UJIAN TENGAH
SEMESTER (UTS)
1.
Buku Bacaan: Farsijana Adeney-Risakota, “Personal
Background to the Research” dalam Farsijana Adeney-Risakota, Politics, Ritual and Identity in Indonesia:
A Moluccan History of Religion and Social Conflict, Nijmegen: Radboud
Nijimegen Universiteit, 2005, hl. 11-19.
1.1.
PENGALAMAN PENELITI
Pertama, peneliti terlibat langsung
dalam peristiwa yang terjadi di Maluku Utara tepatnya di Ngidiho. Peneliti
mengalami trauma dari peristiwa itu. Mengapa? Karena beberapa saat setelah
peristiwa di Maluku Utara itu berlangsung, beberapa orang berpendapat bahwa
penelitian peneliti akan segera berakhir. Alasan mereka sangat kuat karena desa
yang menjadi obyek penelitian telah hancur dan rata dengan tanah. Pengalaman
ini sangat kuat mempengaruhi peneliti untuk melanjutkan risetnya. Bahkan yang
paling menarik dari pengalaman peneliti adalah walau penelitian ini memiliki
pengalaman yang traumatik, tetapi peneliti sekaligus menjadikan penelitian ini
sebagai terapi kesembuhan baginya.
Singkatnya, pengalaman peneliti turut
membentuk sebuah penelitian sosial dan bahkan memberikan sebuah pencerahan
dalam dunia penelitian saat ini.
1.2.
PERSYARATAN YANG DIPERLUKAN SEORANG PENELITI UNTUK DAPAT MENERUSKAN SUATU
PENELITIAN YANG HARUS BERUBAH TANPA DIRENCANAKANNYA
Apakah peristiwa yang sangat
mengerikan itu akan memberhentikan peneliti dalam melakukan tugasnya? Tidak.
Ternyata peneliti berkata,”Tragedi ini bukanlah akhir dari penelitian saya”. Melihat
pengalaman peneliti yang mengalami tragedi, hal yang harus dimiliki seorang
peneliti jika mengalami masalah atau tragedi dalam penelitiannya adalah pertama, harus
memiliki komitment yang teguh untuk meneruskan penelitian itu. Peneliti
berkata, “Semakin banyak aku menuliskan pemikiranku, semakin kusadari bahwa
penelitianku sekarang semakin berharga”. Kedua, harus percaya diri.
Pengalaman peneliti mengatakan bahwa walaupun tak seorang dapat mengklaim
penelitian itu secara obyektif sempurna, tetapi dia secara bebas meneruskan
penelitiannya tanpa tergoda jatuh dalam emosi yang ekstrim dalam peristiwa
peperangan itu. Ketiga, harus mempu melihat kebenaran yang esensi dari setiap
peristiwa yang terjadi. Peneliti menyakini bahwa dari peristiwa yang tejadi
itu pasti akan ditemukan sebuah kebenaran yang esensi yang diekspresikan
melalui sebuah proses yang tiada berkahir sampai kapan pun.
1.3.
MENGANTISIPASI KEMUNGKINAN-KEMUNGKINAN
Berdasarkan pengalaman peneliti ini ada beberapa cara
dalam mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan perjalanan
penelitian perlu disesuaikan dari perencanaan semula adalah pertama,
harus mampu mengerti pertanyaan dan
mencoba menjawabnya. Dengan pertanyaan dan jawaban tersebut. memampukan
peneliti memetakan konflik dan penelitian serta bagaimana mengatur dan
memberhentikan kekerasan. Kedua, peneliti harus tanpa batasan-batasan. Artinya, dalam melakukan
penelitian itu seorang peneliti jangan terlibat dalam sebuah kelompok tertentu
atau memihak kepada kelompok tertentu, tetapi peneliti harus mampu masuk kepada
semua pihak yang sedang kita teliti. Dengan kata lain, peneliti harus
pandai-pandai memasukkan diri kepada masyarakat yang sedang kita teliti. Ketiga, peneliti
harus memiliki sifat fleksibilitas. Melalui peristiwa yang terjadi itu,
peneliti merasa tidak mungkin membuat sebuah tulisan berdasarkan penelitian akademis,
karena peneliti bingung harus berdiri di posisi mana, kemudian harus
berhati-hati menuliskan peristiwa yang telah terjadi agar tidak ada
ketersinggungan di antara pihak yang bertikai. Karena itu, peneliti mengatakan,
“Disertasi ini bukanlah hanya sebuah laporan akademik, melainkan disertasi ini
juga merupakan sebuah novel”. Lebih lanjut peneliti mengatakan bahwa penelitian
disertasi ini memiliki dua sisi yang saling mengisi yakni penelitian naratif
dan penelitian akademik. Disinilah perlunya fleksibilitas tersebut terjadi.
Sebagai penelitian yang akademis, harus akurat, jujur dan tidak memihak.
Keempat, peneliti harus mampu kreatif. Seorang peneliti harus mampu banyak mendengar, bersaksi dan
merefleksikan pemikiran lokal, kebiasan setempat secara kreatif untuk dijadikan
menjadi sebuah peta mengatasi sebuah masalah. Peneliti juga tidak hanya
memiliki hanya satu fokus saja melainkan harus mampu melihat hal-hal lain yang
terjadi dalam penelitian kita. Seorang peneliti yang kreatif akan menjadikan
masyarakat sebagai agen perubahan itu sendiri.
2.
Buku Bacaan: Albert O.Hirschman, “The Search for
Paradigms as a Hindrance to Understanding” dalam Paul Rabinow & William
M.Sullivan, Interpretive Social Science a
Reader, Berkeley: UC Berkeley, 1979, hl. 169-1179.
2.1.
PENGERTIAN
PARADIGMA
Paradigma adalah kumpulan tata nilai yang membentuk
pola pikir seseorang sebagai titik tolak pandangannya sehingga akan membentuk
citra subjektif seseorang – mengenai realita – dan akhirnya akan menentukan
bagaimana seseorang menanggapi realita itu.
Istilah paradigama ilmu pertama kali diperkenalkan
oleh Thomas Kuhn melalui bukunya yang berjudul “The Structur of Science
Revolution”. Kuhn menjelaskan paradigma dalam dua pengertian. Di satu pihak
paradigma berarti keseluruhan
konstelasi kepercayaan, nilai, teknik yang dimiliki bersama oleh anggota
masyarakat ilmiah tertentu. Di pihak lain paradigma menunjukkan sejenis unsur
pemecahan teka-teki yang konkrit yang jika digunakan sebagai model, pola atau
contoh dapat menggantikan kaidah-kaidah yang secara eksplisit sebagai atau
menjadi dasar bagi pemecahan permasalahan dan teka-teki normal sains yang belum
tuntas.
Paradigma merupakan elemen primer dalam progress
sains. Seorang ilmuwan selalu bekerja dengan paradigma tertentu, dan
teori-teori ilmiah dibangun berdasarkan paradigma dasar. Melalui sebuah
paradigma seorang ilmuwan dapat memecahkan kesulitan-kesulitan yang lahir dalam
kerangka ilmunya, sampai muncul begitu banyak anomali yang tidak dapat
dimasukkan ke dalam kerangka ilmunya sehingga menuntut adanya revolusi
paradigmatik terhadap ilmu tersebut. Menurut Kuhn, ilmu dapat berkembang secara
open-ended(sifatnya selalu terbuka untuk direduksi dan dikembangkan). Kuhn
berusaha menjadikan teori tentang ilmu lebih cocok dengan situasi sejarah
dengan demikian diharapkan filsafat ilmu lebih mendekati kenyataan ilmu dan
aktifitas ilmiah sesungguhnya. Menurut Kuhn ilmu harus berkembang secara
revolusioner bukan secara kumulatif sebagaimana anggapan kaum rasionalis dan
empiris klasik sehingga dalam teori Kuhn faktor sosiologis historis serta
psikologis ikut berperan.
Paradigma membantu seseorang dalam merumuskan
tentang apa yang harus dipelajari, persoalan apa yang harus dijawab dan aturan
apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan jawaban yang diperoleh.
Dari
bacaan buku Albert H.Hirschman, dijelaskannya bahwa ada dua penulis buku
sejarah tentang Revolusi yakni, John Womack yang menulis tentang Revolusi
Meksiko dan James L.Payne yang menulis tentang Revolusi di Kolombia. Kedua
penulis ini memiliki perbedaan yang kontras.
Pertama, paradgima yang dibangun Womack
merangsang keingintahuan pembaca dengan imajinasi yang baik. Artinya,
Womack membangun sebuah paradigma yang positif dari peristiwa yang telah
terjadi itu. Sementara, Payne, menggunakan paradigma untuk memprovokasi resistensi pembaca dan bahkan memberikan paradigma
yang negatife yang memancing emosi para pembacanya.
Kedua, perbedaan dalam gaya kognitif, Payne, dari halaman
pertama sampai terakhir, berkeyakinan
bahwa ia telah mencapai pemahaman yang lengkap dari subjek, sedangkan Womack
menarik kesimpulan dengan dengan sangat hati-hati. Ia menghormati otonomi para aktor yang ia ceritakan sehingga bukunya memberikan daya tarik khusus sehingga ia
menerima penghargaan dari Fuentes Carlos di New
York Review of Books.
2.2.
MENGAPA
DIPERLUKAN PENGERTIAN PARADIGMA?
Pengertian paradigma sangat diperlukan untuk
dapat membantu peneliti memahami persoalan realitas sosial yang sedang
diteliti. Karena paradigma itu sudah ada dalam diri kita dan
mempengaruhi pikiran, ucapan dan tindakan kita, maka kita akan sangat
diuntungkan kalau kita memahaminya. Paham akan paradigma dan pengaruhnya akan
memudahkan kita melakukan komunikasi dan membuat kerjasama dengan orang lain,
karena kita akan mampu memahami orang lain, membuat pikiran kita terbuka dan
kreatif.
Jika
kita membandingkan John Womack dan James L.Payne, Womack sangat memahami
pengertian paradigma sebelum melakukan penelitian sosialnya. Sementara, Payne
tidak begitu memahami paradigma sosial yang sedang dia teliti dan bahkan merasa
sudah mengetahui secara sempurna obyek yang dia teliti.
Singkatnya,
paradigma itu harus digunakan sebagai alat dalam penelitian yang dilakukan
dengan sebaik-baiknya.
2.3.
MENGAPA
TEOLOGI KONTEKSTUAL PERLU DIMULAI DENGAN MEMAHAMI PARADIGMA?
Untuk
memahami teologi kontekstual, maka kita
harus memahami lebih dahulu paradigma kontekstual. Paradigma kontekstual itu adalah
sebuah paradigma yang tertanam lama di dalam diri kita, dan dibenarkan oleh
lingkungan sekitar kita, dengan sendirinya lambat laun akan melekat dalam diri,
menjadi tolak ukur kita dan melihatnya sebagai pendapat yang paling benar.
Artinya, paradigma itu lahir, tumbuh dan berkembang dari konteks kita sendiri.
Karena itu, untuk menghasilkan sebuah teologi kontekstual, kita harus memahami,
mengerti dan menghidupi realitas sosial yang telah, sedang dan akan terjadi di
dalam konteks kehidupan kita sehari-hari. Paradigma itu digunakan untuk dapat
memetakan dengan sebaik-baiknya penelitian yang harus dilaksanakan.
Stephen B. Bevans dalam bukunya
Teologi Kontekstual telah memperkenalkan suatu gagasan baru mengenai model
teologi yang tepat untuk zaman sekarang. Bagi Bevans berteologi dari konteks
bukanlah hal yang mustahil dan mengada-ada, terbukti bahwa pada zaman sekarang
istilah kontekstualisasi semakin populer. Hal itu dapat kita lihat dengan
munculnya berbagai macam teologi, seperti: teologi feminis, teologi hitam,
teologi pembebasan, teologi Filipina, teologi Asia-Amerika, teologi Afrika,
dll.
Berteologi kontekstual adalah tugas dan
tanggungjawab semua orang beriman Kristiani. Semua orang Kristiani ditantang
Bevans untuk berani berteologi dari konteks. Dalam kontekstualisasi, orang akan
berhadapan dengan konteks kebudayaan dan agama yang tradisional di satu pihak,
tetapi di pihak lain bergumul juga dengan konteks modernisasi yang menyebabkan
perubahan nilai, khususnya segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat
manusia. Sudah tentu, teologi kontekstual bukan lagi menjadi suatu pilihan yang
bersifat fakultatif, melainkan suatu imperatif teologi.
Bevans juga telah menunjukkan kepada
kita tentang segi ketidaksinambungan dan kesinambungan dari sebuah pendekatan
kontekstual terhadap teologi dalam perbandingannya dengan teologi tradisional
atau klasik. Dalam hal ini, Bevans telah menunjukkan perbedaan teologi klasik
dengan teologi kontekstual dari sudut cara berteologi. Pada teologi klasik,
teologi dimengerti sebagai sebuah refleksi dalam iman yang menyangkut dua
sumber berteologi (loci theologici), yakni Kitab Suci dan tradisi. Sedangkan
pada teologi kontekstual, kita tidak saja harus memakai dua sumber teologi,
tetapi juga kita perlu mengakui keabsahan locus theologicus yang lain, seperti
pengalaman manusia jaman sekarang. Dengan kata lain, teologi kontekstual telah
memakai tiga sumber untuk berteologi, yakni Kitab Suci, tradisi dan konteks
hidup manusia jaman sekarang. Dengan demikian Teologi Kontekstual memahami
teologi sebagai sesuatu yang subjektif. Sedangkan Teologi klasik lebih memahami
teologi sebagai sesuatu yang bersifat objektif.
3.
PARADIGMA
PLURALISME AGAMA
Penelitian yang akan saya lakukan berada
di tengah-tengah agama mayoritas Islam di daerah Angkola, Tapanuli Selatan,
Sumatera Utara. Di daerah inilah orang Batak pertama dibaptiskan menjadi
Kristen, yakni Simon Siregar dan Yakobus Tampubolon pada 15 Maret 1861. Kekristenan
di daerah Angkola ini sudah berusia 150 tahun. Kekristenan di daerah Angkola
ini tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Hal ini disebabkan karena di
daerah Angkola sebelumnya sudah dimasuki oleh agama Islam dan juga akibat
pengaruh Perang Padri (Imam Bonjol) ketika itu. Melihat keadaan ini, maka para
misionaris mengembangkan pelayanan misinya ke Tapanuli bagian Utara. Di daerah
Tapanuli bagian Utara, kekristenan berkembang secara signifikan bahkan dengan
cepat daerah Silindung menjadi penganut Agama Kristen. Dalam usia yang ke 150
tahun ini, saya melihat perlu merefleski ulang misi Kristen di daerah Angkola.
Untuk melihat dan meneliti realitas
sosial dan keagamaan ini, maka saya memilih paradigma pluralisme agama sebagai
alat penelitian saya. Mengapa? Karena dalam paradigma sangat membantu saya
untuk melakukan penelitian itu.
Ada dua pemikiran tokoh
yang menjadi inti dalam paradigma ini, yaitu David Brown dan Ibrahim Kalin. Teori
mereka menekankan hidup yang harmonis bagi semua orang. Persoalannya
adalah bagaimana cara merajut kerukunan diantara keberbedaan? Brown maupun Kalin menentukan pemaknaan
pluralisme pada titik pijak yang sama yakni paradigma teologi. Bahwa pada
tataran berteologi, perlu ada reinterpretasi terhadap Kitab Suci maupun rumusan
tradisi agar berdampak positif bagi pluralisme. Brown merujuknya pada Kitab
Suci dan tradisi. Kalin menegaskan konsep pluralisme dari rujukan perjalanan
sejarah maupun Kitab Suci.
1.
Konsep Pluralisme menurut David
Brown[1]
Brown mengkomunikasikan paradigama pluralisme dari pemaknaan
terhadap doktrin Kristen yang terbangun dalam tradisi dan kitab suci. Kedudukan
tradisi dan kitab suci tidak diantitesakan tetapi saling melengkapi satu dengan
yang lain.
Ada beberapa teori David Brown yang sangat menolong saya dalam
melakukan penelitian ini seperti:
a. Tradisi sebagai pewahyuan
v Modernisme (pencerahan) dan Postmodernisme
v Reinterpretasi terhadap kitab suci
b. Teks Yang Berkembang
v Pemberitaan ulang cerita para leluhur (suatu upaya dialog antara
Yahudi, Kristen dan Islam).
c. Kristus : Perubahan dan imajinasi
v Pemahaman tentang Tritunggal dalam Missio Dei
Saya juga akan mencoba memakai beberapa teori Kalin dalam
melakukan penelitian ini seperti:
a. Perjumpaan Islam – Kristen dan Konflik yang berkepanjangan
Teori Kalin ini akan membantu saya dalam rangka melihat realitas
yang ada dalam Sejarah perjumpamaan komunitas Kristen dan Islam, yakni :
1)
Realitas Kerukunan
2)
Realitas Ketegangan
b. “Sebuah Persamaan”: Suatu
dasar teologis bagi Dialog Islam – Kristen
Teori
ini juga akan menolong saya dalam mencari titik temu atau persamaan dalam
melaksanakan dialog Islam-Kristen seperti ajaran kasih kepada Allah dan kasih kepada manusia menurut Islam dan
Kristen.
Teori paradigma pluralisme agama ini
memiliki aspek-aspek inti yang akan digunakan dalam penelitian, yakni:
(1)
Fakta
menunjukan bahwa sering terjadi konflik antar agama yang disebabkan karena cara
pandang, sikap dan perilaku beragama yang cenderung bersifat eksklusif dan
triumfalistik. Ironisnya cara pandang, sikap dan perilaku tersebut didasarkan
pada dogma dan pandangan teologi yang diproduksi dari penafsiran tertentu
terhadap teks-teks Kitab Suci masing-masing.
(2)
Apabila fakta tersebut hendak diteliti, maka
penelitian tersebut harus didasarkan pada paradigma pluralisme agama yang
jelas. Paradigma tersebut didasari pada kesadaran dan pengakuan bahwa
pluralitas agama adalah sebuah fakta sosial. Hal itu berarti setiap agama memiliki kekhasan dan kebenaran
tersendiri. Fakta ini harus dikelola secara arif agar bisa menjadi kekuatan
untuk membangun kehidupan bersama. Tegasnya, setiap agama dapat saling belajar dari kebenaran-kebenaran yang dimiliki
agama lain (dalam kitab suci, tradisi, ajaran, teologi) untuk membangun
kehidupan bersama dalam masyarakat majemuk, tentu tanpa kehilangan identitas. Kesadaran ini akan membantu saya sebagai
peneliti dan teolog untuk tetap menjaga jarak kritis sambil mencermati dan
mempertanyakan setiap cara pandang, sikap dan perilaku beragama yang cenderung
eksklusif dan triumfalistik yang diproduksi dan dilanggengkan melalu teks-teks
kitab suci, ajaran, tradisi, maupun teologi yang dianut.
(3)
Dialog
pada tataran teoretik maupun praksis
menjadi pilihan yang menarik untuk
proses saling mengenal, saling belajar dan
saling mengakui kekhasan (perbedaan) setiap agama. Dalam tataran
teoretik, dialog untuk membangun paradigma pluralisme yang jelas pada tataran
teologi penting untuk dilakukan. Dialog pada tataran ini dalam kenyataannnya
seringkali menjadi sangat sensitif dan cenderung dihindari. Namun bagi saya
dengan masuk ke ranah ini maka agama-agama akan lebih saling mengenal dan
meminimalisir kesalahpahaman dan kecurigaannnya kepada agama lain. Dialog pada
tataran teoretik akan lebih efektif bila dilakukan sejalan (terintegrasi)
dengan dialog secara praktis-prakmatis.
Dimana agama-agama secara bersama melakukan berbagai kegiatan sosial,
kemanusiaan, lingkungan hidup, dll untuk mengatasi berbagai masalah kemanusiaan
dan lingkungan hidup yang menjadi masalah bersama saat ini. Dengan demikian,
dalam penelitian, saya harus peka untuk mempertanyakan apakah program praktis
didasari pada paradigma teologi yang jelas ataukah sebaliknya? Apakah dampak
dari pendekatan tersebut bagi relasi antaragama? Apakah dialog pada tataran
teologi juga terimplikasi dalam dialog karya? Siapa yang terlibat dalam dialog
tersebut? Apakah grass root juga terlibat?
3.1.
KEKUATAN DAN KELEMAHAN PARADIGMA
A. KEKUATAN
Saya melihat kekuatan paradigma pluralisme agama ini
adalah kemampuannya untuk melihat perbedaan itu sebagai sebuah kekayaan yang
harus dipertahankan dan diperjuangkan. Perbedaan bukan menjadi musuh dan alas
an untuk merusak kerukunan beragama, melainkan keberagaman akan menjadi kekuatan
dalam rangka membangun masyarakat yang lebih baik.
Kekuatan paradigma pluralisme agama ini adalah
kemampuan menerima realitas sosial bahwa setiap agama pada dasarnya berbeda dan
mempunyai jalan keselamatan sendiri. Namun ada persamaan yang senantiasa ada,
yaitu nilai-nilai perenial agama yang mengajarkan tentang kebaikan, perdamaian,
melarang kejahatan, serta tolong-menolong dengan orang lain. John Harwood Hicks
(1973) yang melakukan revolusi dalam teologi agama-agama berpendapat bahwa teologi
agama-agama harus senantiasa diperbarui guna menyesuaikan diri dengan
pengetahuan manusia dan perkembangan zaman. Paradigma baru itu adalah dialog
dan kerja sama antaragama untuk menciptakan kemanusiaan universal dan
keselamatan sosial demi perdamaian di muka Bumi. Metafor yang mengukuhkan
paradigma pluralisme agama adalah pelangi. Maksudnya, pada dasarnya semua agama
mempunyai warna dasar yang sama, yaitu warna putih. Akan tetapi, warna ini
sering tidak terlihat dari warna luarnya yang berupa hijau, biru , kuning, dan
sebagainya, yang sebetulnya menyimpan warna putih juga (baca-Kristen, Budha,
Islam, dan sebagainya). Warna dasar pelangi inilah yang dalam agama dinamakan
sebagai “agama primordial” atau “nilai perenial”.
Selain itu, paradigma agama ini memiliki paradigma paradigma
inklusif. Menurut kalangan ini
agama-agama itu pada dasarnya semuanya berasal dari Yang Satu. Sedangkan perbedaan agama, hanyalah jalan menuju ke Yang
Satu.
B. KELEMAHAN
Kelemahan paradigma ini adalah pada paradigma
eksklusif. Paradigma ini mengakui bahwa agama merekalah yang menjadi
satu-satunya jalan keselamatan, sedangkan agama lain semuanya menuai kesalahan.
Bagi agama Kristiani, pandangan ini menganggap bahwa Yesus adalah satu-satunya
jalan untuk keselamatan. “Akulah jalan kebenaran dan hidup, tidak ada yang
datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku”, sehingga muncullah perumusan
istilah extra ecclesiam nulla salus
(tidak ada keselamatan di luar Gereja) yang pernah dikukuhkan dalam Konsili
Florence 1442. Sedangkan bagi kalangan Islam, landasan teologisnya adalah
penafsiran secara tekstual pada ayat-ayat Al Quran tentang kebenaran tunggal
agama Islam. “Sesungguhnya agama (al-din) disisi Allah adalah Islam” dan ada
ayat lain yang memperkuat ayat ini berbunyi “Barang siapa mencari agama selain
Islam, maka (agama itu) sekali-kali tidak akan diterima dari Dia, dan dia
diakhirat termasuk orang-orang yang rugi”. Implikasi sosial dari
pandangan-pandangan tersebut adalah tertutupnya pintu dialog dan kerja sama
antar agama. Bahkan, bisa jadi keragaman pemikiran dalam agama sejenis
tertutupi oleh dominasi sekelompok paham. Pluralisme adalah pondasi dalam
membangun masyarakat demokratis, bukan paham yang merusak agama atau anti
agama, yang merupakan statement bagi para penentang paham pluralisme yaitu kaum
Tradisional, fundamentalis dan konservatisme yang selama ini mereka teriakan.
Memang ada banyak paradigma dalam pluralisme agama
ini. Setidaknya ada enam paradigma yang dianut kaum pluralis menurut Anselm Min,
yakni: Pertama, the phenomenalist pluralism (John Hick dan Paul Knitter). Dalam
pendekatan ini agama hanya dilihat sebagai fenomena respon yang berbeda
terhadap realitas transenden yang satu (baca: Allah). Pendekatan ini lebih
theosentris. Mereka percaya bahwa Allah yang esa itu tidak bisa dipenjara oleh
satu agama atau doktrin agama mana pun. Keanekaragaman agama bukan dilihat
sebagai keanekaragaman Allah tetapi keanekaragaman interpretasi tentang Allah
yang bekerja dan dipahami di dalam konteks historis dan budaya masyarakat di
mana Allah menyatakan diri. Oleh karena itu mereka mengakui adanya kebenaran
pada agama-agama lain. Semua agama dianggap menyembah Allah yang menyatakan
diri dan dipahami dalam berbagai interpretasi. Kelemahan utama yang
tidak diperhitungkan adalah bahwa tidak semua agama menyembah Allah. Misalnya
agama Buddha.
Kedua, the universalist
pluralism (Leonard Swidler, Wilffred Cantwell Smith, Ninian Smart, dsb).
Pendekatan ini menekankan kemungkinan dan bahkan keperluan dibuatnya satu
teologi yang universal berdasarkan pengalaman sejarah agama-agama. Kelemahannya
adalah pendekatan ini terlalu menekankan universalitas yang bisa mengorbankan
partikularis atau kekhasan setiap agama. Pendekatan ini bisa terlalu
menekankan persamaan sehingga mengabaikan adanya perbedaan.
Ketiga, soteriosentrik
pluralism (Rosemary Ruether, Suchocki, Tom Driver dan juga Knitter)
menegaskan perlu keadilan sebagai ukuran dan praxis bersama umat berbagai
agama. Dalam pendekatan ini umat beragama didorong untuk bekerja-sama secara
fungsional dalam menangani persoalan sosial dan politik demi kemaslahatan
bersama. Tetapi, kelemahan pendekatan ini ialah bahwa ia menghindari
umat untuk berbicara dan saling berdiskusi tentang persoalan dogma dan doktrin
agama.
Keempat, pluralisme
ontologis dengan tokohnya Panikkar yang menegaskan bahwa pluralisme
bukanlah sekedar suatu pengetahuan tetapi bahkan eksistensi dan hakikat hidup
manusia. Pendekatan lebih bersifat kristosentris. Dalam pendekatan ini,
Kristus mewujudkan diri dalam berbagai agama lain sebagai pribadi yang berbeda. Kristus dalam agama Kristen
menampilkan diri dalam diri Yesus. Kristus dalam agama Hindu menampilkan diri
dalam diri dewa Wisnu atau Dewi Sri. Kristus bisa pula menampilkan diri sebagai
Tao atau bahkan sebagai Muhammad. Pendekatan ini cukup dipengaruhi pemikiran
Hindu yang memiliki ribuan dewa/dewi.
Kelima, Kristosentris
pluralis tokohnya adalah Hans Kung, John Cobb, Jurgen Moltmann,
Kenneth Surin, dsb. Pendekatan ini menegaskan bahwa meskipun kita harus
menghargai agama-agama lain, orang Kristen harus tetap mengakui identitas dan
finalitas Yesus Kristus sebagai juruselamat dunia. Tanpa pengakuan ini, orang
Kristen kehilangan identitas Kristennya. Sebaliknya, tanpa sikap positif
terhadap agama lain, orang Kristen terjebak dalam kepongahan rohaninya.
Kelemahan pendekatan ini justru sebaliknya dari pendekatan ketiga. Pendekatan
ini lebih bersikap deduktif dan bisa terjebak pada abstraksi teologis yang
tidak relevan bagi kehidupan kita kini.
Keenam, Kristologi yang
Soteriosentris. Eka Darmaputera salah satu tokohnya. Posisi ini sangat
menekankan Kristosentris, tetapi Yesus Kristus yang ditekankan di sini bukanlah
Yesus yang kita kenal melalui doktrin dan dogma. Paradigma ini menekankan Yesus
sebagai Anak Allah yang ‘care’ pada manusia dan dunia serta rela berinkarnasi
untuk masuk, hidup dan berjuang untuk menciptakan keadilan dan perdamaian di
dalam dunia di tengah umat manusia. Bagi pendekatan ini, seorang Kristen belum
sungguh-sungguh ‘Kristen’ bila belum meneladani sikap hidup Kristus.
3.2.
MANFAAT PARADIGMA PLURALISME DALAM
PENELITIAN TEOLOGI KONTEKSTUAL
Paradigma pluralisme
agama ini sangat bermafaat dalam penelitian teologi kontekstual. Karena dengan
paradigma ini kita akan melihat perbedaan sebagai alat persatu dan menuju
keharmonisan. Pluralisme agama menolong kita untuk rendah hati menyadari
bahwa sikap superioritas tidak bermanfaat untuk mengerti orang lain lebih baik
sebab Allah mengasihi semua manusia tanpa terkecuali, dan karenanya kita harus
menjadi sesama (Luk. 10:36) atau menjadi sahabat bagi saudara-saudara kita
yangberkepercayaan lain[3].
Pluralisme agama bukan berarti percampuran atau sinkretisme, sebab keunikan
masing-masing agama tetap dapat dipertahankan dan dapat dikomunikasikan; dan
bukan untuk dipertandingkan.
Dengan
demikian kita dapat mengatakan bahwa agama Kristen bukan jalan keselamatan
satu-satunya, melainkan satu dari antara bebarapa jalan lainnya dan begitu
sebaliknya. Keterbukaan semacam ini menumbuhkan perdamaian dan toleransi dan
bukan pada tempatnya lagi saling menghujat, menyalahkan, apalagi membunuh.[4]
3.3.
YANG PERLU DISEMPURNAKAN DALAM
PARADIGMA PLURALISME AGAMA
Dalam
era globalisasi, agama-agama tetap memainkan peranan penting agar masyarakat
tidak hanyut dalam arus fundamentalisme dan liberalisme, karena keduanya tidak
peduli dengan eksistensi orang lain. Jika agama-agama tidak dapat berdialog,
maka kekerasan atas nama agama dapat mencederai kesatuan bangsadan menciptakan
ketakutan dalam masyarakat. Pluralisme agama menjadikan dikotomi
mayoritas-minoritas tidak relevan lagi sebab semua umat beragama berpotensi
sama baiknya membangun kehidupan bersesama secara damai dalam bingkai
kepelbagaian dalam kesatuan (bhineka tunggal ika).
Karena
itu yang perlu disempurnakan dalam paradigma ini adalah penguatan dialog di
antara semua agama yang ada di Indonesia.
[1] David Brown, Tradition and Imagination, New York: Oxford University Press, 1999.
[2] Ibrahim Kalin,“Islam, Christianity, the Enlightenment: “A Common Word” and Islam-Christian
Relations,” Islam Christian Understanding. Theory and Appliaction of “A Common Word”, eds. Waleed El-Ansary and
David K. Linnan (New York, 2011), hl. 41
[3] Eka Darmaputera, “Teologi Persahabatan antar
umat Beragama”, dalam Karel Erari, et.al., Keadilan
Bagi yang Lemah: Buku Peringatan Hari Jadi ke-67 Prof. Dr. Ihromi, MA, (Jakarta,
tanpa penerbit, 1995), hl. 194.
[4] M. Amin Abdullah, “Kebebasan Beragama atau
Dialog Antar-agama”, dalamJ.B. Banawiratma, dkk., Hak Asasi Manusia Tantangan bagi Agama, (Jogyakarta:Kanisuis,
1999), hlm.58-59
|
BLOG INI BERSIFAT TERBUKA UNTUK DIKOMENTARI DAN DIKRITISI DEMI KEMAJUAN WAWASAN BERPIKIR, DAN BERTEOLOGI MASA KINI
Sabtu, 10 November 2012
UJIAN TENGAH
SEMESTER (UTS)
1.
Buku Bacaan: Farsijana Adeney-Risakota, “Personal
Background to the Research” dalam Farsijana Adeney-Risakota, Politics, Ritual and Identity in Indonesia:
A Moluccan History of Religion and Social Conflict, Nijmegen: Radboud
Nijimegen Universiteit, 2005, hl. 11-19.
1.1.
PENGALAMAN PENELITI
Pertama, peneliti terlibat langsung
dalam peristiwa yang terjadi di Maluku Utara tepatnya di Ngidiho. Peneliti
mengalami trauma dari peristiwa itu. Mengapa? Karena beberapa saat setelah
peristiwa di Maluku Utara itu berlangsung, beberapa orang berpendapat bahwa
penelitian peneliti akan segera berakhir. Alasan mereka sangat kuat karena desa
yang menjadi obyek penelitian telah hancur dan rata dengan tanah. Pengalaman
ini sangat kuat mempengaruhi peneliti untuk melanjutkan risetnya. Bahkan yang
paling menarik dari pengalaman peneliti adalah walau penelitian ini memiliki
pengalaman yang traumatik, tetapi peneliti sekaligus menjadikan penelitian ini
sebagai terapi kesembuhan baginya.
Singkatnya, pengalaman peneliti turut
membentuk sebuah penelitian sosial dan bahkan memberikan sebuah pencerahan
dalam dunia penelitian saat ini.
1.2.
PERSYARATAN YANG DIPERLUKAN SEORANG PENELITI UNTUK DAPAT MENERUSKAN SUATU
PENELITIAN YANG HARUS BERUBAH TANPA DIRENCANAKANNYA
Apakah peristiwa yang sangat
mengerikan itu akan memberhentikan peneliti dalam melakukan tugasnya? Tidak.
Ternyata peneliti berkata,”Tragedi ini bukanlah akhir dari penelitian saya”. Melihat
pengalaman peneliti yang mengalami tragedi, hal yang harus dimiliki seorang
peneliti jika mengalami masalah atau tragedi dalam penelitiannya adalah pertama, harus
memiliki komitment yang teguh untuk meneruskan penelitian itu. Peneliti
berkata, “Semakin banyak aku menuliskan pemikiranku, semakin kusadari bahwa
penelitianku sekarang semakin berharga”. Kedua, harus percaya diri.
Pengalaman peneliti mengatakan bahwa walaupun tak seorang dapat mengklaim
penelitian itu secara obyektif sempurna, tetapi dia secara bebas meneruskan
penelitiannya tanpa tergoda jatuh dalam emosi yang ekstrim dalam peristiwa
peperangan itu. Ketiga, harus mempu melihat kebenaran yang esensi dari setiap
peristiwa yang terjadi. Peneliti menyakini bahwa dari peristiwa yang tejadi
itu pasti akan ditemukan sebuah kebenaran yang esensi yang diekspresikan
melalui sebuah proses yang tiada berkahir sampai kapan pun.
1.3.
MENGANTISIPASI KEMUNGKINAN-KEMUNGKINAN
Berdasarkan pengalaman peneliti ini ada beberapa cara
dalam mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan perjalanan
penelitian perlu disesuaikan dari perencanaan semula adalah pertama,
harus mampu mengerti pertanyaan dan
mencoba menjawabnya. Dengan pertanyaan dan jawaban tersebut. memampukan
peneliti memetakan konflik dan penelitian serta bagaimana mengatur dan
memberhentikan kekerasan. Kedua, peneliti harus tanpa batasan-batasan. Artinya, dalam melakukan
penelitian itu seorang peneliti jangan terlibat dalam sebuah kelompok tertentu
atau memihak kepada kelompok tertentu, tetapi peneliti harus mampu masuk kepada
semua pihak yang sedang kita teliti. Dengan kata lain, peneliti harus
pandai-pandai memasukkan diri kepada masyarakat yang sedang kita teliti. Ketiga, peneliti
harus memiliki sifat fleksibilitas. Melalui peristiwa yang terjadi itu,
peneliti merasa tidak mungkin membuat sebuah tulisan berdasarkan penelitian akademis,
karena peneliti bingung harus berdiri di posisi mana, kemudian harus
berhati-hati menuliskan peristiwa yang telah terjadi agar tidak ada
ketersinggungan di antara pihak yang bertikai. Karena itu, peneliti mengatakan,
“Disertasi ini bukanlah hanya sebuah laporan akademik, melainkan disertasi ini
juga merupakan sebuah novel”. Lebih lanjut peneliti mengatakan bahwa penelitian
disertasi ini memiliki dua sisi yang saling mengisi yakni penelitian naratif
dan penelitian akademik. Disinilah perlunya fleksibilitas tersebut terjadi.
Sebagai penelitian yang akademis, harus akurat, jujur dan tidak memihak.
Keempat, peneliti harus mampu kreatif. Seorang peneliti harus mampu banyak mendengar, bersaksi dan
merefleksikan pemikiran lokal, kebiasan setempat secara kreatif untuk dijadikan
menjadi sebuah peta mengatasi sebuah masalah. Peneliti juga tidak hanya
memiliki hanya satu fokus saja melainkan harus mampu melihat hal-hal lain yang
terjadi dalam penelitian kita. Seorang peneliti yang kreatif akan menjadikan
masyarakat sebagai agen perubahan itu sendiri.
2.
Buku Bacaan: Albert O.Hirschman, “The Search for
Paradigms as a Hindrance to Understanding” dalam Paul Rabinow & William
M.Sullivan, Interpretive Social Science a
Reader, Berkeley: UC Berkeley, 1979, hl. 169-1179.
2.1.
PENGERTIAN
PARADIGMA
Paradigma adalah kumpulan tata nilai yang membentuk
pola pikir seseorang sebagai titik tolak pandangannya sehingga akan membentuk
citra subjektif seseorang – mengenai realita – dan akhirnya akan menentukan
bagaimana seseorang menanggapi realita itu.
Istilah paradigama ilmu pertama kali diperkenalkan
oleh Thomas Kuhn melalui bukunya yang berjudul “The Structur of Science
Revolution”. Kuhn menjelaskan paradigma dalam dua pengertian. Di satu pihak
paradigma berarti keseluruhan
konstelasi kepercayaan, nilai, teknik yang dimiliki bersama oleh anggota
masyarakat ilmiah tertentu. Di pihak lain paradigma menunjukkan sejenis unsur
pemecahan teka-teki yang konkrit yang jika digunakan sebagai model, pola atau
contoh dapat menggantikan kaidah-kaidah yang secara eksplisit sebagai atau
menjadi dasar bagi pemecahan permasalahan dan teka-teki normal sains yang belum
tuntas.
Paradigma merupakan elemen primer dalam progress
sains. Seorang ilmuwan selalu bekerja dengan paradigma tertentu, dan
teori-teori ilmiah dibangun berdasarkan paradigma dasar. Melalui sebuah
paradigma seorang ilmuwan dapat memecahkan kesulitan-kesulitan yang lahir dalam
kerangka ilmunya, sampai muncul begitu banyak anomali yang tidak dapat
dimasukkan ke dalam kerangka ilmunya sehingga menuntut adanya revolusi
paradigmatik terhadap ilmu tersebut. Menurut Kuhn, ilmu dapat berkembang secara
open-ended(sifatnya selalu terbuka untuk direduksi dan dikembangkan). Kuhn
berusaha menjadikan teori tentang ilmu lebih cocok dengan situasi sejarah
dengan demikian diharapkan filsafat ilmu lebih mendekati kenyataan ilmu dan
aktifitas ilmiah sesungguhnya. Menurut Kuhn ilmu harus berkembang secara
revolusioner bukan secara kumulatif sebagaimana anggapan kaum rasionalis dan
empiris klasik sehingga dalam teori Kuhn faktor sosiologis historis serta
psikologis ikut berperan.
Paradigma membantu seseorang dalam merumuskan
tentang apa yang harus dipelajari, persoalan apa yang harus dijawab dan aturan
apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan jawaban yang diperoleh.
Dari
bacaan buku Albert H.Hirschman, dijelaskannya bahwa ada dua penulis buku
sejarah tentang Revolusi yakni, John Womack yang menulis tentang Revolusi
Meksiko dan James L.Payne yang menulis tentang Revolusi di Kolombia. Kedua
penulis ini memiliki perbedaan yang kontras.
Pertama, paradgima yang dibangun Womack
merangsang keingintahuan pembaca dengan imajinasi yang baik. Artinya,
Womack membangun sebuah paradigma yang positif dari peristiwa yang telah
terjadi itu. Sementara, Payne, menggunakan paradigma untuk memprovokasi resistensi pembaca dan bahkan memberikan paradigma
yang negatife yang memancing emosi para pembacanya.
Kedua, perbedaan dalam gaya kognitif, Payne, dari halaman
pertama sampai terakhir, berkeyakinan
bahwa ia telah mencapai pemahaman yang lengkap dari subjek, sedangkan Womack
menarik kesimpulan dengan dengan sangat hati-hati. Ia menghormati otonomi para aktor yang ia ceritakan sehingga bukunya memberikan daya tarik khusus sehingga ia
menerima penghargaan dari Fuentes Carlos di New
York Review of Books.
2.2.
MENGAPA
DIPERLUKAN PENGERTIAN PARADIGMA?
Pengertian paradigma sangat diperlukan untuk
dapat membantu peneliti memahami persoalan realitas sosial yang sedang
diteliti. Karena paradigma itu sudah ada dalam diri kita dan
mempengaruhi pikiran, ucapan dan tindakan kita, maka kita akan sangat
diuntungkan kalau kita memahaminya. Paham akan paradigma dan pengaruhnya akan
memudahkan kita melakukan komunikasi dan membuat kerjasama dengan orang lain,
karena kita akan mampu memahami orang lain, membuat pikiran kita terbuka dan
kreatif.
Jika
kita membandingkan John Womack dan James L.Payne, Womack sangat memahami
pengertian paradigma sebelum melakukan penelitian sosialnya. Sementara, Payne
tidak begitu memahami paradigma sosial yang sedang dia teliti dan bahkan merasa
sudah mengetahui secara sempurna obyek yang dia teliti.
Singkatnya,
paradigma itu harus digunakan sebagai alat dalam penelitian yang dilakukan
dengan sebaik-baiknya.
2.3.
MENGAPA
TEOLOGI KONTEKSTUAL PERLU DIMULAI DENGAN MEMAHAMI PARADIGMA?
Untuk
memahami teologi kontekstual, maka kita
harus memahami lebih dahulu paradigma kontekstual. Paradigma kontekstual itu adalah
sebuah paradigma yang tertanam lama di dalam diri kita, dan dibenarkan oleh
lingkungan sekitar kita, dengan sendirinya lambat laun akan melekat dalam diri,
menjadi tolak ukur kita dan melihatnya sebagai pendapat yang paling benar.
Artinya, paradigma itu lahir, tumbuh dan berkembang dari konteks kita sendiri.
Karena itu, untuk menghasilkan sebuah teologi kontekstual, kita harus memahami,
mengerti dan menghidupi realitas sosial yang telah, sedang dan akan terjadi di
dalam konteks kehidupan kita sehari-hari. Paradigma itu digunakan untuk dapat
memetakan dengan sebaik-baiknya penelitian yang harus dilaksanakan.
Stephen B. Bevans dalam bukunya
Teologi Kontekstual telah memperkenalkan suatu gagasan baru mengenai model
teologi yang tepat untuk zaman sekarang. Bagi Bevans berteologi dari konteks
bukanlah hal yang mustahil dan mengada-ada, terbukti bahwa pada zaman sekarang
istilah kontekstualisasi semakin populer. Hal itu dapat kita lihat dengan
munculnya berbagai macam teologi, seperti: teologi feminis, teologi hitam,
teologi pembebasan, teologi Filipina, teologi Asia-Amerika, teologi Afrika,
dll.
Berteologi kontekstual adalah tugas dan
tanggungjawab semua orang beriman Kristiani. Semua orang Kristiani ditantang
Bevans untuk berani berteologi dari konteks. Dalam kontekstualisasi, orang akan
berhadapan dengan konteks kebudayaan dan agama yang tradisional di satu pihak,
tetapi di pihak lain bergumul juga dengan konteks modernisasi yang menyebabkan
perubahan nilai, khususnya segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat
manusia. Sudah tentu, teologi kontekstual bukan lagi menjadi suatu pilihan yang
bersifat fakultatif, melainkan suatu imperatif teologi.
Bevans juga telah menunjukkan kepada
kita tentang segi ketidaksinambungan dan kesinambungan dari sebuah pendekatan
kontekstual terhadap teologi dalam perbandingannya dengan teologi tradisional
atau klasik. Dalam hal ini, Bevans telah menunjukkan perbedaan teologi klasik
dengan teologi kontekstual dari sudut cara berteologi. Pada teologi klasik,
teologi dimengerti sebagai sebuah refleksi dalam iman yang menyangkut dua
sumber berteologi (loci theologici), yakni Kitab Suci dan tradisi. Sedangkan
pada teologi kontekstual, kita tidak saja harus memakai dua sumber teologi,
tetapi juga kita perlu mengakui keabsahan locus theologicus yang lain, seperti
pengalaman manusia jaman sekarang. Dengan kata lain, teologi kontekstual telah
memakai tiga sumber untuk berteologi, yakni Kitab Suci, tradisi dan konteks
hidup manusia jaman sekarang. Dengan demikian Teologi Kontekstual memahami
teologi sebagai sesuatu yang subjektif. Sedangkan Teologi klasik lebih memahami
teologi sebagai sesuatu yang bersifat objektif.
3.
PARADIGMA
PLURALISME AGAMA
Penelitian yang akan saya lakukan berada
di tengah-tengah agama mayoritas Islam di daerah Angkola, Tapanuli Selatan,
Sumatera Utara. Di daerah inilah orang Batak pertama dibaptiskan menjadi
Kristen, yakni Simon Siregar dan Yakobus Tampubolon pada 15 Maret 1861. Kekristenan
di daerah Angkola ini sudah berusia 150 tahun. Kekristenan di daerah Angkola
ini tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Hal ini disebabkan karena di
daerah Angkola sebelumnya sudah dimasuki oleh agama Islam dan juga akibat
pengaruh Perang Padri (Imam Bonjol) ketika itu. Melihat keadaan ini, maka para
misionaris mengembangkan pelayanan misinya ke Tapanuli bagian Utara. Di daerah
Tapanuli bagian Utara, kekristenan berkembang secara signifikan bahkan dengan
cepat daerah Silindung menjadi penganut Agama Kristen. Dalam usia yang ke 150
tahun ini, saya melihat perlu merefleski ulang misi Kristen di daerah Angkola.
Untuk melihat dan meneliti realitas
sosial dan keagamaan ini, maka saya memilih paradigma pluralisme agama sebagai
alat penelitian saya. Mengapa? Karena dalam paradigma sangat membantu saya
untuk melakukan penelitian itu.
Ada dua pemikiran tokoh
yang menjadi inti dalam paradigma ini, yaitu David Brown dan Ibrahim Kalin. Teori
mereka menekankan hidup yang harmonis bagi semua orang. Persoalannya
adalah bagaimana cara merajut kerukunan diantara keberbedaan? Brown maupun Kalin menentukan pemaknaan
pluralisme pada titik pijak yang sama yakni paradigma teologi. Bahwa pada
tataran berteologi, perlu ada reinterpretasi terhadap Kitab Suci maupun rumusan
tradisi agar berdampak positif bagi pluralisme. Brown merujuknya pada Kitab
Suci dan tradisi. Kalin menegaskan konsep pluralisme dari rujukan perjalanan
sejarah maupun Kitab Suci.
1.
Konsep Pluralisme menurut David
Brown[1]
Brown mengkomunikasikan paradigama pluralisme dari pemaknaan
terhadap doktrin Kristen yang terbangun dalam tradisi dan kitab suci. Kedudukan
tradisi dan kitab suci tidak diantitesakan tetapi saling melengkapi satu dengan
yang lain.
Ada beberapa teori David Brown yang sangat menolong saya dalam
melakukan penelitian ini seperti:
a. Tradisi sebagai pewahyuan
v Modernisme (pencerahan) dan Postmodernisme
v Reinterpretasi terhadap kitab suci
b. Teks Yang Berkembang
v Pemberitaan ulang cerita para leluhur (suatu upaya dialog antara
Yahudi, Kristen dan Islam).
c. Kristus : Perubahan dan imajinasi
v Pemahaman tentang Tritunggal dalam Missio Dei
Saya juga akan mencoba memakai beberapa teori Kalin dalam
melakukan penelitian ini seperti:
a. Perjumpaan Islam – Kristen dan Konflik yang berkepanjangan
Teori Kalin ini akan membantu saya dalam rangka melihat realitas
yang ada dalam Sejarah perjumpamaan komunitas Kristen dan Islam, yakni :
1)
Realitas Kerukunan
2)
Realitas Ketegangan
b. “Sebuah Persamaan”: Suatu
dasar teologis bagi Dialog Islam – Kristen
Teori
ini juga akan menolong saya dalam mencari titik temu atau persamaan dalam
melaksanakan dialog Islam-Kristen seperti ajaran kasih kepada Allah dan kasih kepada manusia menurut Islam dan
Kristen.
Teori paradigma pluralisme agama ini
memiliki aspek-aspek inti yang akan digunakan dalam penelitian, yakni:
(1)
Fakta
menunjukan bahwa sering terjadi konflik antar agama yang disebabkan karena cara
pandang, sikap dan perilaku beragama yang cenderung bersifat eksklusif dan
triumfalistik. Ironisnya cara pandang, sikap dan perilaku tersebut didasarkan
pada dogma dan pandangan teologi yang diproduksi dari penafsiran tertentu
terhadap teks-teks Kitab Suci masing-masing.
(2)
Apabila fakta tersebut hendak diteliti, maka
penelitian tersebut harus didasarkan pada paradigma pluralisme agama yang
jelas. Paradigma tersebut didasari pada kesadaran dan pengakuan bahwa
pluralitas agama adalah sebuah fakta sosial. Hal itu berarti setiap agama memiliki kekhasan dan kebenaran
tersendiri. Fakta ini harus dikelola secara arif agar bisa menjadi kekuatan
untuk membangun kehidupan bersama. Tegasnya, setiap agama dapat saling belajar dari kebenaran-kebenaran yang dimiliki
agama lain (dalam kitab suci, tradisi, ajaran, teologi) untuk membangun
kehidupan bersama dalam masyarakat majemuk, tentu tanpa kehilangan identitas. Kesadaran ini akan membantu saya sebagai
peneliti dan teolog untuk tetap menjaga jarak kritis sambil mencermati dan
mempertanyakan setiap cara pandang, sikap dan perilaku beragama yang cenderung
eksklusif dan triumfalistik yang diproduksi dan dilanggengkan melalu teks-teks
kitab suci, ajaran, tradisi, maupun teologi yang dianut.
(3)
Dialog
pada tataran teoretik maupun praksis
menjadi pilihan yang menarik untuk
proses saling mengenal, saling belajar dan
saling mengakui kekhasan (perbedaan) setiap agama. Dalam tataran
teoretik, dialog untuk membangun paradigma pluralisme yang jelas pada tataran
teologi penting untuk dilakukan. Dialog pada tataran ini dalam kenyataannnya
seringkali menjadi sangat sensitif dan cenderung dihindari. Namun bagi saya
dengan masuk ke ranah ini maka agama-agama akan lebih saling mengenal dan
meminimalisir kesalahpahaman dan kecurigaannnya kepada agama lain. Dialog pada
tataran teoretik akan lebih efektif bila dilakukan sejalan (terintegrasi)
dengan dialog secara praktis-prakmatis.
Dimana agama-agama secara bersama melakukan berbagai kegiatan sosial,
kemanusiaan, lingkungan hidup, dll untuk mengatasi berbagai masalah kemanusiaan
dan lingkungan hidup yang menjadi masalah bersama saat ini. Dengan demikian,
dalam penelitian, saya harus peka untuk mempertanyakan apakah program praktis
didasari pada paradigma teologi yang jelas ataukah sebaliknya? Apakah dampak
dari pendekatan tersebut bagi relasi antaragama? Apakah dialog pada tataran
teologi juga terimplikasi dalam dialog karya? Siapa yang terlibat dalam dialog
tersebut? Apakah grass root juga terlibat?
3.1.
KEKUATAN DAN KELEMAHAN PARADIGMA
A. KEKUATAN
Saya melihat kekuatan paradigma pluralisme agama ini
adalah kemampuannya untuk melihat perbedaan itu sebagai sebuah kekayaan yang
harus dipertahankan dan diperjuangkan. Perbedaan bukan menjadi musuh dan alas
an untuk merusak kerukunan beragama, melainkan keberagaman akan menjadi kekuatan
dalam rangka membangun masyarakat yang lebih baik.
Kekuatan paradigma pluralisme agama ini adalah
kemampuan menerima realitas sosial bahwa setiap agama pada dasarnya berbeda dan
mempunyai jalan keselamatan sendiri. Namun ada persamaan yang senantiasa ada,
yaitu nilai-nilai perenial agama yang mengajarkan tentang kebaikan, perdamaian,
melarang kejahatan, serta tolong-menolong dengan orang lain. John Harwood Hicks
(1973) yang melakukan revolusi dalam teologi agama-agama berpendapat bahwa teologi
agama-agama harus senantiasa diperbarui guna menyesuaikan diri dengan
pengetahuan manusia dan perkembangan zaman. Paradigma baru itu adalah dialog
dan kerja sama antaragama untuk menciptakan kemanusiaan universal dan
keselamatan sosial demi perdamaian di muka Bumi. Metafor yang mengukuhkan
paradigma pluralisme agama adalah pelangi. Maksudnya, pada dasarnya semua agama
mempunyai warna dasar yang sama, yaitu warna putih. Akan tetapi, warna ini
sering tidak terlihat dari warna luarnya yang berupa hijau, biru , kuning, dan
sebagainya, yang sebetulnya menyimpan warna putih juga (baca-Kristen, Budha,
Islam, dan sebagainya). Warna dasar pelangi inilah yang dalam agama dinamakan
sebagai “agama primordial” atau “nilai perenial”.
Selain itu, paradigma agama ini memiliki paradigma paradigma
inklusif. Menurut kalangan ini
agama-agama itu pada dasarnya semuanya berasal dari Yang Satu. Sedangkan perbedaan agama, hanyalah jalan menuju ke Yang
Satu.
B. KELEMAHAN
Kelemahan paradigma ini adalah pada paradigma
eksklusif. Paradigma ini mengakui bahwa agama merekalah yang menjadi
satu-satunya jalan keselamatan, sedangkan agama lain semuanya menuai kesalahan.
Bagi agama Kristiani, pandangan ini menganggap bahwa Yesus adalah satu-satunya
jalan untuk keselamatan. “Akulah jalan kebenaran dan hidup, tidak ada yang
datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku”, sehingga muncullah perumusan
istilah extra ecclesiam nulla salus
(tidak ada keselamatan di luar Gereja) yang pernah dikukuhkan dalam Konsili
Florence 1442. Sedangkan bagi kalangan Islam, landasan teologisnya adalah
penafsiran secara tekstual pada ayat-ayat Al Quran tentang kebenaran tunggal
agama Islam. “Sesungguhnya agama (al-din) disisi Allah adalah Islam” dan ada
ayat lain yang memperkuat ayat ini berbunyi “Barang siapa mencari agama selain
Islam, maka (agama itu) sekali-kali tidak akan diterima dari Dia, dan dia
diakhirat termasuk orang-orang yang rugi”. Implikasi sosial dari
pandangan-pandangan tersebut adalah tertutupnya pintu dialog dan kerja sama
antar agama. Bahkan, bisa jadi keragaman pemikiran dalam agama sejenis
tertutupi oleh dominasi sekelompok paham. Pluralisme adalah pondasi dalam
membangun masyarakat demokratis, bukan paham yang merusak agama atau anti
agama, yang merupakan statement bagi para penentang paham pluralisme yaitu kaum
Tradisional, fundamentalis dan konservatisme yang selama ini mereka teriakan.
Memang ada banyak paradigma dalam pluralisme agama
ini. Setidaknya ada enam paradigma yang dianut kaum pluralis menurut Anselm Min,
yakni: Pertama, the phenomenalist pluralism (John Hick dan Paul Knitter). Dalam
pendekatan ini agama hanya dilihat sebagai fenomena respon yang berbeda
terhadap realitas transenden yang satu (baca: Allah). Pendekatan ini lebih
theosentris. Mereka percaya bahwa Allah yang esa itu tidak bisa dipenjara oleh
satu agama atau doktrin agama mana pun. Keanekaragaman agama bukan dilihat
sebagai keanekaragaman Allah tetapi keanekaragaman interpretasi tentang Allah
yang bekerja dan dipahami di dalam konteks historis dan budaya masyarakat di
mana Allah menyatakan diri. Oleh karena itu mereka mengakui adanya kebenaran
pada agama-agama lain. Semua agama dianggap menyembah Allah yang menyatakan
diri dan dipahami dalam berbagai interpretasi. Kelemahan utama yang
tidak diperhitungkan adalah bahwa tidak semua agama menyembah Allah. Misalnya
agama Buddha.
Kedua, the universalist
pluralism (Leonard Swidler, Wilffred Cantwell Smith, Ninian Smart, dsb).
Pendekatan ini menekankan kemungkinan dan bahkan keperluan dibuatnya satu
teologi yang universal berdasarkan pengalaman sejarah agama-agama. Kelemahannya
adalah pendekatan ini terlalu menekankan universalitas yang bisa mengorbankan
partikularis atau kekhasan setiap agama. Pendekatan ini bisa terlalu
menekankan persamaan sehingga mengabaikan adanya perbedaan.
Ketiga, soteriosentrik
pluralism (Rosemary Ruether, Suchocki, Tom Driver dan juga Knitter)
menegaskan perlu keadilan sebagai ukuran dan praxis bersama umat berbagai
agama. Dalam pendekatan ini umat beragama didorong untuk bekerja-sama secara
fungsional dalam menangani persoalan sosial dan politik demi kemaslahatan
bersama. Tetapi, kelemahan pendekatan ini ialah bahwa ia menghindari
umat untuk berbicara dan saling berdiskusi tentang persoalan dogma dan doktrin
agama.
Keempat, pluralisme
ontologis dengan tokohnya Panikkar yang menegaskan bahwa pluralisme
bukanlah sekedar suatu pengetahuan tetapi bahkan eksistensi dan hakikat hidup
manusia. Pendekatan lebih bersifat kristosentris. Dalam pendekatan ini,
Kristus mewujudkan diri dalam berbagai agama lain sebagai pribadi yang berbeda. Kristus dalam agama Kristen
menampilkan diri dalam diri Yesus. Kristus dalam agama Hindu menampilkan diri
dalam diri dewa Wisnu atau Dewi Sri. Kristus bisa pula menampilkan diri sebagai
Tao atau bahkan sebagai Muhammad. Pendekatan ini cukup dipengaruhi pemikiran
Hindu yang memiliki ribuan dewa/dewi.
Kelima, Kristosentris
pluralis tokohnya adalah Hans Kung, John Cobb, Jurgen Moltmann,
Kenneth Surin, dsb. Pendekatan ini menegaskan bahwa meskipun kita harus
menghargai agama-agama lain, orang Kristen harus tetap mengakui identitas dan
finalitas Yesus Kristus sebagai juruselamat dunia. Tanpa pengakuan ini, orang
Kristen kehilangan identitas Kristennya. Sebaliknya, tanpa sikap positif
terhadap agama lain, orang Kristen terjebak dalam kepongahan rohaninya.
Kelemahan pendekatan ini justru sebaliknya dari pendekatan ketiga. Pendekatan
ini lebih bersikap deduktif dan bisa terjebak pada abstraksi teologis yang
tidak relevan bagi kehidupan kita kini.
Keenam, Kristologi yang
Soteriosentris. Eka Darmaputera salah satu tokohnya. Posisi ini sangat
menekankan Kristosentris, tetapi Yesus Kristus yang ditekankan di sini bukanlah
Yesus yang kita kenal melalui doktrin dan dogma. Paradigma ini menekankan Yesus
sebagai Anak Allah yang ‘care’ pada manusia dan dunia serta rela berinkarnasi
untuk masuk, hidup dan berjuang untuk menciptakan keadilan dan perdamaian di
dalam dunia di tengah umat manusia. Bagi pendekatan ini, seorang Kristen belum
sungguh-sungguh ‘Kristen’ bila belum meneladani sikap hidup Kristus.
3.2.
MANFAAT PARADIGMA PLURALISME DALAM
PENELITIAN TEOLOGI KONTEKSTUAL
Paradigma pluralisme
agama ini sangat bermafaat dalam penelitian teologi kontekstual. Karena dengan
paradigma ini kita akan melihat perbedaan sebagai alat persatu dan menuju
keharmonisan. Pluralisme agama menolong kita untuk rendah hati menyadari
bahwa sikap superioritas tidak bermanfaat untuk mengerti orang lain lebih baik
sebab Allah mengasihi semua manusia tanpa terkecuali, dan karenanya kita harus
menjadi sesama (Luk. 10:36) atau menjadi sahabat bagi saudara-saudara kita
yangberkepercayaan lain[3].
Pluralisme agama bukan berarti percampuran atau sinkretisme, sebab keunikan
masing-masing agama tetap dapat dipertahankan dan dapat dikomunikasikan; dan
bukan untuk dipertandingkan.
Dengan
demikian kita dapat mengatakan bahwa agama Kristen bukan jalan keselamatan
satu-satunya, melainkan satu dari antara bebarapa jalan lainnya dan begitu
sebaliknya. Keterbukaan semacam ini menumbuhkan perdamaian dan toleransi dan
bukan pada tempatnya lagi saling menghujat, menyalahkan, apalagi membunuh.[4]
3.3.
YANG PERLU DISEMPURNAKAN DALAM
PARADIGMA PLURALISME AGAMA
Dalam
era globalisasi, agama-agama tetap memainkan peranan penting agar masyarakat
tidak hanyut dalam arus fundamentalisme dan liberalisme, karena keduanya tidak
peduli dengan eksistensi orang lain. Jika agama-agama tidak dapat berdialog,
maka kekerasan atas nama agama dapat mencederai kesatuan bangsadan menciptakan
ketakutan dalam masyarakat. Pluralisme agama menjadikan dikotomi
mayoritas-minoritas tidak relevan lagi sebab semua umat beragama berpotensi
sama baiknya membangun kehidupan bersesama secara damai dalam bingkai
kepelbagaian dalam kesatuan (bhineka tunggal ika).
Karena
itu yang perlu disempurnakan dalam paradigma ini adalah penguatan dialog di
antara semua agama yang ada di Indonesia.
[1] David Brown, Tradition and Imagination, New York: Oxford University Press, 1999.
[2] Ibrahim Kalin,“Islam, Christianity, the Enlightenment: “A Common Word” and Islam-Christian
Relations,” Islam Christian Understanding. Theory and Appliaction of “A Common Word”, eds. Waleed El-Ansary and
David K. Linnan (New York, 2011), hl. 41
[3] Eka Darmaputera, “Teologi Persahabatan antar
umat Beragama”, dalam Karel Erari, et.al., Keadilan
Bagi yang Lemah: Buku Peringatan Hari Jadi ke-67 Prof. Dr. Ihromi, MA, (Jakarta,
tanpa penerbit, 1995), hl. 194.
[4] M. Amin Abdullah, “Kebebasan Beragama atau
Dialog Antar-agama”, dalamJ.B. Banawiratma, dkk., Hak Asasi Manusia Tantangan bagi Agama, (Jogyakarta:Kanisuis,
1999), hlm.58-59
|
Langganan:
Postingan (Atom)