Sabtu, 10 November 2012

widgeo.net

UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS)


1.                  Buku Bacaan: Farsijana Adeney-Risakota, “Personal Background to the Research” dalam Farsijana Adeney-Risakota, Politics, Ritual and Identity in Indonesia: A Moluccan History of Religion and Social Conflict, Nijmegen: Radboud Nijimegen Universiteit, 2005, hl. 11-19.

1.1.            PENGALAMAN PENELITI
Pertama, peneliti terlibat langsung dalam peristiwa yang terjadi di Maluku Utara tepatnya di Ngidiho. Peneliti mengalami trauma dari peristiwa itu. Mengapa? Karena beberapa saat setelah peristiwa di Maluku Utara itu berlangsung, beberapa orang berpendapat bahwa penelitian peneliti akan segera berakhir. Alasan mereka sangat kuat karena desa yang menjadi obyek penelitian telah hancur dan rata dengan tanah. Pengalaman ini sangat kuat mempengaruhi peneliti untuk melanjutkan risetnya. Bahkan yang paling menarik dari pengalaman peneliti adalah walau penelitian ini memiliki pengalaman yang traumatik, tetapi peneliti sekaligus menjadikan penelitian ini sebagai terapi kesembuhan baginya.   
Singkatnya, pengalaman peneliti turut membentuk sebuah penelitian sosial dan bahkan memberikan sebuah pencerahan dalam dunia penelitian saat ini.

1.2.            PERSYARATAN YANG DIPERLUKAN SEORANG PENELITI UNTUK DAPAT MENERUSKAN SUATU PENELITIAN YANG HARUS BERUBAH TANPA DIRENCANAKANNYA
Apakah peristiwa yang sangat mengerikan itu akan memberhentikan peneliti dalam melakukan tugasnya? Tidak. Ternyata peneliti berkata,”Tragedi ini bukanlah akhir dari penelitian saya”. Melihat pengalaman peneliti yang mengalami tragedi, hal yang harus dimiliki seorang peneliti jika mengalami masalah atau tragedi dalam penelitiannya adalah pertama, harus memiliki komitment yang teguh untuk meneruskan penelitian itu. Peneliti berkata, “Semakin banyak aku menuliskan pemikiranku, semakin kusadari bahwa penelitianku sekarang semakin berharga”. Kedua, harus percaya diri. Pengalaman peneliti mengatakan bahwa walaupun tak seorang dapat mengklaim penelitian itu secara obyektif sempurna, tetapi dia secara bebas meneruskan penelitiannya tanpa tergoda jatuh dalam emosi yang ekstrim dalam peristiwa peperangan itu. Ketiga, harus mempu melihat kebenaran yang esensi dari setiap peristiwa yang terjadi. Peneliti menyakini bahwa dari peristiwa yang tejadi itu pasti akan ditemukan sebuah kebenaran yang esensi yang diekspresikan melalui sebuah proses yang tiada berkahir sampai kapan pun.

1.3.            MENGANTISIPASI KEMUNGKINAN-KEMUNGKINAN
Berdasarkan pengalaman peneliti ini ada beberapa cara dalam mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan perjalanan penelitian perlu disesuaikan dari perencanaan semula adalah pertama, harus mampu mengerti pertanyaan dan mencoba menjawabnya. Dengan pertanyaan dan jawaban tersebut. memampukan peneliti memetakan konflik dan penelitian serta bagaimana mengatur dan memberhentikan kekerasan. Kedua, peneliti harus tanpa batasan-batasan. Artinya, dalam melakukan penelitian itu seorang peneliti jangan terlibat dalam sebuah kelompok tertentu atau memihak kepada kelompok tertentu, tetapi peneliti harus mampu masuk kepada semua pihak yang sedang kita teliti. Dengan kata lain, peneliti harus pandai-pandai memasukkan diri kepada masyarakat yang sedang kita teliti. Ketiga, peneliti harus memiliki sifat fleksibilitas. Melalui peristiwa yang terjadi itu, peneliti merasa tidak mungkin membuat sebuah tulisan berdasarkan penelitian akademis, karena peneliti bingung harus berdiri di posisi mana, kemudian harus berhati-hati menuliskan peristiwa yang telah terjadi agar tidak ada ketersinggungan di antara pihak yang bertikai. Karena itu, peneliti mengatakan, “Disertasi ini bukanlah hanya sebuah laporan akademik, melainkan disertasi ini juga merupakan sebuah novel”. Lebih lanjut peneliti mengatakan bahwa penelitian disertasi ini memiliki dua sisi yang saling mengisi yakni penelitian naratif dan penelitian akademik. Disinilah perlunya fleksibilitas tersebut terjadi. Sebagai penelitian yang akademis, harus akurat, jujur dan tidak memihak.
Keempat, peneliti harus mampu kreatif. Seorang peneliti harus mampu banyak mendengar, bersaksi dan merefleksikan pemikiran lokal, kebiasan setempat secara kreatif untuk dijadikan menjadi sebuah peta mengatasi sebuah masalah. Peneliti juga tidak hanya memiliki hanya satu fokus saja melainkan harus mampu melihat hal-hal lain yang terjadi dalam penelitian kita. Seorang peneliti yang kreatif akan menjadikan masyarakat sebagai agen perubahan itu sendiri.






2.                  Buku Bacaan: Albert O.Hirschman, “The Search for Paradigms as a Hindrance to Understanding” dalam Paul Rabinow & William M.Sullivan, Interpretive Social Science a Reader, Berkeley: UC Berkeley, 1979, hl. 169-1179.

2.1.            PENGERTIAN PARADIGMA
Paradigma adalah kumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir seseorang sebagai titik tolak pandangannya sehingga akan membentuk citra subjektif seseorang – mengenai realita – dan akhirnya akan menentukan bagaimana seseorang menanggapi realita itu.
Istilah paradigama ilmu pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn melalui bukunya yang berjudul “The Structur of Science Revolution”. Kuhn menjelaskan paradigma dalam dua pengertian. Di satu pihak paradigma berarti keseluruhan konstelasi kepercayaan, nilai, teknik yang dimiliki bersama oleh anggota masyarakat ilmiah tertentu. Di pihak lain paradigma menunjukkan sejenis unsur pemecahan teka-teki yang konkrit yang jika digunakan sebagai model, pola atau contoh dapat menggantikan kaidah-kaidah yang secara eksplisit sebagai atau menjadi dasar bagi pemecahan permasalahan dan teka-teki normal sains yang belum tuntas.
Paradigma merupakan elemen primer dalam progress sains. Seorang ilmuwan selalu bekerja dengan paradigma tertentu, dan teori-teori ilmiah dibangun berdasarkan paradigma dasar. Melalui sebuah paradigma seorang ilmuwan dapat memecahkan kesulitan-kesulitan yang lahir dalam kerangka ilmunya, sampai muncul begitu banyak anomali yang tidak dapat dimasukkan ke dalam kerangka ilmunya sehingga menuntut adanya revolusi paradigmatik terhadap ilmu tersebut. Menurut Kuhn, ilmu dapat berkembang secara open-ended(sifatnya selalu terbuka untuk direduksi dan dikembangkan). Kuhn berusaha menjadikan teori tentang ilmu lebih cocok dengan situasi sejarah dengan demikian diharapkan filsafat ilmu lebih mendekati kenyataan ilmu dan aktifitas ilmiah sesungguhnya. Menurut Kuhn ilmu harus berkembang secara revolusioner bukan secara kumulatif sebagaimana anggapan kaum rasionalis dan empiris klasik sehingga dalam teori Kuhn faktor sosiologis historis serta psikologis ikut berperan.
Paradigma membantu seseorang dalam merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan apa yang harus dijawab dan aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan jawaban yang diperoleh.
Dari bacaan buku Albert H.Hirschman, dijelaskannya bahwa ada dua penulis buku sejarah tentang Revolusi yakni, John Womack yang menulis tentang Revolusi Meksiko dan James L.Payne yang menulis tentang Revolusi di Kolombia. Kedua penulis ini memiliki perbedaan yang kontras.  Pertama, paradgima yang dibangun Womack merangsang keingintahuan pembaca dengan imajinasi yang baik. Artinya, Womack membangun sebuah paradigma yang positif dari peristiwa yang telah terjadi itu. Sementara, Payne, menggunakan paradigma untuk memprovokasi resistensi pembaca dan bahkan memberikan paradigma yang negatife yang memancing emosi para pembacanya.
Kedua, perbedaan dalam gaya kognitif, Payne, dari halaman pertama sampai terakhir, berkeyakinan bahwa ia telah mencapai pemahaman yang lengkap dari subjek, sedangkan Womack menarik kesimpulan dengan dengan sangat hati-hati. Ia menghormati otonomi para aktor yang ia ceritakan sehingga bukunya memberikan daya tarik khusus sehingga ia menerima penghargaan dari Fuentes Carlos di New York Review of Books.

2.2.            MENGAPA DIPERLUKAN PENGERTIAN PARADIGMA?
Pengertian paradigma sangat diperlukan untuk dapat membantu peneliti memahami persoalan realitas sosial yang sedang diteliti. Karena paradigma itu sudah ada dalam diri kita dan mempengaruhi pikiran, ucapan dan tindakan kita, maka kita akan sangat diuntungkan kalau kita memahaminya. Paham akan paradigma dan pengaruhnya akan memudahkan kita melakukan komunikasi dan membuat kerjasama dengan orang lain, karena kita akan mampu memahami orang lain, membuat pikiran kita terbuka dan kreatif.
Jika kita membandingkan John Womack dan James L.Payne, Womack sangat memahami pengertian paradigma sebelum melakukan penelitian sosialnya. Sementara, Payne tidak begitu memahami paradigma sosial yang sedang dia teliti dan bahkan merasa sudah mengetahui secara sempurna obyek yang dia teliti.
Singkatnya, paradigma itu harus digunakan sebagai alat dalam penelitian yang dilakukan dengan sebaik-baiknya.

2.3.            MENGAPA TEOLOGI KONTEKSTUAL PERLU DIMULAI DENGAN MEMAHAMI PARADIGMA?
Untuk memahami teologi kontekstual,  maka kita harus memahami lebih dahulu paradigma kontekstual. Paradigma kontekstual itu adalah sebuah paradigma yang tertanam lama di dalam diri kita, dan dibenarkan oleh lingkungan sekitar kita, dengan sendirinya lambat laun akan melekat dalam diri, menjadi tolak ukur kita dan melihatnya sebagai pendapat yang paling benar. Artinya, paradigma itu lahir, tumbuh dan berkembang dari konteks kita sendiri. Karena itu, untuk menghasilkan sebuah teologi kontekstual, kita harus memahami, mengerti dan menghidupi realitas sosial yang telah, sedang dan akan terjadi di dalam konteks kehidupan kita sehari-hari. Paradigma itu digunakan untuk dapat memetakan dengan sebaik-baiknya penelitian yang harus dilaksanakan.
Stephen B. Bevans dalam bukunya Teologi Kontekstual telah memperkenalkan suatu gagasan baru mengenai model teologi yang tepat untuk zaman sekarang. Bagi Bevans berteologi dari konteks bukanlah hal yang mustahil dan mengada-ada, terbukti bahwa pada zaman sekarang istilah kontekstualisasi semakin populer. Hal itu dapat kita lihat dengan munculnya berbagai macam teologi, seperti: teologi feminis, teologi hitam, teologi pembebasan, teologi Filipina, teologi Asia-Amerika, teologi Afrika, dll.
Berteologi kontekstual adalah tugas dan tanggungjawab semua orang beriman Kristiani. Semua orang Kristiani ditantang Bevans untuk berani berteologi dari konteks. Dalam kontekstualisasi, orang akan berhadapan dengan konteks kebudayaan dan agama yang tradisional di satu pihak, tetapi di pihak lain bergumul juga dengan konteks modernisasi yang menyebabkan perubahan nilai, khususnya segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat manusia. Sudah tentu, teologi kontekstual bukan lagi menjadi suatu pilihan yang bersifat fakultatif, melainkan suatu imperatif teologi.
Bevans juga telah menunjukkan kepada kita tentang segi ketidaksinambungan dan kesinambungan dari sebuah pendekatan kontekstual terhadap teologi dalam perbandingannya dengan teologi tradisional atau klasik. Dalam hal ini, Bevans telah menunjukkan perbedaan teologi klasik dengan teologi kontekstual dari sudut cara berteologi. Pada teologi klasik, teologi dimengerti sebagai sebuah refleksi dalam iman yang menyangkut dua sumber berteologi (loci theologici), yakni Kitab Suci dan tradisi. Sedangkan pada teologi kontekstual, kita tidak saja harus memakai dua sumber teologi, tetapi juga kita perlu mengakui keabsahan locus theologicus yang lain, seperti pengalaman manusia jaman sekarang. Dengan kata lain, teologi kontekstual telah memakai tiga sumber untuk berteologi, yakni Kitab Suci, tradisi dan konteks hidup manusia jaman sekarang. Dengan demikian Teologi Kontekstual memahami teologi sebagai sesuatu yang subjektif. Sedangkan Teologi klasik lebih memahami teologi sebagai sesuatu yang bersifat objektif.


3.                  PARADIGMA PLURALISME AGAMA
Penelitian yang akan saya lakukan berada di tengah-tengah agama mayoritas Islam di daerah Angkola, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Di daerah inilah orang Batak pertama dibaptiskan menjadi Kristen, yakni Simon Siregar dan Yakobus Tampubolon pada 15 Maret 1861. Kekristenan di daerah Angkola ini sudah berusia 150 tahun. Kekristenan di daerah Angkola ini tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Hal ini disebabkan karena di daerah Angkola sebelumnya sudah dimasuki oleh agama Islam dan juga akibat pengaruh Perang Padri (Imam Bonjol) ketika itu. Melihat keadaan ini, maka para misionaris mengembangkan pelayanan misinya ke Tapanuli bagian Utara. Di daerah Tapanuli bagian Utara, kekristenan berkembang secara signifikan bahkan dengan cepat daerah Silindung menjadi penganut Agama Kristen. Dalam usia yang ke 150 tahun ini, saya melihat perlu merefleski ulang misi Kristen di daerah Angkola.
Untuk melihat dan meneliti realitas sosial dan keagamaan ini, maka saya memilih paradigma pluralisme agama sebagai alat penelitian saya. Mengapa? Karena dalam paradigma sangat membantu saya untuk melakukan penelitian itu.
Ada dua pemikiran tokoh yang menjadi inti dalam paradigma ini, yaitu David Brown dan Ibrahim Kalin. Teori mereka menekankan hidup yang harmonis bagi semua orang. Persoalannya adalah bagaimana cara merajut kerukunan diantara keberbedaan?  Brown maupun Kalin menentukan pemaknaan pluralisme pada titik pijak yang sama yakni paradigma teologi. Bahwa pada tataran berteologi, perlu ada reinterpretasi terhadap Kitab Suci maupun rumusan tradisi agar berdampak positif bagi pluralisme. Brown merujuknya pada Kitab Suci dan tradisi. Kalin menegaskan konsep pluralisme dari rujukan perjalanan sejarah maupun Kitab Suci.
1.      Konsep Pluralisme menurut David Brown[1]
Brown mengkomunikasikan paradigama pluralisme dari pemaknaan terhadap doktrin Kristen yang terbangun dalam tradisi dan kitab suci. Kedudukan tradisi dan kitab suci tidak diantitesakan tetapi saling melengkapi satu dengan yang lain.
Ada beberapa teori David Brown yang sangat menolong saya dalam melakukan penelitian ini seperti:
a.      Tradisi sebagai pewahyuan
v  Modernisme (pencerahan) dan Postmodernisme
v  Reinterpretasi terhadap kitab suci
b.      Teks Yang Berkembang
v  Pemberitaan ulang cerita para leluhur (suatu upaya dialog antara Yahudi, Kristen dan Islam).
c.       Kristus : Perubahan dan imajinasi
v  Pemahaman tentang Tritunggal dalam Missio Dei

2.      Konsep Pluralisme Menurut Kalin[2]
Saya juga akan mencoba memakai beberapa teori Kalin dalam melakukan penelitian ini seperti:
a.      Perjumpaan Islam – Kristen dan Konflik yang berkepanjangan
Teori Kalin ini akan membantu saya dalam rangka melihat realitas yang ada dalam Sejarah perjumpamaan komunitas Kristen dan Islam, yakni :
1)   Realitas Kerukunan
2)   Realitas Ketegangan
b.       “Sebuah Persamaan”: Suatu dasar teologis bagi Dialog Islam – Kristen
Teori ini juga akan menolong saya dalam mencari titik temu atau persamaan dalam melaksanakan dialog Islam-Kristen seperti ajaran kasih kepada Allah dan kasih kepada manusia menurut Islam dan Kristen.

Teori paradigma pluralisme agama ini memiliki aspek-aspek inti yang akan digunakan dalam penelitian, yakni:
(1)         Fakta menunjukan bahwa sering terjadi konflik antar agama yang disebabkan karena cara pandang, sikap dan perilaku beragama yang cenderung bersifat eksklusif dan triumfalistik. Ironisnya cara pandang, sikap dan perilaku tersebut didasarkan pada dogma dan pandangan teologi yang diproduksi dari penafsiran tertentu terhadap teks-teks Kitab Suci masing-masing.   
(2)          Apabila fakta tersebut hendak diteliti, maka penelitian tersebut harus didasarkan pada paradigma pluralisme agama yang jelas. Paradigma tersebut didasari pada kesadaran dan pengakuan bahwa pluralitas agama adalah sebuah fakta sosial. Hal itu berarti  setiap agama memiliki kekhasan dan kebenaran tersendiri. Fakta ini harus dikelola secara arif agar bisa menjadi kekuatan untuk membangun kehidupan bersama. Tegasnya, setiap agama dapat saling  belajar dari kebenaran-kebenaran yang dimiliki agama lain (dalam kitab suci, tradisi, ajaran, teologi) untuk membangun kehidupan bersama dalam masyarakat majemuk, tentu tanpa kehilangan identitas.  Kesadaran ini akan membantu saya sebagai peneliti dan teolog untuk tetap menjaga jarak kritis sambil mencermati dan mempertanyakan setiap cara pandang, sikap dan perilaku beragama yang cenderung eksklusif dan triumfalistik yang diproduksi dan dilanggengkan melalu teks-teks kitab suci, ajaran, tradisi, maupun teologi yang dianut.
(3)         Dialog pada tataran teoretik  maupun praksis menjadi pilihan yang menarik  untuk proses saling mengenal, saling belajar dan  saling mengakui kekhasan (perbedaan) setiap agama. Dalam tataran teoretik, dialog untuk membangun paradigma pluralisme yang jelas pada tataran teologi penting untuk dilakukan. Dialog pada tataran ini dalam kenyataannnya seringkali menjadi sangat sensitif dan cenderung dihindari. Namun bagi saya dengan masuk ke ranah ini maka agama-agama akan lebih saling mengenal dan meminimalisir kesalahpahaman dan kecurigaannnya kepada agama lain. Dialog pada tataran teoretik akan lebih efektif bila dilakukan sejalan (terintegrasi) dengan  dialog secara praktis-prakmatis. Dimana agama-agama secara bersama melakukan berbagai kegiatan sosial, kemanusiaan, lingkungan hidup, dll untuk mengatasi berbagai masalah kemanusiaan dan lingkungan hidup yang menjadi masalah bersama saat ini. Dengan demikian, dalam penelitian, saya harus peka untuk mempertanyakan apakah program praktis didasari pada paradigma teologi yang jelas ataukah sebaliknya? Apakah dampak dari pendekatan tersebut bagi relasi antaragama? Apakah dialog pada tataran teologi juga terimplikasi dalam dialog karya? Siapa yang terlibat dalam dialog tersebut? Apakah grass root juga terlibat?

3.1.            KEKUATAN DAN KELEMAHAN PARADIGMA
A.    KEKUATAN
Saya melihat kekuatan paradigma pluralisme agama ini adalah kemampuannya untuk melihat perbedaan itu sebagai sebuah kekayaan yang harus dipertahankan dan diperjuangkan. Perbedaan bukan menjadi musuh dan alas an untuk merusak kerukunan beragama, melainkan keberagaman akan menjadi kekuatan dalam rangka membangun masyarakat yang lebih baik.
Kekuatan paradigma pluralisme agama ini adalah kemampuan menerima realitas sosial bahwa setiap agama pada dasarnya berbeda dan mempunyai jalan keselamatan sendiri. Namun ada persamaan yang senantiasa ada, yaitu nilai-nilai perenial agama yang mengajarkan tentang kebaikan, perdamaian, melarang kejahatan, serta tolong-menolong dengan orang lain. John Harwood Hicks (1973) yang melakukan revolusi dalam teologi agama-agama berpendapat bahwa teologi agama-agama harus senantiasa diperbarui guna menyesuaikan diri dengan pengetahuan manusia dan perkembangan zaman. Paradigma baru itu adalah dialog dan kerja sama antaragama untuk menciptakan kemanusiaan universal dan keselamatan sosial demi perdamaian di muka Bumi. Metafor yang mengukuhkan paradigma pluralisme agama adalah pelangi. Maksudnya, pada dasarnya semua agama mempunyai warna dasar yang sama, yaitu warna putih. Akan tetapi, warna ini sering tidak terlihat dari warna luarnya yang berupa hijau, biru , kuning, dan sebagainya, yang sebetulnya menyimpan warna putih juga (baca-Kristen, Budha, Islam, dan sebagainya). Warna dasar pelangi inilah yang dalam agama dinamakan sebagai “agama primordial” atau “nilai perenial”.
Selain itu, paradigma agama ini memiliki paradigma paradigma inklusif. Menurut kalangan ini agama-agama itu pada dasarnya semuanya berasal dari Yang Satu. Sedangkan perbedaan agama, hanyalah jalan menuju ke Yang Satu.



B.     KELEMAHAN
Kelemahan paradigma ini adalah pada paradigma eksklusif. Paradigma ini mengakui bahwa agama merekalah yang menjadi satu-satunya jalan keselamatan, sedangkan agama lain semuanya menuai kesalahan. Bagi agama Kristiani, pandangan ini menganggap bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan untuk keselamatan. “Akulah jalan kebenaran dan hidup, tidak ada yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku”, sehingga muncullah perumusan istilah extra ecclesiam nulla salus (tidak ada keselamatan di luar Gereja) yang pernah dikukuhkan dalam Konsili Florence 1442. Sedangkan bagi kalangan Islam, landasan teologisnya adalah penafsiran secara tekstual pada ayat-ayat Al Quran tentang kebenaran tunggal agama Islam. “Sesungguhnya agama (al-din) disisi Allah adalah Islam” dan ada ayat lain yang memperkuat ayat ini berbunyi “Barang siapa mencari agama selain Islam, maka (agama itu) sekali-kali tidak akan diterima dari Dia, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi”. Implikasi sosial dari pandangan-pandangan tersebut adalah tertutupnya pintu dialog dan kerja sama antar agama. Bahkan, bisa jadi keragaman pemikiran dalam agama sejenis tertutupi oleh dominasi sekelompok paham. Pluralisme adalah pondasi dalam membangun masyarakat demokratis, bukan paham yang merusak agama atau anti agama, yang merupakan statement bagi para penentang paham pluralisme yaitu kaum Tradisional, fundamentalis dan konservatisme yang selama ini mereka teriakan.
Memang ada banyak paradigma dalam pluralisme agama ini. Setidaknya ada enam paradigma yang dianut kaum pluralis menurut Anselm Min, yakni: Pertama, the phenomenalist pluralism (John Hick dan Paul Knitter). Dalam pendekatan ini agama hanya dilihat sebagai fenomena respon yang berbeda terhadap realitas transenden yang satu (baca: Allah). Pendekatan ini lebih theosentris. Mereka percaya bahwa Allah yang esa itu tidak bisa dipenjara oleh satu agama atau doktrin agama mana pun. Keanekaragaman agama bukan dilihat sebagai keanekaragaman Allah tetapi keanekaragaman interpretasi tentang Allah yang bekerja dan dipahami di dalam konteks historis dan budaya masyarakat di mana Allah menyatakan diri. Oleh karena itu mereka mengakui adanya kebenaran pada agama-agama lain. Semua agama dianggap menyembah Allah yang menyatakan diri dan dipahami dalam berbagai interpretasi. Kelemahan utama yang tidak diperhitungkan adalah bahwa tidak semua agama menyembah Allah. Misalnya agama Buddha.
Kedua, the universalist pluralism (Leonard Swidler, Wilffred Cantwell Smith, Ninian Smart, dsb). Pendekatan ini menekankan kemungkinan dan bahkan keperluan dibuatnya satu teologi yang universal berdasarkan pengalaman sejarah agama-agama. Kelemahannya adalah pendekatan ini terlalu menekankan universalitas yang bisa mengorbankan partikularis atau kekhasan setiap agama. Pendekatan ini bisa terlalu menekankan persamaan sehingga mengabaikan adanya perbedaan.
Ketiga, soteriosentrik pluralism (Rosemary Ruether, Suchocki, Tom Driver dan juga Knitter) menegaskan perlu keadilan sebagai ukuran dan praxis bersama umat berbagai agama. Dalam pendekatan ini umat beragama didorong untuk bekerja-sama secara fungsional dalam menangani persoalan sosial dan politik demi kemaslahatan bersama. Tetapi, kelemahan pendekatan ini ialah bahwa ia menghindari umat untuk berbicara dan saling berdiskusi tentang persoalan dogma dan doktrin agama.
Keempat, pluralisme ontologis dengan tokohnya Panikkar yang menegaskan bahwa pluralisme bukanlah sekedar suatu pengetahuan tetapi bahkan eksistensi dan hakikat hidup manusia. Pendekatan lebih bersifat kristosentris. Dalam pendekatan ini, Kristus mewujudkan diri dalam berbagai agama lain sebagai pribadi yang berbeda. Kristus dalam agama Kristen menampilkan diri dalam diri Yesus. Kristus dalam agama Hindu menampilkan diri dalam diri dewa Wisnu atau Dewi Sri. Kristus bisa pula menampilkan diri sebagai Tao atau bahkan sebagai Muhammad. Pendekatan ini cukup dipengaruhi pemikiran Hindu yang memiliki ribuan dewa/dewi.
Kelima, Kristosentris pluralis tokohnya adalah Hans Kung, John Cobb, Jurgen Moltmann, Kenneth Surin, dsb. Pendekatan ini menegaskan bahwa meskipun kita harus menghargai agama-agama lain, orang Kristen harus tetap mengakui identitas dan finalitas Yesus Kristus sebagai juruselamat dunia. Tanpa pengakuan ini, orang Kristen kehilangan identitas Kristennya. Sebaliknya, tanpa sikap positif terhadap agama lain, orang Kristen terjebak dalam kepongahan rohaninya. Kelemahan pendekatan ini justru sebaliknya dari pendekatan ketiga. Pendekatan ini lebih bersikap deduktif dan bisa terjebak pada abstraksi teologis yang tidak relevan bagi kehidupan kita kini.
Keenam, Kristologi yang Soteriosentris. Eka Darmaputera salah satu tokohnya. Posisi ini sangat menekankan Kristosentris, tetapi Yesus Kristus yang ditekankan di sini bukanlah Yesus yang kita kenal melalui doktrin dan dogma. Paradigma ini menekankan Yesus sebagai Anak Allah yang ‘care’ pada manusia dan dunia serta rela berinkarnasi untuk masuk, hidup dan berjuang untuk menciptakan keadilan dan perdamaian di dalam dunia di tengah umat manusia. Bagi pendekatan ini, seorang Kristen belum sungguh-sungguh ‘Kristen’ bila belum meneladani sikap hidup Kristus.

3.2.            MANFAAT PARADIGMA PLURALISME DALAM PENELITIAN TEOLOGI KONTEKSTUAL
Paradigma pluralisme agama ini sangat bermafaat dalam penelitian teologi kontekstual. Karena dengan paradigma ini kita akan melihat perbedaan sebagai alat persatu dan menuju keharmonisan. Pluralisme agama menolong kita untuk rendah hati menyadari bahwa sikap superioritas tidak bermanfaat untuk mengerti orang lain lebih baik sebab Allah mengasihi semua manusia tanpa terkecuali, dan karenanya kita harus menjadi sesama (Luk. 10:36) atau menjadi sahabat bagi saudara-saudara kita yangberkepercayaan lain[3]. Pluralisme agama bukan berarti percampuran atau sinkretisme, sebab keunikan masing-masing agama tetap dapat dipertahankan dan dapat dikomunikasikan; dan bukan untuk dipertandingkan.
Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa agama Kristen bukan jalan keselamatan satu-satunya, melainkan satu dari antara bebarapa jalan lainnya dan begitu sebaliknya. Keterbukaan semacam ini menumbuhkan perdamaian dan toleransi dan bukan pada tempatnya lagi saling menghujat, menyalahkan, apalagi membunuh.[4]

3.3.            YANG PERLU DISEMPURNAKAN DALAM PARADIGMA PLURALISME AGAMA
Dalam era globalisasi, agama-agama tetap memainkan peranan penting agar masyarakat tidak hanyut dalam arus fundamentalisme dan liberalisme, karena keduanya tidak peduli dengan eksistensi orang lain. Jika agama-agama tidak dapat berdialog, maka kekerasan atas nama agama dapat mencederai kesatuan bangsadan menciptakan ketakutan dalam masyarakat. Pluralisme agama menjadikan dikotomi mayoritas-minoritas tidak relevan lagi sebab semua umat beragama berpotensi sama baiknya membangun kehidupan bersesama secara damai dalam bingkai kepelbagaian dalam kesatuan (bhineka tunggal ika).
Karena itu yang perlu disempurnakan dalam paradigma ini adalah penguatan dialog di antara semua agama yang ada di Indonesia.



[1] David Brown, Tradition and Imagination, New York: Oxford University Press, 1999.
[2] Ibrahim Kalin,“Islam, Christianity, the Enlightenment: “A Common Word” and Islam-Christian Relations,” Islam Christian Understanding. Theory and Appliaction  of “A Common Word”, eds. Waleed El-Ansary and David K. Linnan (New York, 2011), hl. 41
[3] Eka Darmaputera, “Teologi Persahabatan antar umat Beragama”, dalam Karel Erari, et.al., Keadilan Bagi yang Lemah: Buku Peringatan Hari Jadi ke-67 Prof. Dr. Ihromi, MA, (Jakarta, tanpa penerbit, 1995), hl. 194.
[4] M. Amin Abdullah, “Kebebasan Beragama atau Dialog Antar-agama”, dalamJ.B. Banawiratma, dkk., Hak Asasi Manusia Tantangan bagi Agama, (Jogyakarta:Kanisuis, 1999), hlm.58-59
widgeo.net

UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS)


1.                  Buku Bacaan: Farsijana Adeney-Risakota, “Personal Background to the Research” dalam Farsijana Adeney-Risakota, Politics, Ritual and Identity in Indonesia: A Moluccan History of Religion and Social Conflict, Nijmegen: Radboud Nijimegen Universiteit, 2005, hl. 11-19.

1.1.            PENGALAMAN PENELITI
Pertama, peneliti terlibat langsung dalam peristiwa yang terjadi di Maluku Utara tepatnya di Ngidiho. Peneliti mengalami trauma dari peristiwa itu. Mengapa? Karena beberapa saat setelah peristiwa di Maluku Utara itu berlangsung, beberapa orang berpendapat bahwa penelitian peneliti akan segera berakhir. Alasan mereka sangat kuat karena desa yang menjadi obyek penelitian telah hancur dan rata dengan tanah. Pengalaman ini sangat kuat mempengaruhi peneliti untuk melanjutkan risetnya. Bahkan yang paling menarik dari pengalaman peneliti adalah walau penelitian ini memiliki pengalaman yang traumatik, tetapi peneliti sekaligus menjadikan penelitian ini sebagai terapi kesembuhan baginya.   
Singkatnya, pengalaman peneliti turut membentuk sebuah penelitian sosial dan bahkan memberikan sebuah pencerahan dalam dunia penelitian saat ini.

1.2.            PERSYARATAN YANG DIPERLUKAN SEORANG PENELITI UNTUK DAPAT MENERUSKAN SUATU PENELITIAN YANG HARUS BERUBAH TANPA DIRENCANAKANNYA
Apakah peristiwa yang sangat mengerikan itu akan memberhentikan peneliti dalam melakukan tugasnya? Tidak. Ternyata peneliti berkata,”Tragedi ini bukanlah akhir dari penelitian saya”. Melihat pengalaman peneliti yang mengalami tragedi, hal yang harus dimiliki seorang peneliti jika mengalami masalah atau tragedi dalam penelitiannya adalah pertama, harus memiliki komitment yang teguh untuk meneruskan penelitian itu. Peneliti berkata, “Semakin banyak aku menuliskan pemikiranku, semakin kusadari bahwa penelitianku sekarang semakin berharga”. Kedua, harus percaya diri. Pengalaman peneliti mengatakan bahwa walaupun tak seorang dapat mengklaim penelitian itu secara obyektif sempurna, tetapi dia secara bebas meneruskan penelitiannya tanpa tergoda jatuh dalam emosi yang ekstrim dalam peristiwa peperangan itu. Ketiga, harus mempu melihat kebenaran yang esensi dari setiap peristiwa yang terjadi. Peneliti menyakini bahwa dari peristiwa yang tejadi itu pasti akan ditemukan sebuah kebenaran yang esensi yang diekspresikan melalui sebuah proses yang tiada berkahir sampai kapan pun.

1.3.            MENGANTISIPASI KEMUNGKINAN-KEMUNGKINAN
Berdasarkan pengalaman peneliti ini ada beberapa cara dalam mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan perjalanan penelitian perlu disesuaikan dari perencanaan semula adalah pertama, harus mampu mengerti pertanyaan dan mencoba menjawabnya. Dengan pertanyaan dan jawaban tersebut. memampukan peneliti memetakan konflik dan penelitian serta bagaimana mengatur dan memberhentikan kekerasan. Kedua, peneliti harus tanpa batasan-batasan. Artinya, dalam melakukan penelitian itu seorang peneliti jangan terlibat dalam sebuah kelompok tertentu atau memihak kepada kelompok tertentu, tetapi peneliti harus mampu masuk kepada semua pihak yang sedang kita teliti. Dengan kata lain, peneliti harus pandai-pandai memasukkan diri kepada masyarakat yang sedang kita teliti. Ketiga, peneliti harus memiliki sifat fleksibilitas. Melalui peristiwa yang terjadi itu, peneliti merasa tidak mungkin membuat sebuah tulisan berdasarkan penelitian akademis, karena peneliti bingung harus berdiri di posisi mana, kemudian harus berhati-hati menuliskan peristiwa yang telah terjadi agar tidak ada ketersinggungan di antara pihak yang bertikai. Karena itu, peneliti mengatakan, “Disertasi ini bukanlah hanya sebuah laporan akademik, melainkan disertasi ini juga merupakan sebuah novel”. Lebih lanjut peneliti mengatakan bahwa penelitian disertasi ini memiliki dua sisi yang saling mengisi yakni penelitian naratif dan penelitian akademik. Disinilah perlunya fleksibilitas tersebut terjadi. Sebagai penelitian yang akademis, harus akurat, jujur dan tidak memihak.
Keempat, peneliti harus mampu kreatif. Seorang peneliti harus mampu banyak mendengar, bersaksi dan merefleksikan pemikiran lokal, kebiasan setempat secara kreatif untuk dijadikan menjadi sebuah peta mengatasi sebuah masalah. Peneliti juga tidak hanya memiliki hanya satu fokus saja melainkan harus mampu melihat hal-hal lain yang terjadi dalam penelitian kita. Seorang peneliti yang kreatif akan menjadikan masyarakat sebagai agen perubahan itu sendiri.






2.                  Buku Bacaan: Albert O.Hirschman, “The Search for Paradigms as a Hindrance to Understanding” dalam Paul Rabinow & William M.Sullivan, Interpretive Social Science a Reader, Berkeley: UC Berkeley, 1979, hl. 169-1179.

2.1.            PENGERTIAN PARADIGMA
Paradigma adalah kumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir seseorang sebagai titik tolak pandangannya sehingga akan membentuk citra subjektif seseorang – mengenai realita – dan akhirnya akan menentukan bagaimana seseorang menanggapi realita itu.
Istilah paradigama ilmu pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn melalui bukunya yang berjudul “The Structur of Science Revolution”. Kuhn menjelaskan paradigma dalam dua pengertian. Di satu pihak paradigma berarti keseluruhan konstelasi kepercayaan, nilai, teknik yang dimiliki bersama oleh anggota masyarakat ilmiah tertentu. Di pihak lain paradigma menunjukkan sejenis unsur pemecahan teka-teki yang konkrit yang jika digunakan sebagai model, pola atau contoh dapat menggantikan kaidah-kaidah yang secara eksplisit sebagai atau menjadi dasar bagi pemecahan permasalahan dan teka-teki normal sains yang belum tuntas.
Paradigma merupakan elemen primer dalam progress sains. Seorang ilmuwan selalu bekerja dengan paradigma tertentu, dan teori-teori ilmiah dibangun berdasarkan paradigma dasar. Melalui sebuah paradigma seorang ilmuwan dapat memecahkan kesulitan-kesulitan yang lahir dalam kerangka ilmunya, sampai muncul begitu banyak anomali yang tidak dapat dimasukkan ke dalam kerangka ilmunya sehingga menuntut adanya revolusi paradigmatik terhadap ilmu tersebut. Menurut Kuhn, ilmu dapat berkembang secara open-ended(sifatnya selalu terbuka untuk direduksi dan dikembangkan). Kuhn berusaha menjadikan teori tentang ilmu lebih cocok dengan situasi sejarah dengan demikian diharapkan filsafat ilmu lebih mendekati kenyataan ilmu dan aktifitas ilmiah sesungguhnya. Menurut Kuhn ilmu harus berkembang secara revolusioner bukan secara kumulatif sebagaimana anggapan kaum rasionalis dan empiris klasik sehingga dalam teori Kuhn faktor sosiologis historis serta psikologis ikut berperan.
Paradigma membantu seseorang dalam merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan apa yang harus dijawab dan aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan jawaban yang diperoleh.
Dari bacaan buku Albert H.Hirschman, dijelaskannya bahwa ada dua penulis buku sejarah tentang Revolusi yakni, John Womack yang menulis tentang Revolusi Meksiko dan James L.Payne yang menulis tentang Revolusi di Kolombia. Kedua penulis ini memiliki perbedaan yang kontras.  Pertama, paradgima yang dibangun Womack merangsang keingintahuan pembaca dengan imajinasi yang baik. Artinya, Womack membangun sebuah paradigma yang positif dari peristiwa yang telah terjadi itu. Sementara, Payne, menggunakan paradigma untuk memprovokasi resistensi pembaca dan bahkan memberikan paradigma yang negatife yang memancing emosi para pembacanya.
Kedua, perbedaan dalam gaya kognitif, Payne, dari halaman pertama sampai terakhir, berkeyakinan bahwa ia telah mencapai pemahaman yang lengkap dari subjek, sedangkan Womack menarik kesimpulan dengan dengan sangat hati-hati. Ia menghormati otonomi para aktor yang ia ceritakan sehingga bukunya memberikan daya tarik khusus sehingga ia menerima penghargaan dari Fuentes Carlos di New York Review of Books.

2.2.            MENGAPA DIPERLUKAN PENGERTIAN PARADIGMA?
Pengertian paradigma sangat diperlukan untuk dapat membantu peneliti memahami persoalan realitas sosial yang sedang diteliti. Karena paradigma itu sudah ada dalam diri kita dan mempengaruhi pikiran, ucapan dan tindakan kita, maka kita akan sangat diuntungkan kalau kita memahaminya. Paham akan paradigma dan pengaruhnya akan memudahkan kita melakukan komunikasi dan membuat kerjasama dengan orang lain, karena kita akan mampu memahami orang lain, membuat pikiran kita terbuka dan kreatif.
Jika kita membandingkan John Womack dan James L.Payne, Womack sangat memahami pengertian paradigma sebelum melakukan penelitian sosialnya. Sementara, Payne tidak begitu memahami paradigma sosial yang sedang dia teliti dan bahkan merasa sudah mengetahui secara sempurna obyek yang dia teliti.
Singkatnya, paradigma itu harus digunakan sebagai alat dalam penelitian yang dilakukan dengan sebaik-baiknya.

2.3.            MENGAPA TEOLOGI KONTEKSTUAL PERLU DIMULAI DENGAN MEMAHAMI PARADIGMA?
Untuk memahami teologi kontekstual,  maka kita harus memahami lebih dahulu paradigma kontekstual. Paradigma kontekstual itu adalah sebuah paradigma yang tertanam lama di dalam diri kita, dan dibenarkan oleh lingkungan sekitar kita, dengan sendirinya lambat laun akan melekat dalam diri, menjadi tolak ukur kita dan melihatnya sebagai pendapat yang paling benar. Artinya, paradigma itu lahir, tumbuh dan berkembang dari konteks kita sendiri. Karena itu, untuk menghasilkan sebuah teologi kontekstual, kita harus memahami, mengerti dan menghidupi realitas sosial yang telah, sedang dan akan terjadi di dalam konteks kehidupan kita sehari-hari. Paradigma itu digunakan untuk dapat memetakan dengan sebaik-baiknya penelitian yang harus dilaksanakan.
Stephen B. Bevans dalam bukunya Teologi Kontekstual telah memperkenalkan suatu gagasan baru mengenai model teologi yang tepat untuk zaman sekarang. Bagi Bevans berteologi dari konteks bukanlah hal yang mustahil dan mengada-ada, terbukti bahwa pada zaman sekarang istilah kontekstualisasi semakin populer. Hal itu dapat kita lihat dengan munculnya berbagai macam teologi, seperti: teologi feminis, teologi hitam, teologi pembebasan, teologi Filipina, teologi Asia-Amerika, teologi Afrika, dll.
Berteologi kontekstual adalah tugas dan tanggungjawab semua orang beriman Kristiani. Semua orang Kristiani ditantang Bevans untuk berani berteologi dari konteks. Dalam kontekstualisasi, orang akan berhadapan dengan konteks kebudayaan dan agama yang tradisional di satu pihak, tetapi di pihak lain bergumul juga dengan konteks modernisasi yang menyebabkan perubahan nilai, khususnya segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat manusia. Sudah tentu, teologi kontekstual bukan lagi menjadi suatu pilihan yang bersifat fakultatif, melainkan suatu imperatif teologi.
Bevans juga telah menunjukkan kepada kita tentang segi ketidaksinambungan dan kesinambungan dari sebuah pendekatan kontekstual terhadap teologi dalam perbandingannya dengan teologi tradisional atau klasik. Dalam hal ini, Bevans telah menunjukkan perbedaan teologi klasik dengan teologi kontekstual dari sudut cara berteologi. Pada teologi klasik, teologi dimengerti sebagai sebuah refleksi dalam iman yang menyangkut dua sumber berteologi (loci theologici), yakni Kitab Suci dan tradisi. Sedangkan pada teologi kontekstual, kita tidak saja harus memakai dua sumber teologi, tetapi juga kita perlu mengakui keabsahan locus theologicus yang lain, seperti pengalaman manusia jaman sekarang. Dengan kata lain, teologi kontekstual telah memakai tiga sumber untuk berteologi, yakni Kitab Suci, tradisi dan konteks hidup manusia jaman sekarang. Dengan demikian Teologi Kontekstual memahami teologi sebagai sesuatu yang subjektif. Sedangkan Teologi klasik lebih memahami teologi sebagai sesuatu yang bersifat objektif.


3.                  PARADIGMA PLURALISME AGAMA
Penelitian yang akan saya lakukan berada di tengah-tengah agama mayoritas Islam di daerah Angkola, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Di daerah inilah orang Batak pertama dibaptiskan menjadi Kristen, yakni Simon Siregar dan Yakobus Tampubolon pada 15 Maret 1861. Kekristenan di daerah Angkola ini sudah berusia 150 tahun. Kekristenan di daerah Angkola ini tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Hal ini disebabkan karena di daerah Angkola sebelumnya sudah dimasuki oleh agama Islam dan juga akibat pengaruh Perang Padri (Imam Bonjol) ketika itu. Melihat keadaan ini, maka para misionaris mengembangkan pelayanan misinya ke Tapanuli bagian Utara. Di daerah Tapanuli bagian Utara, kekristenan berkembang secara signifikan bahkan dengan cepat daerah Silindung menjadi penganut Agama Kristen. Dalam usia yang ke 150 tahun ini, saya melihat perlu merefleski ulang misi Kristen di daerah Angkola.
Untuk melihat dan meneliti realitas sosial dan keagamaan ini, maka saya memilih paradigma pluralisme agama sebagai alat penelitian saya. Mengapa? Karena dalam paradigma sangat membantu saya untuk melakukan penelitian itu.
Ada dua pemikiran tokoh yang menjadi inti dalam paradigma ini, yaitu David Brown dan Ibrahim Kalin. Teori mereka menekankan hidup yang harmonis bagi semua orang. Persoalannya adalah bagaimana cara merajut kerukunan diantara keberbedaan?  Brown maupun Kalin menentukan pemaknaan pluralisme pada titik pijak yang sama yakni paradigma teologi. Bahwa pada tataran berteologi, perlu ada reinterpretasi terhadap Kitab Suci maupun rumusan tradisi agar berdampak positif bagi pluralisme. Brown merujuknya pada Kitab Suci dan tradisi. Kalin menegaskan konsep pluralisme dari rujukan perjalanan sejarah maupun Kitab Suci.
1.      Konsep Pluralisme menurut David Brown[1]
Brown mengkomunikasikan paradigama pluralisme dari pemaknaan terhadap doktrin Kristen yang terbangun dalam tradisi dan kitab suci. Kedudukan tradisi dan kitab suci tidak diantitesakan tetapi saling melengkapi satu dengan yang lain.
Ada beberapa teori David Brown yang sangat menolong saya dalam melakukan penelitian ini seperti:
a.      Tradisi sebagai pewahyuan
v  Modernisme (pencerahan) dan Postmodernisme
v  Reinterpretasi terhadap kitab suci
b.      Teks Yang Berkembang
v  Pemberitaan ulang cerita para leluhur (suatu upaya dialog antara Yahudi, Kristen dan Islam).
c.       Kristus : Perubahan dan imajinasi
v  Pemahaman tentang Tritunggal dalam Missio Dei

2.      Konsep Pluralisme Menurut Kalin[2]
Saya juga akan mencoba memakai beberapa teori Kalin dalam melakukan penelitian ini seperti:
a.      Perjumpaan Islam – Kristen dan Konflik yang berkepanjangan
Teori Kalin ini akan membantu saya dalam rangka melihat realitas yang ada dalam Sejarah perjumpamaan komunitas Kristen dan Islam, yakni :
1)   Realitas Kerukunan
2)   Realitas Ketegangan
b.       “Sebuah Persamaan”: Suatu dasar teologis bagi Dialog Islam – Kristen
Teori ini juga akan menolong saya dalam mencari titik temu atau persamaan dalam melaksanakan dialog Islam-Kristen seperti ajaran kasih kepada Allah dan kasih kepada manusia menurut Islam dan Kristen.

Teori paradigma pluralisme agama ini memiliki aspek-aspek inti yang akan digunakan dalam penelitian, yakni:
(1)         Fakta menunjukan bahwa sering terjadi konflik antar agama yang disebabkan karena cara pandang, sikap dan perilaku beragama yang cenderung bersifat eksklusif dan triumfalistik. Ironisnya cara pandang, sikap dan perilaku tersebut didasarkan pada dogma dan pandangan teologi yang diproduksi dari penafsiran tertentu terhadap teks-teks Kitab Suci masing-masing.   
(2)          Apabila fakta tersebut hendak diteliti, maka penelitian tersebut harus didasarkan pada paradigma pluralisme agama yang jelas. Paradigma tersebut didasari pada kesadaran dan pengakuan bahwa pluralitas agama adalah sebuah fakta sosial. Hal itu berarti  setiap agama memiliki kekhasan dan kebenaran tersendiri. Fakta ini harus dikelola secara arif agar bisa menjadi kekuatan untuk membangun kehidupan bersama. Tegasnya, setiap agama dapat saling  belajar dari kebenaran-kebenaran yang dimiliki agama lain (dalam kitab suci, tradisi, ajaran, teologi) untuk membangun kehidupan bersama dalam masyarakat majemuk, tentu tanpa kehilangan identitas.  Kesadaran ini akan membantu saya sebagai peneliti dan teolog untuk tetap menjaga jarak kritis sambil mencermati dan mempertanyakan setiap cara pandang, sikap dan perilaku beragama yang cenderung eksklusif dan triumfalistik yang diproduksi dan dilanggengkan melalu teks-teks kitab suci, ajaran, tradisi, maupun teologi yang dianut.
(3)         Dialog pada tataran teoretik  maupun praksis menjadi pilihan yang menarik  untuk proses saling mengenal, saling belajar dan  saling mengakui kekhasan (perbedaan) setiap agama. Dalam tataran teoretik, dialog untuk membangun paradigma pluralisme yang jelas pada tataran teologi penting untuk dilakukan. Dialog pada tataran ini dalam kenyataannnya seringkali menjadi sangat sensitif dan cenderung dihindari. Namun bagi saya dengan masuk ke ranah ini maka agama-agama akan lebih saling mengenal dan meminimalisir kesalahpahaman dan kecurigaannnya kepada agama lain. Dialog pada tataran teoretik akan lebih efektif bila dilakukan sejalan (terintegrasi) dengan  dialog secara praktis-prakmatis. Dimana agama-agama secara bersama melakukan berbagai kegiatan sosial, kemanusiaan, lingkungan hidup, dll untuk mengatasi berbagai masalah kemanusiaan dan lingkungan hidup yang menjadi masalah bersama saat ini. Dengan demikian, dalam penelitian, saya harus peka untuk mempertanyakan apakah program praktis didasari pada paradigma teologi yang jelas ataukah sebaliknya? Apakah dampak dari pendekatan tersebut bagi relasi antaragama? Apakah dialog pada tataran teologi juga terimplikasi dalam dialog karya? Siapa yang terlibat dalam dialog tersebut? Apakah grass root juga terlibat?

3.1.            KEKUATAN DAN KELEMAHAN PARADIGMA
A.    KEKUATAN
Saya melihat kekuatan paradigma pluralisme agama ini adalah kemampuannya untuk melihat perbedaan itu sebagai sebuah kekayaan yang harus dipertahankan dan diperjuangkan. Perbedaan bukan menjadi musuh dan alas an untuk merusak kerukunan beragama, melainkan keberagaman akan menjadi kekuatan dalam rangka membangun masyarakat yang lebih baik.
Kekuatan paradigma pluralisme agama ini adalah kemampuan menerima realitas sosial bahwa setiap agama pada dasarnya berbeda dan mempunyai jalan keselamatan sendiri. Namun ada persamaan yang senantiasa ada, yaitu nilai-nilai perenial agama yang mengajarkan tentang kebaikan, perdamaian, melarang kejahatan, serta tolong-menolong dengan orang lain. John Harwood Hicks (1973) yang melakukan revolusi dalam teologi agama-agama berpendapat bahwa teologi agama-agama harus senantiasa diperbarui guna menyesuaikan diri dengan pengetahuan manusia dan perkembangan zaman. Paradigma baru itu adalah dialog dan kerja sama antaragama untuk menciptakan kemanusiaan universal dan keselamatan sosial demi perdamaian di muka Bumi. Metafor yang mengukuhkan paradigma pluralisme agama adalah pelangi. Maksudnya, pada dasarnya semua agama mempunyai warna dasar yang sama, yaitu warna putih. Akan tetapi, warna ini sering tidak terlihat dari warna luarnya yang berupa hijau, biru , kuning, dan sebagainya, yang sebetulnya menyimpan warna putih juga (baca-Kristen, Budha, Islam, dan sebagainya). Warna dasar pelangi inilah yang dalam agama dinamakan sebagai “agama primordial” atau “nilai perenial”.
Selain itu, paradigma agama ini memiliki paradigma paradigma inklusif. Menurut kalangan ini agama-agama itu pada dasarnya semuanya berasal dari Yang Satu. Sedangkan perbedaan agama, hanyalah jalan menuju ke Yang Satu.



B.     KELEMAHAN
Kelemahan paradigma ini adalah pada paradigma eksklusif. Paradigma ini mengakui bahwa agama merekalah yang menjadi satu-satunya jalan keselamatan, sedangkan agama lain semuanya menuai kesalahan. Bagi agama Kristiani, pandangan ini menganggap bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan untuk keselamatan. “Akulah jalan kebenaran dan hidup, tidak ada yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku”, sehingga muncullah perumusan istilah extra ecclesiam nulla salus (tidak ada keselamatan di luar Gereja) yang pernah dikukuhkan dalam Konsili Florence 1442. Sedangkan bagi kalangan Islam, landasan teologisnya adalah penafsiran secara tekstual pada ayat-ayat Al Quran tentang kebenaran tunggal agama Islam. “Sesungguhnya agama (al-din) disisi Allah adalah Islam” dan ada ayat lain yang memperkuat ayat ini berbunyi “Barang siapa mencari agama selain Islam, maka (agama itu) sekali-kali tidak akan diterima dari Dia, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi”. Implikasi sosial dari pandangan-pandangan tersebut adalah tertutupnya pintu dialog dan kerja sama antar agama. Bahkan, bisa jadi keragaman pemikiran dalam agama sejenis tertutupi oleh dominasi sekelompok paham. Pluralisme adalah pondasi dalam membangun masyarakat demokratis, bukan paham yang merusak agama atau anti agama, yang merupakan statement bagi para penentang paham pluralisme yaitu kaum Tradisional, fundamentalis dan konservatisme yang selama ini mereka teriakan.
Memang ada banyak paradigma dalam pluralisme agama ini. Setidaknya ada enam paradigma yang dianut kaum pluralis menurut Anselm Min, yakni: Pertama, the phenomenalist pluralism (John Hick dan Paul Knitter). Dalam pendekatan ini agama hanya dilihat sebagai fenomena respon yang berbeda terhadap realitas transenden yang satu (baca: Allah). Pendekatan ini lebih theosentris. Mereka percaya bahwa Allah yang esa itu tidak bisa dipenjara oleh satu agama atau doktrin agama mana pun. Keanekaragaman agama bukan dilihat sebagai keanekaragaman Allah tetapi keanekaragaman interpretasi tentang Allah yang bekerja dan dipahami di dalam konteks historis dan budaya masyarakat di mana Allah menyatakan diri. Oleh karena itu mereka mengakui adanya kebenaran pada agama-agama lain. Semua agama dianggap menyembah Allah yang menyatakan diri dan dipahami dalam berbagai interpretasi. Kelemahan utama yang tidak diperhitungkan adalah bahwa tidak semua agama menyembah Allah. Misalnya agama Buddha.
Kedua, the universalist pluralism (Leonard Swidler, Wilffred Cantwell Smith, Ninian Smart, dsb). Pendekatan ini menekankan kemungkinan dan bahkan keperluan dibuatnya satu teologi yang universal berdasarkan pengalaman sejarah agama-agama. Kelemahannya adalah pendekatan ini terlalu menekankan universalitas yang bisa mengorbankan partikularis atau kekhasan setiap agama. Pendekatan ini bisa terlalu menekankan persamaan sehingga mengabaikan adanya perbedaan.
Ketiga, soteriosentrik pluralism (Rosemary Ruether, Suchocki, Tom Driver dan juga Knitter) menegaskan perlu keadilan sebagai ukuran dan praxis bersama umat berbagai agama. Dalam pendekatan ini umat beragama didorong untuk bekerja-sama secara fungsional dalam menangani persoalan sosial dan politik demi kemaslahatan bersama. Tetapi, kelemahan pendekatan ini ialah bahwa ia menghindari umat untuk berbicara dan saling berdiskusi tentang persoalan dogma dan doktrin agama.
Keempat, pluralisme ontologis dengan tokohnya Panikkar yang menegaskan bahwa pluralisme bukanlah sekedar suatu pengetahuan tetapi bahkan eksistensi dan hakikat hidup manusia. Pendekatan lebih bersifat kristosentris. Dalam pendekatan ini, Kristus mewujudkan diri dalam berbagai agama lain sebagai pribadi yang berbeda. Kristus dalam agama Kristen menampilkan diri dalam diri Yesus. Kristus dalam agama Hindu menampilkan diri dalam diri dewa Wisnu atau Dewi Sri. Kristus bisa pula menampilkan diri sebagai Tao atau bahkan sebagai Muhammad. Pendekatan ini cukup dipengaruhi pemikiran Hindu yang memiliki ribuan dewa/dewi.
Kelima, Kristosentris pluralis tokohnya adalah Hans Kung, John Cobb, Jurgen Moltmann, Kenneth Surin, dsb. Pendekatan ini menegaskan bahwa meskipun kita harus menghargai agama-agama lain, orang Kristen harus tetap mengakui identitas dan finalitas Yesus Kristus sebagai juruselamat dunia. Tanpa pengakuan ini, orang Kristen kehilangan identitas Kristennya. Sebaliknya, tanpa sikap positif terhadap agama lain, orang Kristen terjebak dalam kepongahan rohaninya. Kelemahan pendekatan ini justru sebaliknya dari pendekatan ketiga. Pendekatan ini lebih bersikap deduktif dan bisa terjebak pada abstraksi teologis yang tidak relevan bagi kehidupan kita kini.
Keenam, Kristologi yang Soteriosentris. Eka Darmaputera salah satu tokohnya. Posisi ini sangat menekankan Kristosentris, tetapi Yesus Kristus yang ditekankan di sini bukanlah Yesus yang kita kenal melalui doktrin dan dogma. Paradigma ini menekankan Yesus sebagai Anak Allah yang ‘care’ pada manusia dan dunia serta rela berinkarnasi untuk masuk, hidup dan berjuang untuk menciptakan keadilan dan perdamaian di dalam dunia di tengah umat manusia. Bagi pendekatan ini, seorang Kristen belum sungguh-sungguh ‘Kristen’ bila belum meneladani sikap hidup Kristus.

3.2.            MANFAAT PARADIGMA PLURALISME DALAM PENELITIAN TEOLOGI KONTEKSTUAL
Paradigma pluralisme agama ini sangat bermafaat dalam penelitian teologi kontekstual. Karena dengan paradigma ini kita akan melihat perbedaan sebagai alat persatu dan menuju keharmonisan. Pluralisme agama menolong kita untuk rendah hati menyadari bahwa sikap superioritas tidak bermanfaat untuk mengerti orang lain lebih baik sebab Allah mengasihi semua manusia tanpa terkecuali, dan karenanya kita harus menjadi sesama (Luk. 10:36) atau menjadi sahabat bagi saudara-saudara kita yangberkepercayaan lain[3]. Pluralisme agama bukan berarti percampuran atau sinkretisme, sebab keunikan masing-masing agama tetap dapat dipertahankan dan dapat dikomunikasikan; dan bukan untuk dipertandingkan.
Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa agama Kristen bukan jalan keselamatan satu-satunya, melainkan satu dari antara bebarapa jalan lainnya dan begitu sebaliknya. Keterbukaan semacam ini menumbuhkan perdamaian dan toleransi dan bukan pada tempatnya lagi saling menghujat, menyalahkan, apalagi membunuh.[4]

3.3.            YANG PERLU DISEMPURNAKAN DALAM PARADIGMA PLURALISME AGAMA
Dalam era globalisasi, agama-agama tetap memainkan peranan penting agar masyarakat tidak hanyut dalam arus fundamentalisme dan liberalisme, karena keduanya tidak peduli dengan eksistensi orang lain. Jika agama-agama tidak dapat berdialog, maka kekerasan atas nama agama dapat mencederai kesatuan bangsadan menciptakan ketakutan dalam masyarakat. Pluralisme agama menjadikan dikotomi mayoritas-minoritas tidak relevan lagi sebab semua umat beragama berpotensi sama baiknya membangun kehidupan bersesama secara damai dalam bingkai kepelbagaian dalam kesatuan (bhineka tunggal ika).
Karena itu yang perlu disempurnakan dalam paradigma ini adalah penguatan dialog di antara semua agama yang ada di Indonesia.



[1] David Brown, Tradition and Imagination, New York: Oxford University Press, 1999.
[2] Ibrahim Kalin,“Islam, Christianity, the Enlightenment: “A Common Word” and Islam-Christian Relations,” Islam Christian Understanding. Theory and Appliaction  of “A Common Word”, eds. Waleed El-Ansary and David K. Linnan (New York, 2011), hl. 41
[3] Eka Darmaputera, “Teologi Persahabatan antar umat Beragama”, dalam Karel Erari, et.al., Keadilan Bagi yang Lemah: Buku Peringatan Hari Jadi ke-67 Prof. Dr. Ihromi, MA, (Jakarta, tanpa penerbit, 1995), hl. 194.
[4] M. Amin Abdullah, “Kebebasan Beragama atau Dialog Antar-agama”, dalamJ.B. Banawiratma, dkk., Hak Asasi Manusia Tantangan bagi Agama, (Jogyakarta:Kanisuis, 1999), hlm.58-59