”LEBIH BAIK” (Amsal 15 : 13 - 17)
1. Jika kita membaca Amsal 9:1-6: “Hikmat telah mendirikan rumahnya, menegakkan ketujuh tiangnya…” dapat menampilkan gambaran seorang arsitek, ahli bangunan, atau orang yang baru saja selesai membuat sebuah rumah. Terbayang orang yang sigap mengawasi jalannya pembangunan, tidak mudah diakali, orang yang dapat menilai keadaan dan pintar bergaul sehingga urusannya beres. Tetapi gambaran tadi rada berubah ketika membaca teks Ibraninya. Pertama-tama yang tampil dalam Amsal tadi itu jelas perempuan, bukan lelaki. Dan namanya ialah Hikmat, Ibraninya hokma, artinya “kebijaksanaan”, dan genus kata itu dalam bahasa Ibrani (dan Arab) femininum. Tetapi Hokma dan Hikmat itu Yunaninya ialah Sophia. Semua calon imam yang belajar di seminari diajar untuk menyukai dan menyenangi Sophia. Bahkan yang sudah rada berumur pun mesti juga begitu.
2. Kata Amsal sebetulnya berasal dari kata Arab amthal, jamak dari mithl- yang bunyinya kepleset dalam bahasa Indonesia jadi “misal” (=kayak, seperti). Ibraninya mashal, jamaknya meshalim, yang diterjemahkan dengan “amsal”, bisa berarti “ucapan” orang bijak, “perumpamaan”, atau “peribahasa berhikmat”. Memang seluruh kitab Amsal hendak mengibaratkan hal-hal pelik dengan yang bisa dimengerti. Ini kegiatan yang mengasyikkan, paling tidak menurut orang zaman itu. Coba lihat, pada pembukaan kitab ini, Amsal 1:1-6, tajam-tajam disoroti apa itu isi “misal-misal” tadi: belajar kenal dengan Sophie (Amsal 1:2), yang kemudian dijelaskan sebagai mendapat “didikan”, yakni “pengajaran” dan diterangkan lebih jauh sebagai “mengerti kata-kata yang ada maknanya (Ibraninya: לְהָבִין אִמְרֵי בִינָה ”le-havin imre bina”, supaya paham wacana yang ada isinya. Jadi mengenal Sophie sama dengan pandai-pandai menangkap makna dalam isyarat-isyarat bahasa. Bukan isyarat lambaian tangan atau kerdipan mata, atau bahasa tubuh lain yang lazim dipakai. Ibraninya menarik, “…imre bina” itu ialah wacana yang ada isi pengetahuannya, bukan tong kosong yang berbunyi nyarting. Sang Pengamsal kiranya mengajak orang pandai-pandai membedakan wacana yang ada isinya dari kata-kata kosong. Jadi menurut Amsal, jangan buang waktu mendalami omongan yang tak memberi apa-apa.
3. Dengan kata lain, Hikmat atau kebijaksanaan tidak lain adalah kemampuan untuk melihat, memilih dan melakukan apa yang lebih baik; kemampuan untuk membuat prioritas yang tepat. Perhatikan tiga kata kerja yang dipakai disini. (1) melihat; (2) memilih; (3) melakukan apa yang lebih baik. Tidak gampang untuk bisa melihat, memilih, dan melakukan yang lebih baik. Kita biasanya cenderung memilih yang menarik, yang menjanjikan keuntungan yang besar, cepat, dan gampang. Padahal kita tahu betul, yang kelihatan lebih menarik itu belum tentu lebih baik. Atau kita melihat apa yang lebih baik. Namun demikian, ini juga belum jaminan bahwa kita juga akan memilih yang lebih baik. Siapa yang tahu, bahwa “menyatakan kebenaran” itu lebih baik daripada “menjilat”. Tetapi, dunia ini penuh dengan para penjilat!
4. Ada yang mengatakan, bahwa hidup adalah seni membuat prioritas. Sukses ditentukan di sini. Inti dari pendidikan akhlak, karakter, budi pekerti adalah memampukan anak-anak kita memilih yang lebih baik. Tahu mana yang harus diutamakan dan didahulukan di dalam hidup ini. Ini catatan khusus bagi para orangtua. Beri mereka contoh dan pedoman bagaimana memilih prioritas! Sekarang apa yang dikatakan oleh ayat-ayat kita ini mengenai apa yang lebih baik atau yang mesti kita prioritaskan itu?
5. “Hati yang gembira membuat muka berseri-seri, tetapi kepedihan hati mematahkan semangat” (ay.13). Menurut ayat ini, kita diajak untuk lebih memprioritaskan hati yang gembira. Mengapa? Karena dengan keadaan hati yang gembira akan membuat wajah berseri-seri. Kemudian, hati yang gembira adalah obat yang manjur (Ams.17:22). Sebaliknya jika kita tidak mampu menjaga hati kita agar terus bergembira, tetapi hati kita mengalami kepedihan, maka akibatnya kita akan mengalami semangat yang patah (turun) dan bahkan mengeringkan tulang. Jika tulang kita kering maka kita akan sulit melakukan segala sesuatu. Alagi jika tulang kita ini sudah keropos, maka hidup ini bagaikan tak berarti lagi. Hati juga bisa panas karena melihat keberhasilan orang lain, sehingga Kain membunuh Habel adik kandungnya sendiri (Kej.4:5). Hati Yakub panas, sehingga dia bertengkar dengan Laban (Kej.31:36). Hati juga bisa mengeras, sehingga tidak mau mendengarkan Tuhan (Kel.7:13dyb; 9:1dyb). Dan masih banyak lagi persoalan hati ini, tetapi bukan itu yang diinginkan pengamsal dari kita. Dengan demikian, jagalah hati kita agar tetap bergembira.
6. “Hati orang berpengertian mencari pengetahuan, tetapi mulut orang bebal sibuk dengan kebodohan” (ay.14). Prioritas hati yang berikut adalah hati yang berpengertian. Mengapa? Karena orang yang berpengertian akan memperoleh bahan pertimbangan (1:5), di bibir orang berpengertian terdapat hikmat (10:13), orang yang berpengertian berkepala dingin (17:27), hati orang berpengertian memperoleh pengetahuan (18:15), dan jikalau orang yang berpengertian ditegur, ia menjadi insaf (19:25). Tetapi mulut orang bebal sibuk dengan kebodohan. Pada zaman teknologi tinggi dalam media komunikasi dan hiburan ini, kita harus menjaga dengan seksama hati dan pikiran kita. Kita ternyata adalah orang bebal apabila kita sibuk dengan hal-hal yang menduakan Roh Kudus dan mencemarkan kebenaran Allah (bd. Rm.1:32). Orang bijaksana hanya akan memenuhi pikiran mereka dengan hal yang mulia, benar, dan murni (Flp. 4:8).
7. “Hari orang berkesusahan buruk semuanya, tetapi orang yang gembira hatinya selalu berpesta” (ay.15). Ayat ini merupakan kebalikan dari ayat 13-14 di atas. Hari-hari orang yang hatinya susah, pedih, dll, pasti buruk semuanya. Artinya tak satu pun hari-harinya yang membahagiakan, selalu hari-hari hidupnya diterpa dengan masalah-masalah. Hal ini bukan berarti bagi orang yang hatinya bergembira hari-harinya tidak mengalami penderitaan dan kesusahan. Tetapi yang jelas pasti ada perbedaan orang yang hatinya bergembira dengan orang yang hatinya berkesusahan dalam menghadapi problematika kehidupannya. Orang yang hatinya bergembira akan senyum menghadapi hari-harinya karena ada kekuatan yang dimilikinya yaitu dari Tuhan, sedangkan orang yang hatinya berkesusahan akan selalu mengandalkan kekuatannya untuk menghadapi persoalan hidup ini.
8. “Lebih baik sedikit barang dengan disertai takut akan TUHAN dari pada banyak harta dengan disertai kecemasan” (ay.16). Amsal tidak berbicara mengenai “apa yang paling baik”. Sebab kalau soal “apa yang paling baik”, siapa yang tidak tahu? yaitu takut akan Tuhan plus banyak harta. Jika kita hanya mencari apa yang paling baik, mudah saja bukan? Asal takut akan Tuhan, diberi banyak harta! Wah sekarang juga, pasti orang antri mau takut akan Tuhan! Tetapi realitas hidup ini ‘kan tidak begitu. Karena itu, Amsal berbicara mengenai ‘yang lebih baik’. Bukan yang paling baik. Menurut orang bijaksana yang menulis kitab Amsal ini, yang paling tidak enak dalam hidup ini adalah hidup dalam kecemasan. Hidup dalam ketakutan. Stres. Ketegangan. Kalau kita bijaksana, jangan mau hidup dengan begini! Tegaskan kepada diri kita, kepada anak-anak kita agar jangan mau memilih hidup yang begitu. Jangan memilih ‘hidup dalam kecemasan’, sekalipun diiming-iming ‘banyak harta’. Bagaimana caranya supaya tidak hidup dalam kecemasan? Kata Amsal, hiduplah ‘takut akan Tuhan’! Kalau hidup kita lurus, mungkin kita tidak bisa kaya, tetapi hati kita sejahtera. Sebaliknya, kalau kita selingkuh, curang, culas, tidak takut akan Tuhan, kita bisa sukses secara duniawi, tetapi hati kita tidak tentram. Pilih yang mana? Kalau kita bijaksana, prioritaskan ‘hidup yang tentram’, hati yang sejahtera dari pada semua yang lain, termasuk ‘banyak harta’.
9. “Lebih baik sepiring sayur dengan kasih dari pada lembu tambun dengan kebencian”(ay.17). Kalau kita bijaksana, jangan pilih hidup dalam kebencian. Termasuk di sini hidup dalam dendam, amarah, benci, menyimpan-nyimpan kesalahan orang, iri, dengki, cemburu dan sejenisnya. Kata Amsal, kalau hati kita penuh dengan hal seperti itu, biarpun ada daging steak lembu impor dua kilo di depan kita – kita tidak bisa menikmatinya! Sebaliknya, walaupun makanan cuma dengan nasi hangat plus sambal tempe dan sayur lodeh – tetapi hati bersih, tidak ada duri, hati penuh dengan kasih, pasti nikmat.
KESIMPULAN:
1. Hidup ini penuh dengan skala prioritas. Karenanya marilah kita lebih memprioritaskan hidup hati yang lebih baik. Lebih baik hati yang gembira, berpengertian agar hari-hari kita menyenangkan dan hidup kita lebih tentram.
2. Lebih baik memprioritaskan hidup bersekutu dengan Tuhan daripada bergelimang harta dunia yang tidak menyelamatkan. Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu (Mat.6:33).
Ramli SN Harahap fidei’07 080207