DI BALIK PERJUANGAN BERAT: “KAMULAH SUKACITA KAMI”
Betapa melegakan, betapa membahagiakan! Demikian ungkapan seorang ibu yang baru saja menyaksikan wisuda putranya yang bungsu. Peristiwa yang kelihatan biasa-biasa itu baginya luar biasa! Betapa tidak, dalam usia relatif muda, ia ditinggal suami dan harus berjuang mengasuh enam orang anak. Dengan gaji minim seorang guru ditambah dengan berbagai kerja “serabutan”, akhirnya perjuangan panjang itu berbuah! Semua anaknya yang menyadari betapa beratnya perjuangan sang ibu, berjuang sepenuh hati untuk menyelesaikan studi sebaik mungkin dan secepat mungkin. Bahkan, ada yang mulai bekerja sementara studi. Ketika ditanya apakah ibu yang mengagumkan ini pernah merasa nyaris putus asa (mandele), ia mengaku dengan jujur: Ya, tentu saja. Tetapi, dengan pertolongan Tuhan, tegasnya, itu tidak sampai menghentikan perjuangannya demi anak-anaknya. Sudah sepantasnyalah, ibu yang telah berjuang keras itu bersukacita dan bangga melihat hasil jerih lelahnya!
Serupa tapi tak sama, sungguh berat pergumulan yang dialami Paulus dalam misinya mewartakan Kabar Baik “sampai ke ujung bumi” (Kis 1.8). Beberapa kali ia menyebutkan bagaimana ia ditindas, habis akal, dianiaya, dihempas, dihajar, didera, dipenjara (2Kor 4.8-9; 6.4-10), pendeknya “nyaris mati”! Situasi ini juga yang dialaminya ketika ia tinggal di Tesalonika. Sebelumnya, ia dipenjara di Filipi karena hasutan beberapa orang yang meraup keuntungan besar dari hasil tenungan (Kis 16:13-18). Paulus barangkali tidak menyadari “pil pahit” yang harus ditelannya dengan mengusir roh tenung dari seorang perempuan!
Namun, ia bukan Paulus yang kita kenal jika menyerah begitu saja kepada kesulitan! Memang luar biasa, tampaknya ia tidak mengenal kata “jera”, persis seperti yang ditulisnya: “Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa” (2Kor. 4:8). Jadi, sama sekali tidak mengherankan jika setelah dilepaskan dari penjara, ia langsung meneruskan kegiatan misinya, “seperti biasa”. Ya, seperti biasa seolah peristiwa yang masih segar itu tidak meninggalkan trauma apa-apa.
Di Tesalonika, seperti biasa, ia mulai dari sinagoge, tempatnya beribadah secara rutin sebagai orang Yahudi (Kis. 17:1-2). Ia bersaksi tentang Mesias yang menderita sampai mati, tetapi bangkit lagi membawa kehidupan! Beberapa orang sebangsanya menjadi percaya. Namun, yang paling banyak menyambut pewartaannya justru sejumlah besar orang Yunani dan perempuan-perempuan terkemuka. Orang-orang inilah yang menyambut pewartaan Paulus bukan sebagai perkataan manusia tetapi sungguh-sungguh sebagai firman Allah (1Tes. 2:13). Paulus berhasil meletakkan fondasi bagi berdirinya gereja Kristus di kota itu. Lagi-lagi, bukan tanpa perlawanan! Paulus dan Silas kembali menjadi korban hasutan. Oleh orang-orang sebangsanya yang iri hati, mereka difitnah sebagai sebagai pengacau yang tunduk kepada raja selain Kaisar di Roma (Kis. 17:6). Situasi yang kembali memanas memaksa Paulus dan Silas meninggalkan Tesalonika.
Perlawanan orang Yahudi terhadap pewartaan Injil oleh Paulus, seperti yang diungkapkan dalam surat pertama kepada jemaat Tesalonika, harus kita renungkan dengan hati-hati. Cukup ganjil juga, Paulus berbicara seolah-olah sebagai “orang luar”, seolah-olah ia tidak termasuk orang Yahudi. Bahasanya pun bukan main tajam. “Orang-orang Yahudi itu”, tegas Paulus, “telah membunuh Tuhan Yesus dan para nabi dan telah menganiaya kami” (1Tes. 2:15). Mereka betul-betul digambarkan sebagai orang yang tak peduli pada apa yang dikehendaki Tuhan. Bahkan, tidak tanggung-tanggung, mereka dicap sebagai orang yang memusuhi semua manusia! Pernyataan Paulus terkesan begitu keras: “Sekarang murka telah menimpa mereka sepenuh-penuhnya!”
Kita perlu berhati-hati! Pernyataan seperti ini selama ribuan tahun telah menjadi karikatur gereja terhadap umat Yahudi. Dalam kitab-kitab Injil, potret negatif ini turut dilestarikan. Begitu pula, tulisan Bapa-bapa Gereja turut mengabadikannya. Yohanes Krisostomus, misalnya, mengecam orang Yahudi sebagai penipu, sinagogenya penuh setan dan lebih najis dari tempat pelacuran. Bahkan, Bapa Reformator kita Martin Luther tidak terlepas dari sikap anti-Yahudi! Dalam suatu polemik terhadap orang Yahudi, Luther mengecam mereka sebagai pembantai manusia. Ia bahkan menganjurkan agar sinagoge mereka dibumihanguskan, kitab-kitab suci mereka disita dan mereka diusir saja ke Palestina! Sungguh tragis, gambaran anti-Yahudi senegatif itu kelak berkembang menjadi kebijakan anti-Semitik di masa Hitler yang pada masa kecilnya pernah aktif dalam paduan suara di gereja. Seperti yang kita ketahui dari sejarah, lebih dari enam juta orang Yahudi dibantai oleh rezim Nazi di bawah pemerintahan Hitler.
Ya, kita harus membaca Alkitab dengan hati-hati. Paulus dalam surat pertama Tesalonika tidak menganjurkan agar orang Kristen membenci, apalagi membalas perbuatan saudara sebangsa Yesus! Benar, Paulus mengalami penghambatan dari saudara-saudara sebangsanya. Namun, seperti yang diungkapkannya kelak dalam surat Roma, “keinginan hatiku dan doaku kepada Tuhan ialah supaya mereka diselamatkan” (Rm. 10:1)! Dapat dikatakan, keinginan dan doa Paulus sama bagi saudara sebangsanya dan orang-orang dari bangsa bangsa lain.
Fokus perhatian Paulus dalam teks yang menjadi bahan perenungan kita adalah pada hubungannya dengan orang Kristen Tesalonika. Sejarah misi sudah menunjukkan betapa sulitnya masa-masa permulaan itu umumnya bagi gereja-gereja muda. Wajar saja jika terdapat resistensi terhadap apa yang dianggap “asing” dan bisa mengancam tatanan yang sudah mapan. Itu berlaku baik bagi masyarakat Yahudi maupun yang bukan Yahudi. Paulus mengalami penolakan dari kalangan sebangsanya. Orang Kristen Tesalonika yang kebanyakan berasal dari kalangan bukan Yahudi juga mengalami hal yang serupa dari teman-teman sebangsanya (1Tes. 2:14).
Oleh karena situasi yang penuh tantangan itu, Paulus yang terpaksa meninggalkan Tesalonika sewajarnya merasa prihatin! Ia ingin tahu apa yang bakal terjadi dengan jemaat yang masih muda itu. Ia kemudian mengutus Timotius ke Tesalonika untuk mencari tahu tentang keadaan mereka dan sekaligus meneguhkan iman mereka (1Tes. 3:1-2). Demikianlah semestinya hati seorang gembala jemaat yang bagaikan bapa terhadap anak-anaknya (2:11). Kabar seperti apa yang dibawa Timotius ketika ia menemui Paulus di Korintus? Ternyata, kabar sukacita. Sungguh patut disyukuri, jemaat yang didirikannya dengan perjuangan berat tetap hidup dalam firman Tuhan! Tidak sia-sia kehadiran Paulus di antara mereka (2:1)! Kabar sukacita itulah yang mendorongnya untuk menyurati mereka. Tentu tak terbayangkan oleh Paulus, surat pertama yang ditulisnya sekitar tahun 50 akan dihimpun kelak sebagai bagian Perjanjian Baru dan dibaca sebagai firman Tuhan bagi generasi Kristen selanjutnya!
Sejarah misi di tanah Batak merupakan salah satu contoh tentang tantangan yang harus dihadapi gereja yang baru terbentuk. Tidak sedikit resistensi dari masyarakat Batak terhadap kehadiran orang-orang asing yang dijuluki sibontar mata, pembawa agama asing ke tanah Batak. Sejarah mencatat, penolakan itu bahkan telah menelan korban jiwa dari pihak para pewarta Injil, seperti yang terjadi pada Munson dan Lyman di Lobu Pining. Orang-orang Batak yang kemudian menjadi Kristen juga menghadapi hambatan dari saudara-saudara sebangsanya. Apa yang terjadi seandainya para perintis pewartaan Injil itu dipaksa kembali ke negeri asal mereka hanya beberapa bulan setelah mereka “berhasil” mendirikan gereja di tanah Batak? Apakah gereja yang baru seumur jagung itu segera lenyap? Mungkin saja. Tetapi, mungkin juga tidak! Jemaat di Tesalonika adalah contoh nyata. Tanpa dampingan Paulus, tokoh perintisnya, mereka tetap berdiri di atas dasar firman Tuhan, sungguh pun mereka menghadapi tantangan berat. Benih yang ditabur tetap tumbuh. Bukan penabur yang menentukan, tetapi Allah sendirilah yang memberi pertumbuhan (1Kor. 3:6).
Kita dapat belajar dari hubungan yang “sehat” antara tokoh Paulus dengan jemaat yang dirintisnya! Walaupun peran perintis seperti Paulus tentu saja penting dan patut dikenang, iman jemaat tidak tergantung padanya. Malah, Paulus dalam bagian lain surat pertama Tesalonika menyatakan betapa hatinya terhibur oleh anak-anak rohaninya yang ternyata tetap berdiri teguh tanpa dia (1Tes. 2:7). Tidak begitu banyak contoh-contoh seperti ini dalam sejarah misi. Kebanyakan, perintis yang notabene adalah orang asing tidak langsung memberdayakan orang Kristen setempat untuk mandiri. Bahkan, menurut almarhum Uskup Stephen Neill, kebanyakan memiliki mentalitas penjajah (colonial complex). Dalam penilaian mereka, orang Kristen setempat belum mampu berdikari. Iman mereka masih belum matang. Tunggu matang dulu, dan tidak jarang sampai “kematangan”, barulah diserahkan wewenang untuk mengelola sumber-sumber daya setempat.
Sampai sekarang pun, mentalitas seperti itu masih ada. Hampir semua tergantung pada pelayan gereja yang ditahbiskan. Pendeta atau mereka yang dipanggil “hamba Tuhan” memegang peran utama sampai ke urusan yang kecil-kecil. Jemaat merasa kurang “afdal” kalau bukan pelayan tahbisan yang berdoa. Dalam bentuk yang agak ekstrem, yang terjadi adalah kultus individu. Jika ketergantungan seperti ini yang membuat sang hamba Tuhan merasa sukacita, itu namanya salah kaprah! Begitu pula, tak perlu seorang hamba Tuhan merasa bersukacita, apalagi berbangga hati, hanya karena telah berhasil mengerahkan sumber-sumber daya dalam jemaat untuk membangun berbagai fasilitas fisik yang kasatmata. Kerja keras seperti itu bukan tak berguna dan dari sudut pandang manusia boleh-boleh saja disebut “prestasi”. Akan tetapi, jika kita belajar dari apa yang ditulis Paulus, harus dikatakan, “prestasi” demikian tidak dapat dijadikan dasar untuk bersukacita. Proyek-proyek “mercu suar” tidak akan diperhitungkan pada kedatangan Tuhan!
Yang seharusnya membuat seorang pelayan Tuhan bersukacita adalah ketika firman Tuhan yang ditabur sungguh-sungguh bertumbuh dan berbuah dalam kehidupan umat. Di rumah, dalam hidup bertetangga. Di tempat-tempat kerja. Dalam sepak terjang di masyarakat pada umumnya. Ya, dalam hidup sehari-hari di luar gereja! Kemuliaan seorang hamba Tuhan dan sukacitanya terletak pada firman yang bekerja dalam hidup umat. Ya, firman yang bekerja (energeomai, 2:13), yang energinya terwujud dalam hidup orang percaya secara nyata! Itulah iman yang teruji dalam segala situasi, termasuk dalam krisis dan berbagai kesulitan. Seperti doa dan harapan Paulus, iman demikianlah yang nyata dalam kasih yang melimpah-limpah kepada saudara-saudara seiman dan juga semua orang (1Tes. 2:13). Jika itu yang terjadi, segala jerih juang yang dilakukan barulah dapat dikatakan tidak sia-sia dan benar-benar membawa sukacita! Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar