Jumat, 12 Maret 2010

Bacaan Jumat Agung, 2 April 2010 : Mika 7:7-12


Jumat Agung, 2 April 2010 Mika 7:7-12


BERHARAP KEPADA TUHAN

Renungan pada Jumat Agung ini, sangat mengesankan bagi kita. Mengapa? Sungguh, Firman Tuhan ini berhubungan dengan kondisi kita dewasa ini. Sebagai seorang nabi yang hidup di Israel Selatan (Moresyet), Mika memberitakan tuntutan Allah di tengah situasi kesederhanaan hidup seperti persoalan ladang-ladang yang dimiliki orang desa (2:2; 4:5). Dalam situasi seperti itu, perhatian lebih besar diberikan kepada nafsu serakah dan tindakan kasar dari orang-orang yang datang dari kota besar Yerusalem, yang rumah-rumah mewah mereka disewakan di Moresyet. Mereka suka menipu (6:11) dan merebut apa saja yang mereka inginkan (2:1-2; 6:9-11). Mereka merebut ladang-ladang karena utang yang tidak dibayar (2:2, 4).
Apa hubungannya antara teks ini dengan Jumat Agung yang umumnya berisikan via dolorosa (jalan penderitaan)? Lalu apa keterkaitan ini semua dengan kehidupan kita? Apa yang mau Tuhan sampaikan kepada kita semua? Inilah ketertarikan itu!
Di saat-saat cerminan hidup yang benar tidak dapat diharapkan, keadilan dan kebenaran seharusnya ditegakkan, suara nabi seharusnya berbicara, namun tidak juga berbicara, di saat-saat manusia seharusnya hidup saling tolong-menolong, namun berubah menjadi hidup yang serba ganas dan buas, kerakusan konsumtif dan konsumerisme semakin membahana. Di saat-saat seorang ayah dan ibu menjadi teladan tapi tidak kunjung menjadi teladan, di saat-saat pemimpin seyogianya melayani tapi malah memerintah sekehendak hatinya, hukum dipermainkan oleh mereka pemegang kendali hukum. Akibat situasi seperti itu, maka mulailah muncul krisis diri, krisis identitas. Tidak lagi ada yang bisa dipercaya. Tidak ada lagi yang menjadi panutan dan teladan. Tidak ada lagi yang memotivasi dan memberi semangat. Umumnya bila hal ini muncul maka timbul pesimistik. Hidup dipenuhi dengan sikap pesimis. Segala sesuatu tidak punya tujuan dan pengharapan. Begitulah kondisi Israel ketika itu. Seperti Indonesia saat ini seperti sebuah negeri kaum bedebah (hidup yang dikuasai para penguasa tanpa atau dengan menginjak-injak hukum).
Namun yang menarik bagi kita adalah, Mika tidak sama dengan orang yang pesismistik. Selalu ada pengharapan yang baru yang ia nantikan, sekalipun kondisi Israel tidak lagi mencerminkan umat Allah ketika itu (7:1-6). Iman Mika hidup dalam ungkapan dengan kesadaran dan pergumulan, Celakah aku!
Apa kiat agar kita tidak terjatuh dalam krisis identitas tersebut? Kuncinya ialah berharap kepada Tuhan. Tidak ada lagi selain itu. Hidup berpusat hanya pada Tuhan semata. Totalitas diri hanya berpaut pada-Nya. Masalahnya, sering dihadapi pemahaman bahwa hidup berpusat dengan Tuhan tentu hidup yang sukses. Hidup dengan Tuhan pasti jauh dari penderitaan dan kesengsaraan. Sadar atau tidak, teologi sukses sering menyelimuti pikiran manusia, yang berpikir: ”Hidup bersama dengan Tuhan tidak akan mengalami penderitaan lagi”. Padahal, hidup bersama Tuhan adalah lebih tepat dengan gambaran via dolorasa saat ini. Tidak ada keberhasilan diraih tanpa perjuangan (No sucsessfull without strugle. No crown without ross!. No gain without pain). Tuhan tidak pernah berjanji untuk memberikan kenyamanan dalam hidup ini. Yang Tuhan janjikan adalah Tuhan menyertai kita dalam segala perjalanan hidup ini. Artinya, dalam perjalanan kehidupan kita yang pasti terjadi dan nyata adalah penyertaan Tuhan kepada kita. Tuhan menyertai kita di kala susah dan juga menyertai kita di kala berbahagia. Tuhan menyertai kita di kala sakit dan pasti juga Tuhan menyertai kita di dalam masa-masa sehat. Tuhan menyertai kita di masa kesulitan ekonomi, dan juga menyertai kita di kala kita memiliki harta yang banyak. Tuhan pasti menyertai kita di kala anak-anak kita tidak berlaku baik kepada kita, dan pasti juga menyertai kita di kala anak-anak kita mendapatkan kesuksesannya. Penyertaan Tuhan tiada batasnya, bahkan Ia rela mati demi penyertaannya bagi kehidupan kita. Dia mati di kayu salib agar kita memperoleh hidup. Dia mati agar kita hidup. Sungguh luar biasa penyertaannya bagi kita umat ciptaan-Nya.
Sama seperti Kristus yang telah merendahkan diri-Nya di kayu salib untuk memenangkan banyak orang. Ia mati untuk kehidupan manusia. Ia mati agar kita hidup. Ia mengorbankan segalanya demi manusia mendapatkan segalanya. Ia menaklukkan kuasa kematian agar manusia tidak takut lagi kepada kuasa kematian. Kematian selalu menghampiri manusia. Persoalannya, sering kita menganggap kematian merupakan musibah. Namun bagi orang Kristen kematian adalah proses untuk meraih kehidupan yang kekal itu sendiri. Yesus sudah membuktikan itu.
Umumnya orang paling suka membalaskan kejahatan. Seharusnya, persoalan pembalasan atas kejahatan itu bukanlah hak manusia karena pembalasan sesungguhnya milik Tuhan walau memang benar dari realitanya manusia saling membalas kejahatan dan jatuh dalam jurang permusuhan. Paling tragisnya, kita paling suka menanti-nantikan lawan kita tersandung dan bersiap-siap menertawakannya. Itulah sikap mental orang bermusuhan. Mika tidak demikian. Persoalan hidupnya dibawa kepada Tuhan, dan ketika itulah sesungguhnya musuh telah bertekuk padanya. Mengapa? Karena musuh sesungguhnya diri sendiri. Bukan orang lain. Mika mengenal kelemahan dan kekurangannya sehingga ia mengharapkan Tuhan akan memuaskannya (7:8-10).
Dalam masa-masa Jumat Agung ini, marilah kita tidak saling menghujat dan membalas segala kesalahan dan dosa sesama manusia. Sama seperti Yesus ketika Dia dianiaya, difitnah selama perjalanan-Nya menuju kayu salib, Dia tidak pernah meminta pembalasan kepada musuh-musuh-Nya, melainkan Dia melepaskan pengampunan bagi orang yang telah berbuat jahat kepada-Nya. Dengan melepas pengampunan kepada pihak musuh kita, berarti kita telah memperoleh kekuatan ilahi dari Tuhan.
Dalam pergumulan hidunya, Mika pada akhirnya memiliki pengharapan akan masa depan. Ia punya visi yang jelas. Akan datang suatu hari bahwa pagar tembokmu akan dibangun kembali; pada hari itulah perbatasanmu akan diperluas. Pada hari itu orang akan menghadap engkau dari Asyur sampai Mesir, dari Mesir sampai sungai Efrat, dari laut ke laut, dari gunung ke gunung. Keterpautan Mika yang selalu berpusat pada Tuhan saja pada akhirnya menghasilkan pengharapan bahwa pasti ada perubahan. Pasti. Habis gelap terbitlah terang karena tidak mungkin gelap terus hadir dan berkuasa! Tidak mungkin setiap masalah dan persoalan tanpa solusi. Semua pasti ada jalan keluar. Kristus telah membuktikan itu. Ia membuktikan bahwa tahun rahmat Tuhan telah datang dan dibuktikannya dengan via dolorosa. Ini artinya tanpa pengharapan, tanpa semangat, tanpa kegairahan hidup kita tidak mampu berpikir jernih dan hidup bersemangat. Jadi hidup orang Kristen hendaknya punya visi ke depan karena hidup ini berjalan terus lurus ke depan menuju kekekalan.

Bahan diskusi
1. Bila hidup mengancam, apakah dasar pijakan kita? Hartakah? Posisi atau jabatan?
2. Bila situasi dalam keadaan kacau, hukum tidak diindahkan, kebenaran dan keadilan diinjak-injak, orang-orang lemah diperlakukan tidak wajar, apa yang dapat kita perbuat?
3. Bagaimana perasaan Bapak/Ibu dan Saudara/Saudari saat berhadapan dengan orang yang paling dibenci? Maukah kita memaafkannya seperti Kristus telah mengampuni kita dari dosa kita?
4. Apakah menurut Bapak/Ibu dan Saudara/Saudari sudah memiliki visi ke depan?
5. Bila kita memiliki misi ke depan, bagaimana cara kita untuk mewujudkan itu melalui misi?




Pdt. Budiman Tua Simarmata, M. Th.
Dosen STT-HKBP Pematangsiantar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar