GEREJA & LINGKUNGAN HIDUP
Sadarkah kita bahwa alam tempat tinggal kita ini makin rusak? Dalam peringatan hari lingkungan hidup tanggal 5 Juni yang lalu, banyak orang menyoroti kerusakan lingkungan hidup. Kita merasakan bumi yang makin panas, banjir, juga pencemaran udara, air dan tanah, adalah masalah yang menimbulkan banyak dampak negatif bagi manusia. Gaya hidup manusia yang tidak ramah lingkungan dan eksploitasi alam yang berlebihan telah membuat alam ini berduka. Lingkungan hidup menjadi rusak dan terjadilah ketidakadilan ekolog.
Mengapa lingkungan hidup kita menjadi rusak? Adakah cara pandang dan sikap manusia yang salah terhadap alam? Tentu saja. Pemahaman dan cara pandang orang terhadap lingkungan hidup mempengaruhi sikap mereka dalam memperlakukan alam. Misalnya ada pandangan bahwa manusia adalah pusat alam semesta (anthroposentris). Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem. Alam dilihat hanya sebagai obyek, alat, dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya bernilai sejauh menunjang kepentingan manusia. Tentu pandangan seperti itu menghasilkan sikap yang tidak bersahabat dengan alam, misalnya eksploitasi alam yang berlebihan dan sikap yang tidak peduli dengan kerusakan alam.
Lalu, bagaimanakah pandangan kita (orang Kristen) terhadap alam atau lingkungan hidup? Alkitab sebagai sumber nilai dan moral kristiani menjadi pijakan dalam memandang dan mengapresiasi alam. Alkitab sebenarnya mengajak manusia memberikan penghargaan yang tinggi terhadap ciptaan Allah lainnya, termasuk alam atau lingkungan hidup. Perhatikanlah kajian teologis berikut ini:
Semua ciptaan adalah berharga, cerminan keagungan Allah (Mazmur 104). Kebesaran Tuhan yang Maha Agung bagi karya cipataan-Nya (dalam artian lingkungan hidup) tampak dalam Mazmur 104. Perikop ini menggambarkan ketakjuban pemazmur yang telah menyaksikan bagaimana Tuhan yang tidak hanya mencipta tapi juga menumbuh-kembangkannya dan terus memelihara ciptaan-Nya. Ayat 13, 16, 18 dan 17 misalnya, menggambarkan pohon-pohon diberi makan oleh Tuhan, semua ciptaan menantikan makanan dari Tuhan. Yang menarik adalah bukan hanya manusia yang menanti kasih dan berkat Allah tapi seluruh ciptaan (unsur lingkungan hidup). Di samping itu penonjolan kedudukan dan kekuasaan manusia atas ciptaan lainnya di sini tidak tampak. Itu berarti bahwa baik manusia maupun ciptaan lainnya tunduk pada kemahakuasaan Allah. Dalam ayat 30, secara khusus dikatakan: “Apabila Engkau mengirim roh-Mu, mereka tercipta, dan Engkau membaharui muka bumi.” Kata “roh” seringkali dikaitkan dengan unsur kehidupan, atau hidup itu sendiri. Ini berarti seluruh makluk ciptaan di alam semesta ini diberikan unsur kehidupan oleh Tuhan. Ayat ini jelas menunjukan bahwa bukan hanya manusia yang diberi kehidupan tapi juga ciptaan lainnya. Betapa berharganya seluruh ciptaan di hadapan Tuhan. Roh Allah terus berkarya dan memberikan kehidupan.
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa sebagai pencipta, Allah sesuai rencana-Nya yang agung telah menciptakan segala sesuatu sesuai dengan maksud dan fungsinya masing-masing dalam hubungan harmonis yang terintegrasi dan saling mempengaruhi antara yang satu dengan yang lainnya. Jadi sikap eksploitatif terhadap alam merupakan bentuk penodaan dan perusakan terhadap karya Allah yang agung itu.
Semua ciptaan (kosmos) diselamatkan melalui Kristus (Kolose 1:15-23). Dalam perikop ini diungkap dimensi kosmologis yang terkait erat dengan hal keutamaan Kristus, khususnya karya pendamaian, penebusan dan penyelamatan-Nya atas semua ciptaan. Dalam ayat 23 dikatakan bahwa Injil diberitakan kepada ktisis (seluruh alam). Melalui Kristus dunia diciptakan, dan melalui Kristus pula Allah berinisiatif melakukan pendamaian dengan ciptaan-Nya. Sekarang alam berada di bawah kuasa-Nya dan dengan demikian kosmos mengalami pendamaian. Bagian ini juga menekankan arti universal tentang peristiwa Kristus melalui penampilan dimensi-dimensi kosmosnya dan melalui pembicaraan tentang keselamatan bagi seluruh dunia, termasuk semua ciptaan. Kristus membawa pendamaian dan keharmonisan bagi semua ciptaan melalui kematian dan kebangkitan-Nya. Penebusan Kristus juga dipahami sebagai penebusan kosmis yang mencakup seluruh alam dan ciptaan. Penyelamatan juga mencakup pendamaian atau pemulihan hubungan yang telah rusak antara manusia dan ciptaan lainnya.
Demikianlah dapat disimpulkan bahwa baik manusia maupun segala ciptaan atau makluk yang lain merupakan suatu kesatuan kosmik yang memiliki nilai yang berakar dan bermuara di dalam Kristus.
Dengan memperhatikan kajian teologis di atas maka melahirkan teologi kontekstual-ekologis sebagai berikut:
a. Teologi Ciptaan. Teologi ciptaan menekankan karya Allah yang memberikan hidup kepada seluruh ciptaan (Mazmur 104). Dalam hal ini manusia dilihat sebagai bagian integral dari alam bersama tumbuh-tumbuhan, hewan dan ciptaan lainnya. Tanggungjawab manusia adalah bekerja untuk Tuhan dalam memelihara dan mengelola lingkungan hidup, bukan mendominasi apalagi mengeksploitasinya. Teologi seperti ini juga pernah dirumuskan dalam KTT Bumi di Rio de Jeneiro tahun 1992.
b. Solidaritas dengan alam. Kesadaraan bahwa seluruh ciptaan berharga di mata Tuhan, membawa kita untuk membagun sikap solidaritas dengan alam. Kita memperlakukan lingkungan hidup sebagai sesama ciptaan yang harus dikasihi, dijaga, dipelihara dan dipedulikan. Kita mencintai dan memperlakukan lingkungan hidup dengan sentuhan kasih sebagaimana sikap Tuhan. Kita membangun solidaritas baru dengan alam yang telah rusak.
c. Spiritualitas Ekologis. Spiritualitas ini dibangun dengan dasar penghayatan iman bahwa semua ciptaan diselamatkan dan dibaharui oleh Tuhan. Pembaharuan itu menciptakan kehidupan yang harmonis. Spiritualitas ekologis mempunyai dasar pada pengalaman manusiawi yang berhadapan dengan kehancuran lingkungan hidup sekaligus berhadapan dengan pengalaman akan yang Mahakudus, yang mengatasi segalanya. Dalam pengalaman ini kita dipanggil untuk secara kreatif memelihara kualitas kehidupan, dipanggil untuk bersama Sang Penyelenggara hidup ikut serta mengusahakan syalom, kesejahteraan bersama dengan seluruh alam. Spiritualitas ekologis terwujud dalam macam-macam tindakan etis sebagai wujud tanggungjawab untuk ikut memelihara lingkungan hidup.
Konkretnya, apa yang dapat gereja lakukan untuk mewujudkan pandangan teologi seperti tersebut di atas? Selama ini gereja hanya berkonsentrasi pada kegiatan-kegiatan kebaktian atau kegiatan lain yang melayani manusia. Sudah saatnya gereja menyadari bahwa gereja memiliki tugas panggilan menjaga keutuhan ciptaan atau kelestarian lingkungan hidup, misalnya dengan membuat program-program sebagai berikut:
a. Pembinaan tentang kesadaran ekologis. Pembinaan ini merupakan upaya gereja untuk mengingatkan anggotanya bahwa alam adalah ciptaan Allah yang harus dihargai dengan memelihara dan melestarikannya. Misalnya dalam PA atau pembinaan khusus dan tema-tema kebaktian.
b. Perayaan lingkungan hidup dalam liturgi. Misalnya membuat ibadah khusus untuk merayakan hari lingkungan hidup. Dalam ibadah, ada baiknya kita melakukan penyesalan dosa terhadap alam semesta karena ulah manusia yang telah merusak alam. Penting juga untuk menciptakan dan menyanyikan lagu-lagu rohani yang bertemakan alam.
c. Menyuarakan suara kenabian terhadap kerusakan lingkungan hidup. Gereja perlu menyuarakan kritik atau memberikan masukan-masukan bagi masyarakat ataupun pemerintah terkait dengan upaya melestarikan lingkungan hidup.
d. Menata lingkungan gereja dengan memperhatikan keseimbangan ekologis. Misalnya jangan habiskan tanah untuk mendirikan bangunan tapi berikan ruang untuk tanam-tanaman. Kita bisa membangun lingkungan gereja yang hijau dan asri.
e. Gerakan penanaman pohon bagi seluruh warga gereja.
f. Mengajak anggota jemaat membudayakan gaya hidup yang ramah dan dekat dengan alam, misalnya dengan memisahkan sampah plastik, membuat lingkungan sekitar rumah menjadi hijau dengan tanam-tanaman.
g. Membangun kerjasama dengan lembaga atau kelompok pecinta alam, misalnya WALHI, untuk memperjuangkan pembangunan yang berwawasan ekologis.
Ramli SN Harahap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar