Rabu, 19 Agustus 2009

Bacaan Minggu 06 September 2009: Roma 15 : 5 - 9

PERSEKUTUAN KRISTEN


Adalah lebih mudah membentuk perkumpulan daripada memelihara kesatuan. Lihatlah banyaknya perkumpulan-perkumpulan yang terbentuk, tetapi belum tentu mereka bersatu. Hal seperti itu disebut orang Batak dengan: “masidaisan tanggurung, alai ndang masipadohan” (bahu bersentuhan, tetapi tidak saling bicara). Itu bisa digambarkan seperti orang di angkutan umum, bahunya saling bersentuhan tetapi tidak ada komunikasi. Atau, seperti bertetangga, dinding rumah boleh satu, tetapi penghuninya tidak saling sapa. Ini hanya contoh kecil saja, yang menunjukkan berkumpul tetapi tidak bersatu.
Nas ini mau menasihatkan umat Kristen untuk tidak hanya sekadar berkumpul, tetapi harus sungguh-sungguh bersekutu dan bersatu. Tidak mudah memang, sebab ada banyak perbedaan yang dimiliki setiap anggotanya. Katakanlah misalnya seperti yang disoroti Paulus dalam Surat Roma ini, terutama dalam pasal 14-15. Terdapat perbedaan asal-usul masuk Kristen (Yahudi, non-Yahudi); soal makanan (berpatang, tak berpantang); soal hari (ada yang menganggap hari yang satu lebih penting daripada yang lain, tetapi yang lain menganggap semua hari sama), ada yang imannya kuat, dan ada yang lemah. Daftar ini akan makin panjang lagi jika melihat banyaknya perbedaan di antara gereja-gereja sekarang ini. Alhasil, perbedaan ini telah menimbulkan ketegangan dan mengancam hidup persekutuan sesama umat Kristen. Terjadilah saling menghakimi, menyebut diri/kelompoknyalah Kristen yang benar, dan menghinakan yang lain. Jika keadaan ini terus dibiarkan berlanjut, maka akan muncul konflik yang mengarah pada perpecahan dan permusuhan.
Hal inilah yang mendorong Paulus untuk memberikan tanggapan dan saran-saran teologisnya. Ia mengakui adanya perbedaan-perbedaan, dan itu tidak mungkin dihilangkan. Tetapi ia melarang dengan keras supaya jangan ada yang saling menghakimi. Sebab menurutnya, tidak ada seorang pun di antara kita yang hidup dan matinya untuk dirinya sendiri, melainkan baik hidup maupun mati kita adalah milik Tuhan (Rm.14:8). Artinya, setiap kita yang berbeda-beda ini adalah milik Tuhan yang satu. Itulah dasar kesatuan orang percaya, yaitu: “kita satu di dalam Tuhan, dan ada satu Tuhan untuk semua”. Karena itu, menurut Paulus, setiap orang Kristen harus mengabdikan dirinya untuk membangun dan memperindah bangunan persekutuan kristiani, justru karena ada perbedaan-perbedaan. Ia menyebut: “setiap orang di antara kita harus mencari kesenangan sesama kita demi kebaikannya untuk membangunnya” (Rm.15:2). Berarti, perbedaan itu dapat menjadi sumberdaya (kekayaan) yang potensil membangun kebaikan dan keindahan persekutuan Kristen, tubuh Kristus itu.
Sebetulnya, sudah sejak awal, Allah menghendaki perbedaan dan bukan kesamaan atau seragam (uniformis). Lihatlah misalnya, ketika Allah menciptakan bumi dan segala isinya. Ada langit, ada bumi; ada darat, ada air; ada siang, ada malam; ada laki-laki, ada perempuan, dll. Beragam, tidak seragam; berbeda, tidak sama. Tetapi toh dengan perbedaan itu Allah menilai hasil ciptaan-Nya dengan nilai baik, bahkan sungguh amat baik. Hal yang sama juga kita lihat dalam ajaran Paulus tentang solidaritas tubuh dalam 1 Korintus 12. Ada banyak anggota tubuh, dan berbeda satu dengan yang lain. Tetapi semua saling membutuhkan dan bekerjasama untuk membangun tubuh yang satu. Dengan begitu, terbentuklah satu tubuh yang baik dan indah. Persekutuan yang satu, baik dan indah seperti inilah yang didamba Paulus terjadi di antara orang Kristen, yang ditandai dengan kerukunan dan saling menerima satu akan yang lain.

Kerukunan

Di samping tanggapan dan saran teologis, Paulus juga menyampaikan doa, yaitu: “supaya Alah sumber ketekunan dan penghiburan itu mengaruniakan kerukunan kepada kamu sesuai dengan kehendak Kristus”. Artinya, Kristus menghendaki supaya persekutuan umat Kristen itu bersatu dengan rukun (bnd.Yoh.17:11b). Untuk memahami “kerukunan” ini dapat kita baca Mazmur 133:1. Dari situ dapat disebut bahwa persekutuan Kristen itu adalah persekutuan “saudara seiman” dalam keluarga Allah. Maka jika mereka dapat “diam bersama dengan rukun”, oh, alangkah baik dan indahnya. Pertama, di dalamnya terdapat persamaan derajat atau persaudaraan egaliter. Dimasukkan dalam keluarga, berarti identitas seseorang dikenal, dihargai. Dimasukkan dalam keluarga juga ada “kursi” dan “meja” untuk setiap anggotanya. Itu berarti haknya terjamin, dan memiliki akses pada kehidupan. Dalam keluarga, tak seorang pun boleh disanjung bagai dewa atau “anak mas”, sementara yang lain dipandang sebelah mata atau diremehkan. Melainkan, kita harus saling mengasihi dan menghargai satu sama lain.
Kedua adalah harmoni, justru karena ada perbedaan itu. Keenam tali gitar, misalnya, berbeda ukuran dan suaranya. Dalam koor juga ada empat suara atau lebih yang berbeda. Tetapi jika distel, terdapatlah harmoni/keserasian, yang membuat suara terasa indah dan enak didengar. Demikianlah dalam persekutuan orang Kristen itu terdapat banyak perbedaan. Ini perlu diatur (manage) supaya ada harmoni, sehingga satu hati dan satu suara kamu memuliakan Allah. Kata kunci di sini adalah kerendahan hati dan kesediaan mengabdikan diri/potensi bagi kebersamaan. Jadi, bukan kesamaan tetapi kebersamaan. Ketiga adalah sharing dan solidaritas. Kita semua dikarunia Tuhan talenta atau potensi yang berbeda-beda. Karunia ini bukanlah untuk diri kita sendiri, tetapi untuk kita pergunakan dalam pembangunan hidup bersama. Karena apa? Karena kita bukanlah mahluk sempurna yang serba bisa. Semua kita memiliki kekurangan dan keterbatasan. Sebab itulah kita perlu sharing, saling berbagi, dan solider. Ini penting sebab kerukunan itu bukan hanya berarti tidak bertengkar atau ribut, tetapi juga terdapat kepeduliaan terhadap sesama, terutama terhadap saudara-saudara kita yang paling lemah (bnd.Rom.15:1; 1 Kor.12:23b). Jadi, dalam kerukunan itu harus ada diakonia kasih, dan alamatnya yang pertama adalah saudara seiman yang paling membutuhkan (Gal.6:10).

Saling menerima

Kemudian, Paulus menasihatkan: “terimalah satu akan yang lain, sama seperti Kristus menerima kita” (ay. 7). Kristus menerima semua orang tanpa membeda-bedakannya, sehingga di dalam Kristus tidak ada lagi perbedaan (Gal.3:28). Demikianlah orang Kristen harus saling menerima satu dengan yang lain. Saling menerima berarti menjadikan seseorang itu sebagai sesama, atau bagian dari diri kita sendiri. Dengan cara inilah, persekutuan seiman dapat diwujudkan.
Masalah yang sering terjadi adalah bahwa cara kita memperlakukan manusia tidak sama. Penyambutan kita terhadap seseorang, tergantung pada status yang disandangnya. Bukan manusianya, tetapi hartanya dan penampilannya yang kita lihat. Maka, yang kaya kita hormati; yang miskin kita pandang sebelah mata. Yang kaya kita hantar dan persilahkan duduk; sementara si miskin kita suruh cari tempat sendiri, berdiri saja atau duduk di tempat yang tidak layak (Yak.2: 1-4).
Yang benar adalah semua orang harus diterima sebagai sesama manusia yang mempunyai martabat. Penerimaan kita terhadap seseorang bukan terletak pada status sosialnya (kaya-miskin; konglomerat atau kong yang melarat), tetapi lebih pada keberadaannya sebagai manusia yang diciptakan Allah menurut gambar-Nya, dan yang untuknya juga Kristus mati. Pada kesegambaran dengan Allah dan penebusan Kristus itulah melekat martabat manusia. Maka, pembeda-bedaan manusia sama artinya dengan perendahan derajat seseorang. Dan itu juga berarti menghina Pencipta dan Penebusnya. Sebaliknya, jika terdapat hubungan yang saling menerima, maka persekutuan itu layak dipersembahkan menjadi kemuliaan Allah.
Sudah jelas, bahwa maksud Allah ketika memilih satu bangsa tertentu (Israel) menjadi umat-Nya, bukanlah untuk menolak atau tidak menerima bangsa-bangsa yang lain. Melainkan, itu hanyalah sebuah strategi misi pelayanan, yaitu: supaya melalui umat pilihan pertama itu tersebar karya keselamatan kepada seluruh bangsa. Dan maksud itu digenapi Yesus Kristus dengan sempurna melalui pelayanan dan pengorban-Nya. Jadi, karya Kristus itu bukan hanya untuk orang Yahudi, tetapi juga untuk seluruh bangsa. Alamat kasih Tuhan itu juga adalah semua orang; dan semua orang diundang memasuki Kerajaan Allah.
Jika demikian, maka persekutuan Kristen bukanlah persekutuan yang tertutup, yang terbatas daya tampungnya, atau yang pelayanannya dibatasi hanya untuk ‘kalangan sendiri’ saja. Melainkan, persekutuan yang terbuka (opensif), oikumenis, dan mengglobal. Gereja harus menjadi tempat bertumpunya semua orang dari berbagai suku, ras, kebudayaan, dan lain-lain. Syaratnya hanya satu, yaitu: beriman kepada Kristus. Dengan cara inilah Tuhan memakai gereja mewujudkan persaudaraan global. Semakin banyak anggotanya, semakin kuat. Tentulah ini harus diikuti dengan peningkatan mutu kesatuannya. Bukan saling sikut, apalagi saling sikat. Melainkan, terdapat pola hidup anggotanya yang saling mengakui, saling menghormati, dan saling melayani, sehingga seluruh bangsa turut memuliakan Allah dan menyanyikan mazmur bagi-Nya. Amen.




Pdt.Dahlan Munthe, MTh.

Bacan Minggu 30 Agustus 2009: Galatia 4 : 22 - 28

“KERUKUNAN: HIDUP BERDAMPINGAN DENGAN ORANG YANG BERBEDA PANDANGAN/ORIENTASI HIDUP”

Pengantar.
Ayat-ayat yang ditentukan menjadi epistel ini nampaknya mau mengungkapkan satu teologi yang bukan berdasarkan nas yang tertulis dalam Alkitab. Sebab menurut Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) Galatia 4 itu terdiri dari tiga nas (kelompok ayat berdasarkan isi):
1. Ayat 1 – 11 berisi penjelasan bahwa tidak ada lagi perhambaan.
2. Ayat 12 – 20 berisi tentang penjelasan hubungan Rasul Paulus dengan jemaat Galatia.
3. Ayat 21 – 31 berisi tentang fungsi hukum Taurat yang ada di Perjanjian Lama bagi umat kristen (yang percaya kepada Yesus). Dalam hal ini Rasul Paulus mengambil contoh atau gambaran Hagar dan Sara dalam kehidupan Abraham.
Sehubungan dengan itu saya lebih dahulu memberi penjelasan tentang maksud nas ke tiga ini berdasarkan pembagian nas menurut LAI dan kemudian mencoba memberi penjelasan sesuai tema minggu “Kerukunan: Hidup berdampingan dengan orang yang berbeda pandangan/orientasi hidup”.

INJIL DAN HUKUM TAURAT

Jadi hukum Taurat adalah penuntun bagi kita sampai Kristus datang, supaya kita dibenarkan karena iman (Gal.3:24).

Seorang anak remaja bertanya kepada pendeta: “Pak pendeta! Mengapa tidak kita lakukan semua yang tertulis dalam kitab ‘Musa’ yaitu tentang Hukum Taurat?” “Berilah contohnya!”, kata pendeta. “Sunat (Kej.34:22), pantang makan darah (Im.17:10-12), hari Sabat (Kel.20:8-11) dan masih banyak lagi”, kata remaja itu. Pendeta memberi penjelasan: “Tentang hal itu, Yesus pernah berkata: Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi (Yoh.13:34), di tempat lain, Yesus juga berkata bahwa bukan hal-hal yang lahiriah (harfiah) dalam hal melaksanakan hukum Taurat, tetapi lebih kepada yang rohani, yang dari perasaan seperti keadilan, kejujuran dan yang sejenisnya (bnd. Luk.11:37-52)”. Pertanyaan si remaja di atas juga menjadi masalah di jemaat Galatia setelah Rasul Paulus meninggalkan Galatia.
Salah satu masalah yang mau diselesaikan Rasul Paulus melalui surat Galatia ialah pendapat yang mengatakan bahwa “menjadi kristen yang benar harus melakukan Hukum Taurat secara murni dan konsekwen”. Pendapat ini datang dari orang-orang kristen Galatia yang berlatar-belakang Yudaisme (kejahudian; agama dan adat-istiadat Yahudi). (catatan: yang dimaksud dengan Hukum Taurat Yahudi ialah seluruh yang tertulis dalam kitab Kejadian sampai Ulangan. Kitab-kitab inilah yang disebut Kitab Taurat orang Yahudi). Rasul Paulus tidak setuju penggunaan hukum Taurat secara hurufiah, karena hukum Taurat tertulis adalah mematikan (bnd. 2Kor.3:6). Kita tidak bisa membayangkan seperti apa kekristenan seandainya mengikuti pendapat orang Kristen yang berlatar-belakang Yahudi itu.
Contoh yang dipakai Rasul Paulus untuk menjelaskan makna hukum Taurat ialah Hagar dan Sara, yang keduanya melahirkan anak bagi Abraham. Hukum Taurat tertulis adalah ibarat Hagar dan anak yang dia lahirkan Ismail, dan ‘hukum anugerah’ adalah ibarat Sara dan anaknya Ishak. Kedua-duanya adalah untuk Abraham. Ismail dan Ishak sama-sama anak Abraham, tetapi Ismail terusir dari Abraham (Kej.21:14). Hagar dan Ismail terusir dari keluarga Abraham setelah Sara melahirkan Ishak. Hagar dan Ismail berguna bagi Abraham sebelum Ishak lahir. Karena Hagar menyombongkan diri terhadap Sara maka dia dan Ismail diusir dari kehidupan Abraham. Inilah gambaran yang dibuat Paulus untuk menjelaskan hukum Taurat tertulis dengan Firman Tuhan di dalam Yesus Kristus.
Menurut Rasul Paulus bahwa hukum Taurat adalah penuntun (Batak: siparorot) (Gal.3:24). Yang dituntun (diparorot) biasanya adalah anak kecil usia di bawah satu tahun sampai dua tahun, biasa disebut ‘batita atau balita’ dimana pada saat si anak telah menanjak usia dua tahun ke atas dia tidak lagi dituntun untuk berjalan. Hukum Taurat sebagai ‘penuntun’ memberi arti bahwa pada satu saat yang dituntun akan bebas dari yang menuntun, yaitu ketika si anak telah dewasa. Gambaran itulah yang diberikan Rasul Paulus untuk menjelaskan fungsi hukum Taurat dalam sejarah bangsa Yahudi.
Keadaan dewasa yang dimaksudkan Rasul Paulus ialah ketika Yesus Kristus telah datang dan manusia telah menaruh percaya kepada-Nya. Rasul Paulus memberitakan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat dimana Dia telah mengajar manusia untuk hidup sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah. Yesus mengajar murid-murid-Nya dan masyarakat banyak untuk menerima ‘perintah yang baru yaitu kasih (Yoh.13:34) agar manusia melakukan kasih terhadap Allah, terhadap sesamanya manusia dan terhadap seluruh yang diciptakan Allah.

KERUKUNAN
Hidup berdampingan dengan orang yang berbeda pandangan/orientasi hidup.

Nas di atas (Gal.4:22-28) adalah analisis Rasul Paulus tentang cerita Hagar, Sara dan Abraham yang tertulis dalam kitab Kejadian 16 dan 21. Dari kacamata kristiani, ada dua tindakan Abaraham yang salah dalam cerita Kejadian 16 dan 21:
1. Tindakan Abraham yang beristeri dua. Abraham memperisteri Hagar sebagai isteri kedua atas kekwatiran tidak punya keturunan lagi dari isteri pertama Sara. Rasul Paulus melarang beristeri dua (1 Tim.3:2, 12).
2. Tindakan Abraham yang mengusir Hagar dari rumahmya (Kej.21). Abraham mengusir Hagar karena dorongan Sara, dimana menurut Sara, Hagar menyakiti hatinya karena dia mandul (Kej. 21: 8-21). Rasul Paulus memaknai pengusiran Hagar itu sebagai cara untuk menjelaskan siapa anak “kedagingan” dan siapa anak “perjanjian”. Ismail anak Hagar adalah anak kedagingan dan Ishak anak Sara adalah anak perjanjian. Dari sudut pandang kekristenan hal “pengusiran” tersebut tidak dapat dibenarkan. Yesus pernah berkata: “Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Mat.5:44; Luk.6:27, 35).
Ajaran Yesus yang menyuruh para pengikutnya mengasihi musuh, adalah ajaran yang sangat revolusioner bagi mereka yang hidup dalam hukum atau adat-istiadat pembalasan. Kita tau bahwa dalam hukum atau adat-istiadat Yahudi berlaku hukum pembalasan. Tertulis: “... sebab berlaku: nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki (Ul.19:21; bd. Kel. 21:23).
Beberapa resep yang dapat ditawarkan agar orang yang berbeda pandangan/orientasi hidup dapat hidup berdampingan:
1. Menyadari dengan sungguh-sungguh bahwa perbedaan yang terdapat dalam diri setiap orang, setiap suku bukanlah ciptaan manusia akan tetapi ciptaan Tuhan. Jadi, menerima perbedaan berarti mempercayai Tuhan sebagai Pencip dan Maha Kuasa.
2. Menerima perbedaan apa adanya.
3. Berusaha menemukan kesamaan, dan bukan sebaliknya.
4. Melaksanakan secara bersama-sama apa yang mungkin menjadi kebutuhan bersama seperti memerangi kemiskinan, kebodohan, pengrusakan lingkungan hidup.