Jumat, 04 Februari 2011

”KETIKA KITA DIPILIH TUHAN” ( 1Samuel 16 : 6 – 7 )

widgeo.net
”KETIKA KITA DIPILIH TUHAN”
( 1Samuel 16 : 6 – 7 )



Latarbelakang “Pemilihan”
Saul sudah ditolak sebagai raja dan TUHAN telah berkata kepada Samuel bahwa Ia ‘memilih seorang yang berkenan kepada hatiNya’. Hal itu tidak berarti bahwa Saul terus diberhentikan dari jabatannya, akan tetapi TUHAN telah memilih orang lain dan anugerahNya pindah dari Saul kepada calon raja yang ditentukanNya itu.
Teks hari ini merupakan proses pemilihan calon raja itu dari anak keluarga Isai (1Sam.16:1). Seleksi pun dimulai. Samuel mencoba menyeleksi calon raja ini berdasarkan analogi berpikir manusiawinya. Ketika dia melihat Eliab, maka Samuel berpikir bahwa Eliablah yang akan menjadi calon raja yang akan diurapi itu. Ternyata, pemikiran manusia gagal untuk menentukan calon raja ini. Sehingga Allah berfirman kepada Samuel, "Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati" (ay.7). Persyaratan manusia ternyata hanya sebatas apa yang di depan mata, sedangkan persyaratan Tuhan jauh melebihi apa yang di depan mata itu yakni apa yang ada dalam hati. Samuel bukan memilih paras atau perawakan, sebab hal ini sering mengecewakan. Tetapi Samuel harus memilih hati. Pemilihan ini berarti sangat sulit dilakukan oleh manusia. Sebab tidak seorang pun manusia mampu melihat isi hati manusia. Kita hanya mampu melihat apa yang di depan mata kita. Dengan demikian dapat kita katakan bahwa pemilihan ini bukan pemilihan manusia tetapi Tuhanlah yang memilih.

Ketika kita dipilih Tuhan
Tema hari ini membahas KETIKA KITA DIPILIH TUHAN. Timbul pertanyaan dalam hati kita masing-masing, untuk apa aku dipilih Tuhan? Kalau Samuel jelas mau memilih seorang calon raja. Apakah kita juga mau dipilih menjadi seorang calon raja (ratu)? Atau pertanyaan lain, pemilihan apakah yang sedang dilakukan Tuhan kepadaku? Dan sejak kapan proses pemilihan itu terjadi?
Kita harus ketahui bahwa orang yang sudah dipilih berbeda dengan orang yang dipanggil. Orang yang dipanggil belum tentu ’dipilih’, tetapi orang yang dipilih sudah tentu yang dipanggil. Dengan demikian orang pilihan berarti orang yang berkualitas, orang yang telah lulus seleksi.
Harus juga kita ingat bahwa orang yang terpilih belum otomatis untuk memangku jabatan. Daud misalnya, dia dipilih pada usia 15 tahun dan diangkat menjadi raja pada usia 30 tahun (2Sam.2:1-7). Artinya Daud setelah terpilih menjadi calon raja tidak otomatis menjadi raja menggantikan Saul. Daud harus menunggu 15 tahun untuk dinobatkan atau diurapi menjadi raja atas Yehuda. Karenanya dapat kita tarik suatu pelajaran bahwa orang yang dipilih harus benar-benar mempersiapkan diri untuk menjadi orang yang tepat menduduki jabatan yang dipangkukan/diberikan kepadanya agar dia berhasil kelak dalam menjalankan tugasnya.
Kembali kepada tema tadi, kapankah kita dipilih? Saya ambil contoh sederhana saja, dulu kita telah “dipilih” menjadi isteri oleh suami kita masing-masing. Itu berarti kita telah lolos dari seleksi dan kitalah yang menjadi orang yang berkualitas bagi suami kita dibandingkan seluruh perempuan di dunia ini. Pertanyaan sekarang, apakah kita yang sudah “terpilih“ ini sudah berhasil menjadi penolong bagi sang suami dan menjadi ibu bagi sang anak-anak kita? Mengapa saya katakan menjadi? Sebab proses pemilihan calon suami sering kita memakai rumusan yang salah yakni, “Pernikahan adalah ‘mencari’ orang yang tepat/cocok kepada saya”. Prinsip ini salah besar! Prinsip yang benar adalah, “Pernikahan bukan “mencari” orang yang tepat, melainkan ‘menjadi’ orang yang tepat dengan kita”. Hal ini menunjukkan bahwa sejak kita terpilih menjadi istri bagi suami kita, maka ada masa waktu belajar memahami, mengasihi, memperhatikan pasangan kita hingga kita menjadi istri yang tepat bagi suami kita. Masa waktu belajar bagi Daud adalah 15 tahun, bagaimana dengan keluarga kita? Berapa tahunkah kita baru menjadi cocok/tepat dengan suami, anak dan keluarga kita masing-masing?

Bahan Diskusi:
  1. Sejak kapankah kita mulai merasa dipilih Tuhan memasuki PP Lidia ini dan berapalamakah waktu bagi kita untuk menjadi cocok/tepat dengan sesama anggota PP Lidia ini?
  2. Bagaimanakah perasaan kita ketika kita menjadi orang yang terpilih?
  3. Apakah menurut Anda, kita sebagai  “umat/orang pilihan“ Tuhan ini akan menjadi jaminan memperoleh hidup yang kekal itu?



“Pernikahan bukan “mencari” orang yang tepat, melainkan ‘menjadi’ orang yang tepat”.
 
 


Ramli SN Harahap

”KETIKA KITA DIPILIH TUHAN” ( 1Samuel 16 : 6 – 7 )

widgeo.net
”KETIKA KITA DIPILIH TUHAN”
( 1Samuel 16 : 6 – 7 )



Latarbelakang “Pemilihan”
Saul sudah ditolak sebagai raja dan TUHAN telah berkata kepada Samuel bahwa Ia ‘memilih seorang yang berkenan kepada hatiNya’. Hal itu tidak berarti bahwa Saul terus diberhentikan dari jabatannya, akan tetapi TUHAN telah memilih orang lain dan anugerahNya pindah dari Saul kepada calon raja yang ditentukanNya itu.
Teks hari ini merupakan proses pemilihan calon raja itu dari anak keluarga Isai (1Sam.16:1). Seleksi pun dimulai. Samuel mencoba menyeleksi calon raja ini berdasarkan analogi berpikir manusiawinya. Ketika dia melihat Eliab, maka Samuel berpikir bahwa Eliablah yang akan menjadi calon raja yang akan diurapi itu. Ternyata, pemikiran manusia gagal untuk menentukan calon raja ini. Sehingga Allah berfirman kepada Samuel, "Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati" (ay.7). Persyaratan manusia ternyata hanya sebatas apa yang di depan mata, sedangkan persyaratan Tuhan jauh melebihi apa yang di depan mata itu yakni apa yang ada dalam hati. Samuel bukan memilih paras atau perawakan, sebab hal ini sering mengecewakan. Tetapi Samuel harus memilih hati. Pemilihan ini berarti sangat sulit dilakukan oleh manusia. Sebab tidak seorang pun manusia mampu melihat isi hati manusia. Kita hanya mampu melihat apa yang di depan mata kita. Dengan demikian dapat kita katakan bahwa pemilihan ini bukan pemilihan manusia tetapi Tuhanlah yang memilih.

Ketika kita dipilih Tuhan
Tema hari ini membahas KETIKA KITA DIPILIH TUHAN. Timbul pertanyaan dalam hati kita masing-masing, untuk apa aku dipilih Tuhan? Kalau Samuel jelas mau memilih seorang calon raja. Apakah kita juga mau dipilih menjadi seorang calon raja (ratu)? Atau pertanyaan lain, pemilihan apakah yang sedang dilakukan Tuhan kepadaku? Dan sejak kapan proses pemilihan itu terjadi?
Kita harus ketahui bahwa orang yang sudah dipilih berbeda dengan orang yang dipanggil. Orang yang dipanggil belum tentu ’dipilih’, tetapi orang yang dipilih sudah tentu yang dipanggil. Dengan demikian orang pilihan berarti orang yang berkualitas, orang yang telah lulus seleksi.
Harus juga kita ingat bahwa orang yang terpilih belum otomatis untuk memangku jabatan. Daud misalnya, dia dipilih pada usia 15 tahun dan diangkat menjadi raja pada usia 30 tahun (2Sam.2:1-7). Artinya Daud setelah terpilih menjadi calon raja tidak otomatis menjadi raja menggantikan Saul. Daud harus menunggu 15 tahun untuk dinobatkan atau diurapi menjadi raja atas Yehuda. Karenanya dapat kita tarik suatu pelajaran bahwa orang yang dipilih harus benar-benar mempersiapkan diri untuk menjadi orang yang tepat menduduki jabatan yang dipangkukan/diberikan kepadanya agar dia berhasil kelak dalam menjalankan tugasnya.
Kembali kepada tema tadi, kapankah kita dipilih? Saya ambil contoh sederhana saja, dulu kita telah “dipilih” menjadi isteri oleh suami kita masing-masing. Itu berarti kita telah lolos dari seleksi dan kitalah yang menjadi orang yang berkualitas bagi suami kita dibandingkan seluruh perempuan di dunia ini. Pertanyaan sekarang, apakah kita yang sudah “terpilih“ ini sudah berhasil menjadi penolong bagi sang suami dan menjadi ibu bagi sang anak-anak kita? Mengapa saya katakan menjadi? Sebab proses pemilihan calon suami sering kita memakai rumusan yang salah yakni, “Pernikahan adalah ‘mencari’ orang yang tepat/cocok kepada saya”. Prinsip ini salah besar! Prinsip yang benar adalah, “Pernikahan bukan “mencari” orang yang tepat, melainkan ‘menjadi’ orang yang tepat dengan kita”. Hal ini menunjukkan bahwa sejak kita terpilih menjadi istri bagi suami kita, maka ada masa waktu belajar memahami, mengasihi, memperhatikan pasangan kita hingga kita menjadi istri yang tepat bagi suami kita. Masa waktu belajar bagi Daud adalah 15 tahun, bagaimana dengan keluarga kita? Berapa tahunkah kita baru menjadi cocok/tepat dengan suami, anak dan keluarga kita masing-masing?

Bahan Diskusi:
  1. Sejak kapankah kita mulai merasa dipilih Tuhan memasuki PP Lidia ini dan berapalamakah waktu bagi kita untuk menjadi cocok/tepat dengan sesama anggota PP Lidia ini?
  2. Bagaimanakah perasaan kita ketika kita menjadi orang yang terpilih?
  3. Apakah menurut Anda, kita sebagai  “umat/orang pilihan“ Tuhan ini akan menjadi jaminan memperoleh hidup yang kekal itu?



“Pernikahan bukan “mencari” orang yang tepat, melainkan ‘menjadi’ orang yang tepat”.
 
 


Ramli SN Harahap

Renungan Harian: Kolose 2 : 3

widgeo.net

SUMBER HARTA HIKMAT DAN PENGETAHUAN 




Ada pepatah yang mengatakan, "Carilah ilmu setinggi-tingginya hingga ke negeri Cina".  Pepatah ini hendak mengatakan bahwa sumber ilmu yang paling tinggi di dunia ini berada di negeri Cina. Orang yang berilmu tinggi berada di Cina. Jika ingin memiliki ilmu yang tinggi maka pergilah ke negeri Cina. Mengapa negeri ini disebut tinggi ilmu? Karena negeri ini banyak menghasilkan obat-obatan yang berguna bagi masyarakat. Negeri ini banyak mengeluarkan legenda-legenda kuno. Karena negeri ini menyimpan banyak hal di bidang ilmu pengetahuan.

Pepatah ini termentahkan dengan  Surat Paulus ini. Parulus berkata bahwa di dalam Kristus tersembunyi segala harta hikmat dan pengetahuan. Berarti sumber pengetahuan yang tertinggi dan terbesar bukan lagi negeri Cina, melainkan negeri Allah. Sebab Allahlah sumber segala harta hikmat dan pengetahuan. Pernyataan Paulus ini mengajak kita agar tidak mencari hikmat lagi di luar Kristus. Sebab di dalam Kristus telah kita temukan segala hikmat dan pengetahuan itu.






Harana di bagasan Ia do buni sude arta habisuhon dohot hapistaran.
Kolosse 2 : 3

Sebab di dalam Dialah tersembunyi segala harta hikmat dan pengetahuan.
Kolose 2 : 3



BEAM No.35 : 1-2“ Jesus Lehen Hatorangan “
ü  Jesus lehen hatorangan, hapistaran mangastui hata-Mi
Lehen mata namarnida, dohot roha naumboto dalan-Mi
Anso tongtong maradophon bohi-Mi mardalan hami ; Anso dirajai tondi-Mi ma hami

ü  Ganop ari ma ajari, hami na di haotoan i dope
            Anso mur porsaya hami, Ho sajo do hangoluannami be
            Mur lumolot mur pasolkot tu roha-Mu rohanami ; Anso songon Ho ma pangalahonami

”MEMBERI DENGAN TULUS DAN SEPENUH HATI” (Kisah 5:1-11)

widgeo.net
”MEMBERI DENGAN TULUS DAN SEPENUH HATI”
(Kisah 5:1-11)



Mendengar kisah yang baru saja kita baca, pertama, membuat hati rasa galau dan takut. Mengapa takut? Karena sebuah keluarga suami-isteri yakni Ananias dan Safira meninggal dunia akibat hasil penjualan tanah yang tidak diserahkan mereka seluruhnya ke hadapan kaki rasul-rasul. Padahal nama mereka berdua begitu indah dan cantik. Ananias berarti: Allah telah memberikan, Allah rahmani. Dan Safira berarti: yang cantik atau yang jelita. Nama yang indah agaknya belumlah merupakan jaminan untuk hidup yang murni. Mereka berdua adalah orang yang begitu terikat dengan harta miliknya, dan juga ingin dihormati di tengah jemaat. Mereka tidak ingin dikalahkan oleh orang lain seperti Barnabas. Kedua, cerita ini adalah kisah yang memalukan. Kalau di luar gereja ada pencopet, tentu kita kesal, apalagi kalau kita sendiri yang kecopetan. Tetapi kalau di gereja juga ada pencopet, ini bukan saja kejahatan, tetapi sudah kelewatan memalukan. Tuhan pasti marah sekali. Kalau di luar gereja ada korupsi atau saling memfitnah atau saling menipu, tentu tetap buruk dan jahat. Tetapi kalau itu terjadi di gereja, dilakukan oleh orang Kristen, ia sepuluh kali lebih jahat dan lebih buruk. Pasti bukan iklan yang menarik untuk gereja yang pada waktu itu baru mulai berdiri. Mestinya kisah seperti ini perlu disembunyikan, tidak perlu dimuat dalam Alkitab. Tetapi mengapa Lukas mau menulisnya juga? Karena ia mau jujur, dan supaya kita belajar dari pengalaman Ananias dan Safira itu. Alkitab ingin dengan jujur mengatakan, bahwa di dalam gereja ada orang-orang seperti Ananias dan Safira.
Kalau Alkitab memuat cerita Ananias dan Safira, maksudnya juga adalah supaya kita jangan sampai meniru mereka. Dengan jelas Alkitab mengungkapkan betapa mengerikan dan fatalnya hukuman atas tindakan mereka yang membohongi dan menipu Tuhan. Munafik, karena sebenarnya tidak rela memberi, tetapi ingin dapat nama hebat di mata jemaat. Petrus mengatakan, “Selama tanah itu tidak dijual, bukankah itu tetap kepunyaanmu, dan setelah dijual, bukankah hasilnya itu tetap dalam kuasamu? … Engkau bukan mendustai manusia, tetapi mendustai Allah." (ay.4). Ananias mendustai Allah (bd.ay.9 mengatakan: mencobai Roh Tuhan).
Dosa berat, karena tindakan mereka itu sama dengan menganggap Tuhan itu bodoh, bisa ditipu, gampang dibohongi. Kalau berbuat dosa lalu menyesal dan mengaku, Tuhan akan dengan segala senang hati mengampuni. Tetapi kalau, seperti Ananias dan Safira, tetap kokoh tidak mau mengakui kesalahannya, itu artinya menganggap Tuhan itu bodoh. Karena itu hukumannya sangat berat.
Berbicara mengenai tema di atas, memberi adalah bagian yang menarik dalam hidup ini. Dengan memberi sesuatu (tentunya sesuatu yang baik), seorang manusia akan mengalami suatu sensasi / perasaan tertentu dalam batinnya yang menjadikan seseorang merasa nikmat / senang / bahagia. Dari sini dapat ditarik semacam kesimpulan sederhana bahwa pada dasarnya suatu kegiatan memberi merupakan salah satu bentuk kebutuhan dalam hidup seorang manusia, walau seringkali hal ini jarang disadari. Dengan memberi, seseorang mendapatkan suatu kepuasan tertentu.
Ada dua hal yang harus diperhatikan dalam melakukan kegiatan memberi. Yang pertama adalah dari sisi kesiapan si pemberi. Pemberi harus terlebih dahulu mempersiapkan dirinya, khususnya suasana hatinya, sebelum melakukan kegiatan memberi. Pemberi sebisa mungkin harus mengkondisikan hatinya agar ketika melakukan kegiatan memberi benar-benar ikhlas, tulus dan sepenuh hati tanpa ada niatan tertentu di balik pemberiannya sehingga si pemberi tidak merasa adanya sesuatu yang berkurang atau hilang dalam hidupnya berkenaan dengan kegiatan memberi tersebut. Ini cukup sulit terutama sekali ketika kita harus memberi sesuatu yang memang dulunya kita dapatkan dengan penuh perjuangan dan sekarang kita diperhadapkan pada kondisi di mana kita diminta (atau mungkin lebih tepatnya diberi kesempatan) untuk memberikan itu pada orang lain dengan penuh keikhlasan dan tanpa merasa kehilangan sesuatu atau merasa ada yang berkurang dalam hidup kita karena melakukan kegiatan memberi tersebut.
Hal kedua yang perlu diperhatikan adalah kesiapan mental dan hati dari si penerima pemberian. Bila kita memberikan sesuatu dengan porsi tertentu pada seseorang yang memang belum siap dengan porsi tersebut, maka pemberian kita bisa saja mencelakakan orang tersebut. Sebagai ilustrasi, sebagai seorang atlet tembak bisa jadi sesuatu yang berharga dalam hidup kita adalah sebuat pistol yang ringan dengan daya lontar yang baik sehingga peluru yang dimuntahkan oleh pistol tersebut dapat terarah dalam kondisi lurus dalam jangkauan yang jauh. Pistol tersebut akan menjadi pemberian yang memiliki nilai manfaat yang positif bila kita memberikannya pada seorang teman yang memang juga memiliki ketertarikan dan minat dalam bidang senjata dan memiliki keahlian serta pemahaman yang baik tentang senjata. Tapi pemberian ini akan mendatangkan petaka bila kita lakukan pada seseorang yang awam dalam hal senjata apalagi bila orang tersebut cederung memiliki tempramen dan kecenderungan agresi yang kuat. Bisa-bisa kehadiran pistol pemberian kita malah membangkitkan daya dan energi agresi yang cenderung destruktif dalam diri orang tersebut.
Jika kita mau jujur sekarang, apakah kisah ini masih terjadi di tengah gereja atau di perjalanan kehidupan orang percaya? Kisah Ananias dan Safira bisa saja masih ditemukan saat ini. Ananias dan Safira adalah orang yang telah melanggar hasil keputusan rapat jemaat mula-mula, bahwa semua orang yang mempunyai tanah atau rumah, menjual kepunyaannya itu, dan hasil penjualan itu mereka bawa dan mereka letakkan di depan kaki rasul-rasul (Kis.4:34-37). Yusuf yang rasul-rasul sebut dengan Barnabas yang artinya anak penghiburan, seorang Lewi dari Siprus, menjual ladang, miliknya, lalu membawa uangnya itu dan meletakkannya di depan kaki rasul-rasul (Kis.4:36-37). Ia memberi dengan tulus dan sepenuh hati. Tetapi berbeda dengan Ananias dan Safira tidak memberi dengan tulus dan sepenuh hati. Mereka menahan sebagian dari hasil penjualan itu dan sebagian lain dibawa dan diletakkannya di depan kaki rasul-rasul (Kis.5:2).
GKPA melalui Synode telah memutuskan dan menetapkan bahwa setiap warga jemaat berkewajiban memberikan “Persembahan Bulanan”-nya setiap bulan di samping persembahan-persembahan lainnya misalnya persembahan minggu, perpuluhan, ucapan syukur, dll. Namun dalam kenyataannya, banyak dari kalangan warga jemaat itu melanggar hasil keputusan Synode ini. Coba kita ambil contoh terdekat. GKPA Penjernihan yang memiliki 332 KK; 1177 jiwa (Almanak GKPA 2007), ternyata hanya rata-rata 18-20 KK yang rutin memberikan Persembahan Bulanannya tiap bulan. Kita belum bicara tentang nilai pemberiannya seperti Ananias dan Safira ini. Di mana yang lain??? Apakah kita golongan Barnabas atau termasuk golongan Ananias dan Safira?
Kita diajak saat ini memberi dengan tulus dan sepenuh hati. Jika kepada Tuhan melalui Gereja saja kita tidak mampu memberi dengan tulus dan sepenuh hati, lantas kepada siapa lagi kita memberi dengan tulus dan sepenuh hati ??? Untunglah Tuhan itu masih tetap baik, tidak dilakukannya seperti kepada Ananias dan Safira kepada kita. Itu bukan berarti Tuhan sekarang menjadi semakin bodoh, dan mudah ditipu, dan dibohongi. Tuhan tetap tahu keadaan kita dan kemampuan kita sekarang. Tuhan tidak menuntut supaya kita memberi karena terpaksa sehingga hidup kita terlantar. Tidak. Tuhan ingin kita jujur dan sadar sehingga mampu memberi dari kemampuan kita dengan sukarela. Karena itu mulailah memberi dengan tulus dan sepenuh hati minimal mulailah rutin memberikan Persembahan Bulanan kepada Tuhan. Selamat memberi. Amin !





Ramli SN Harahap                                                                                                                  fidei/gladys’07    210907