak berbuat dosa sebagaimana mereka pernah berdosa di belantara. Sebab itu ia mengulangi (seringkali dengan variasi) bagian-bagian yang pernah diberikan di hukum yang pertama. Yang menarik ialah baik kitab perjanjian dan hukum dari Kitab Ulangan mulai dengan Sepuluh Hukum (Kel.20:1-17 dan Ul. 5:6-21).
Kitab Imamat dan Bilangan terdapat di antara kedua hukum tersebut. Seperti Kitab Keluaran dan Ulangan, kedua kitab itu merupakan kitab-kitab yang menggabungkan naratif dan hukum. Uraian tentang peraturan-peraturan yang terdapat dalam Kitab Imamat dan Bilangan kebanyakan berfokus kepada ibadah formal bangsa Israel, yaitu tentang peraturan-peraturan yang berhubungan dengan imam, korban-korban, dan ritual pengudusan.
Beberapa peraturan-peraturan di Kitab Imamat yang menetapkan seseorang bersih atau najis, sukar kita terima pada masa kini. Bagi kita sekarang, persoalan bersih atau najis berkaitan dengan kesehatan fisik. Bagi para imam di zaman PL, hal ini berhubungan dengan kesucian agama. Seseorang yang bersih berarti ia berada dalam keadaan yang benar untuk menghampiri Allah yang berkuasa dan kudus. Orang yang menghampiri Allah dalam keadaan najis berarti ia akan mengalami malapetaka.
Pikiran serupa berlaku untuk makanan-makanan yang kosher (tidak haram, boleh dimakan). Beberapa macam daging tidak boleh dimakan, tetapi bukan karena mereka dianggap tidak sehat. Rupanya mereka dianggap tidak mewakili bagian ciptaan yang kudus. Hewan-hewan yang tidak haram mempunyai beberapa karakteristik yang tidak dimiliki oleh hewan-hewan yang haram. Umpamanya, hewan-hewan darat yang boleh dimakan harus memamah biak dan berkuku belah (Im.11:1-8). Unta, kelinci, dan babi tidak termasuk golongan hewan ini. Pemisahan hewan-hewan haram dan tidak haram mempunyai persamaan di antara manusia yang juga terbagi menjadi tidak haram (Israel) dan haram (bangsa kafir).
c. Hukum Moral, Sipil dan Ritual
Ketika kita mengamati hukum-hukum Musa, kita mendapati bahwa hukum-hukum ini berhubungan dengan isu-isu penting yang beraneka ragam, dan mencakup hubungan antara Allah dengan manusia dan antara sesama manusia. Umpamanya, kita sudah melihat bahwa sebagian besar hukum-hukum dalam Kitab Imamat dan Bilangan berhubungan dengan ibadah formal bangsa Israel, tetapi ada juga hukum-hukum yang berhubungan dengan bangsa Israel sebagai seorang anggota masyarakat dan dalam menjalankan peraturan-peraturan moral yang khusus. Kitab Keluaran dan Ulangan juga berisi hukum-hukum yang berhubungan dengan manusia sebagai makhluk bermoral, anggota masyarakat dan orang yang beribadah.
Sebab itu sekarang sudah menjadi praktik umum untuk membedakan tiga macam hukum Perjanjian Lama. Disamping ada hukum moral, ada juga hukum sipil dan ritual. Pertama, hukum moral menyatakan prinsip-prinsip Allah untuk berhubungan yang benar dengan Dia dan dengan sesama. Sepuluh Hukum merupakan ekspresi kehendak Allah yang paling jelas dan kuat untuk umatNya. Kedua, hukum-hukum sipil. Hukum-hukum ini mengatur bangsa Israel sebagai bangsa pilihan Allah yang menjadi umat pilihanNya. Ketiga, hukum ritual yang menggambarkan bagaimana bangsa Israel harus menyembah Tuhan.
d. Peranan Hukum Taurat bagi bangsa Israel
Menurut A van Selms, pengaruh tora dalam hidup bangsa Israel banyak sekali, kendati penulis-penulis pada waktu itu mengeluh bahwa tora diabaikan. Telah disinggung bahwa nubuat di Israel mengandaikan adanya tora dalam bentuk lisan atau tertulis (bd. Mi.6:8; Hos.4:2; Yer.7:9). Kitab-kitab seperti Hakim-Hakim, Samuel dan Raja-Raja menyajikan sejarah Israel dari sudut pandang tora, sambil menunjukkan bahwa waktu-waktu ketaatan kepada Allah adalah waktu-waktu kelimpahan kebendaan maupun kerohanian, sementara bila tora diabaikan maka tibalah bencana menimpa Israel. Mazmur 1, 19, dan 119 memuliakan tora sebagai anugerah Allah yang terbesar. Bahkan dalam Amsal, seperti telah kita lihat tora sering diberi arti pengajaran manusia, hukum ilahi dipuji sebagai permulaan segala hikmat dan kebahagiaan (lih. Amsal 28:4,7,9,18). Penetapan Pentateukh pada akhirnya sebagai buku pegangan dasar dari semua tora, bertepatan dengan hilangnya semangat kenabian, menyebabkan bangkitnya kelompok pimpinan kerohanian baru, yaitu ‘ahli-ahli Taurat’, dan Ezra merupakan teladan pertama (Ezr.7:6; Neh.8:1-8). Lebih dalam Selms mengatakan bahwa bagi bangsa yang terserak-serak di kemudian hari, tora terbukti lebih penting dari ibadah korban di Yerusalem.
III. KESULITAN MENERAPKAN HUKUM TAURAT DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI
Bagi warga jemaat Kristen saat ini, hukum Taurat bukanlah sesuatu yang harus diwajibkan untuk dikerjakan. Mereka melihat hukum ini bukan hukum yang harus dipatuhi untuk zaman ini. Hukum Taurat hanya merupakan pengetahuan sejarah Alkitab saja. Pengajaran Hukum Taurat ini pun kurang begitu ditekankan oleh pihak gereja lagi. Gereja mungkin menganggap bahwa pengajaran utama ialah pengajaran tentang kasih Yesus Kristus. Dampak langsung bagi warga jemaat bila tidak melakukan hukum Taurat dirasakan tidak ada sehingga hukum Taurat itu sendiri tidak dihargai sebagai sesuatu hukum yang mutlak harus dipatuhi.
Kesulitan yang sering membuat Hukum Taurat itu dilaksanakan, menurut Eka Darmaputra dalam bukunya, “Sepuluh Perintah Allah – Museumkan saja?” mengatakan, bahwa setidaknya ada tiga alasan mengapa kita perlu memuseumkan Sepuluh Perintah Allah:
1. Pertama, adalah karena menurut mereka, roh yang sedang bertiup kencang di zaman kita sekarang adalah “roh kemerdekaan”. Semangat kebebasan. Kemerdekaan dan kebebasan yang dicapai melalui perjuangan panjang dan penuh pengorbanan. Karenanya, manusia tak mau kehilangan itu lagi – walau sedikit.
2. Kedua,Dasa Titah dihormati sebagai salah satu warisan sejarah yang tak ternilai. Namun ya begitulah, rasa hormat tersebut hanyalah penghargaan seperti yang diberikan orang terhadap, misalnya, sebuah jambangan antik dari dinasti Ming, atau manuskrip kuno macam Serat Centini.
3. Ketiga, Dasa Titah dianggap tidak fungsional lagi karena kita adalah “umat Perjanjian Baru” (PB). Sepuluh Perintah Allah adalah produk Perjanjian Lama. Hukum kasih dalam Perjanjian Baru lebih akurat untuk kita ikuti!
Di dalam kehidupan sehari-hari, sering kita jumpai beberapa kesulitan untuk menjalankan Sepuluh Perintah Tuhan ini. Pada hal, menurut Al.Budyapranata Pr., Sepuluh Titah Tuhan ini singkat sekali, karena ditujukan untuk semua orang, sehingga isinya jelas, juga untuk orang yang bodoh sekali pun.
Di bawah ini akan kita bahas sebagian dari Sepuluh Titah Tuhan tentang beberapa kesulitan dan tantangan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari:
1. Perintah Pertama: “Akulah Tuhan Allahmu, seru Tuhan kita, tidak boleh ada Allah lain, kecuali Aku”. Menurut Eka Darmaputra, tantangan kita dalam menghayati perintah ini adalah dengan adanya Politeisme dan Henoteisme. Politeisme adalah orang yang menganggap bahwa Tuhan itu tidak cuma satu, tapi banyak. Orang beribadah kepada bermacam-macam Tuhan. Sedangkan para penganut Henoteisme – berbeda dengan penganut politeisme – siap untuk menerima, percaya, dan menyembah satu “allah” saja. Mereka tidak beribadah kepada banyak “allah”, tidak pula menyembah “allah” yang lain, kecuali kepada yang “satu” itu. Bagi para “henoteis”, “allah” orang lain itu adalah “Allah” juga. Bukan “allah” palsu atau apa. Cuma saja, “allah” tersebut adalah “allah” orang lain. “Allah”-nya, bukan “Allah”-ku. “Allah” mereka, bukani “Allah” kita!
2. Perintah Kedua: “Janganlah perbuat bagimu patung yang menyerupai apa pun, yang ada di langit, atau yang ada di bumi, atau yang ada di dalam air untuk disembah atau bertaqwa kepadanya.” Secara positif perintah ini menganjurkan: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." (Luk.10:27) Namun dalam menjalankan perintah ini pada zaman sekarang, kita menghadapi tantangan dari beberapa aliran seperti: Materialisme dan Humanisme. Materialisme, mengajarkan, bahwa nilai yang tertinggi di dunia ini adalah materi (benda) saja. Tidak ada jiwa, tidak ada roh, tidak ada kebahagiaan kekal, dan tidak ada Tuhan. Bahkan sering kali yang menjadi berhalanya adalah: “Aku”nya, atau kesenangannya sendiri. Sedangkan Humanisme, adalah bentuk pemujuaan yang berpusat pada manusia. Dasar pandangan humanisme adalah bahwa manusia itu adalah otonom, sudah bisa berdiri sendiri tanpa membutuhkan Tuhan alam hidupnya. Manusia adalah penguasa dan pengatur alam semesta. Tuhan itu tidak ada. Sebab Tuhan itu menurut mereka hanyalah semacam fantasi atau ilusi manusia saja.
3. Perintah Ketiga: “Jangan menyebut nama Tuhan Allahmu dengan seenaknya karena Allah akan menghukum orang yang menyalahgunakan nama-Nya.” Perintah ini mengingatkan kita akan keluhuran Nama Tuhan. Maka dalam perintah ini terkandung tujuan: Sebutlah Nama Tuhan hanya demi keluhuranNya. Tantangan untuk menjalankan perintah ini adalah melalui Sumpah Palsu dan Menyalah-gunakan Agama. Sumpah palsu berarti menghina Tuhan.
4. Perintah Keempat: “Ingat dan sucikanlah hari yang dikuduskan itu…” Maka dalam perintah ini sebenarnya terkandung maksud: (1) Waktu (hari) khusus yang harus kita istimewakan bagi Tuhan. (2) Supaya kita berani merefleksikan tujuan hidup dan kerja kita di hadapan Tuhan untuk dapat menemukan rencana Tuhan di dalamnya. Tantangan yang sering kita hadapi untuk melaksanakan perintah ini adalah kebijakan pemerintah/instansi/perusahaan negara/perusahaan swasta yang mewajibkan bekerja pada hari Minggu. Kemudian seringnya para jemaat melaksanakan adat-istiadat, arisan, berlibur pada hari Minggu.
5. Perintah Keenam: “Jangan membunuh.” Perintah ini menganjurkan agar kita menghargai kehidupan manusia; menghargai hak hidup, dan mempertahankan nilai kehidupan. Namun yang sering kita hadapi dalam melakukan perintah ini adalah: Bunuh diri, mematikan orang lain, abortus, euthanasia, membahayakan orang lain karena kelalaian, hukuman mati, perang.
6. Perintah Ketujuh: “Jangan engakau berjinah” Tantangan dalam melakukan hukum ini adalah: selingkuh, perceraian, polygami, dll.
IV. SOLUSI SECARA TEOLOGIS DAN PRAKTIS
a. Secara Teologis
Kasih tanpa hukum, kacau-balau, tetapi hukum tanpa kasih, kaku. Pepatah ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Jika Gereja terlalu menekankan kasih atau anugerah, dan melalaikan hukum Tuhan (Taurat), maka bisa saja Gereja itu akan mengalami kekacau-balauan. Sebaliknya, jika Gereja hanya menekankan hukum, dan melalaikan kasih dan anugerah Allah, maka akan terjadi kekakuan. Kita harus memelihara Hukum Tuhan (Taurat) supaya orang menahan diri berbuat dosa. Namun perlu ditekankan seperti yang dikatakan Martin Luther, bahwa fungsi dan kuasa terpenting dari hukum itu adalah untuk menampakkan dengan jelas dan terang dosa asali itu.
Bagi bangsa Israel di zaman perbudakan di Mesir dan bagi umat percaya sekarang, keselamatan berasal hanya karena oleh anugerah Tuhan. Sebagaimana Paulus menekankan, “Sebab tidak seorang pun yang dapat dibenarkan di hadapan Allah oleh karena melakukan hukum Taurat, karena justru oleh hukum Taurat orang mengenal dosa” (Rm.3:20). Peran hukum pada zaman ini sama seperti pada zaman lalu: hukum merupakan petunjuk bagi kehidupan kita yang berasal dari Tuhan yang murah hati agar kita boleh menyenangkan Dia dan menjadi kebaikan untuk kita.
Sebagaimana orang Kristen, kita mengetahui dengan jelas akan ketidakmampuan kita melakukan hukum Taurat. Kita tahu bahwa kita adalah pelanggar-pelanggar hukum. Paulus menekankan keberdosaan manusia yang bersifat universal dengan mengutip Perjanjian Lama: "Tidak ada yang benar, seorang pun tidak. Tidak ada seorang pun yang berakal budi, tidak ada seorang pun yang mencari Allah. Semua orang telah menyeleweng, mereka semua tidak berguna, tidak ada yang berbuat baik, seorang pun tidak.” (Roma 3:10-12 // Mzm.14:1-3 // Mzm.53:1-3)
Kesalahan manusia bukan dari banyaknya dosa. Yakobus memperingati kita berusaha menyelamatkan diri melalui kebaikan kita bahwa “barangsiapa menuruti seluruh hukum itu, tetapi mengabaikan satu bagian dari padanya, ia bersalah terhadap seluruhnya. Sebab Ia yang mengatakan: "Jangan berzinah", Ia mengatakan juga: "Jangan membunuh". Jadi jika kamu tidak berzinah tetapi membunuh, maka kamu menjadi pelanggar hukum juga” (Yak. 2:10-11).
Tetapi keadaan buruk manusia ternyata lebih menyedihkan. Melalui penerangan dari Khotbah di Bukit (Mat. 5-7), di mana Yesus menekankan Hukum Taurat, sukar dipercaya bahwa ada banyak orang yang tidak pernah berzinah. Di dalam ajaranNya, semua hukum mempunyai sebuah pengertian internal yang radikal. Bayangkan umpamanya tentang perintahNya mengenai hukum ketujuh:
Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya. Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka. Dan jika tanganmu yang kanan menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa dari pada tubuhmu dengan utuh masuk neraka. (Mat.5:27-30)
Jadi bagaimana hukum PL mempengaruhi kita? Yesus dan para rasul dengan jelas memakai banyak kebenaran dari Sepuluh Hukum. Penyembahan berhala, menghujat, mengutuk orang tua, mencuri, berzinah, membunuh, berdusta, tamak tetap merupakan kesalahan. Prinsip-prinsip etika umum dari Sepuluh Hukum tetap berlaku bagi orang percaya di Perjanjian Baru (PB).
Jadi apakah kita menaati hukum Perjanjian Lama? Ada dua paham berbeda yang ada pada zaman ini untuk mewakili pendapat tentang pokok ini. Pada dasarnya ajaran Dispensasi dan ajaran Theonomi merupakan pandangan hermeneutika, tetapi keduanya berfokus pada hukum Taurat dalam hal-hal tertentu. Ada yang melihat penganut ajaran Dispensasi bertendensi membedakan PL sebagai waktu di mana Allah bekerja melalui hukum sedangkan PB sebagai sebuah masa anugerah. C.I. Scoffield berkata: “Pemisahan yang paling jelas dan nyata dari Firman Kebenaran ialah antara Hukum dan Anugerah. Sesungguhnya, prinsip-prinsip yang kontras ini merupakan karakteristik dua dispensasi yang paling penting yaitu antara orang Yahudi dan orang Kristen… Alkitab tidak pernah, dalam tiap disepensasi, mencampurkan dua prinsip ini. Pandangan ini oleh banyak penganut dispensasi zaman sekarang tidak dipegang secara eksplisit, sehingga berakibat pada minimalisasi hukum yaitu sebuah sikap yang kurang menghargai hukum PL.
Di pihak lain, ajaran Theonomi (bhs Yunani untuk “hukum Allah”) berpendapat bahwa hukum-hukum PL dan hukumnya terus berlaku sampai sekarang. Ringkasnya, pendekatan ajaran Theonomi terhadap hukum ialah memegang ajaran Yesus dengan serius baik secara dogmatik dan harafiah. “Iota dan titik” dari hukum Taurat tetap masih berlaku. Kesinambungan ketat tetap ada antara PL dan PB. Penganut ajaran Theonomi percaya bahwa tanggung jawab pemerintah ialah menjalankan hukum-hukum PL yang seharusnya menjadi blueprint bagi masyarakat banyak.
Ajaran Theonomi dan dispensasi mewakili dua pendekatan ekstrim tentang hukum Taurat. Meskipun ajaran theologia mereka amat ortodoks, tetapi mereka secara radikal berbeda pendapat tentang hubungan antara PL dan PB. Ajaran Theonomi menekankan kesinambungan antara PL dab PB, sedangkan ajaran Dispensasi menekankan ketidaksinambungan antara PL dan PB.
Tetapi menurut Tremper Longman III , ada kelemahan-kelemahan dalam ajaran Theonomi. Pertama, Hukum PL ditujukan kepada umat Allah ketika mereka merupakan sebuah bangsa. Umat Allah merupakan sebuah grup politik berbeda, yaitu bangsa Israel; dan sebuah fungsi utama yang disebut hukum-hukum yang berkenaan dengan kasus dan khususnya hukuman-hukumannya ialah untuk menjaga bangsa pilihan ini bebas dari dosa. Masa ini Allah tidak bekerja melalui sebuah bangsa pilihan, tetapi melalui sebuah umat pilihan yang meliputi bangsa-bangsa di dunia. Kedua, Allah memberi bangsa Israel hukum Taurat sebelum Yesus Kristus diwahyukan ke dalam dunia. Singkatnya, kita tidak dapat menerima kesinambungan di antara kedua Perjanjian dalam hal pelaksanaan hukum dan hukuman-hukumannya. Pasal-pasal penting dari PB memberikan konfirmasi bahwa sesuatu yang baru sedang bekerja.
Saat ini kita akan melihat hanya satu hukum, yaitu mengenai perzinahan. Perzinahan dihukum oleh hukum ketujuh (Kel.20:14; Ul.5:18). Hukum kasus memberitahukan kita hukumannya: “Apabila seseorang kedapatan tidur dengan seorang perempuan yang bersuami, maka haruslah keduanya dibunuh mati: laki-laki yang telah tidur dengan perempuan itu dan perempuan itu juga. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari antara orang Israel” (Ul.22:22). Berdasarkan hukum PL ini, ajaran Theonomi berargumentasi bahwa pada masa ini, perzinahan harus dihukum mati. Tetapi kalau kita membaca PB dengan teliti, justru mengajar yang lain. Kita ingat kembali Yoh.7:53-8:11 mengenai wanita yang ditangkap sedang berzinah. Wanita itu adalah seorang pezinah. Dia hampir dirajam, tetapi Yesus menengahi dan menahan perajam dengan tantangan "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu" (8:7). Ketika Yesus memandang wanita ini, Dia berkata kepadanya bahwa Dia tidak menghukumnya. Yesus menyuruh dia pergi dengan peringatan agar “jangan berbuat dosa lagi” (ay.11)
Solusi lain menurut Eka Darmaputra , yang mengutip pendapat William Barclay melalui buku kecilnya yang berjudul The Ten Commandments, yakni: Pertama: Barclay menolak anggapan bahwa semata-mata karena kita adalah umat “PB”, maka kita serta-merta kita lalu punya alasan untuk mencampakkan semua yang berbau PL. Salah besar! Sebutan “PB” justru hendak mengingatkan bahwa ia tidak muncul tiba-tiba. Ia punya akar sejarah. Ia punya ibu yang mengandung dan melahirkannya. Tak akan ada yang “baru”, bila tak ada yang “lama”. Kedua, Barclay juga menyangkal bahwa Dasa Titah (Sepuluh Perintah Allah) adalah semata-mata etikanya orang Yahudi dan orang Kristiani saja. Tidak! Dasa Titah mengandung nilai-nilai yang universal. Setiap masyarakat dari bangsa, agama, dan zaman apa pun yang berniat membangun kehidupan berama yang baik, tertib, serta sejahtera, suka atau tidak suka harus menyepakati nilai-nilai Dasa Titah sebagai pegangan normatif bersama.
b. Secara praktis:
1. Gereja harus memberikan penjelasan-penjelasan teologis tentang makna dan fungsi Hukum Taurat bagi kehidupan setiap orang percaya. Bahwasanya, setiap orang yang percaya kepada Tuhan, dia wajib berpegang dan melakukan Hukum Tuhan (Taurat) dalam perjalanan hidupnya sehari-hari.
2. Membuat rumusan teologi yang diangkat dan digali dari Sepuluh Perintah Allah tersebut, misalnya: teologi tanah, teologi hari Sabat, teologi perang, teologi perzinahan, dan lain-lain.
3. Memasukkan Pembacaan Hukum Taurat di dalam rumusan ibadah (liturgi) Gereja setiap Minggu. Karena liturgi adalah sebagai kekuatan untuk bertindak. Pembacaan seperti itu sedikit banyaknya akan turut juga mempengaruhi gerak-langkah kita. Mengapa hal ini perlu dimasukkan? Karena Hukum Taurat itu merupakan penuntun bagi kita sampai Kristus datang, supaya kita dibenarkan karena iman (bnd. Gal.3:24). Dengan dibacakannya Hukum Taurat ini, maka kita dapat mengingat dosa pelanggaran kita mulai hari Senin hingga Sabtu. Dan pada hari Minggu itu kita mohon ampun dosa kepada Tuhan. Jika dibandingkan dengan ibadah Gereja di Timur – seperti gereja Syiria khususnya di kota Antiokia, kira-kira antara tahun 350-380 – dalam tata ibadah mereka mencantumkan pembacaan Torat.
4. Membuat dan mengembangkan Hukum Siasat Gereja yang didasarkan kepada Hukum Taurat agar setiap warga jemaat semakin mudah memahami dan melakukan perintah Allah dalam kehidupan sehari-hari, agar tidak terlampau menekankan satu bagian saja dari Hukum Taurat.
5. Menerbitkan buku tentang Sepuluh Hukum Taurat serta penjelasan praktis bagi warga jemaat.
6. Memasukkan Sepuluh Hukum Taurat ke kurikulum pelajar Sidi Gereja.
7. Membuat konsekuensi teologis jika Hukum Taurat dilanggar dan tidak dipatuhi. Memang harus diakui bahwa bukan Hukum Taurat yang menyelamatkan, tetapi sebagai bukti orang yang sudah diselamatkan harus mematuhi Hukum Taurat. Dan jika orang yang sudah diselamatkan itu sendiri tidak melaksanakan hukum Taurat dalam hidup kesehariannya, maka dia akan menerima hukuman-hukuman. Misalnya jika hari Sabat dilanggar maka seseorang itu harus ditegur (Yes.58:13), apalagi jika motifnya keserakahan ekonomi (Yer.19:21-27; Am.8:5-6).
V. DAFTAR PUSTAKA
Abineno, J.L.Ch. Ibadah Djemaat Di Timur dan Di Barat, BPK GM, Jakarta, 1961
Bahnsen, Greg L. Theonomy in Christian Ethics, Presbiterian and Reformed, Nutley, NJ, 1977
Budyapranata Pr., Al. Etika Praktis: Berdasarkan Sepuluh Perintah Allah, Yayasan Andi, Yogyakarta
Darmaputra, Eka. Sepuluh Perintah Allah – Museumkan Saja?, Gloria Graffa, Yogyakarta, 2005
Kantor Pusat GKPA, Ruhut Parmahanion/Pamincangon ni Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA),1999.
Karman, Yonky. Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, BPK GM, Jakarta, 2005
Longman III, Tremper. Memahami Perjanjian Lama: Tiga Pertanyaan Penting, (Alih bahasa Cornelius Kuswanto, SAAT, Malang, 2002
Lutheran Literatur Team, Buku Konkordia: Pasal-Pasal Smalkalden, LKS, P.Siantar, 1986
Pakpahan, M. Hatorangan Ni Agenda HKBP, HKBP Distrik IX, Bandung, 1954
Scofield, C.I. Rightly Dividing the Word of Truth, Fundamental Truth, Findlay, Ohio, 1940
Selms, A van. “Taurat” dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, (Penyuntung J.D.Douglas), YKBK/OMF, Jakarta, 1999
Rabu, 01 April 2009
LAPORAN BUKU
THE ORIGINAL JESUS
The Life and Vision of a Revolutionary
by
TOM WRIGHT
(Oxford: Lion Publishing, 1996) 34-55
PENDAHULUAN
Untuk melihat lebih dalam tentang pemikiran Tom Wright, kali ini kita akan melihat uraiannya tentang “Dua Sisi Cerita” dan “Khotbah di Bukit”. Wright ingin membuktikan kepada kita bahwa penelitian Yesus sejarah melalui perumpamaan dan pengajaranNya sungguh menggembirakan.
DUA SISI CERITA
Dua sisi cerita ini digali dari perumpamaan Yesus tentang “Anak yang hilang”(Luk.15:1-2, 11-32). Pada umumnya kita menggambarkan bahwa cerita anak yang hilang ini adalah bahan cerita untuk anak-anak: illustrasi-illustrasi kecil. Tapi Wright mengatakan ide-idenya nyata, kendati pun cerita ini abstrak.
Menurut orang, cerita Yesus ini, hanya merupakan ‘cerita-cerita duniawi dengan pengertian sorgawi’. Tetapi itu omong kosong! Cerita-ceritaNya jauh lebih kuat dari hal duniawi itu. Cerita-cerita Yesus menciptakan dunia-dunia. Menceritakan cerita dengan cara yang berbeda akan mengubah dunia. Dan itulah maksud dan tujuan Yesus.
Wright mengatakan, manusia pada masa Yesus mengetahui bahwa cerita-cerita merupakan sebuah usaha; atau cara untuk mendapatkan pengertian yang nyata. Tetapi untuk mengerti cerita Yesus yang nyata saat ini bukan selalu mudah. Manusia dalam zaman Yesus akan mengetahui apa yang Yesus bicarakan; tetapi bagi kita, hal ini adalah upaya membuat sejarah kembali dengan pemikiran terdalam dari pendengar asli.
Sebuah berita revolusioner
Wright menceritakan bahwa Yesus membawa berita yang revolusioner di mana seseorang bisa menanggalkan segala harkat dan martabatnya demi orang yang berdosa yang kembali dari jalannya yang salah. Wright menelusuri keadaan orang desa pada abad pertama di Palestina bahwa setiap orang mengenal siapa seseorang dan siapa dia. Setiap orang mengenal siapa yang lebih senior. Kemasyarakatan ini memberikan sebuah nilai tinggi pada umur dan hikmat. Mereka menghormati para tua-tua dengan bertindak bermartabat tinggi. Yesus menceritakan cerita tentang seorang tokoh senior, figur yang dihormati yang melemparkan martabatnya dari jendela dan berlari di jalan.
Kemudian berita revolusioner yang lain adalah adanya kejutan. Ceritanya sangat dikenal, tetapi biasanya kita tidak menghargainya. Seharusnya disebut cerita Ayah yang Berlari, tetapi hal ini lebih terkenal sebagai cerita Anak yang Hilang.
Seorang ayah yang memiliki dua anak. Anak yang bungsu meminta kepada ayahnya harta warisan bagiannya. Cerita ini mengejutkan bagi umat yang pertama mendengar. Di dalam kemasyarakatan kita, anak-anak sering meminta ayahnya untuk memberi dengan banyak. Bahkan dengan nada yang mengancam ‘Aku ingin Anda meninggal’. Hal ini membuat ketakutan pada ayah.
Dan ayah tentu setuju pada permintaan itu. Dan memberikan tanah milik bagian anaknya. Anak bungsu menjual harta warisannya dan pergi meninggalkan keluarganya. Dia menghabiskan uangnya, dia pun melarat; akhirnya dia memberi makan babi-babi. Tetapi jauh dalam pikirannya mengatakan pada dirinya bahwa lebih baik kembali ke rumah ayahnya.
Inilah kejutan berikutnya. Pada umumnya seseorang yang merasa malu dan berdosa tidak akan mau kembali ke rumah. Dia telah membuat marah ayahnya; dia merasa malu pada seluruh keluarga. Tetapi dia pulang ke rumah dan mujizat pun terjadi. Ayahnya yang sudah tua itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia. Tidak hanya itu; dia membuat pesta bagi seluruh desa itu. ‘Inilah anakku yang telah mati, dan hidup kembali.’
Namun anak sulung sangat marah kepada ayahnya di depan para tamu-tamunya. Tetapi sang ayah secara dewasa memberikan penjelasan bagi anak sulung. Ayahnya ingin agar anak sulungnya mengerti hal yang membahagiakan dia. Lagi-lagi ayahnya merendahkan martabatnya sendiri. “Adikmu ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali."
Kejutan terakhir di dalam cerita ini adalah akhir cerita ini begitu cepat. Seperti ketika kita menonton film, pada akhir ceritanya saat kita ingin mengetahui apa yang akan terjadi berikutnya, Yesus membiarkan ceritanya gantung mengawang di udara.
Apa yang dia dapatkan?
Dari cerita tersebut, Wright memaparkan akibat yang Yesus terima dari masyarakat dan dari golongan agama. Jadi apakah makna semuanya itu? Apakah sesungguhnya kenyataan dibalik cerita ini? Inilah cerita umum tentang kasih Allah bagi kita, anak-anak yang boros. Inilah salah satu sisi menurut Wright. Cerita ini bagaikan bangsa Israel yang pergi ke pembuangan, dan kemudian kembali lagi! Cerita ini menceritakan tentang Kerajaan Allah, tentang pembebasan bangsa Israel.
Tetapi mengapa Yesus menceritakannya dengan jalan ini, dengan karakter ini? Inti cerita ini adalah alasan berpesta. Yesus dikritisi secara luar biasa oleh wali-wali keturunan tradisi-tradisi, sebab Yesus merayakan Kerajaan Allah, bukan dengan orang benar dan golongan keagamaan, melainkan dengan orang-orang hina, orang tak beragama, dan orang pinggiran.
Kendati pun Yesus menerima kritikan tersebut, Yesus tetap menjelaskan mengapa Yesus bertindak di dalam cara yang memalukan. Yesus membawa Kerajaan Allah; Dia membawa pembebasan yang nyata, kembali dari pembuangan, sehingga tentulah ada sebuah pesta. Lebih dalam Yesus menjawab: inilah anakKu, inilah saudaramu, telah mati dan hidup kembali – Israel hidup kembali. Gambaran lain Wright hubungkan dengan penglihatan nabi Yehezkiel tentang tulang-tulang kering di sebuah lembah, semuanya menjadi hidup (Yehz. 37:1-6, 11-14). Hal ini merupakan sebuah kebangkitan bagi bangsa Israel.
Sisi yang kedua menurut Wright adalah tentang anak sulung dalam cerita ini. Anak sulung ini adalah orang yang tidak ingin mendengar versi Yesus tentang cerita Kerajaan Allah. Mereka ingin menjaga versi Kerajaan Allah mereka secara utuh. Mereka ingin memegang erat-erat martabat kepribadian atau bangsa atau budaya mereka daripada mengejar nabi aneh yang merayakan Kerajaan Allah dengan umat yang salah. Maka Yesus menyebut mereka dengan umat yang tidak menginginkan Israel kembali dari pembuangan. Di dalam kitab Yahudi mereka adalah orang-orang Samaria.
Yesus menceritakan seluruh kebaikan orang-orang dalam cerita-cerita ini. Setiap orang sama seperti sebuah dinamit yang siap meledak setiap saat. Dia pergi ke sana ke mari merencanakan bahan peledak di dalam hati dan pikiran umat. Kerajaan Allah, pemerintahan Allah yang baru sedang berlangsung untuk merubah segala sesuatunya; seluruh dunia akan berbalik. Dengan demikian siapakah yang mempersiapkan hidup dengan cerita ini? Inilah pertanyaan yang bergema dari cerita ini sejak saat itu hingga hari ini.
Dari cerita ini dapat kita lihat bahwa tak ada mediasi antara anak yang hilang dengan ayahnya sendiri. Pada hal dalam tradisi Israel dosa umat manusia selalu dipulihkan melalui institusi Bait Allah yang dipimpin oleh imam. Yesus mengajarkan sebuah kerahiman Allah yang bukan berasal dari institusi Bait Allah.
KHOTBAH DI BUKIT
Dalam bagian ini, Wright menguraikan pengajaran Yesus di bukit yang dikenal dengan “Khotbah di Bukit” (Mat.4:23,25; 5:1-16, 38-45). Pada zaman Yesus, pegunungan-pegunungan di atas Laut Galilea digunakan untuk revolusi-revolusi kudus. Orang Romawi membawa kerajaan Allah ke dalamnya – dengan paksaan jika perlu. Mengapa Yesus pergi ke sana untuk mengajar pengikutnya? Dan apakah isi khotbah yang membuat mereka tersungkur di hadapan Yesus? Orang-orang berpikir bahwa Khotbah di Bukit merupakan pusat Kekristenan. Tetapi apakah yang diberitakannya?
Bukit merupakan sebuah simbol bangkitnya seorang pemimpin baru. Para nabi kalau naik gunung, hal itu menggambarkan akan ada seorang pemipin baru. Misalnya Musa yang naik gunung Sinai. Musa menjadi pemimpin bagi bangsa Israel. Jika Yesus disebut naik ke bukit, hal itu berarti Yesus akan menjadi pemimpin baru bagi bangsa Israel. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bukit merupakan simbol bagi pengangkatan Yesus sebagai pemimpin baru bagi bangsa Israel.
Menurut sebagian orang, bahwa Khotbah di Bukit secara sederhana terdiri dari kata-kata Yesus kepada umat untuk berbuat baik kepada orang lain. Gambaran umum yang terkenal dari khotbah ini adalah kelemah-lembutan, kehidupan keagamaan yang romantis, terhindar dari dunia. Pendapat lain mengatakan, dengan Khotbah di Bukit ini, kita akan berpikir bahwa Yesus hanya berbicara tentang bagaimana manusia ke sorga setelah mati.
Sebuah manifesto bagi perubahan
Apakah yang diberitakan khobah di bukit itu? Menurut Wright, ketika Yesus pertama memberikan apa yang sekarang kita sebut Khotbah di Bukit, Dia sedang menaiki sesuatu yang akan menunjukkan pada kita lebih seperti sebuah kenyataan politik. Dia bagaikan seseorang yang sedang menghidupkan dukungan bagi sebuah gerakan baru, seorang penyebab besar. Dia disebut para pendengarNya, secara sederhana, sebuah jalan menjadi Israel, sebuah jalan menjadi umat Allah di dunia ini.
Untuk dapat menggumuli apa artinya ini, menurut Wright, kita butuh kembali ke dalam tradisi tertua Israel. Mengapa ada ‘umat pilihan’ di dalam tempat pertama? Menurut Alkitab, Allah Pencipta memilih Abraham dan keluarganya, nenek moyang Israel dan pemecah persoalan seluruh dunia. Israel disebut menjadi umat pilihan dengan tujuan: umat yang kepadanya Allah akan menjadikan dunia baik. Israel disebut menjadi terang dunia dan garam dunia.
Orang Israel pada waktu itu bertanya, apakah orang miskin bisa menjadi terang dunia? Akan datangkah Kerajaan Allah itu? Yesus menjawab dengan tegas tidak. Yesus memanggil dan menegur para orang sezamanNya menjadi umat Allah di dalam jalan yang radikal. Yesus dengan bijaksana mengumumkan berkat Allah – tetapi dia memberkati orang-orang yang berdosa: orang miskin, orang yang berdukacita, lembut, lapar, miskin hati, yang dianiaya, pembawa damai. Ketika revolusi yang nyata tiba, dia nampaknya berkata orang-orang revolusioner tidak akan diterima. (bnd. Luk.1:53)
Membuat dunia menjadi jungkir balik
Yesus telah memutar segala sesuatunya terbalik. Dia menuntut bahwa kepatuhan yang nampak dari luar tidaklah cukup. Allah menginginkan sebuah perubahan segalanya – termasuk hati umat. Jika seseorang menampar pipi kananmu, mereka akan memukul dengan belakang tangan – sebagai hal yang memalukan. Tetapi Yesus memutar balikkan dengan berkata: “Jika mereka memukul engkau kembali berilah juga kepadanya pipi kirimu” (Mat.5:39). Artinya, jika mereka menampar pipi kiri itu berarti kita mereka anggap setara dengan mereka. Yesus mau mengajarkan bahwa yang hina bisa menjadi orang yang setara dan dihormati.
Seluruh khotbah berbicara tentang resiko besar iman: yang merubah dunia, hingga sekarang. Jika kita mau percaya bahwa Allah adalah Allah, maka kita membiarkan kebangsaan dan prioritas pribadi kita berubah. Maka Yesus menekankan khotbahNya dengan sebuah peringatan. Jangan sangka bahwa hal ini sebuah pilihan di antara yang lain. Hanya inilah jalan pergi, jalan Israel yang benar yang menuju umat Allah (bnd. Mat.7:15-20).
Revolusioner yang nyata
Beberapa para pendengarnya mengikutiNya; dan dari sana mereka disebut dua belas orang dan membawa mereka ke bukit kembali untuk mengutus mereka untuk tugas yang mulia (Mrk.3:13-19). Dengan demikian, ketika Yesus memilih kedua belas muridNya dan memberikan tugas mulia di sana, hal itu harus dilihat bahwa begitu banyak pendiri gerakan revolusioner.
Pesan ini datang dari bukit Galilea kepada pintu kota kudus, Yerusalem itu sendiri, 70 mil ke selatan. Hal yang utama di Yerusalem adalah bait Allah, sering menunjukkan sebagai ‘rumah’ yang sederhana, yang dibangun di atas batu Bukit Sion dan orang Yahudi melihatnya sebagai simbol keamanan mereka.
Pada akhir Khotbah di Bukit, Yesus menunjuk tantangan hikmat pada seluruh orang yang berpihak kepada bait Allah. Seseorang berkata, siapa yang mendengar suaraku dan mereka lakukan – mereka akan menjadi orang yang sungguh-sungguh bijaksana, orang yang membangun rumahnya di atas batu. Dengan kata lain, adalah gerakan bait Allah yang benar. Allah bekerja di dalam Yesus, hal yang nyata pada bait Allah yang menjadi hal yang berguna bagi semua orang. Inilah dinamit keagamaan dan politik.
Pemimpin Israel pada zaman Yesus menolak teguranNya, tidak mendengar peringatanNya dan terus mengejar mimpi revolusi militer mereka, menjaga terang bagi mereka sendiri dan memastikan bahwa hanya merekalah terang dunia. Banyak orang Yahudi tahbisan mengikuti pemimpin mereka kepada kehancuran. Dan rumah Allah dihancurkan oleh Romawi hanya empat puluh tahun setelah Yesus mengingatkan mereka tentang hal itu.
TANGGAPAN ATAS LAPORAN
Tom Wright dalam pembukaannya mengatakan bahwa bukunya ini dibagi dalam dua bagian yaitu: Pertama, sebagian isi buku ini bersumber dari versi yang ditunjukkan dalam TV. Dalam bagian ini kita menemukan kisah-kisah tentang Yesus dulu dan sekarang. Kedua, sebagian lagi ditambahkan supaya orang yang terkecoh oleh bagian pertama dapat melihat bagaimana mereka mungkin mengikuti isu-isu yang berkembang dan mulai menemukan banyak dari dalamnya. Dalam bagian ini Wright menawarkan pemikiran yang lebih luas dengan membaca Injil dengan kedua mata yang terbuka.
Dua bagian yang sedang kita bicarakan tadi merupakan cerita dan pengajaran yang didengar dan diceritakan dulu dan hendak dimengerti juga oleh pendengarnya pada zaman sekarang. Wright mencoba mengerti seluruh cerita perumpamaan dan pengajaran Yesus dari pemahaman masyarakat pada zaman Yesus dan memahaminya pada saat sekarang ini. Bahkan Wright berpendapat bahwa dengan menceritakan cerita perumpamaan dan pengajaran Yesus dengan cara yang berbeda akan mengubah dunia saat ini. Dalam bagian dua bukunya ini nanti (Membaca Injil dengan kedua mata terbuka), Wright akan lebih menjelaskan lebih dalam bahwa cerita-cerita bukanlah hanya bahan cerita anak-anak, pengikat yang indah di sekitar sisi pemikiran serius yang abstrak. Melainkan cerita-cerita itu merupakan dinamit dan eksplosif yang melakukan segala sesuatu; yang merubah segala sesuatu dan membuat segala sesuatu.
Wright menceritakan juga bahwa Yesus membawa berita yang revolusioner di mana seseorang bisa menanggalkan segala harkat dan martabatnya demi orang yang berdosa yang kembali dari jalannya yang salah. Kemudian berita revolusioner yang lain adalah adanya sebuah kejutan di dalam gerakan Yesus. Jelaslah bahwa bagi Wright cerita Anak Hilang itu membawa dua sisi yakni sisi pertama, cerita ini mengisyarakan akan kebangkitan bangsa Israel dari pembuangan. Dan sisi yang kedua, cerita ini mengisyaratkan tentang orang Israel yang tidak mengakui kedatangan Mesias itu.
Pendekatan Wright ini lebih bersifat pastoral yang mencoba melihat Yesus dari sisi perumpamaan dan pengajaranNya dan diaplikasikan ke dalam dunia saat ini. Atau dapat dikatakan bahwa Wright mempolitisasi cerita Anak Hilang ini menjadi cerita kebangkitan bangsa Israel. Agar cerita ini menjadi cerita masa kini yang mampu merubah dunia maka Wright menghubungkan cerita ini dengan kebangkitan bangsa Israel. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendekatan ini kurang mengacu kepada pendekatan sejarah yang objektif. Pada hal penemuan dokumen gulungan Laut Mati (1947) telah membuka peluang untuk menyelidiki Yesus sejarah itu. Penemuan ini mentah-mentah ditolak Wright. Sementara Bock, telah mencoba melakukan pendekatan penelitian sejarah tentang Yesus sejarah itu baik melalui naskah gulungan Laut Mati sejak pertengahan abad kedua puluh satu. Pendekatan yang agak berbeda sedikit dipaparkan oleh Nolan yang mengatakan bahwa tidak ada gunanya membuat Yesus relevan. Yang dapat kita lakukan ialah melihatNya dari perspektif zaman kita dengan budi yang terbuka.
Pendekatan yang hampir sama dengan Wright dilakukan oleh Boehlke . Boehlke mengatakan bahwa sejak abad pertama gereja sudah berusaha dengan giat untuk merumuskan siapa sebenarnya Yesus. Mau tidak mau munculnya Yesus dalam panggung sejarah menantang orang-orang untuk meninjau kembali pandangan mereka tentang “Allah” dan “Manusia”. Dan kenyataannya ialah bahwa kedua hal ini nampaknya baru dapat dipahami dengan lebih mendalam, jika orang-orang bersedia melibatbkan diri secara sungguh-sungguh dalam suatu petualangan yang mulia, seraya membuka hati dan pikiran kepada bimbingan Tuhan. Penelitian yang lebih dalam juga dilakukan Boehlke dengan melihat peristiwa-peristiwa yang menunjuk kepada identitas ilahi Yesus yakni peristiwa yang berkaitan dengan hukum Taurat, tatkala Ia mengklaim wewenang ilahi seperti yang dinyatakanNya dalam Khotbah di Bukit. Di situ enam kali diulangiNya formula yang sama, yang begini bunyinya, “Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata kepadamu…” (Mat.5:21-22a).
Pada bagian kedua bahasan ini Wright memaparkan Khotbah di Bukit sebagai sebuah gerakan revolusioner di mana Yesus yang sedang menghidupkan dukungan bagi sebuah gerakan baru. Hal bertolak belakang dengan pendapat Abineno . Abineno mengatakan bahwa semua yang Yesus – seperti yang kita baca dalam kitab-kitab Injil – tidak mengorganisir suatu gerakan yang besar. Pengikut-pengikutNya tidak banya: - dengan beberapa pengecualian – hanya terbatas pada orang-orang Galilea, orang-orang kecil. Bahkan lebih dalam Abineno mengatakan bahwa pemberitaan Yesus tidak banyak membawa hasil: tidak mengubah situasi politik dan religius yang ada pada waktu itu. PengaruhNya hanya terbatas pada daerah-daerah tertentu saja. Berbeda dengan Wright, Eckardt mengatakan bahwa cara yang paling memadai untuk mengungkapkan gagasan-gagasan pokok dari amanat dan misi Yesus sejarah adalah dengan memandangNya sebagai seorang pejuang Israel, bangsaNya.
Perjuangan Yesus mengenai Kerajaan Allah, Eckardt memberikan dua hipotesa, yakni: Pertama, Yesus berhasil dengan cakupan percaya diri, untuk memajukan kedatangan Kerajaan Allah dengan kepercayaanNya bahwa diriNya sendiri dipanggil atau ditantang untuk memikul peran sebagai Mesias. Kedua, seluruh dasar pengharapan Yesus terbukti pada akhirnya sebagai suatu khayalan saja. Kegagalan ini adalah kegagalanNya, namun bagiNya, ini juga adalah kegagalan Allah. Menurut Ioanes Rakhmat dalam beberapa catatan penerjemahan buku Eckardt, seandaninya Kerajaan Allah sudah datang sepenuh-penuhnya pada masa kehidupan dan pelayanan Yesus (tahun 30-an) sesuai dengan keyakinan dan pengharapan Yesus dari Nazaret, sehingga karenanya Ia bukanlah seorang Mesias yang gagal, maka akan muncul pertanyaan mendasar dan mengganggu, apakah itu yang pasti dikehendaki Allah? Lebih jauh dikatakan bahwa dapat dipastikan Allah tidak berpikir bahwa dunia yang didiami manusia harus diganti sama sekali dengan yang baru, yaitu Kerajaan adikodrati dari Allah. Justru karena Kerajaan Allah tidak datang dengan sepenuh-penuhnya pada tahun 30-an, maka sejarah masih berlangusung. Di dalam sejarah yang masih berlangsung inilah, usaha-usaha untuk memahami dan mengalami kehadiran tindakan Allah yang menyelamatkan di dalam Yesus Kristus dapat terus dilakukan.
KEPUSTAKAAN
Abineno, J.L.Ch. Yesus Dari Nazaret, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006)
Bock, Darrel L. Studying the Historical Jesus: A Guide to Sources and Methods (Michigan: Baker Academic, Grand Rapids, 2002)
Boehlke, Robert R. Siapakah Yesus Sebenarnya? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001)
Eckardt, A.Roy. Menggali Ulang Yesus Sejarah: Kristologi Masakini (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996)
Nolan, Albert. Yesus Bukan Orang Kristen? Rekonstruksi singkat, akurat dan seimbang tentang hidup Yesus historis (Yogyakarta: Kanisius, 2005)
Wright, Tom. The Original Jesus: The Life and Vision of a Revolutionary (Oxford: Lion Publishing, 1996)
REVIEW BUKU:
Carl E.Braaten.
Justification: The Article by Which the Church Stands or Falls. Minneapolis: Fortress Press, 1990; vii + 191 hlm.
Buku ini adalah buku lama yang sudah tersedia di Perpustakaan STT Jakarta. Pengarangnya Carl E.Braaten, seorang dosen teologi di Lutheran School of Theology di Chicago, dan ia adalah seorang pendiri editor dari Dialog: A Journal of Theology. Disamping buku ini, Braaten juga sudah menulis buku-buku The Future of God, Eschatology and Ethics, History and Hermeneutics, dan The Apostolic Imperative. Secara pribadi saya sangat senang membaca buku ini karena di dalamnya dimuat artikel-artikel yang sangat menentukan di dalam berdiri atau jatuhnya gereja. Dalam buku ini diuraikan pengajaran pembenaran dalam berbagai sudut pandang para ahli baik dari Reformasi dan Katolik. Dan pada bagian akhir buku ini akan menguraikan bagaimana pembahasan dan praktik langsung dari ajaran pembenaran itu di dalam gerakan ekumenisme Protestan dan Katolik.
Sangat menarik dibaca sebab kita akan melihat perjalanan pemikiran teologi Braaten sebagai seorang teolog yang dipengaruhi pemikiran Martin Kahler tentang articulus stantis et cadentis ecclesiae, ajaran pembenaran oleh iman adalah dasar berdiri atau jatuhnya gereja (hlm.vii). Ulasa Braaten tentang ajaran pembenaran ini sudah digumulinya sejak tahun 1960-an dan telah dipublikasikan dalam buku The New Community in Christ (1963) dengan judul “The Coorelation of Justification and Faith in Evangelical Dogmatics” (hlm.vii). Braaten sangat tertarik membahas pemikiranPaul Tillich tentang “Prinsip Protestan dan Substansi Katolik”, dan buku Jeroslav Pelikan yang berjudul The Riddle of Roman Catholicism dan ulasan George Lindbeck yang berjudul “The Ecclesiology of the Roman Catholic Church” (hlm.3).
Buku ini hanya terdiri dari dua bagian besar. Bagian I (terdiri atas empat bab) mempunyai judul “Dasar-dasar Teologi” (Theological Foundations). Ada beberapa hal penting yang dibahas dalam bagian I ini. Setelah berbicara tentang masalah hubungan di antara pembenaran dan iman di dalam tradisi ajaran Lutheran (Bab 2), di mana antara lain disebut soal pembenaran dan iman di dalam Luther dan Reformasi (hlm.22), tempat pembenaran di dalam masa Orthodoksi (hlm.28), dan perubahan dari pembenaran kepada pemilihan (hlm.37), maka disusul Bab 3 yang berbicara tentang pengaruh kontemporer pembenaran di dalam teologi Paul Tillich. Ada enam hal yang disebut di dalam bab ini, yakni: dasar-dasar kuat pembenaran (hlm.43), pengaruh eksistensial pembenaran (hlm.45), tempat soteriologi pembenaran (hlm.48), pembenaran dan transforamasi sosial (hlm.51), pembenaran dan metode korelasi (hlm.56), dan pembenaran dalam Teologi Sistematik Paul Tillich (hlm.60).
Kemudian bagian I ini diisi dengan uraian konflik teologi Karl Barth dan teologi Lutheran mengenai pembenaran dan iman (Bab 4). Bab 4 ini mejelaskan pemahaman Barth tentang pembenaran (hlm.66), perubahan kerangka keselamatan kepada pewahyuan (hlm.69). Barth mengklaim bahwa Martin Kahler adalah satu-satunya teolog Lutheran yang pernah berani merencanakan dan mengatur dogmatika Evangelikal bahwa ajaran pembenaran sebagai pusat dari kekristenan (hlm.74). Bab 4 ini juga membahas tentang fungsi kritik pada pembenaran (hlm.76). Bagi Barth, soteriologi adalah bagian kedua dari pewahyuan. Bahkan Barth mengatakah bahwa bukan pembenaran sebagai articulus stantis et cadentis ecclesiae, tetapi pengakuan akan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat (hlm.77).
Bagian I ini ditutup dengan sebuah pembahasan mengenai Injil anugerah yang membenarkan dan iman yang membenarkan (Bab 5). Bagi Luther Injil Allah di dalam Yesus Kristus adalah hati dari Alkitab (hlm.81). Ada tiga hal yang diuraikan dalam bab ini, yakni: bentuk kontemporer dari permasalahan pembenaran (hlm.82), konsep alkitabiah anugerah (hlm.86), dan konsekuensi dari iman yang membenarkan (hlm.93).
Ringkasnya, dalam bagian I ini, Braaten mencoba memberikan penilaian atas pandangan Luther tentang pembenaran yang kemudian ditafsirkannya pada pemikiran Orthodoksi, Calvin, Ritschl dan Harnack, Paul Tillich dan Karl Barth.
Bagian II (terdiri atas lima bab) mempunyai judul “Aplikasi-aplikasi Praktis” (Practical Aplication). Bagian II ini dimulai dengan sebuah laporan tentang dialog-dialog yang dibangun gerakan ekumenis Lutheran tentang pembenaran oleh iman (Bab 6). Braaten menguraikan dialog-dialog yang dibangun oleh Gereja Lutheran di Amerika sejak 1965 (hlm.103). Ada enam dialog yang dilaporkan Braaten dalam bab ini, yakni: pertama, dialog Lutheran dan Reformed (hlm.107); kedua, dialog Lutheran dan Gabungan Methodist (hlm.111); ketiga, dialog Lutheran dan Evangelikal Konservatif (hlm.112); keempat, dialog Lutheran dan Episkopal (hlm.113); kelima, percakapan Lutheran dan Baptist (hlm.117); dan keenam, dialog Lutheran dan Katolik VII (hlm.118).
Bagian II ini dilanjutkan dengan bahasan pengertian evangelisasi di dalam konteks anugerah Allah yang universal (Bab 7). Bab 7 ini menguraikan: dasar-dasar alkitabiah tentang evangelisasi (hlm.127), tugas abadi evangelistik (hlm.132), harapan akhir dari universalisme alkitabiah (hlm.135), dan kemudian mengapa kita harus menjadi evangelis? (hlm.139). Bab 8 membahas pembedaan yang tepat di antara Hukum Taurat dan Injil di dalam berkhotbah. Pendirian Luther atas pembedaan Hukum Taurat dan Injil didasarkan pada teologi Paulus. Hukum Taurat dan Injil saling berhubungan erat yang tidak bisa dipisahkan walaupun di antara keduanya ada hal yang membingungkan (hlm.143). Bagi Luther, mengkhotbahkan hukum Taurat semata tanpa Kritus akan menghasilkan manusia pongah, yang percaya bahwa mereka dapat memenuhi hukum Taurat dengan perbuatan-perbuatan lahiriah, atau menghalau orang ke dalam keputusasaan yang luar biasa. Pemberitaan hukum Taurat tidak cukup untuk pertobatan yang murni dan bermanfaat; Injil harus ditambahkan kepadanya. Jadi ajaran yang dua ini selalu berdampingan, dan keduanya harus dipergunakan bersama-sama namun dalam urutan yang pantas dan perbedaan yang tepat.
Menurut Luther, Firman Allah dinyatakan kepada manusia dalam dua bentuk yaitu: Taurat dan Injil, dan Taurat itu sendiri dalam dua bentuk atau ‘penggunaan’. Firman adalah satu sebagaimana Allah adalah satu, artinya ada kesatuan ilahi antara Taurat dan Injil. Hanya satu Taurat yang efektif di dalam semua jaman dan dikenal seluruh manusia sebab taurat itu ditulis di dalam setiap hati orang. Ketika Luther menggunakan pertama taurat itu di dalam ‘masyarakat’ atau di dalam ‘politik’, maka harus dibedakan identifikasinya dengan ‘Hukum Alam’ skolastik sebagai kategori metafisika. Pembedaan Luther di antara ketaatan ‘moral’ dan ‘spiritual’ pada Taurat menjadi tajam dan relevan di dalam – in loco justificationis – ketika keselamatan kita dipancangkan. Luther menggunakan ayat dari Yesaya 28:21, “Sebab TUHAN akan bangkit seperti di gunung Perasim, Ia akan mengamuk seperti di lembah dekat Gibeon, untuk melakukan perbuatan-Nya -- ganjil perbuatan-Nya itu; dan untuk mengerjakan pekerjaan-Nya -- ajaib pekerjaan-Nya itu!”. Menurut Luther, Taurat itu digunakan dalam dua bagian yaitu: jika digunakan dalam kedagingan, maka ia di bawah Taurat, tetapi jika digunakan sebagai roh, maka ia di bawah Injil. Taurat dan Injil bukan untuk dua kelas manusia, melainkan bagi seluruh orang Kristen di sepanjang masa.
Bab 9 membicarakan sebuah kritik teologi tentang kunjungan pastoral dan konseling terhadap warga jemaat. Bab ini sebenarnya menguraikan pemeliharaan jiwa-jiwa (seelsorge) yang menjadi bagian dari teologi Luther (hlm.155). Kemudian seelsorge ini berkembang menjadi sebuah gerakan Clinical Pastoral Education (C.P.E) yang dipelopori oleh Larry E.Holst (hlm.155). Dalam Bab 9 ini akan kita lihat uraian tentang C.P.E.: sebiah legalitas liberalisme Protestan Amerika (hlm.156), kecenderungan utama teologi (hlm.159), pembedaan permasalahan dan perhatian Lutheran (hlm.162), dan kemungkinan kembali ke asal (hlm.166).
Bagian II ini ditutup dengan ulasan pengujian kembali atas ajaran Dua Kerajaan (Bab 10). Menurut Braaten, ajaran Dua Kerajaan ini, sama seperti ajaran Trinitatis dan Kristologi, lahir dan dikembangkan di dalam perdebatan dan masih ada konsensus di dunia Lutheranisme atas penafsiran ini, atau bagaimana mengaplikasikan ajaran ini ke dalam situasi dan konteksnya (hlm.171).
Secara ringkas dalam bagian II ini, Braaten mencoba menguraikan dialog-dialog ekumenis tentang pembenaran dan hubungan ajaran pembenaran dengan evangelisasi, pembedaan di antara Hukum Taurat dan Injil, kunjungan rumah tangga dan keterlibatan gereja di dalam isu-isu sosial.
Sebagai catatan terakhir atas seluruh tinjauan singkat ini, saya mau memberikan beberapa poin sebagai berikut: Pertama, salah satu keunggulan buku ini adalah upaya Braaten menjelaskan ajaran pembenaran itu sebagai dasar berdiri dan jatuhnya gereja. Kedua, dengan mudah para pembaca akan mengerti perkembangan alur pemikiran teologi dan permasalahan yang timbul di seputar ajaran pembenaran ini. Ketiga, kita juga akan dengan mudah melihat proses yang panjang yang dibangun untuk mengaplikasikan ajaran pembenaran ini kepada berbagai gereja-gereja agar tercapai sebuah pemahaman bersama tentang ajaran pembenaran itu sendiri.
Khotbah Minggu, 14 Juni 2009
Minggu 1 Dung Trinitatis
Minggu, 14 Juni 2009
Jamita: Harurar 7 : 14 - 25
Sibasaon: Job 38 : 25 - 33
“ TULAH PERTAMA: AIR MENJADI DARAH”
1. Tulah Mesir (bahasa Ibrani: מכות מצרים atau Makot Mitzrayim), atau Sepuluh Tulah (bahasa Ibrani: עשר המכותatau Eser Ha-Makot) adalah sepuluh bencana yang didatangkan oleh Tuhan atas bangsa Mesir sebagaimana dikisahkan dalam Kitab Keluaran, pasal 7-12, untuk meyakinkan Firaun agar membebaskan bangsa Israel dari perbudakan dan pergi ke tanah Kanaan.
2. Israel (Yakub) sebenarnya dahulu sudah hidup di tanah Kanaan. Namun oleh karena bencana kelaparan yang terjadi selama tujuh tahun, seperti yang sudah diramalkan oleh Yusuf dari mimpi Firaun, Israel dan anak-anaknya pindah ke Mesir. Di sana mereka berkembang menjadi suatu bangsa yang besar jumlahnya, sehingga membuat Firaun yang baru yang tidak mengenal Yusuf, takut kalau-kalau bangsa Israel nantinya akan membelot dan berbalik menyerang Mesir. Sehingga berbagai cara diterapkan oleh Firaun agar bangsa Israel tidak semakin banyak dan tidak memberontak, salah satunya dengan kerja rodi.
3. Kerja rodi untuk membangun Mesir ini dibuat oleh Firaun sedemikian beratnya sehingga membuat seluruh bangsa Israel mengeluh. Dikisahkan dalam Alkitab, keluhan bangsa Israel ini terdengar sampai ke telinga Tuhan siang dan malam, sehingga Tuhan akhirnya mengutus seseorang bernama Musa untuk membebaskan bangsa Israel.
4. Pada awalnya, Musa datang kepada Firaun dengan baik-baik untuk meminta Firaun membiarkan bangsa Israel pergi, namun Firaun mengeraskan hatinya. Bahkan paska kedatangan Musa yang kali pertama itu membuat Firaun memperberat perbudakan dan kerja paksa yang diberlakukan kepada seluruh bangsa Israel itu. Hal itu membuat Tuhan bertindak dengan mulai menurunkan tulah ke atas tanah negeri Mesir lewat Musa. Kendatipun seluruh negeri Mesir mengalami 10 bencana tersebut, bangsa Israel yang diam di tanah Gosyen di dalam wilayah Mesir tidak mengalami sedikitpun bencana yang dialami oleh bangsa Mesir itu.
5. Peringatan kepada Firaun. Sebelum kesepuluh tulah dijatuhkan, Tuhan telah memberi peringatan kepada Firaun dengan menyuruh Musa datang ke hadapan Firaun. Saat itu, Firaun menyuruh Musa dan Harun, kakaknya, untuk melakukan mujizat di hadapannya. Harun melemparkan tongkatnya, seperti yang diperintahkan Tuhan, dan tongkat itu menjadi ular. Melihat hal tersebut, para ahli-ahli sihir Firaun tidak mau dikalahkan. Mereka juga membuat mujizat yang sama dengan membuat tongkat-tongkat mereka menjadi ular. Namun tongkat Harun menelan tongkat-tongkat para ahli sihir itu.
6. Dengan demikian, Firaun mengeraskan hatinya untuk tidak membebaskan bangsa Israel dari tanah Mesir. Maka Tuhan menyuruh Musa bersiap-siap dengan tulah yang pertama.
7. Sepuluh tulah dijatuhkan. Menurut Alkitab, Tuhan menyuruh Musa untuk meminta Firaun mengeluarkan bangsa Israel keluar dari tanah Mesir. Namun Tuhan juga menyatakan bahwa Tuhan sendiri yang akan membuat hati Firaun mengeras, dengan maksud untuk memperbanyak tanda-tanda mujizat (tulah) itu kepada bangsa Mesir, sebagai hukuman karena telah memperbudak bangsa Israel sedemikian lama, sekaligus juga agar bangsa Israel dapat menceritakan kepada keturunan-keturunannya yang kemudian, bagaimana Tuhan telah melakukan mujizat-mujizat di hadapan mata mereka, agar mereka selalu ingat bahwa Tuhanlah Allah. Kesepuluh tulah tersebut, sesuai urutannya di dalam Alkitab, adalah: (1) air berubah menjadi darah (Dam) hingga menewaskan ikan-ikan dan semua kehidupam air lainnya (Keluaran 7:14-25); (2) katak [Tsfardeia] (Keluaran 7:26-8:11); (3) lalat [Kinim] (Keluaran 8:12-15); (4) nyamuk [Arov] (Keluaran 8:16-28); (5) penyakit pada ternak [Dever] (Keluaran 9:1-7); (6) barah yang tidak dapat disembuhkan [Shkhin] (Keluaran 9:8-12); (7) hujan es bercampur api [Barad] (Keluaran 9:13-35); (8) belalang [Arbeh] (Keluaran 10:1-20); (9) kegelapan [Choshech] (Keluaran 10:21-29); dan (10) kematian anak-anak sulung dari semua keluarga Mesir [Makat Bechorot] (Keluaran 11:1-12:36).
8. Tulah pertama: air menjadi darah. Tulah yang pertama adalah air sungai Nil menjadi darah. Musa melakukannya dengan memukulkan tongkat yang ada di tangannya ke atas air sungai Nil. Maka seluruh sungai Nil menjadi darah dan ikan-ikan di dalamnya mati. Seluruh tanah negeri Mesir menjadi penuh dengan darah oleh karena rembesan sungai Nil tersebut.
9. Tulah ini dimaksudkan untuk memperingatkan orang Mesir bahwa bahkan sumber kehidupan mereka yang terutama sekalipun dapat dibuat Tuhan menjadi musuh mereka. Tanpa air dari sungai Nil, seluruh pekerjaan di Mesir terhenti. Seluruh rakyat Mesir lebih mementingkan berusaha mencari air bersih, daripada meneruskan pekerjaan memperbudak orang Israel. Ahli-ahli sihir Firaun juga dapat membuat hal yang sama. Tulah ini berhenti setelah tujuh hari berlalu. Namun Firaun bersikeras tidak mau melepaskan bangsa Israel dari tanah Mesir.
10. Apa yang mau kita renungkan dari perikop ini? Mengapa para ahli-ahli sihir Mesir mempertunjukkan kuasa untuk membuat mijizat-mujizat seperti yang dilakukan Musan dan Harun? Alkitab menunjukkan bahwa Iblis pun mempunyai kuasa untuk mengadakan mujizat-mujizat palsu (2 Tes. 2:9) melalui para kaki-tangannya yang jahat untuk maksudnya yang jelas yaitu menyesatkan manusia. Kristus memperingatkan bahwa “mesias-mesias palsu“ dan nabi-nabi palsu akan muncul dan mereka akan mengadakan tanda-tanda yang dahsyat dan mujizat-mujizat sehingga sekiranya mungkin, mereka menyesatkan orang-orang pilihan (Mat. 24:24). Dari Kel. 7 dan 8 kita mengetahui bahwa iblis mempertunjukkan kuasa ini dan menggunakan tipu daya ini bahkan pada zaman Musa. Iblis akan terus melakukan itu bahkan pada akhir-akhir ini yaitu pada masa kesengsaraan besar (Why. 13:13), ketika kaki tangannya, nabi palsu akan mengadakan tanda-tanda yang dahsyat, bahkan ia menurunkan api dari langit ke bumi di depan mata semua orang.
11. Jadi mujizat-mujizat palsu merupakan keahlian si Iblis. Namun, perlu diperhatikan secara cermat bahwa mujizat-mujizat yang kekuatannya berasal dari Iblis sebagian besar didasarkan pada tipu muslihat serta khayalan dan umumnya melibatkan semacam penipuan yang cerdik. Karena itu jangan heran zaman sekarang makin banyak orang seperti Firaun yang terus mengeraskan hatinya untuk bertobat dan mau menyembah Allah Ishak, Abraham dan Yakub. Manusia sekarang sudah merasa matang memuja “allah-allah“ dunia dan “sihir-sihir dunia“ yang seolah-olah menyelamatkan tetapi sebenarnya menyesatkan. Banyak ajaran dan dogma gereja yang seolah-olah lebih rohani tetapi tenyata ajaran tersebut telah jauh lari dari kebenaran firman Tuhan. Karenanya sebagai umat pilihan Tuhan, jangan keraskan hatimu untuk memberi pembebasan bagi orang yang tertindas, bagi orang yang ingin menyembah Tuhan Yesus. Seharusnya kita harus mendukung pelayanan kerajaan Tuhan di dunia ini. Jangan menjadi penghambat akan pengembangan Kerajaan Tuhan di dunia ini. Selagi bisa dipermudah dalam melayani Tuhan mengapa dipersulit orang datang memuji Tuhan. Jangan gereja menjadi penghambat umat percaya masuk ke dalam surga. Seharusnya gereja harus mempermudah orang masuk ke surga.
Jakarta, Awal April 2009
Ramli SN Harahap Email: ramlyharahap@yahoo.com; www.ramlyharahap.blogspot.com
Bacaan Alkitab Minggu 10 April 2009
Merasa ditinggalkan teman atau sahabat adalah keadaan yang sangat menyakitkan. Teman dimaksud bisa ‘sahabat-sahabat, teman sekerja, teman satu kumpulan, atau pacar bagi para remaja’. Orang yang merasa ditinggalkan, dalam ungkapan Batak disebut ‘songon tandiang na hapuloan’ (seperti pohon pakis yang dibiarkan tumbuh hanya satu batang). Orang seperti itu biasanya diliputi rasa cemas, takut, ragu, bimbang dan kesepian, karena bila terjadi suatu masalah tidak ada yang datang menolong atau menyapa.
Lebih sakit dari perasaan seperti yang disebut di atas perasaan pemazmur yaitu Daud, sebab dia merasa ditinggalkan Tuhan. Tidak diketahui secara pasti kapan Daud merasakan perasaan seperti ini.
Mazmur (dari bahasa Arab), ‘mizmor’ (dari bahasa Ibrani) adalah “nyanyian yang keluar dari hati yang terdalam sesuai dengan pengalaman”. Nyanyian tersebut bisa berisi ungkapan pengakuan iman kepada Tuhan (Mzm.23), bisa berisi doa atau permohonan (Mzm. 28), bisa berisi pengakuan dosa (Mzm.51), bisa berisi keluhan atau seruan kepada Tuhan sebagaimana nas ini. Beraneka ragam isi atau tema sebuah mazmur. Yang pasti, mazmur adalah ungkapan perasaan atau refleksi berdasarkan pengalaman. Daud mengalami penderitaan dan dalam penderitaan itu dia merasa ditinggalkan oleh Tuhan.
Daud merasa ditinggalkan oleh Tuhan, sehingga dia berseru kepada-Nya dengan mengatakan: ‘Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku? (ay.2). Selain merasa ditinggalkan oleh Tuhan, Daud merasa dirinya sangat hina. Dia mengatakan bahwa dirinya tidak lebih dari seekor ‘ulat’ dan bukan manusia. Kata ‘ulat’, dalam terjemahan bahasa Inggris disebut ‘worm’ (cacing). Baik ulat maupun cacing sama-sama dibenci oleh manusia dan selalu diusahakan untuk menjauhinya. Daud menyamakan dirinya sepert cacing di mata manusia. Dia dijauhi, dipinggirkan bahkan direncanakan untuk dibunuh.
Kapankah pengalaman seperti ini dialami oleh Daud? Jawaban untuk itu sulit dipastikan. Yang pasti, Daud pernah mengalami perasaan ‘ditinggalkan oleh Tuhan”.
Mazmur Daud ini digunakan oleh Yesus ketika Dia di kayu salib. Dikatakan dalam Matius 27:46 “Kira-kira jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: "Eli, Eli, lama sabakhtani?" Artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku”. Yesus menyerukan kata-kata itu menunjukkan bahwa Dia merasa sedih. Yesus ditinggalkan Allah. Bukankah orang berdosa yang pernah ditinggalkan oleh Allah? Apakah Yesus berdosa? Yesus tidak berdosa.
Saudara-saudara! Seruan Yesus ini adalah bukti bahwa Dia masuk ke dalam pengalaman orang berdosa. Dia mau mengalami pengalaman orang yang ditinggalkan Allah kareana dosa walaupun Dia tidak melakukan dosa. Dia mengalami bagaimana sedihnya ditinggalkan Allah. Dari salib itu dia berseru, "Eloi, Eloi, lama sabakhtani? Rasul Paulus berkata: Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah (2 Kor. 5 : 21). Dan nabi Yesaya sudah mengatakan sebelumnya bahwa : “Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kita pun dia tidak masuk hitungan. Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah. Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh (Yes. 53:3 –5).
Mazmur 22 dan Yesaya 53 nampaknya menjadi nubuatan tentang Yesus yang menderita di kayu salib. Mazmur 22:2 jelas diucapkan Yesus di Kayu Salib (Mat.27:46, Mark.15:34).
Allah Yang Kudus. Pengalaman yang penuh derita karena merasa ‘ditinggalkan’ oleh Allah, tidak membuat iman pemazmur mundur dari Allah. Pemazmur mengucapkan iman percayanya bahwa Allah adalah Yang Kudus. Kata ‘kudus’ yang menjadi keberadaan Allah menunjukkan ‘keterpisahan Allah dari seluruh ciptaan-Nya’, dimana keberadaan Allah tidak dapat dijelaskan dengan pikiran, dengan akal budi manusia. Hukum atau aksioma yang dikenal manusia tidak berlaku bagi Allah Yang Kudus. Misalnya, orang Batak berkata: na sinuan ingkon tubu, na niumpat ingkon malos (yang ditanam pasti tumbuh dan yang dicabut pasti layu), tidak berlaku bagi Allah Yang Kudus, sebab Dia dapat mengubah segala sesuatu. Dalam pengalaman rohani Ayub dia berkata: “Lihatlah, Ia hendak membunuh aku, tak ada harapan bagiku, namun aku hendak membela perilakuku di hadapan-Nya (Ayb. 13:15).
Pemazmur menjadi kuat menghadapi masalahnya karena dia mempercayakan dirinya kepada Allah Yang Kudus itu. Dalam pengalaman rohani pemazmur dia membuat perbandingan pengalamannya dengan pengalaman nenek-moyangnya bersama Allah Yang Kudus. Pemazmur berseru-seru tetapi Allah Yang Kudus tidak menjawab, padahal nenek-moyangnya berseru mereka tidak mendapat malua (baca: mereka mendapat jawaban yang positif dari Allah Yang Kudus.
Yesus disalibkan adalah bukti kemahakuasaan Allah Yang Kudus. Sungguh tidak dapat kita selami rancangan Allah bila kita kaitkan dengan Yesus yang disalibkan. Seturut dengan itu Rasul Paulus mengatakan: “O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya! Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya? Atau siapakah yang pernah memberikan sesuatu kepada-Nya, sehingga Ia harus menggantikannya? Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya (Rm.11:33-36). Demikian juga Yesaya mengungkapkan Firman Allah yang mengatakan: “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN (Yes.55:8); Allah Yang Kudus tidak membutuhkan penasehat: “Siapa yang dapat mengatur Roh TUHAN atau memberi petunjuk kepada-Nya sebagai penasihat (Yes. 4:13). Rasul Paulus mengungkapkan imannya tentang Allah yang Kudus dengan mengatakan: “namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup (1 Kor. 8:6).
Makna Kematian Yesus bagi kita. Yesus yang mati di Kayu Salib merasakan sepenuhnya bagaimana sakitnya disiksa (Batak: dipasiak-siak) sebelum Dia menghembuskan nafas-Nya yang terakhir. Rasa sakit yang luar biasa itu membuat Dia berseru kepada Allah dengan mengatakan: “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?” Penderitaan dan kematian itu memberi makna bagi kita: Pertama: Menyatakan kepada kita bahwa Dia sungguh-sungguh mengasihi kita. Dia mati untuk kita. Ajaran ini mendasari nasehat-nasehat Rasul Paulus, perhatikan ayat-ayat di bawah ini:
• Karena waktu kita masih lemah, Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka pada waktu yang ditentukan oleh Allah (Rm.5:6). Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa (Rm.5:8).
• Dan hiduplah di dalam kasih, sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah menyerahkan diri-Nya untuk kita sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Allah (Efs.5:2).
• Yang sudah mati untuk kita, supaya entah kita berjaga-jaga, entah kita tidur, kita hidup bersama-sama dengan Dia (1 Tes.5:10).
Tidak hanya Rasul Paulus, Rasul Yohanes juga mendasari ajaran ini dalam nasihatnya: “Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kita pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita” (1 Yoh.3:16)). Kedua: Dengan menyadari bahwa Allah sungguh-sungguh mengasihi kita, maka kita akan mampu menghadapi segala tantangan hidup. Seperti seorang anak yang mengetahui bahwa orangtuanya sayang kepadanya, dia akan kuat dan bersemangat menghadapi kesulitan hidup. Ketiga: Kita akan menjadi manusia pengasih dan rela berkorban untuk menolong orang lain. Yesus menjadi teladan bagi kita dalam hal mengasihi.
Bacaan Alkitab Minggu 9 April 2009
Yesus adalah Mesias yang menderita, sebagaimana sudah dinubuatkan oleh para nabi, terutama Yesaya (fs.53). Artinya, Yesus harus menjalani jalan penderitaan untuk mengerjakan keselamatan manusia. Dia dikhianati, ditangkap, diadili, dihukum, dan disalibkan. Tidak seperti para pahlawan yang menghabisi lawan-lawannya dengan kekuatan dan keperkasaan, Yesus malah tampil dengan kerendahan hati, siap dikurbankan sebagai tebusan. Namun bukan berarti Dia tanpa kuasa. Justru sebaliknya, Dia begitu berkuasa. Dengan penuh kuasa, Yesus melayani orang banyak dan memberi mereka kesejahteraan dan sukacita. Kekuasaan-Nya juga telah membuat kalap para pejabat agama dan politik, sehingga mereka membunuh-Nya. Namun begitu, kuasa-Nya tidak didasarkan pada paksaan atau kekerasan, melainkan kuasa untuk melayani, kuasa yang siap mengalah dan menderita demi kepentingan umat yang dilayani.
Secara kronologis, penderitaan Kristus itu dimulai dari Getsemani dan berakhir di Bukit Golgata, tempat Yesus disalibkan. Semua itu dijalani Yesus dengan kesediaan menderita tanpa perlawanan. Demikianlah, penderitaan Yesus itu telah mendatangkan keselamatan bagi umat yang berdosa, serta meninggalkan teladan bagi setiap orang percaya, terutama dalam dalam hal kesetiaan kepada Allah Bapa dan bagaimana sikap kita menghadapi penderitaan. Seperti dari peristiwa yang terjadi di Getsemani ini ada beberapa hal dari sikap Yesus yang perlu kita simak untuk diteladani, yaitu:
1. Berkumpul dan berdoa
Taman Getsemani di seberang sungai Kidron, telah menjadi tempat khusus bagi Yesus untuk berkumpul dan berdoa dengan para murid-Nya. Memang, Injil Yohanes tidak menyebut secara spesifik doa ini, tetapi Injil lain (Mat.26:36-46; Mrk.14:32-42; Luk.22:39-46)) menyebut bahwa Yesus berdoa disini. Yesus sering mengunjungi tempat ini, hingga Yudas sendiri sudah hafal betul tentang itu. Setelah seharian bekerja, Dia berkumpul di taman Getsemani. Artinya, bukan hanya pada saat mau menghadapi penderitaan saja Yesus ke tempat itu, tetapi berkumpul dan berdoa telah menjadi kebiasaan hidup-Nya. Melalui itu, Yesus membina persekutuan doa dengan para murid-Nya, sekaligus menjalin komunikasi yang aktip dengan Allah Bapa, terutama pada saat-saat menghadapi pergumulan yang amat berat. Dengan cara itulah, Yesus membangun komitmen-Nya yang sungguh untuk taat dan setia menjalankan kehendak Bapa-Nya, apa pun risikonya. Dari persekutuan yang seperti itu, timbullah keberanian, kekuatan, dan harapan
Dari sini ada pelajaran berharga untuk kita petik. Setiap kita mungkin adalah orang-orang yang sihuk bekerja, dan memiliki masalah atau pergumulan. Tetapi hendaknya diingat, bahwa kita tidak hanya disuruh Allah bekerja, tetapi juga istirahat. Ya, istirahat yang khusus. Yaitu, waktu untuk berkumpul dan berdoa bersama, terutama dengan keluarga, dan dengan saudara seiman. Bila perlu di tempat yang khusus, seperti di Gereja, atau retreat di alam terbuka yang indah. Inilah cara kita melepaskan kepenatan, menyegarkan rutinitas kegiatan yang jemu, membina hubungan dan solidaritas dengan sesama, serta membangun keakraban dengan Allah, sebagai sumber inspirasi, motivasi dan mendapatkan kekuatan yang baru. Singkatnya, Tuhan menghendaki kita untuk bersekutu, dan membangunnya terus-menerus. Terutama pada saat kita menghadapi masalah atau pergumulan. Sering terjadi, kita mengaku memiliki banyak masalah, tetapi jadinya menutup diri, menyendiri, dan sangat sedikit berdoa. Jadinya lemah, stress, bahkan ada yang nekad bunuh diri karena frustrasi. Maka model berkumpul dan berdoa yang dilakoni Yesus ini penting kita lakukan. Dengan berkumpul, ada sharing untuk saling menguatkan. Dan dengan doa lahirlah kekuatan menghadapi masalah, keberanian menghadapi ancaman, dan terbitnya harapan baru.
2. Berani menghadapi ancaman
Pada saat Yesus berkumpul dan berdoa bersama dengan para murid-Nya datanglah ancaman. Yudas, si murid pengkhianat, datang ke taman itu bersama sepasukan prajurit dan para penjaga Bait Allah hendak menangkap Yesus. Mereka adalah suruhan imam-imam kepala dan orang-orang Farisi. Kedatangan mereka yang lengkap dengan lentera, suluh dan senjata, menunjukkan bahwa di mata mereka Yesus adalah penjahat kelas kakap. Dari “rombangan tamu yang tak diundang” itu terlihatlah juga bahwa kelompok yang memusuhi Yesus adalah koalisi antara pejabat agama dan politik. Mengapa? Karena merekalah kelompok yang paling terancam oleh ajaran, kritik, dan pola kepemimpinan serta pelayanan yang Yesus jalankan. Dengan menyebut diri-Nya seorang pelayan, Yesus mengkritik para elit agama yang mengejar kehormatan dan kekayaan. Ia mengutuk para penguasa yang otoriter dan menindas rakyat miskin dan lemah. Karena itulah mereka berusaha untuk menyingkirkan dan membunuh Yesus, dengan tuduhan menodai agama dan memberontak kepada Kaisar.
Para pejabat agama Yahudi dan politik melakukan cara yang hati-hati untuk menyingkirkan Yesus. Sebab, Yesus tidak saja memiliki sekumpulan kecil pengikut yang setia, melainkan juga berpengaruh atas kumpulan banyak orang. Pengaruh-Nya atas orang banyak begitu besar, sehingga para penguasa mengkuatirkan pecahnya revolusi. Para penguasa itu tahu, jika mereka tak berhati-hati dalam memperlakukan Yesus, mereka akan menghadapi pemberontakan (bnd.Luk.22:2). Maka mereka menangkap-Nya dalam kegelapan dan tempat sepi, untuk menghindari huru-hara. Dan di sinilah peran Yudas diperlukan.
Bagi Yesus, kedatangan mereka adalah berarti penderitaan-Nya akan segera dimulai. Maka, dengan langkah maju ke depan Dia bertanya: “siapakah yang kamu cari”? Jawab mereka: “Yesus dari Nazaret”. Dan Yesus berkata: “Akulah Dia”. Sebutan “Akulah Dia” adalah perkataan yang seringkali diucapkan Yesus dalam Injil Yohanes ini. Itulah lafal dari nama Allah yang agung itu, yaitu nama yang dipakai-Nya untuk menyatakan diri kepada Musa di dalam semak-belukar yang menyala-nyala (Kel.3:14). Perkataan: “Akulah Dia”, adalah Firman yang menjadi daging. Nama itulah yang dipakai Yesus untuk memperkenalkan diri-Nya kepada perempuan di sumur (Yoh.4:26). Juga kepada murid-murid-Nya di tengah-tengah laut yang sedang bergelora (Yoh.6:20). Dan sekarang, nama diri itulah yang diucapkan Yesus kepada para penangkap-Nya. Dengan menyebut nama seperti itu, Yesus menunjukkan kuasa-Nya, yang membuat para penangkap-Nya mundur dan jatuh ke tanah. Di situlah tampak kuasa Yesus jauh melebihi kuasa duniawi dan kekuatan senjata sekali pun. Jadi yang terjadi sebetulnya adalah Yesus bukan dikalahkan tetapi mengalah; bukan ditangkap paksa, melainkan menyerahkan diri; sebagai bukti kerelaan-Nya menanunggung segala derita akibat dosa manusia.
Maju ke depan dan berkata “Akulah Dia”, menunjukkan keberanian Yesus menghadapi ancaman. Dia tidak takut pada kuasa kejahatan. Dia berani karena Dialah kebenaran. Dia berani karena kuasa-Nya mengatasi segala kuasa. Dia berani karena Dia mengetahui makna penderitaan-Nya. Sungguh, pemimpin yang berani menghadapi ancaman seperti itulah maka Yesus layak menjadi andalan dan benteng pertahanan orang percaya. Hanya dengan mengandalkan kuasa Yesus dan firman-Nya, pasukan duniawi yang berniat jahat dan penyebar ancaman, dapat dikalahkan oleh orang-orang percaya. Paulus menyebut bahwa firman Allah adalah ketopang keselamatan dan pedang Roh (Ef.6:17). Jadi perenungan kita sebenarnya adalah bukanlah seberapa besar tantangan dan ancaman yang kita hadapi, melainkan seberapa besar keyakinan kita pada kuasa Yesus dan firman-Nya.
3. Melindungi
Maju ke depan dan mengatakan “Akulah Dia” adalah juga cara Yesus melindungi murid-muridNya. Yesus akan ditangkap sebagai tawanan, tetapi bukan sebagai seorang tawanan yang tak berdaya, melainkan laksana seorang raja yang berkuasa memerintah: “jika Aku yang kamu cari, biarkanlah mereka ini pergi”. Di sinilah tampak Yesus menjadi Gembala Yang Baik, yang ketika musuh datang maka Dia berusaha untuk menyelamatkan domba-dombaNya. Yesus tampil di depan menghadapi musuh, untuk melindungi murid-murid-Nya. Sehingga genaplah firman yang menyebut: “Dari mereka yang Engkau serahkan kepada-Ku, tidak seorang pun kubiarkan binasa” (Yoh.17:12)..
Yesus, Sang Pemimpin yang melindungi murid-murid-Nya ini, harus menjadi sumber inspirasi dan teladan bagi setiap pemimpin di dunia ini. Banyak sekali pemimpin yang ketika masalah datang berilmu selamat, atau bos yang dilindungi anak buah, atau mengorbankan bawahan asal dirinya selamat. Yesus tidak demikian. Kuasa-Nya adalah untuk melindungi sepanjang masa, termasuk bagi kita sekarang ini. Yesus tidak akan membiarkan seorang pun dari umat percaya binasa. Setiap kita berharga di mata Tuhan. Dia melindungi kita bukan dengan otot/kekerasan, melainkan dengan kuasa firman-Nya. Ingatlah firman-Nya yang menyebut: “Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia” (Yoh.16:33b). Inilah sumber keberanian dan kekuatan orang percaya dalam menghadapi segala tantangan dan perjuangan iman di dunia ini, sehingga tidak perlu takut. Tidak takut, bukan karena nekad. Tetapi tidak takut, sebab ada kuasa Tuhan yang melindungi. Maka, jadilah pengikut Kristus yang setia. Tunaikanlah tugas panggilanmu dengan baik dan tekun. Tuhan pasti menyertai. Amen.
Bacaan Alkitab Minggu 5 April 2009
Minggu depan ini kita akan masuk di Minggu Palmarum. Bila minggu Passion tiba, terutama di Minggu Palmarum, minggu terakhir sebelum Peringatan Hari Kematian Tuhan Yesus (Jumat Agung), selalu terasa suasana sedih dan berkabung. Bila sikap tersebut timbul karena kita merasakan kesedihan sebab kematian Yesus yang kita anggap sama dengan kematian orang yang kita kasihi, sikap tersebut mungkin salah besar. Karena sebenarnya, Tuhan Yesus berkata kepada para perempuan yang mengikuti-Nya ke Golgata: “"Hai puteri-puteri Yerusalem, janganlah kamu menangisi Aku, melainkan tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu!”. Kita tidak perlu bersedih karena Yesus meninggal. Justru, yang harus kita tangisi adalah diri kita sendiri. Suasana berkabung, suasana sedih, baju hitam, bukanlah untuk Tuhan Yesus yang mati, melainkan untuk diri kita sendiri yang seharusnya tersalib karena dosa-dosa kita. Kesedihan dan kain kabung harus kita kenakan untuk diri kita yang terhina dan terhukum akibat dosa-dosa kita.
Kondisi tersebut sangat bertolak belakang dengan suasana yang ditunjukkan nas ini. Justru dengan nas ini, dalam minggu Palmarum ini kita orang-orang percaya diajak untuk bersukacita dan bersorak-sorai, sama seperti yang dilakukan orang-orang yang menyambut ketika Yesus memasuki Yerusalem, yang bersukacita dalam sorak-sorai: ” "Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, Raja Israel!". Semua orang percaya diajak untuk bersukacita dan bersorak sorai (ay. 7). Dan itulah sikap hidup setiap orang percaya sepanjang masa, setiap hari, yaitu bersukacita dan bersorak-sorai (bnd. Fil. 4:4; 2 Kor. 13:11). Dan nas ini menerangkan, mengapa orang percaya harus bersukacita dan bersorak-sorai justru pada hari peringatan kematian Tuhan Yesus? Mari kita simak!
1. Kita bersukacita dan bersorak-sorai “Karena Tuhan, Allah kita, Yang Mahakuasa, telah menjadi raja (ay. 6). Tuhan telah mengalahkan musuh utama-Nya, dan Tuhan memerintah secara sempurna, dan membawa seluruh umat-Nya kembali kepada-Nya. Sehingga Dia patut (layak) menerima gelar: Yang Mahakuasa. Itulah penglihatan yang diberikan TuhanI kepada Yohannes di pembuangannya di Patmos, yaitu hal-hal yang akan terjadi pada hari terakhir kelak, hal-hal yang diimani dan dinanti-natikan setiap orang percaya.
Tetapi, semua yang terjadi pada hari terakhir tersebut berawal dan bermula di Golgata. yaitu ketika Yesus memberi diri-Nya disalibkan di kayu salib. Dia mau menyerahkan dan mengorbankan diri-Nya menjadi korban perdamaian manusia dengan Tuhan. Darah-Nya yang tercurah menjadi tebusan, untuk membayar lunas hutang kematian manusia sebagi upah akibat dosanya. Kurban perdamaian itu membuat kita bisa kembali kepada Tuhan. Dengan kematian-Nya, Yesus membangun jembatan, pintu gerbang, dan jalan menuju kembali kepada Tuhan. Dan dengan kurban perdamaian di dalam darah dan tubuh Yesus, kita manusia-manusia berdosa diterima kembali sebagai anak-anak Tuhan yang manis.
Dan yang paling menentukan adalah ketika YESUS BANGKIT pada hari yang ketiga. Dia mengalahkan musuh utama dan musuh terakhir (1 Kor 15:26), yaitu iblis, dosa dan maut (1 Kor. 15:54-57). Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, “nampaknya” si iblis telah seperti penguasa yang mahakuat. Iblis menawan seluruh manusia di liang kubur. Maut menjadi muara terakhir hidup manusia. Tetapi, kebangkitan Yesus mengubah seluruhnya. Termasuk nasib manusia. Yesus datang dan bertindak. Dia bukan hanya mau menyerahkan nyawa-Nya, tetapi mengerahkan kemaha-kuasaan dan kemaha-kuatan-Nya menaklukkan musuh utama, yaitu iblis, dosa dan maut. Dia menang; Dia tampil sebagai pemenang.
Karena itulah, walaupun salib memang merupakan simbol kehinaan, tetapi sejatinya, salib bukanlah kekalahan. Justru melalui salib itulah Yesus menunjukkan bahwa Dia lebih kuat, lebih hebat, karena dengan disalibkan dan mati, Yesus berkesempatan mengalahkan kuasa yang memenjarakan manusia, yaitu maut. Dia bangkit sebagai pemenang. Dia bangkit menjadi Yang Mahakuasa.
Kegemilangan-Nya masih berlanjut lagi. Karena Yesus diangkat ke surga. Ketika Yesus akan diangkat ke surga, Dia berkata: “"Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi”(Mat. 28:18). Dia diangkat menjadi Raja atas segala kuasa, sebagai Panglima Perang Allah, Yang Mahakuasa dan Hara Raja.
Itulah sukacita setiap orang percaya sepanjang masa. “Hosanna”, Dia datang sebagai Anak Daud, Panglima Perang, yang menyelamatkan mansuia, dan membawa kita kembali kepada Bapa.
Saudaraku! Hendaknya ini menjadi pegangan yang kuat bagi kita, sehingga kita bisa menjalani kehidupan ini dengan senantiasa dalam sukacita dan sorak-sorai. Kita pasti menghadapi banyak kegetiran hidup, sakit penyakit, kegagalan, penderitaan, penolakan, dan banyak hal negatip lainnya, yang merupakan akibat dosa dan perbuatan si iblis. Apakah kita akan terpuruk dan terkubur oleh semua kesakitan itu?
Nas ini memberi kita kekuatan sama seperti Yohannes, walaupun berada dalam pembuangan karena imannya, dibuang oleh musuh-musuh Kristus, tetapi dia bisa bersukacita dan bersorak-sorai. Mengapa? Karena kepadanya Tuhan mau menunjukkan penglihatan ini, yaitu bahwa Yesus telah bangkit menjadi Raja dan Yang Mahakuasa, yang mengalahkan segala kuasa pengganggu kita. Hendaknya kita menirunya. Bila bagi kita juga ada pegangan itu, pasti kita akan menghadapi segala kesulitan dan hal negatif tersebut bukan dengan kekecutan yang membuat kita kalah atau terkubur, tetapi sebaiknya menghadapinya dengan kekuatan Yesus, sehingga kita tetap kuat dan pada akhirnya memenangkannya. Pengharapan seperti itulah yang membuat kita bisa bersukacita dan bersoark-sorai.
2. Kita harus bersukacita dan bersorak-sorai “Karena hari perkawinan Anak Domba telah tiba, dan pengantin-Nya telah siap sedia”. Hubungan Allah dan Yesus dengan orang percaya sering diibaratkan seperti hubungan pengantin laki-laki dengan pengantin perempuan (Hos. 2:19-20; Yes. 54:5. Yehz. 16; Mat. 22:2+10-11; Efs. 5:21-23). Bila kita telah dibaptis, maka kita telah satu dengan Kristus, seperti suami dengan isteri yang dipersatukan dalam perkawinan.
Tentu, inilah sukacita yang tiada tara. Coba bayangkan, kita manusia yang sudah penuh dosa, yang hanyalah sebuah ciptaan dari debu tanah, tetapi di dalam Kristus diangkat menjadi pengantin Tuhan. Kita hanyalah manusia yang selalu berselingkuh dengan ilah-ilah lain, tetapi Tuhan senantiasa setia, menantikan kepulangan kita, dan bersedia menerima kembali menjadi kekasih hati-Nya.
Inilah juga sukacita yang luar biasa, karena bila kita dijadikan-Nya sebagai pengantian perempuan bagi-Nya, berarti kita bisa bukan hanya bersahabat, tetapi menjadi kekasih yang terkasih bagi-Nya. Sebagai seorang kekasih, Yesus tidak akan pernah membiarkan kita bersedih; dan Dia akan senantiasa menjagai kita. Kita bisa berkomunikasi dengan-Nya dalam keintiman. Kita bisa curhat, mencurahkan segala isi hati kita kepada-Nya, dan pasti Dia akan mampu mengerti, dan mampu menghibur kita. Luar biasa, bukan?
Bila Yesus mau menerima kita menjadi pengantin perempuan bagi-Nya, tidak akan ada lagi yang bisa memisahkan kita dari Dia, oleh apapun, baik maut sekalipun, atau kuasa manapun, tidak ada lagi yang dapat memisahkan kita dari Dia, karena Dia sangat mengasihi kita ( baca Rm. 8:38). Itulah sukacita yang tiada terperi bagi kita..
3. Kita dapat bersukacita karena kita bukan hanya dipinang-Nya menjadi pengantin perempuan-Nya, tetapi juga “Dan kepadanya dikaruniakan supaya memakai kain lenan halus yang berkilau-kilauan dan yang putih bersih!" [Lenan halus itu adalah perbuatan-perbuatan yang benar dari orang-orang kudus]” (ay 8). Sebenarnya, kita tidak layak menjadi pengantin perempuan bagi-Nya, karena kita penuh dengan dosa. Tetapi, Yesus mau pergi ke Golgata, mencurahkan darah-Nya sebagai darah Anak Domba yang kudus untuk membersihkan seluruh dosa-dosa kita. Sehingga walaupun dosa kita merah seperti kermizi, darah Yesus membersihkannya sehingga kita menjadi putih seperti salju. Hanya darah kudus Yesus-lah yang melayakkan kita menjadi pengantin perempuan bagi-Nya. Dan semuanya itu, Yesus berikan kepada kita secara gratis (sola gratia). Kemuliaan itu hanya hadiah Tuhan belaka bagi kita umat-Nya (Efs. 5:5-27). Itulah sukacita yang luar biasa bagi kita.
4. Akhirnya, yang membuat kita harus bersukacita adalah: kita turut diundang ke perjamuan itu. Firman Tuhan berkata, “Berbahagialah mereka yang diundang ke perjamuan kawin Anak Domba (ay. 9). Hari kedatangan Kristus kali kedua, sering diibaratkan sebagai pesta perjamuan, di mana Tuhan datang membawa kebahagiaan, kehidupan kekal bagi orang yang percaya, yang diselamatkan-Nya. Perjamuan itu adalah pesta yang luar biasa. Itulah kenikmatan, sukacita dan kebahagiaan kekal yang diberikan Tuhan melalui kebangkitan Yesus bagi setiap orang percaya. Sehingga, bila kita turut diundang ke perjamuan tersebut, itu adalah kehormatan dan sukacita yang sungguh-sungguh luar biasa. Undangan itu gratis, tidak perlu membeli dengan apapun, dan tempat yang tersedia juga tidak terbatas.
Sudaraku! Undangan inilah yang setiap saat disuarakan dan dikirimkan kepada kita. Setiap kita mendengar atau membaca Firman Tuhan, itu adalah undangan dari Tuhan Yesus agar kita mau datang ke perjamuan itu. Tetapi, disinilah sering ada masalah pada kita:
a. Begitu banyak yang berdalih untuk tidak datang (Mat. 22:3c+5-6); ada yang berdalihkan hartanya, keluarga, atau hal-hal lain. Ingat, saudaraku! Mereka yang sudah diundang, tetapi tidak mau datang, akan mendapat hukuman. Hukumannya, mereka sendiri (yang berdalih) yang menempatkan dirinya sendiri pada posisi untuk tidak mau diselamatkan. Sehingga dia harus masuk di penghakiman yang mengerikan (Mat. 22:7)
b. Ada juga yang datang, tetapi tidak mengenakan baju pesta (Mat. 22:12). Mereka adalah yang mau dibaptis, mau mengikut Kristus, tetapi perilaku dan hidupnya tetap mengikuti dunia, tidak mau menaggalkan dosa-dosanya. Dia mengikut Kristus, tetapi belum mau menanggalkan pakaian dunianya yang penuh dosa, dan belum mau menggantikannya dengan pakaian yang diberikan Kristus, yaitu hidup kudus. Mereka akan diusir dari perjamuan, bagiannya juga adalah kesakitan dalam penghukuman.
Karena itu, kita selalu diajak: Undangan telah disebarkan Tuhan. Mari, datanglah, kenakan pakaian pestamu. Kita akan makan gratis dan bersukacita dalam kehidupan yang kekal bersama Kristus. Jangan berdalih; jangan bandel; tetapi ganti perilakumu yang lama menjadi manusia baru.
Karena semua itu saudaraku, mari, bersukacita dan bersorak-sorailah. Amin.
Selamat Sinode Am GKPA
Sinode (juga dikenal sebagai konsili) adalah sebuah dewan dari sebuah Gereja Kristen, yang biasanya dihimpun untuk mengambil keputusan tentang suatu masalah doktrin, administrasi atau aplikasi. Sebuah konsili ekumenis dinamai demikian karena ia merupakan sinode dari seluruh Gereja (ekumene) atau, lebih tepatnya, dari semua yang menganggapnya sebagai seluruh Gereja.
Kata "sinode" berasal dari kata Yunani συνοδος yang berasal dari kata συν (sun=bersama-sama) dan όδος (hodos=jalan) yang berarti "berjalan bersama". Dengan demikian, kata "sinode" juga berarti "persidangan" atau "pertemuan" yang menekankan kebersamaan. Kata ini sinonim denagn kata Latin concilium — "konsili". Pada mulanya, sinode adalah pertemuan yang dihadiri oleh para uskup, dan kata ini masih dipergunakan dalam pengertian ini di lingkungan Gereja Katolik Roma dan Gereja Ortodoks Timur.
Dalam tradisi Lutheran sinode dapat merupakan suatu wilayah administratif setempat yang serupa dengan sebuah diosis, seperti misalnya Sinode Daerah Minneapolis dari Evangelical Lutheran Church in America (Gereja Lutheran Injili di Amerika), atau menunjuk kepada keseluruhan tubuh gereja, seperti misalnya Lutheran Church - Missouri Synod (Gereja Lutheran - Sinode Missouri, sebuah denominasi Lutheran yang konservatif). Kadang-kadang kata ini juga digunakan untuk pertemuan para pendeta dari sebuah diosis. Dalam hal ini, kata tersebut tidak mengandung makna administratif.
Dalam sinode ada banyak hal yang dibicarakan. Di GKPA acara sinode am adalah: (TL GKPA Pasal 37)
(1) Yang dapat dipertimbangkan menjadi acara Sidang Synode Am adalah semua kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan wewenang, hak dan tugas Synode Am.
(2) Yang dapat dipertimbangkan menjadi pokok pembicaraan dan pembahasan dalam Sidang Paripurna Synode Am adalah:
a. Usul, masalah dan konsep yang diajukan oleh Pucuk Pimpinan, Majelis Pusat, Majelis Distrik, Majelis Resort dan Majelis Pendeta.
b. Usul, masalah dan konsep yang timbul dari Laporan Pertanggungjawaban Pucuk Pimpinan atau masalah yang sedang dibahas atau yang diajukan sejumlah anggota minimal 10 (sepuluh) orang anggota Synode.
c. Usul, masalah dan konsep yang diajukan oleh Komisi Synode Am, sepanjang berkaitan dengan pokok acara yang menjadi tugas pembahasan Komisi tersebut.
d. Usul, masalah dan konsep baru yang timbul dalam persidangan, yang tidak tercantum dalam pokok acara, tetapi diajukan oleh sejumlah anggota, minimal 20 (duapuluh) orang anggota Synode.
Melihat butir di atas, panitia sinode harus bekerja keras mengumpulkan bahan-bahan yang harus menjadi pokok-pokok perbincangan di sinode ini. Agar sinode mampu menghasilkan buah yang terbaik bagi perkembangan GKPA ke depan.
Kemudian tugas Sinode Am GKPA sesuai TL GKPA ps.38 adalah:
(1) Synode Am menetapkan Kebijakan-kebijakan dalam upaya membangkitkan dan mengarahkan hidup rohaniah dalam lingkungan GKPA agar Gereja semakin dewasa di dalam hidup pelayanan dan kesaksiannya.
(2) Mengamati dan menilai apakah Firman Allah, Sakramen dan pelayanan lainnya dijalankan secara murni dan bertanggung jawab.
(3) Menetapkan dan mensahkan:
a. Tata Gereja, Tata Laksana, Konfessi, Siasat Gereja dan Peraturan-peraturan GKPA lainnya.
a. Aturan yang berhubungan dengan Liturgi, Pelayanan Sakramen, Perkawinan, Penguburan dan bentuk pelayanan lainnya.
c. Program Kerja “Tahunan” dan “Lima Tahunan” dan Rencana Kerja GKPA lainnya.
d. Anggaran Penerimaan dan Belanja serta Realisasi Anggaran “Tahunan” dan “Lima Tahunan”.
(4) Menetapkan Pokok-pokok tugas Panggilan Bersama (PTPB) GKPA, yang merupakan Garis-garis Besar Kebijakan Umum (GBKU) GKPA dan menjadi pedoman bagi Pucuk Pimpinan dan Majelis Pusat dalam menyusun Program Kerja.
(5) Menilai dan menerima pertanggungjawaban Pucuk Pimpinan dan Majelis Pusat.
(6) Memilih, menetapkan dan mengukuhkan:
a. Ephorus.
b. Sekretaris Jenderal.
c. Praeses.
d. Anggota Majelis Pusat.
(7) Menetapkan keputusan akhir terhadap usul yang diajukan kepada Synode Am.
(8) Membentuk panitia menurut keperluannya dan menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada Synode Am
(9) Membina dan mensahkan hubungan dengan Gereja atau badan lain yang mempunyai Pengakuan Iman yang sama dengan GKPA untuk mewujudkan pelayanan Oikumenis.
Tugas-tugas ini dikerjakan dalam dua sinode yang dikenal dengan Sinode Am Periode dan Sinode Am Kerja. Tahun ini kita akan melaksanakan Sinode Am Kerja GKPA XVI. Apakah yang menjadi bahan pemikiran yang akan kita gumuli dalam sinode ini bekaitan dengan sinode am kerja? Sering yang menjadi tekanan dalam mengikuti sinode adalah poin (5) di atas. Semua peserta sinode datang hanya untuk mendengar dan menilai pertanggungjawaban Pucuk Pimpinan GKPA. Dan banyak waktu habis dalam pleno hanya membicarakan: mengapa, ke mana, siapa, dan lain sebagainya. Artinya, tugas sinode itu langsung melompat ke poin (5) dan mengabaikan tugas (1) hingga (3) dan (7) hingga (9). Pada hal tugas (5) tadi masih salah satu dari sekian banyak tugas sinode am kerja.
Sinode Am Kerja ini memiliki tugas utama: (a) menetapkan Kebijakan-kebijakan dalam upaya membangkitkan dan mengarahkan hidup rohaniah dalam lingkungan GKPA agar Gereja semakin dewasa di dalam hidup pelayanan dan kesaksiannya dan (b) Mengamati dan menilai apakah Firman Allah, Sakramen dan pelayanan lainnya dijalankan secara murni dan bertanggung jawab. Sinode am kerja ini harus mampu membangkitkan dan mengarahkan hidup rohaniah dalam lingkungan GKPA agar semakin dewasa di dalam hidup pelayanan dan kesaksiannya. Artinya, melalui sinode am kerja ini, GKPA harus merumuskan dan menyusun strategi apa yang harus dibangun dan dikerjakan agar bisa membangkitkan dan mengarahkan hidup rohaniah GKPA. Jika kita lihat sekarang, di berbagai jemaat hanya disibukkan dengan persoalan organisasi gereja saja. Persoalan pelaksana harian di setiap tingkatan. Diskusi dan pikiran kita habis hanya membahas person-person pegawai GKPA. Tapi lupa membahas bagaimana mengembangkan GKPA. Hanya membahas mengapa si anu begini, mengapa si atu begitu. Sehingga persoalan kita hanya berputar-putar di soal pribadi sang pelayan gereja.
Sinode Am Kerja ini, bukan ajang hanya mendengar dan menilai laporan Pucuk Pimpinan GKPA. Tetapi ajang di mana masing-masing perserta sinode membawa ide-ide pemikiran yang mampu mengembangkan GKPA dan mengarahkan hidup kerohanian warga jemaat GKPA menuju kedewasaan iman. Artinya, jika warga jemaat GKPA sudah dewasa iman, maka jemaatnya akan akan terhindar dari rasa curiga mencurigai, terhindar dari rasa menghakimi para pendeta, terhindar dari rasa mengatur para pendeta, dan memfitnah para hamba Tuhan.
Sinode Am Kerja ini adalah ajang di mana kita bersama-sama duduk memikirkan perkembangan GKPA menghadapi era canggih, era modern, agar GKPA dikenal di mata dunia. Coba kita bayangkan, dari seluruh gereja-gereja di Sumatera Utara, hanya GKPA-lah yang belum memiliki website-nya di dunia maya. Kasihan GKPA. Apakah GKPA tidak punya uang, tidak punya orang, tidak punya nyali? Makanya, peserta Sinode Am Kerja ini, datanglah membawa idemu, pemikiranmu, uangmu, agar GKPA ini bisa bersaing dalam pelayanan untuk memberitakan firman Tuhan melalui segala kemajuan zaman ini. Tugas kita bukan hanya membicarakan GKPA, tetapi beraksi dan berbuat bagi GKPA.
Sinode Am Kerja adalah sarana mengembangkan dan membangkitkan fanatisme ber-GKPA. Networking antara jemaat, resort dan distrik semakin diperkokoh dalam sinode ini. Parlagutan-parlagutan, Resort-resort dan Distrik-distrik yang berbeda bisa menjalin hubungan kerjasama dan menjalin rasa persaudaraan yang rukun. Sehingga sehabis sinode ada hal-hal yang bisa dikerjakan antar Parlagutan, Resort dan Distrik yang ada di GKPA. Pakailah kesempatan bertemu ini menjalin rasa persaudaraan di dalam mengembangkan GKPA ke masa depan. Jangan datang sinode hanya untuk reuni, ketemu keluarga, pulang kampung dan untuk rekreasi saja. Tetapi pakailah pertemuan sinode ini membangun hubungan jemaat desa dengan jemaat kota agar terjadi pelayanan silang untuk memperkokoh pilar pelayanan di GKPA ini.
Semoga…
Ramli SN Harahap.