Kamis, 07 Februari 2008

SEJARAH DOGMA TENTANG DOSA DAN KESELAMATAN

SEJARAH DOGMA

TENTANG DOSA DAN KESELAMATAN

PADA GEREJA LAMA

(ISTIMEWA AUGUSTINUS DAN PELAGIUS)

OLEH : RAMLI SN HARAHAP

St Augustinus Hippo digambar dalam masa Renaisans.

1. PENDAHULUAN

Berbicara mengenai sejarah dogma tentang dosa dan keselamatan pada Gereja Lama, maka pasti akan berbicara mengenai paham-paham tentang dosa yang dianut oleh para tokoh Kristen pada masa Gereja Lama tersebut. Jika mengulas semua paham yang dianut oleh para Bapa Gereja, maka akan ditemukan perdebatan-perdebatan mereka tentang ajaran dosa dan keselamatan. Sebut saja dari mereka yang berdebat adalah Augustinus dan Pelagius. Dua tokoh ini sangat banyak mempengaruhi perkembangan iman Kekristenan pada abad-abad berikutnya.

2. PENGERTIAN UMUM

2.1 TENTANG DOSA

Alkitab menggunakan beraneka macam istilah untuk dosa. Istilah paling lazim dalam Perjanjian Lama (PL) adalah ‘khatta’ [pelanggaran] (Keluaran 32:30). Kata ini muncul ratusan kali dalam Perjanjian Lama dan mengungkapkan pikiran yang memilih jalan sesat. Istilah lain yang dipakai adalah pesya (pemberontakan) yaitu memberontak terhadap kekuasaan yang sah (1 Raja 12:9; 2 Raja 8:20) atau pemberontakan terhadap hukum-hukum Tuhan (Hos. 8:1), dan awon [perbuatan tidak senonoh] ( 1 Raja-Raja 17:18 ).[1] Awon mengacu pada rasa bersalah yang dihasilkan dosa. Secara umum dalam PL, dosa itu dimengerti sebagai “ketidaktaatan” umat Allah kepada Allah.

Lebih dalam lagi dosa dalam PL sering diartikan sebagai kehilangan (Kel. 20:20 ; Ams. 8:36). Artinya manusia kehilangan tujuannya atau tidak mencapai tujuannya, sebab ia tidak memperhatikan peraturan yang ditetapkan oleh Tuhan. Selanjutnya, dosa disebut juga sebagai "bengkok, keliru, menyimpang dari jalan“. Artinya ada kesengajaan melakukan dosa dan pelanggaran tersebut.[2]

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pengertian dosa dalam PL dikategorikan menjadi empat kelas yaitu: (1) penyimpangan dari jalan yang benar; (2) perubahan penyebaran status (berdosa); (3) pemberontakan melawan yang lebih baik atau ketidakpercayaan pada perjanjian; (4) beberapa karakterisasi kualitas tindakan itu sendiri.[3]

Di dalam Perjanjian Baru (PB) kata utama untuk dosa adalah ‘hamartia’ (Matius 1:21). Kata ini mempunyai makna tidak kena sasaran dan meliputi gagasan kegagalan, salah dan perbuatan jahat. ‘Adikia’ (1 Korintus 6:8) berarti ketidakjujuran atau ketidakadilan. ‘Parabasis’ (Roma 4:15) mengenai pelanggaran hukum. ‘Asebeia’ (Titus 2:12) mengandung arti kuat mengenai tidak mengenal Allah, sedangkan ptaisee lebih berarti tergelincir secara moral (Yakobus 2:10). Dosa itu juga disebut sebagai pelanggaran hukum Allah (1 Yoh. 3:4), atau menurut aslinya: anomia, yaitu perbuatan yang tanpa kasih (1 Yoh. 4:8) atau kejahatan (1 Yoh. 5:17). Ungkapan-ungkapan yang lain ialah: ketidaktaatan, ketidaksetiaan, tidak percaya, dan lain sebagainya. Semua ungkapan itu menunjukkan, bahwa ada sesuatu yang hilang karena dosa.[4]


Aspek yang paling khas dari dosa adalah bahwa dosa bertujuan melawan Allah (bandingkan dengan Mazmur 51:6; Roma 8:7; Yakobus 4:4). Setiap usaha untuk mengurangi ini, misalnya dengan mengartikan dosa sebagai sifat mementingkan diri, sangat meremehkan kegawatannya. Ungkapan dosa yang paling jelas ialah saran Iblis bahwa manusia dapat merampas tempat Penciptanya, "kamu akan menjadi seperti Allah..." (Kejadian 3:5). Dalam peristiwa kejatuhan, manusia berusaha meraih persamaan dengan Allah (bnd. Flp. 2:6), mencoba memberlakukan kemerdekaan dari Allah serta mempertanyakan integritas Sang Pencipta dan pemeliharaan-Nya yang penuh kasih. Ia memberi penghormatan kepada musuh Allah dan juga memperhatikan ambisi-ambisinya sendiri.

2.2 TENTANG KESELAMATAN

Dalam teologi Kristen ajaran tentang keselamatan ini beraneka ragam. Bagi kalangan Skolastik, keselamatan itu dipahami sebagai “rahmat” saja, sedangkan para Reformator melihat keselamatan itu bukan hanya berfokus pada rahmat saja namun melihat keselamatan itu lebih dalam dan luas dengan mengambil perspektif “pembenaran”.

PL sering menggambarkan keadaan manusia yang selamat atau dirahmati itu dengan keadaan “damai sejahtera” (syalom). Kata Ibrani syalom tersebut belum menjadi istilah teknis-teologis. Kata ini bernada positif, mengungkapkan sesuatu yang baik. Istilah syalom begitu kaya akan arti sehingga hampir tidak dapat diterjemahkan dalam bahasa lain. Dalam arti absolut, syalom mencakup segala sesuatu yang berupa kebahagiaan manusia seluruhnya dan seutuhnya, baik rohani maupun jasmani, baik sebagai orang perorangan maupun sebagai persekutuan (Kel. 18:23; Hak. 8:9); 11:31), khususnya umat Israel (1 Raja 5:4) serta pusatnya Yerusalem/Sion (Mzm. 76; 122; 125), bahkan seluruh alam di sekitarnya ikut dan termasuk dalam keadaan bahagia itu (Hos. 2:20; Yes. 11:6-9).[5] Syalom itu merupakan sesuatu yang kongret, yang dapat diraba dan dilihat. Syalom juga diartikan dengan kesehatan (Kej. 29:6), keadaan yang menguntungkan (2 Sam. 11:7 = syalom perang: keadaan perang yang menguntungkan), kesuburan (Za. 8:12: syalom dalam benih: yaitu benih tumbuh dengan baik, subur).[6]

Dalam kitab-kitab Nabi, syalom itu mengandung perspektif masa depan yang besar. Yahweh akan memberikan syalom kepada Israel setelah penghukuman (Yer. 29:11; Yes. 54:10,13, 57:19). Yehezkiel menyebutkan syalom sebagai unsur dari “Kerajaan Selamat” di mana binatang buas tidak lagi merupakan hal yang menakutkan manusia. Yesaya menghubungkan syalom dengan “Raja Selamat” (Yes. 9:5).[7]

Sama seperti dalam PL, demikian juga dalam PB, istilah keselamatan belum mempunyai sebuah istilah teknis-teologis. Kata yang paling sering dipakai sehubungan dengan apa yang dimaksud dengan “keselamatan” ialah soteria (penyelamatan). Kata soteria mempunyai konotasi negatif (penyelamatan dari sesuatu yang buruk) dan pertama-tama menunjuk kepada tindakan yang menyelamatkan dari yang buruk itu. Konsep keselamatanan yakni keadaan selamat dan damai sejahtera (soteria dan eirene) yang dianugerahkan Allah kepada manusia dihubungkan secara tegas dengan diri Yesus Kristus dan dengan karya Roh Kudus.[8] Artinya sifat keselamatan itu mendapat arti lebih dalam dibandingkan dalam PL. Konsep keselamatan dalam PL digenapi dalam PB di dalam diri Yesus Kristus. Keyakinan ini sudah nyata dalam cara Simeon menyalami bayi Yesus, yakni sebagai “keselamatan (soteria) yang dari Allah”, sehingga dia merasa damai sejahtera (eirene) untuk mati (Luk.2:29-32).[9]

Keselamatan (damai-sejahtera) tidak hanya mencakup hubungan antar manusia secara perorangan, tetapi juga antara kelompok-kelompok manusia. Artinya: keselamatan mempunyai dimensi politis. Keselarasan antara kelompok-kelompok dan golongan itu pada dasarnya merupakan hasil karya Kristus. Keselamatan itu malah mencakup alam semesta, sehingga mempunyai ciri kosmis. Keselamatan itu juga menyangkut hubungan timbal-balik antara Allah dan manusia.

2.3 SEKILAS TENTANG AUGUSTINUS[10]

Augustinus anak tertua dari Monika lahir pada 13 November 354 di provinsi Numidia (sekarang meliputi kawasan Aljazair dan Tunisia) di kota kecil yang bernama Tagaste (sekarang Souk Ahras di Aljazair Timur), sebuah kota di Algeria Afrika Utara yang merupakan wilayah Romawi saat itu. Ia dibesarkan dan dididik di Karthago, dan dibaptiskan di Italia. Ibunya seorang Katolik yang saleh, ayahnya, Patricius seorang kafir, namun Augustinus mengikuti agama Manikhean[11]. Ada beberapa hal yang membuat Augustinus tertarik pada ajaran Manikheisme yaitu: Pertama, Manikheisme merupakan aliran agama dualistis yang bertitik tolak dari dua kerajaan yang sama kuat kekuasaannya. Kedua, dalam Manikheisme ada unsur gnostis yang menyatakan bahwa penyelamatan manusia dikarenakan pengetahuan yang khusus.

Pada masa mudanya, Augustinus hidup dengan gaya hedonistik. Di Karthago ia menjalin hubungan dengan seorang perempuan muda yang selama lebih dari sepuluh tahun dijadikannya sebagai istri gelapnya, yang kemudian melahirkan seorang anak laki-laki baginya. Pendidikan dan karier awalnya ditempuhnya dalam filsafat dan retorika, seni persuasi dan bicara di depan publik. Ia mengajar di Tagaste dan Karthago, namun ia ingin pergi ke Roma karena yakin bahwa di sanalah para ahli retorika yang terbaik dan paling cerdas berlatih. Namun demikian Augustinus kemudian kecewa dengan sekolah-sekolah di Roma, yang dirasakannya menyedihkan. Sahabat-sahabatnya yang beragama Manikheanis memperkenalkannya kepada kepala kota Roma, Simakhus, yang telah diminta untuk menyediakan seorang dosen retorika untuk istana kerajaan di Milano.

Pemuda dari desa ini mendapatkan pekerjaan itu dan berangkat ke utara untuk menerima jabatan itu pada akhir tahun 384. Pada usia 30 tahun, Augustinus mendapatkan kedudukan akademik yang paling menonjol di dunia Latin, pada saat ketika kedudukan demikian memberikan akses ke jabatan-jabatan politik. Namun demikian, Augustinus merasakan ketegangan dalam kehidupan di istana kerajaan. Suatu hari ia mengeluh ketika sedang duduk di keretanya untuk menyampaikan sebuah pidato penting di hadapan kaisar, bahwa seorang pengemis mabuk yang dilewatinya di jalan ternyata hidupnya tidak begitu diliputi kecemasan dibandingkan dirinya.

Pengaruh uskup Milano, Ambrosius, sangat banyak mempengaruhi hidupnya. Ambrosius adalah seorang jagoan retorika seperti Augustinus sendiri, namun lebih tua dan lebih berpengalaman. Pengaruh khotbah-khotbah Ambrosius, dan studi-studinya yang lain, membuat Augustinus beralih dari Manikheanisme. Namun bukannya menjadi Katolik, tetapi ia malah mengambil pendekatan Neoplatonis kafir terhadap kebenaran, dan mengatakan bahwa selama beberapa waktu ia merasakan bahwa ia benar-benar mengalami kemajuan di dalam pencariannya, meskipun pada akhirnya ia justru menjadi seorang skeptik.

Pada musim panas tahun 386, setelah membaca riwayat hidup St. Antonius dari Padang Pasir yang sangat memukaunya, Augustinus mengalami suatu krisis pribadi yang mendalam dan memutuskan untuk menjadi seorang Kristen. Ia meninggalkan kariernya dalam retorika, melepaskan jabatannya sebagai seorang profesor di Milano, dan mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk melayani Allah dan praktik imamat, termasuk selibat.

Sebuah pengalaman penting yang mempengaruhi pertobatannya ini adalah suara dari seorang gadis kecil yang didengarnya pada suatu hari menyampaikan pesan kepadanya melalui sebuah nyanyian kecil untuk "Ambillah dan bacalah" (tolle, lege) Alkitab. Pada saat itu ia membuka Alkitab dengan sembarangan dan menemukan sebuah ayat dari Paulus. Ia menceritakan perjalanan rohaninya dalam bukunya yang terkenal Pengakuan-pengakuan Augustinus (Confessiones) yang kemudian menjadi sebuah buku klasik dalam teologi Kristen maupun sastra dunia. Ambrosius membaptiskan Augustinus pada hari Paskah pada 387, dan tak lama sesudah itu pada 388 ia kembali ke Afrika. Dalam perjalanan ke Afrika ibunya meninggal, dan tak lama kemudian anak laki-lakinya, sehingga ia praktis sendirian di dunia tanpa keluarga.

Setelah kembali ke Afrika Utara, ia membangun sebuah biara di Tagaste untuk dirinya sendiri dan sekelompok temannya. Pada 391 ia ditahbiskan menjadi seorang imam di Hippo Regius, (kini Annaba, di Aljazair). Ia menjadi seorang pengkhotbah terkenal (lebih dari 350 khotbahnya yang terlestarikan diyakini otentik), dan dicatat karena melawan ajaran sesat Manikheanisme, yang pernah dianutnya.

Pada 396 ia diangkat menjadi pendamping uskup di Hippo dan tetap sebagai uskup di Hippo hingga kematiannya pada 430. Ia meninggalkan biaranya, namun tetap menjalani kehidupan biara di kediaman resminya sebagai uskup. Ia meninggalkan sebuah Buku Aturan (bahasa Latin Regula) untuk biaranya yang membuat ia digelari sebagai "santo pelindung dari rohaniwan biasa," artinya, imam praja yang hidup dengan aturan-aturan biara.

Sepanjang hidupnya Augustinus banyak menulis. Tulisannya yang berjudul Confessiones ditulisnya sebelum tahun 400. Di dalamnya diceritakan riwayat hidup sampai pertobatannya. Karya besarnya yang lain adalah De Civitate Dei (Kota Allah) dan De Trinitate (Trinitas). De Civitate Dei terdiri dari 22 buku. Sepuluh buku pertama menguraikan tentang iman Kristen. Dua belas buku berikutnya menguraikan tentang perjuangan kota Allah (Civitas Dei) dengan kota dunia (Civitas Terrena). Kota Allah akan mengalahkan kota dunia. Kota Dunia adalah kerajaan-kerajaan dunia ini, khususnya kekaisaran Roma. Proses mengalahkan kerajaan dunia menjadi kerajaan Allah disebut dengan masa pengembaraan (Civitas Penegerire). Yang ada sekarang harus ditinggalkan bukan diperbaharui. Artinya Civitas Dei bukan turun ke dunia. Dengan demikian pemikiran Augustinus sangat Platonis. De Trinitate terdiri dari lima belas buku. Sebagian besar merupakan kumpulan surat-surat, khotbah-khotbah, dan suatu kumpulan dialog filosofis. Tidak lama sebelum kematiannya ia menerbitkan bukunya yang berjudul Retractations, di mana ia meninjau kembali karya literernya.

Bagi Agustinus gereja terdiri dari dua bagian yaitu: (1) Gereja yang kelihatan (Fisible Church) – gereja yang tidak sempurna – yang penuh cacat dan cela; dan (2) Gereja yang tidak kelihatan (Infisible Church) – gereja yang sempurna atau ideal. Gereja yang kelihatan adalah bayang-bayang dari gereja yang tidak kelihatan.[12]

Augustinus meninggal dan dikebumikan pada 28 Agustus 430 di Hippo akibat kekejaman bangsa Vandal. Jenazahnya kemudian dibawa ke Pavia di Italia Utara. Lengan kanannya yang seumur hidupnya menulis dan memberkati, disimpan dan dihormati di katedral Hippo.

2.4 SEKILAS TENTANG PELAGIUS[13]

Pelagius dilahirkan sekitar 354. Pada umumnya disepakati bahwa ia dilahirkan di Britania, namun di luar itu, tempat kelahirannya yang pasti tidak diketahui. Ia disebut sebagai "biarawan" oleh orang-orang sezamannya, meskipun tidak ada bukti bahwa ia terkait dengan ordo monastik manapun (gagasan tentang komunitas biara masih agak baru pada zamannya, orang lebih lazim mempraktikkan asketisisme sendiri) atau bahwa ia ditahbiskan menjadi imam. Ia menjadi lebih terkenal sekitar tahun 400 ketika ia pindah ke Roma untuk menulis dan mengajar tentang praktik asketisismenya. Di sana ia menulis sejumlah karya penting — "De fide Trinitatis libri III," "Eclogarum ex divinis Scripturis liber primus," dan "Commentarii in epistolas S. Pauli," sebuah tafsiran atas surat-surat Paulus. Malangnya, kebanyakan dari karya-karyanya bertahan hanya dalam kutipan-kutipan oleh lawan-lawannya. Di Roma, Pelagius merasa prihatin tentang kehidupan moral masyarakat yang kendur. Ia mempersalahkan hal ini pada teologi anugerah ilahi yang diajarkan, antara lain, oleh Augustinus.

Sekitar tahun 405, konon Pelagius mendengar sebuah kutipan dari karya Augustinus, Pengakuan-pengakuan, 'Berikan kepadaku apa yang Engkau perintahkan, dan perintahkan kepadaku apa yang Engkau inginkan.' Kutipan ini membuat Pelagius prihatin karena tampaknya di sini Augustinus mengajarkan doktrin yang bertentangan dengan pemahaman-pemahaman Kristen tentang anugerah dan kehendak bebas, dan mengubah manusia menjadi robot saja.

Ketika Alarik bersama suku bangsa Goth Timur mengepung kota Roma pada tahun 410, Pelagius dan pengikutnya yang terdekat Coelestinus melarikan diri ke Karthago. Di sana Pelagius menyebarkan ajaran-ajarannya serta mendapat banyak pengikut. Bahkan Coelestinus sempat ditahbiskan menjadi presbiter di Karthago. dan di sana ia melanjutkan karyanya dan berjumpa dengan Augustinus secara pribadi.

Pelagius meninggal dunia barangkali tahun 419. Namun ajarannya hidup terus di bawah pimpinan Julianus dari Eclanum, seorang uskup yang cakap sekali. Ia merumuskan ajaran-ajaran Pelagius dengan sangat sistematis.

3. SEJARAH DOGMA TENTANG DOSA DAN KESELAMATAN PADA GEREJA LAMA

Ketika perdebatan Kristologi masih merisaukan Gereja Timur, maka permasalahan lain yang muncul di Gereja Barat adalah perdebatan tentang dosa dan anugerah, kehendak bebas dan predestinasi. Hal paling penting diperhatikan adalah praktek Kekristenan. Perilaku mereka atas pekerjaan penebusan lebih diutamakan daripada permasalahan Kristologi itu sendiri. Perhatian utama pada Bapak Gereja sebenarnya adalah mengenai Teologi dan Kristologi. Namun mereka juga menghadapi dualisme pandangan tentang dosa dan anugerah yang membawa kebingungan lebih besar, dengan munculnya ajaran Pelagius dan Augustinus.[14]

Pandangan mereka atas dosa sangat dipengaruhi oleh perlawanan mereka terhadap Gnostisisme yang mengganggap bahwa kejahatan melekat pada materi dan penolakan atas kehendak bebas. Gnostisisme menekankan bahwa penciptaan Adam sebagai gambar Allah tidak melingkupi kesempurnaan etisnya tetapi hanya kesempurnaan moral di dalam kodratnya. Artinya pertemuan antara jiwa manusia dan materi segera dianggap sebagai dosa. Pengertian seperti ini akan menyingkirkan dosa dari karakter etisnya. Kejahatan tubuh (materi) semakin bertambah di dalam manusia, tetapi ini bukanlah dosa itu sendiri dan juga bukan termasuk dosa seluruh umat manusia. Mereka juga memahami bahwa tidak ada dosa asli. Irenaeus berpendapat bahwa manusia adalah anak-anak, pengertiannya belumlah sempurna; karena itu pula ia mudah disesatkan oleh pendusta. Dengan diciptakan menurut citra Allah, manusia belum sempurna seperti Allah. Irenaeus berpendapat bahwa tujuan umum dari ciptaan dan peran sang penebus adalah membawa semua makluk ciptaan yang tidak sempurna ini pada kesempurnaannya.[15] Origenes berusaha menjelaskan pengertiannya dengan menggunakan teori pra-eksistensinya. Menurut Origenes jiwa-jiwa manusia sudah berdosa dalam masa pra-eksistensi dan ketika jiwa itu masuk ke dalam dunia, maka jiwa itu sudah berdosa. Gagasan Origenes tentang pra-eksistensi jiwa ditolak Gereja tetapi penekanannya atas kejatuhan sebagai sumber ketidaksempurnaan manusia diterima. Bagi Origenes kejatuhan pra-historis itu bukan hanya menerangkan keterbatasan kefanaan manusia, melainkan juga realitas keberdosaan manusia: “Semua manusia menurut hakikatnya sangat jelas cenderung berdosa”.[16] Origenes yang terpengaruh filsafat Yunani tidak melihat adanya hubungan antara dosa Adam dan dosa keturunannya. Pendapat Athanasius yang ditulisnya dalam The Incarnation of the Word of God, memandang kisah kejatuhan dalam Kejadian sebagai suatu peristiwa historis, bukan suatu peristiwa pra-historis. Oleh karena dosa Adam dan Hawa, keturunan mereka “tidak lagi hidup di dalam Firdaus, tetapi mengalami kesengsaraan hidup di luar Firdaus, selanjutnya mati dan hancur.[17]

Tertullianus mengajarkan bahwa keadaan kita yang berdosa adalah akibat dari kejatuhan Adam. Akan tetapi doktrin tentang dosa Adam yang mengakibatkan dosa seluruh keturunannya sama sekali belum pernah mereka sebutkan. Tertullianus menyatukan ajaran Tradusianisme dengan teori realisme. Dalam peribahasanya yang terkenal, Tradux animae, tradux peccati, artinya perkembangan jiwa meliputi penyebaran dosa. Artinya keseluruhan umat manusia secara potensial dan numerik ada dalam diri Adam, karena itu seluruh manusia berdosa ketika Adam berdosa dan menjadi tercemar karena Adam tercemar. Kodrat manusia secara keseluruhan berdosa di dalam Adam, dan karena itu setiap individualisasi dari kodrat itu juga berdosa.[18]

Tentang ajaran anugerah dan keselamatan sebenarnya para Bapa Gereja masih banyak dipengaruhi oleh konsepsi dosa. Mereka lebih menekankan kehendak bebas daripada anugerah itu sendiri. Kehendak bebas manusia melakukan inisiatif untuk mendapatkan keselamatan, namun pekerjaan manusia itu sendiri tidak sempurna tanpa bantuan anugerah. Kekuatan Allah bekerjasama dengan kehendak manusia dan memampukan manusia menjauhi setan dan melakukan kehendak Allah.[19]

4. AJARAN AUGUSTINUS

4.1 TENTANG DOSA

Augustinus tidak memandang dosa sebagai sesuatu yang positif, tetapi merupakan sesuatu penyangkalan atau keadaan yang serba kurang. Manusia diciptakan untuk kekal, bukan berarti dia tidak dapat mati tetapi dia memiliki kesanggupan untuk hidup yang kekal. Menurutnya, keadaan manusia dari posse non peccare et mori (mampu untuk tidak berdosa dan mati) dia akan melewati keadaan non posse peccare et mori (tidakmampu untuk berdosa dan mati). Tetapi dia berdosa dan konsekuensinya memasuki keadaan non posse non peccare et mori (tidakmampu untuk tidak berdosa dan mati).[20]

Augustinus menggambarkan dosa sebagai yang hakiki melekat pada keberadaan manusia. Dosa merupakan suatu aspek yang integral, bukan opsional, dari keberadaan kita. Manusia dengan cara dan kemampuannya sendiri tidak pernah dapat masuk ke dalam suatu hubungan dengan Allah. Tak satu pun perbuatan manusia yang dapat mematahkan belenggu dosa. Karenanya Allah turut campur dalam dilema manusia.[21] Augustinus mengajarkan bahwa manusia setelah Adam jatuh ke dalam dosa telah menjadi “kaum kebinasaan”, artinya: ia sudah menjadi budak dosa dan tidak dapat berbuat baik lagi. Oleh karena itu kutuk Allah ada padanya dan hidupnya menuju kepada maut yang kekal. Manusia telah berada di dalam lumpur kebinasaan. Akan tetapi Tuhan Allah, karena kasih karunia-Nya semata-mata, telah memilih sejumlah manusia tertentu untuk diselamatkan, sedang sisanya dibiarkan dalam kebinasaannya atau dalam lumpur kebinasaan itu.[22] Pemilihan Allah atas sejumlah manusia untuk diselamatkan inilah yang disebut predestinasi (dari pre = sebelumnya, dan destinatio = ketentuan, keputusan atau juga tujuan). Jadi nasib kekal manusia telah ditentukan sebelum ia dilahirkan. Tiada seorangpun yang dapat menentang/menggagalkan pilihan Allah ini. Siapa saja yang dipilih tentu selamat, sekalipun ia mungkin melakukan dosa yang besar. Sebab bagaimanapun orang yang dipilih akhirnya akan bertobat. Jadi di dalam predestinasi ini kasih Allah terhadap para orang yang dipilih tampak bersinar-sinar. Di dalam ajaran Augustinus ini semua manusia dipandang sebagai telah dalam alam kebinasaan. Dan Allah menyatakan kasih-Nya kepada beberapa jumlah manusia dari antara mereka itu semuanya.

4.2 TENTANG KESELAMATAN

Buku Confessiones membahas banyak hal tentang keterbatasan kebebasan manusia dan perlunya rahmat ilahi. “Lakukanlah apa yang engkau perintahkan, dan perintahkan apa yang engkau inginkan”, adalah tema pokok dari Kitab Kesepuluh yang sudah mengimplikasikan bahwa hukum itu sendiri adalah tidak memadai untuk mengubah hati. Augustinus dalam proses pertobatannya sendiri menyatakan kelemahan kehendak, yang hanya mendapat kebebasan manakala dibebaskan oleh rahmat ilahi:

Tetapi Kau, ya Tuhan, Engkau baik dan penuh kemurahan, Kauduga dengan tangan-Mu dan Kaulihat kedalaman kematianku dan dari dasar hatiku Kaukosongkan jurang kerusakan. Yang diperlukan ialah supaya aku tidak menghendaki apa yang kuhendaki dan supaya kuhendaki apa yang dikehendaki oleh-Mu. Namun, di mana kemauanku yang bebas itu selama sekian tahun dan dari dasar tempat perasingan dalam yang manakah kemauanku itu dipanggil dalam sekejap …? (Co.9:1.1)[23]

Pandangan Augustinus tentang keselamatan (rahmat) hanya dapat dipahami kalau mengingat pandangannya mengenai dosa, yakni sebagai suatu kuasa yang mengurung, membelenggu dan memperbudak manusia. Kuasa dosalah yang disebut “dosa asal”. Karena dosa Adam, manusia sudah masuk ke dalam lingkaran setan yang mengurungnya. Artinya, apa saja yang secara konkret diperbuat oleh manusia, hanya mengukuhkan saja perbudakannya terhadap dosa, biarpun perbuatan konkret itu dilakukannya secara bebas dan atas tanggung jawab sendiri. Dari dirinya sendiri manusia tidak dapat keluar dari lingkaran ini. Secara harafiah manusia berada dalam kuasa setan. Yang dapat menyelamatkan manusia dari kuasa dosa itu hanyalah Allah. Dan, Allah memang membebaskan manusia dari “lingkaran setan” itu. Tindakan Allah itulah yang oleh Augustinus disebut “rahmat”. Istilah rahmat dipakainya karena tindakan Allah itu bukan karena jasa atau hak manusia, melainkan semata-mata karena anugerah bebas dari Allah yang diberikan-Nya dengna cuma-cuma. Dari dalam kebebasan cinta kasih-Nya Allah masuk ke dalam hati manusia dan mengubahnya secara radikal.[24]

Dengan demikian, Augustinus melihat rahmat sebagai pengaruh langsung dari Allah dalam hati dan jiwa manusia yang dikuasai dosa. Hal itu bukanlah sesuatu yang dapat kita raih dengan usaha kita sendiri, melainkan merupakan sesuatu yang harus diperbuat untuk kita. Augustinus menekankan bahwa sumber keselamatan itu terletak di luar manusia, di dalam Allah sendiri. Allah yang empunya inisiatif untuk melakukan proses penyelamatan itu, bukan manusia.[25]

5. AJARAN PELAGIUS

5.1 TENTANG DOSA

Pelagius mengajarkan, bahwa setelah Adam jatuh ke dalam dosa tabiat manusia masih tetap baik. Tiada dosa turunan misalnya: tidak ada dosa yang diwariskan dari generasi dari keturunan pertama kepada keturunan generasi mendatang sehingga mereka mendapatkan hukuman.[26] Manusia dilahirkan seperti kertas putih yang masih belum ditulis. Dosa bukan terletak pada tabiat manusia, tetapi pada kehendaknya. Bahwa manusia dalam kenyataannya berdosa, hal itu disebabkan karena contoh-contoh yang tidak baik dari dunia sekitarnya. Oleh karena itu manusia dengan amal-amal dan kebajikannya tentu dapat mendapatkan keselamatan. Kasih karunia Allah kepada manusia terdiri dari hal ini, bahwa Ia memberikan kehendak yang bebas kepada manusia, dan memberikan pengajaran PL serta ajaran dan teladan Tuhan Yesus Kristus.[27]

Pandangan Pelagius tentang dosa sangat berbeda sekali dengan konsep Alkitab dan juga pandangan Augustinus. Pelagius memulai dari kemampuan alamiah manusia. Pernyataan dasarnya adalah: Allah telah memerintahkan manusia melakukan apa yang baik; karena itu manusia harus memiliki kemampuan untuk melaksanakannya. Hal ini berarti bahwa manusia memiliki kehendak bebas dalam arti kata yang mutlak, sehinga ia mungkin memutuskan untuk melakukan sesuai atau bertentangan dengan apa yang baik dan juga melakukan apa yang baik, atau yang jahat. Keputusan ini tidak tergantung pada karakter moral manusia, sebab kehendak sama sekali tidak menentukan. Apakah manusia akan melakukan apa yang baik atau jahat tergantung pada apapun. Dari sini tentu saja kemudian muncul bahwa perkembagan moral individual itu sebenarnya tidak ada. Baik dan jahat ditempatkan pada tindakan manusia yang terpisah. Tidak ada kodrat manusia yang berdosa, juga tidak ada karakter dosa. Dosa selalu merupakan pilihan berbuat jahat kehendak yang sepenuhnya bebas dan kehendak ini juga bisa memilih untuk melakukan kebaikan. Akan tetapi jika memang demikian, maka kesimpulannya adalah bahwa Adam tidak diciptakan dalam keadaan kesucian yang sempurna, tetapi dalam keadaan moral yang seimbang. Keadaan Adam adalah keadaan moral yang netral. Ia tidak baik, juga tidak jahat, dan karena itu tidak memiliki karakter moral; akan tetapi ia lebih memilih kejahatan dan karena itu ia berdosa. Sejauh dosa hanya terkait pada tindakan yang terpisah dari kehendak manusia, gagasan tentang perkembangan dosa melalui kelahiran adalah absurd. Jika memang kodrat manusia yang berdosa memang ada, mungkin saja diturunkan kepada keturunannya. Tidak ada dosa asal. Anak-anak dilahirkan dalam keadaan netral, dimulai sejak Adam, kecuali bahwa mereka dihalangi oleh contoh buruk yang mereka lihat di sekitar mereka. Masa depan mereka harus ditentukan oleh pilihan bebas mereka. Universalitas dosa diakui, sebab semua pengalaman mengakui akan hal itu. Tetapi dosa dilihat sebagai peniruan dan menjadi kebiasaan berdosa. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa dari sudut Pelagius sebenarnya tidak ada orang berdosa, tetapi hanyalah tindakan-tindakan dosa yang terpisah-pisah.[28]

5.2 TENTANG KESELAMATAN

Menurut Pelagius, manusia sendiri bertabiat yang sehat. Anugerah berarti bahwa Allah memberikan kepadanya kemampuan untuk hidup baik, ditambah dengan teladan Yesus. Kehendak manusia itu bebas untuk memutus tentang percaya atau menolak, tentang keselamatan atau kebinasaan. Keselamatan manusia berdasarkan keputusannya sendiri. Dari belakang Allah memilih orang yang sudah memutus untuk percaya. Sebenarnya manusia tidak perlu binasa, sebab Allah berkehendak bahwa semua orang diselamatkan (1 Tim. 2 :4 ; 1 Yoh. 1 :10). Tidak ada pembuangan sebagai keputusan kekal. Allah bergantung kepada kehendak dan keputusan manusia, biar Allah mengetahui keputusan manusia sebelumnya.[29] Jadi manusia sendirilah yang memutuskan tentang kepercayaan dan keselamatannya (free will)! Keputusan Allah tergantung kepada keputusan manusia. Si manusia harus dapat kesempatan memilih secara bebas lebih dahulu: menerima atau menolak keselamatan.

Lebih dalam Pelagius berpendapat bahwa anugerah Allah berarti bahwa Allah hanya membuka kemungkinan keselamatan bagi manusia. Lalu manusia bebas untuk memutuskan apakah mau percaya atau tidak. Kehidupan rohani manusia melebihi kuasa Allah. Asal manusia diajak dan didorong dengan cukup kuat, maka ia akan percaya. Semua orang bisa menjadi percaya.

6. PERTIKAIAN AUGUSTINUS DAN PELAGIUS TENTANG DOSA DAN KESELAMATAN

6.1 PERTIKAIAN TENTANG DOSA

Ketika Augustinus dan Pelagius tiba di Roma pada dasawarsa 380-an, mereka mempunyai banyak kesamaan. Keduanya dari Provinsi, Augustinus dari Thagaste di Afrika Utara, Pelagius dari Inggris. Sama seperti Augustinus, Pelagius kemungkinan besar datang ke sana untuk mengejar karier duniawi. Namun, dua-duanya kemudian menjadi pemimpin religius dengan kekuatan rohani yang amat besar.

Di atas semuanya, mereka hidup pada kurun sejarah yang sama. Anehnya, meskipun Gereja pada akhir abad keempat berkembang pesat dari agama minoritas yang dianiaya menjadi agama negara, namun tradisi pertobatan radikal kepada kehidupan Kristen yang sejati dalam pengabdian dan kesempurnaan, tetap saja kuat. Augustinus bertobat kepada kehidupan Kristen sejati itu. Ketegangan perpisahan radikal dengan masa lampau dapat dilihat dalam buku kedelapan Confessiones.[30]

Dalam pengalaman hidupnya, Augustinus membuka matanya terhadap kebenaran Injili, yaitu bahwa iman bukanlah suatu perbuatan atau jasa dari manusia sendiri, melainkan dikaruniakan semata-mata oleh rahmat Tuhan saja. Inilah ajaran Paulus yang hampir tak diingat lagi pada masa itu. Di antara segala Bapa Gereja barulah Augustinus yang membangun teologinya atas dasar ajaran Paulus itu.

Lebih dalam Augustinus berpendapat bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan dengan sempurna. Adam diberi kehendak yang bebas, sehingga ia dapat memilih sendiri jalan yang mana yang akan diturutinya: taat dan patuh kepada Tuhan atau menuruti kesukaan hati dan kehendaknya sendiri. Tuhan mengajak dia berbuat yang baik saja, serta mengaruniakan kepadanya pertolongan rahmat-Nya. Itulah sebabnya Adam dapat tidak berdosa. Akan tetapi Adam tidak mempergunakan kemungkinan ini. Ia jatuh ke dalam dosa oleh salahnya sendiri, karena ia tidak suka menuruti kehendaknya sendiri. Akibatnya sangat mengerikan. Sekarang ia dikuasai oleh dosa; persekutuannya dengan Tuhan terputus; pertolongan rahmat telah hilang; ia menjadi hamba keinginan badannya dan harus mati. Tak dapat ia berbuat baik lagi, malahan mulai saat itu ia tidak dapat tida berdosa, atau harus berdosa saja.

Di dalam Adam segala keturunannya berdosa juga (Rm. 5:12). Tubuh dan jiwa tiap-tiap manusia telah diracuni oleh dosa turunan, yang turun-temurun dari orang tua kepada anak-anaknya. Segenap umat manusia tak lain daripada suatu “kaum kebinasaan”, yang tak sanggup berbuat baik, sehingga dikutuki oleh Tuhan dan menuju kepada maut yang kekal. Tetapi syukur bagi Allah! Tuhan sayang kepada makhluk-Nya. Sejumlah manusia yang tertentu dipilih oleh Tuhan untuk mendapat rahmat-Nya supaya diselamatkan kelak. Inilah ajaran “predestinasi” (artinya: tujuan hidup atau nasib kekal manusia sudah ditentukan atau ditakdirkan oleh Tuhan sebelum manusia lahir). Kaum pilihan itu tak dapat melawan pekerjaan rahmat Tuhan dalam batinnya; meskipun mereka mau menolak kasih Tuhan itu, akhirnya mereka dialahkan juga oleh kuasa rahmat. Pun mereka itu akan sampai akhirnya; kendati pun mereka digodai oleh iblis dan banyak kali jatuh lagi dalam dosa, tetapi akhirnya; mereka akan mencapai tujuan yang telah ditentukan baginya. Kalau begitu, bagaimanakah pandangan Augustinus tentang segala manusia yang tak terpilih lagi? Adakalanya ia mengaku bahwa mereka itu dipredestinasikan untuk kebinasaan. Tetapi hal itu biasanya tidak dititik-beratkannya. Apalagi, dalam hal ini, kata Augustinus, manusia belum mengetahui, apakah ia terpilih untuk keselamatan atau kebinasaan. Hendaknya tiap-tiap orang Kristen berjuang untuk membuktikan dengan kebajikan dan amalannya bahwa ia sudah terpilih untuk keselamatan. [31]

Lawan Augustinus yang paling besar, Pelagius, menyangkal adanya hubungan antara dosa Adam dan dosa keturunannya. Pelagius melihat bahwa penyebaran dosa dari satu generasi ke generasi berikutnya didasarkan di dalam teori Tradusianisme tentang asal mula jiwa. Ia menganggapnya sebagai kesalahan para bidat; dan menyebarnya dosa Adam pada setiap orang kecuali Adam akan bertentangan dengan kejujuran ilahi.[32]

Pelagius sangat berkeberatan terhadap ucapan Augustinus dalam “Confessiones”. 'Berikan kepadaku apa yang Engkau perintahkan, dan perintahkan kepadaku apa yang Engkau inginkan.' Teologinya adalah seperti berikut: Adam sebagai ciptaan Allah tidak memberikan kekudusan positif. Kondisi aslinya adalah netral, bisa dalam keadaan kudus maupun berdosa, tetapi memiliki kapasitas untuk memilih yang baik dan yang jahat. Dia memiliki kebebasan yang tidak dapat ditentukan untuk memilih yang baik maupun yang jahat.[33] Dosa Adam tidak menghilangkan kehendak bebas manusia. Tiap-tiap manusia lahir dengan dengan tidak bercacat, sama seperti Adam di Firdaus. Jadi dosa turunan tidak diakuinya. Duduknya dosa bukannya di dalam tabiat manusia, melainkan dalam kehendaknya. Tiap kali kalau kehendak manusia bermaksud berbuat jahat, ketika itulah manusia berdosa. Dan tidak diwariskan turun-temurun, tetapi teladan Adam yang jahat itu ditiru oleh anak-anaknya. Dengan demikian tiap-tiap manusia mulai berdosa, sebab ia melihat dan meniru contoh yang kurang baik dari orang sekelilingnya: ibu, bapa, saudaranya dan sebagainya. Jadi secara teori mungkin juga seorang manusia sama sekali tidak berdosa seumur hidupnya. Kematian bukanlah akibat dosa atau hukuman dari Tuhan, tetapi termasuk hukum alam. Keselamatan yang kekal itu diperoleh manusia selaku pahala karena amal dan kebajikannya yang dilakukan manusia menurut kehendaknya yang bebas itu. Rahmat Tuhan hanya terdiri dari pemberian kehendak yang bebas itu, pengajaran PL dan pengajaran dan teladan Tuhan Yesus. Jadi rahmat tidak dianggapnya sebagai suatu kuasa rohani dari sorga yang bekerja dalam hati manusia.

Menurut Louis Berkhof, ada banyak yang tidak setuju terhadap pandangan Pelagius tentang dosa ini, dan dari sekian ketidaksetujuan itu, beberapa di antaranya adalah:

  1. Keadaan mendasar di mana manusia harus bertanggung jawab kepada Tuhan hanya atas apa yang mampu ia lakukan, jelas bertentangan dengan pengakuan hati nurani dan Firman Tuhan. Suatu kenyataan yang tidak dapat disangkal adalah bahwa semakin manusia berdosa, maka kemampuannya melakukan kebaikan akan makin kecil. Manusia itu akan makin menjadi budak dosa. Menurut teori yang sedang kita bicarakan ini maka ketidakmampuan berbuat baik juga akan makin memperkecil tanggung jawab itu. Tetapi dengan demikian bisa pula dikatakan bahwa dosa itu makin lama makin membebaskan korbannya dengan cara membebaskan mereka dari tanggung jawab yang dituntut daripadanya. Hati nurani segera meneriakkan rasa tidak setujunya terhadap pandangan seperti ini. Paulus tidak berkata bahwa ia mengeraskan orang berdosa sebagaimana yang ditulisnya dalam Roma 1:18-32 jelas tanpa tanggung jawab, tetapi Paulus melihat bahwa mereka layak mengalami maut. Tuhan Yesus mengatakan tentang orang Yahudi yang memuliakan kebebasan mereka, tetapi menunjukkan kejahatan mereka yang luar biasa dengan usaha untuk membunuh Dia, dan mereka adalah budak dosa, tidak tahu apa yang Ia katakan, sebab mereka tidak dapat mendengar Firman-Nya, dan akan mati dalam dosa-dosa mereka (Yoh. 8:21,22,34,43).[34]
  2. Teori Pelagius tidak dapat memberikan penjelasan yang memuaskan tentang universalitas dosa. Contoh buruk dari orang tua tidak dapat memberikan penjelasan yang memuaskan. Kemungkinan yang hanya abstrak saja tentang dosa manusia kendatipun jika diperkuat oleh contoh yang jahat, tetap tidak menjelaskan bagaimana dapat terjadi manusia sesungguhnya berdosa. Bagaimana mungkin dikatakan bahwa kehendak manusia akan kemudian membelok ke arah dosa dan tidak pernah meuju ke arah yang lain ? Jauh lebih wajar jika kita memikirkan tentang sifat dari dosa itu sendiri.[35]

Ajaran Pelagius ini ditolak oleh Gereja, pertama kalinya di Carthago pada tahun 418 dan akhirnya oleh konsili di Efesus (431).[36]

6.2 PERTIKAIAN TENTANG KESELAMATAN

Berkaitan dengan keselamatan, Roger Haight melihat Augustinus dan Pelagius sama-sama mengakui adanya keselamatan atau rahmat. Namun demikian pemahaman rahmat di antara mereka berdua saling berbeda satu sama lain. Bagi Pelagius, rahmat pertama-tama merupakan kebebasan manusiawi kita sendiri; kemampuan yang kita terima dari Allah untuk memilih antara baik dan buruk. Bagi Augustinus, meskipun pilihan bebas tetap ada, namun hasrat dan perasaan umat manusia terjerat dosa. Adat-istiadat serta kebiasaan dosa pribadi memenjarakan pilihan bebas di dalam tembok-tembok sempit pencarian kepentingan diri. Pelagius melihat rahmat Allah dalam hukum-Nya. Dalam agama Kristen, orang secara lebih khusus memiliki rahmat ajaran Kristus serta teladan-Nya. Rahmat eksternal ini menantang kebebasan manusia dan orang tidak dapat ikut, jika ia tidak ingin ikut. Belenggu eksternal dosa, baik dosa masa lampau pribadi seseorang maupun dosa lingkungan yang lebih luas, dapat dilepaskan, jika orang Kristen memiliki keberanian untuk mengikuti teladan Yesus. Bagi Augustinus, rahmat harus pertama-tama merupakan kekuatan internal, sebab dosa membelenggu seseorang dari dalam. Kehendak seseorang merupakan penjara untuk dirinya sendiri. Inilah pusat pandangan Augustinus tentang rahmat dan justru merupakan titik perbedaan antara dia dengan Pelagius. Rahmat bagi Augustinus merupakan kegemaran akan kebaikan, sebuah bentuk baru kebebasan yang menuntut pembaharuan internal kehendak manusia. Tak seorang pun sebelum Augustinus sungguh-sungguh menyatakan apapun juga yang agak mirip dengan kebutuhan akan campur tangan Allah ini di dalam kebebasan. Biarpun ajaran Kristus sudah tentu merupakan juga rahmat eksternal maupun publik, namun hanya orang-orang yang dipanggil dan diberikan kekuatan internal untuk menjawab dapat diselamatkan.[37]

Lebih dalam Haight mengatakan bahwa mengupas ajaran-ajaran Augustinianisme dan Pelagianisme mengandung bahaya, sebab hal ini memisahkan pandangan-pandangan yang jelas dan tegas dari pengalaman serta pandangan hidup para penganutnya. Ajaran-ajaran yang bertentangan ini masing-masing sesungguhnya mewakili suatu aspek dari jawaban utuh terhadap dunia dari dalam iman Kristen. Satu cara menyelami ajaran-ajaran ini ialah mencari nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dan yang menjadi dasarnya.[38]

Haight melihat perbedaan di antara Augustinus dengan Pelagius dari sudut nilai-nilai. Nilai utama yang mendasari pandangan Pelagius adalah kebebasan suatu pribadi, kekuatan untuk menentukan diri sendiri. Bagi Pelagius, orang Kristen dewasa seharusnya menjadi “anak Allah”, yaitu seorang ahli waris yang dibebaskan dan kini bertanggung jawab. Sebaliknya, nilai utama yang mendasari ajaran Augustinus adalah pengalamannya akan kemutlakan Allah serta ketergantungan total manusia pada-Nya. Nilai kedua yang mendasari ajaran Pelagius ialah soal kemungkinan universal bagi keselamatan. Pandangan Pelagius jauh lebih luas dan global daripada pandangan Augustinus. Pelagius tidak dapat menerima massa damnata (umat manusia terhukum). Dan akal sehat mengajarkan dia, bahwa penghukuman abadi bagi bayi-bayi yang tidak dibaptis merupakan penghinaan bukan saja bagi umat manusia, tetapi juga bagi Allah. Dosa sudah barang pasti tersebar, akan tetapi dosa mempengaruhi orang-orang terutama melalui mekanisme eksternal pengaruh-pengaruh sosial, yang tidak mengganggu kodrat batin dan inti kebebasan seorang pribadi. Seorang dapat menjawab panggilan Allah kapan saja. Allah tidak pilih kasih, memilih sebagian dan bukan yang lain. Sebaliknya, Augustinus jadi sadar bahwa rahmat Allah sama sekali cuma-cuma dan ini dituangkan ke dalam ajaran tentang pemilihan dan predestinasi. Dosa mencengkeram hidup manusia dari dalam dan di dalam. Jika orang-orang terbuka kepada Yang Baik, kepada yang lebih tinggi dan yang rohani, ini terjadi sebagai suatu gerakan sekonyong-konyong dan spontan yang tidak dikendalikan oleh orang-orang itu.[39]

Haight juga melihat hal-hal ekstrem yang berbahaya dalam pandangan Augustinus dan Pelagius ini. Penekanan Pelagius atas kebebasan manusia untuk taat, kelihatannya menjadikan Allah seorang tiran. Pelagianisme dipertalikan dengan tradisi Stoisisme. Peranan utama hukum dan penekanan berlebihan atas hukum dapat dengan gampang merosot menjadi legalisme yang hendak diatasi oleh Injil. Pelagius menginginkan seluruh Gereja menjalani kehidupan asketis ala biarawan. Akhirnya, tekanan Pelagius pada kebebasan dan otonomi manusia terlalu besar. Agama Kristen tidak lagi membebaskan. Sebaliknya ia menjadi sesuatu yang mengerikan. Namun bahaya-bahaya padangan Augustinus menurut Haight lebih halus tetapi sama riilnya. Ajarannya mengenai takdir tidak boleh tidak membuat orang berkecil hati. Ajaran itu pada akhirnya tidak saja menyakiti perasaan manusia tetapi juga merusakkan pandangan Kristen tetang Allah. Dalam jangka panjang, otonomi manusia sesungguhnya dibahayakan. Otonomi yang menurut keyakinan orang Kristen dikukuhkan oleh Allah dan dijamin oleh rahmat-Nya.[40]

Namun Haight juga melihat adanya tema-tema yang lebih besar dalam pandangan Augustinus dan Pelagius ini. Masing-masing pandangan mempunyai akibat-akibatnya baik dulu maupun sekarang. Tema pertama adalah Idealisme Pelagius jangan kita tafsirkan sebagai naturalisme. Pelagius percaya akan rahmat Allah. Orang yang baru bertobat dan dibaptis, dibarui karena rahmat Allah. Kehidupan Kristen dilihat sebagai kesaksian dan tanda tentang Allah serta rahmat-Nya kepada kekaisaran kafir dunia ini. Pelagianisme dapat saja dipandang sebagai asketisme yang ketat atau perfeksionisme. Sebaliknya, keputusan-keputusan Augustinus sepertinya mendukung toleransi terhadap cara hidup Kristen yang lali. Orang Kristen pada hakikatnya adalah “orang yang baru sembuh dari sakit”. Hidupnya diselamatkan, tetapi ia tetap “sakit”. Pandangan Augustinus memperbolehkan di dalam Gereja semua kesalahan manusia yang kita temukan di luar Gereja. Dan akibatnya ialah penyamaran seluruh kesaksian Kristen dengan standar umum orang biasa. Hal ini membenarkan standar ganda: Kekristenan nominal bagi orang-orang biasa dan Kekristenan “riil” yang mendorong orang-orang melarikan diri ke biara-biara.

Tema kedua berkaitan dengan soal antropologi Kristen dan Gereja. Penekanan Pelagius pada kebebasan hendaknya jangan disamakan dengan individualisme. Di belakang pembaruan Pelagius terletak pemahaman tentang Gereja. Pelagius tidak menginginkan seorang individu menjadi seorang asketis di luar Gereja. Dia menginginkan Gereja menjadi asketis. Biarpun hal ini sama sekali tidak riil dalam konteks Gereja massa, Gereja “masyarakat Kristen”, namun tidak demikian dalam Gereja minoritas, Gereja segelintir orang yang penuh pengabdian. Pelagius puas dengan kelompok kecil macam ini. Pandangan Augustinus membayangkan Gereja sebagai agama mayoritas, Gereja negara dan Gereja massa. Kekristenan merangkul dan mencaplok seluruh kekaisaran dan mulai menciptakan masyarakat Kristen abad Pertengahan. Akan tetapi kesadaran akan Kekristenan runtuh.

Dan tema ketiga bersangkutan dengan penilaian Kristen tentang sejarah manusia yang berkembang di luar batas pewahyuan Kristen yang eksplisit. Optimisme Pelagius dapat dituangkan ke dalam pandangan positif tentang sejarah tersebut. Sekalipun Pelagius menganjurkan asketisme yang ketat atau keras, ia memandang kebebasan kodrat manusia untuk membuat yang baik sebagai tetap utuh. Jika diperluas, interpretasi macam ini mendorong seseorang menerima kemungkinan sejarah manusia yang dapat bergerak menuju Allah, tanpa bantuan Kekristenan eksplisit. Namun Augustinus kurang optimis dengan dunia ini beserta sejarahnya. “Baginya tugas-tugas duniawi tidak dapat memiliki makna definitif. Sebab tidak gampang dimengerti bagaimana pembangunan kota duniawi dapat membuat banyak perbedaan bagi hasil akhir sejarah”. Bagi Augustinus, rahmat sama sekali gratis, “sebab rahmat datang kepada manusia yang secara radikal berdosa, dan sama sekali tidak pantas bagi prakarsa yang diambil Allah untuk mengubah kehendak buruknya menjadi kehendak baik”. Bagi Augustinus, perbuatan-perbuatan baik orang kafir, kendati kelihatan mempunyai nilai, pada akhirnya semu. Sebab perbuatan-perbuatan baik itu tidak membawa orang-orang kafir lebih dekat kepada persekutuan dengan Allah.[41]

Pendapat lain yang menentang pandangan Pelagius dikemukanan oleh CJ.Haak. Menurutnya pandangan Pelagius yang mengatakan bahwa anugerah Allah berarti bahwa Allah hanya membuka kemungkinan keselamatan bagi manusia, lalu manusia bebas memilih apakah percaya atau tidak, tidak sesuai sama sekali dengan Alkitab (Roma 3:6-8; Ef. 2:1). Alkitab mengatakan bahwa anugerah itu bukan kemungkinan, melainkan keselamatan sendiri yang diberikan Tuhan. Apabila Tuhan datang dengan Injil-Nya dan seseorang mau bertobat, maka orang itu ditangkap dan tidak bisa melawan lagi (bnd. Paulus dalam Kis.9). Ajaran Pelagius rupanya manis dan menekankan bahwa Allah mengasihi hanya secara umum. Ajaran Pelagius ini mematikan orang lemah, memadamkan harapan orang yang letih lesu dan menolak orang yang ingin lari kepada Tuhan dengan menyesal karena dosanya. Ajaran Pelagius ini menutup pintu bagi ‘yang lemah’, yang berdosa, maka memihak ‘yang kuat’. Ajaran Pelagius ini meniadakan setiap harapan akan pengampunan, kemurahan, dan anugerah. Pelagius telah menjadikan Allah yang penuh kasih itu menjadi seorang raja yang membunuh dengan sewenang-wenang.[42]

Jelaslah bagi kita bahwa teologi Augustinus semata-mata berpusat pada rahmat Tuhan yang bebas, yang mau mencari dan menyelamatkan manusia, walaupun dalam manusia itu sebenarnya tidak terdapat apa-apa yang layak untuk mendapat cinta-kasih Tuhan itu. Ajaran ini memang sangat bertentangan dengan pikiran, pendirian dan kelakuan kaum Kristen pada zaman itu. Karena masa itu yang diutamakan ialah amal yang membawa kepada mistik, askese, dan kerahiban. Sebab itu Gereja mengajak anggotanya untuk membuat banyak pekerjaan yang baik supaya nanti diganjari oleh Tuhan. Sampai pada waktu itu Gereja selalu melawan pandangan kafir, bahwa nasib manusia ditentukan oleh takdir atau “fatum”. Pada hemat Gereja, manusia berkehendak bebas dan bergantung jawab sendiri. Tidak mengherankan bahwa Augustinus mendapat perlawan keras dari pihak rahib.

Jelaslah bahwa kedua teologi yang berbeda itu mempunyai pengertian-pengertian yang sangat berbeda pula tentang hakikat manusia. Bagi Augustinus, hakikat manusia adalah lemah, sudah jatuh dan tidak berdaya; bagi Pelagius, hakikat manusia adalah otonom dan dapat mencukupi dirinya. Bagi Augustinus adalah mutlak perlu bergantung pada Allah untuk keselamatan; bagi Pelagius, Allah semata-mata hanya menunjukkan apa yang harus dilakukan kalau keselamatan itu akan diperoleh dan kemudian membiarkan manusia memenuhi syarat-syarat itu tanpa bantuan dari luar. Bagi Augustinus, keselamatan adalah suatu anugerah tanpa jasa dari manusia; bagi Pelagius, keselamatan adalah upah yang pantas diterima.[43]

Dalam perdebatan selanjutnya di dalam Gereja Barat, pandangan Augustinus dianggap benar-benar Kristiani dan pandangan-pandangan Pelagius dikecam sebagai bidat. Dua konsili yang penting menegaskan pandangan-pandangan Augustinus sebagai pandangan yang normatif (resmi), yaitu Konsili Karthago (418) dan Kosili Orange II (529). Menarik sekali, pandangan-pandangan Augustinus mengenai predestinasi tidak begitu disambut, sedangkan pokok-pokok lain di dalam sistemnya didukung dengan sangat entusias.

7. TANGGAPAN HISTORIS

Apa yang menjadi perdebatan Augustinus dan Pelagius ini masih diteruskan oleh pengikut-pengikutnya. Teori Augustinus dikembangankan oleh Thomas Aquinas, Martin Luther dan Johannes Calvin. Aquinas mengembangkan teori rahmat Augustinus tersebut. Menurut Aquinas rahmat dipahami sebagai mengangkat, kebiasaan, yang diciptakan, adikodrati, gratis, membenarkan dan menyucikan. Rahmat itu kebiasaan yang tercipta di dalam jiwa karena partisipasi Allah. Rahmat merupakan partisipasi dalam kebaikan Allah dan partisipasi dalam kodrat Allah. Artinya melalui rahmat manusia berpartisipasi dalam kehidupan Allah sendiri. Dengan cara ini, rahmat yang mengangkat juga menyucikan.[44]

Baik Luther maupun Calvin, sangat menekankan keyakinan bahwa keselamatan diperoleh hanya karena kasih karunia melalui iman (sola gratia, dan sola fide). Karena itu mereka sama-sama melancarkan protes terhadap Gereja Katolik Roma (GKR) yang memahami keselamatan sebagai hasil kerjasama antara karunia Allah dan perbuatan baik manusia. Namun Calvin selanjutnya mengembangkan pemahaman dan ajaran tentang keselamatan ini dalam suatu wawasan yang biasa dikenal dengan istilah predestinasi.[45] Perhatian utama Luther pada rahmat berpusat pada keberadaan dosa manusia. Dalam kuliahnya tentang surat Paulus kepada jemaat di Roma (1515-1516) Luther mengidentikkan dosa dengan konkupisensi. Dia menulis, “Maka dari itu dosa aktual sebenarnya merupakan pekerjaan dan buah dosa. Dan dosa itu sendiri adalah nafsu dan konkupiensi, atau kecenderungan kepada yang jahat dan penolakan terhadap yang baik…”

Membandingkan Luther dengan Augustinus yang berpengaruh kepadanya, kesamaannya ialah titik tolak ajaran keselamatan, yakni kedosaan manusia dan kerahiman Allah. Perbedaannya menyangkut jawaban atas masalah kedosaan. Luther berbicara tentang simul iustus et peccator (serentak orang benar dan pendosa), sedangkan menurut Augustinus manusia sungguh benar sesudah pembenarannya oleh Allah, bahkan terjadi reparatio naturae (pembetulan kodrat), yang berarti bahwa Augustinus meletakkan rahmat dalam manusia (teologi bersifat antropologi). Luther tidak menghendaki antropologi, tetapi teologi radikal: rahmat diletakkannya seluruhnya dalam Allah.[46]

Setelah Augustinus dan Pelagius meninggal, maka pertikaian teologis di Gereja Barat semakin hebat. Sebab di Gereja Timur perdebatan seperti ini tidak kita temukan di Gereja Timur. Pusat perhatian Gereja Timur bukan bagaimana supaya aku orang berdosa diselamatkan tetapi bagaimana supaya aku memiliki pengetahuan untuk hidup yang baka. Perdebatan di Gereja Barat adalah bagaimana supaya aku orang berdosa bisa selamat dan apa yang harus kuperbuat. Augustinus mengatakan kita tergantung sepenuhnya pada rahmat Allah karena kita sebelumnya sudah ditentukan untuk selamat (predestinasi). Sementara Pelagius mengatakan bahwa kita ini bukan robot. Sejak kita diciptakan, kita sudah berakal budi dan diberi kebebasan untuk berpikir, dan memilih. Jika kita bertanya mana yang lebih alkitabiah dari antara mereka? Pada dasarnya mereka berdua sama-sama alkitabiah. Dalam perkembangan selanjutnya di Gereja Barat menempuh jalan mengkombinasikan ajaran Augustinus dan Pelagius ini. Itulah yang disebut dengan Semi Pelagianisme (Sinergisme). Semi Pelagianisme menganggap keadaan manusia yang telah jatuh itu bukan sebagai mati (Augustinus) dan bukan juga sebagai segar-bugar (Pelagius), melainkan sebagai sakit. Untuk disembuhkan ia memang memerlukan rahmat Allah, tetapi sekali sembuh, ia dapat menjalankan kehidupan Kristiani dengan kekuatannya sendiri, tanpa rahmat Allah. Ajaran inilah yang dianut oleh Katolik hingga sekarang, walaupun pada momen-momen tertentu menekankan rahmat. Sebaliknya bagi Protestan tidak sepenuhnya mengacu pada Augustinus. Sebab di gereja Protestan diberi kebebasan untuk memilih mana yang baik dan benar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pertikaian Augustinus dan Pelagius ini bukan hanya pertikaian Gereja Lama saja, tetapi perdebatan ini masih bahagian perdebatan teologi masa kini.

Baik Augustinus maupun Pelagius, dalam memahami Alkitab selalu didasarkan pada pengalaman dan hasil studi-studi mereka. Jika memang mereka mendasarkan pengajaran mereka pada pengalaman dan studi-studi mereka, maka timbul pertanyaan, apakah pengajaran gereja-gereja masa kini didasarkan pada pengalaman dan hasil studi-studi gereja? Bisa saja gereja memiliki pengalaman-pengalaman dan hasil studi-studi tertentu dalam menentukan pengajaran dan dogma gereja masing-masing. Artinya pengajaran gereja yang ada sekarang sangat dipengaruhi oleh banyak aliran pengajaran yang ada disekitar gereja itu sendiri. Karenanya sangatlah kurang pas jika sebuah gereja terlampau berani mengatakan diri sebagai gereja yang menganut aliran-aliran gereja (misalnya: Lutheran, Calvinis, Wesleyan, Anglikan, dan lain-lain) yang murni.[47]

8. DAFTAR PUSTAKA

Aland, Kurt, A History Of Christianity, Philadelphia: Fortress Press, Vol.I, 1985.

Aritonang, Jan S., Berbagai Aliran Di Dalam dan Sekitar Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995.

Augustinus, Pengakuan-Pengakuan, Jakarta & Yogyakarta: BPK Gunung Mulia & Kanisius, 1997

Becker, Dieter, Pedoman Dogmatika: Suatu Kompendium Singkat, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991.

Berkhof, H., & I.H.Enklaar, Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992.

Berkhof, L., The History of Christian Doctrines, Grand Rapids, Michigan: Wm.B.Eerdmans Publishing Company, 1953.

Curtis dkk, A.Kenneth., 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.

Johnson, Marshal D., The Evolution of Christianity: Twelve Crises That Shaped The Church, New York: Continuum, 2005.

Diepen, Mgr.P.van, Augustinus Tahanan Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2000.

Dister, Nico Syukur, Teologi Sistematika: Ekonomi Keselamatan, Yogyakarta: Kanisius, 2004, jilid 2.

Erickson, J. (ed.), Reading in Christian Theology: Man’s Need and God’s Gift, Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1976 volume 2.

Groenen, C., Soteriologi Alkitabiah: Keselamatan yang Diberitakan Alkitab, Yogyakarta: Kanisius, 1989.

Haak, CJ., Pemilihan: Ajaran Alkitab menurut Pengakuan-pengakuan Iman Reformasi, Tanpa Penerbit, 1988.

Hadiwijono, Harun, Iman Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990

Henry, Carl F.H. (ed.), Basic Christian Doctrines, Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1983.

Haight, Roger., Teologi Rahmat Dari Masa Ke Masa, (Flores: Nusa Indah, 1999.

Lane, Tony, Runtut Pijar, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.

Lohse, Bernhard, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994.

McGrath, Alister E., Sejarah Pemikiran Reformasi, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002.

Price, Richard, Agustinus, Yogyakarta: Kanisius, 2000.

Simatupang, TB., dkk, Keselamatan Masa Kini, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1973.

Urban, Linwood, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.

Wellem, F.D., Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.




[1] Lihat Dieter Becker, Pedoman Dogmatika: Suatu Kompendium Singkat, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), hlm.101; bnd. Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), hlm.235.

[2] Harun Hadiwijono, Iman Kristen ..., hlm.235.

[3] H.Wheeler Robinson, “Old Testament Terminology for Sin”, dalam Millard J.Erickson (ed.), Reading in Christian Theology: Man’s Need and God’s Gift, (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1976), volume 2, hlm.103-105.

[4] Harun Hadiwijono, Iman Kristen ..., hlm.235.

[5] Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika: Ekonomi Keselamatan, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), jilid 2, hlm.129.

[6] TB.Simatupang, dkk, Keselamatan Masa Kini, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1973), hlm.11.

[7] TB.Simatupang, dkk, Keselamatan Masa Kini ..., hlm.12; bnd. C.Groenen, Soteriologi Alkitabiah: Keselamatan Yang Diberitakan Alkitab, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hlm.45-55.

[8] Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika ..., hlm. 141.

[9] Ibid., hlm.134.

[10] F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), hlm. 30-33; Mgr.P.van Diepen, Augustinus Tahanan Tuhan, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 21-41; A.Kenneth Curtis dkk, 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hlm. 26-27; H.Berkhof & I.H.Enklaar, Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992), hlm. 62-71; Richard Price, Agustinus, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm, 15-30; Tony Lane, Runtut Pijar, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hlm, 39-45; Cornelius Van Til, „Original Sin, Imputation, and Inability“, dalam Marshall D.Johnson, The Evolution of Christianity: Twelve Crises That Shaped The Church, (New York: Continuum, 2005), hlm.59-67.

[11] Sekte Manikheisme namanya diambil dari seorang guru “kebatinan”, Mani dari Persia.

[12] Bnd. Empat nota eklesia bagi gereja yang tidak kelihatan yaitu: Esa, Kudus, Am, dan Rasuli (Unam, Santam, Catolicam, Apostolikam).

[13] F.D. Wellem, Riwayat Hidup …, hlm. 211-212; Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), hlm.135-140.

[14] L.Berkhof, The History of Christian Doctrines, (Grand Rapids, Michigan: Wm.B.Eerdmans Publishing Company, 1953), hlm.131.

[15] Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,2003), hlm.176-177.

[16] Ibid.

[17] Ibid.

[18] L.Berkhof, The History of …, hlm.133.

[19] Ibid.

[20] Ibid., hlm.138.

[21] Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), hlm.93.

[22] L.Berkhof, The History of …, hlm.139.

[23] Richard Price, Agustinus, hlm, 69; Lih. Augustinus, Pengakuan-Pengakuan, (Jakarta & Yogyakarta: BPK Gunung Mulia & Kanisius, 1997), hlm.243-244.

[24] Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika..., hlm.155-156; bnd. L.Berkhof, The History of …, hlm.135.

[25] Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran ..., hlm.94.

[26] Gustave F.Wiggers, “The Pelagian View of Original Sin”, dalam Millard J.Erickson (ed.), Reading in Christian …, hlm.153.

[27] Harun Hadiwijono, Iman Kristen ..., hlm.289; bnd. Carl F.H.Henry (Ed.), Basic Christian Doctrines, (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1983), hlm, 113.

[28] Louis Berkhof, Teologi Sistematika , hlm.118-119.

[29] CJ.Haak, Pemilihan: Ajaran Alkitab menurut Pengakuan-pengakuan Iman Reformasi, (Tanpa Penerbit, 1988), hlm. 38.

[30] Roger Haight, Teologi Rahmat Dari Masa Ke Masa, (Flores: Nusa Indah, 1999), hlm, 38.

[31] H.Berkhof & I.H.Enklaar, Sejarah …, hlm. 68.

[32] Louis Berkhof, Teologi Sistematika …, hlm.125-127.

[33] L.Berkhof, The History of …, hlm.136.

[34] Louis Berkhof, Teologi …, hlm.119-120

[35] Ibid., hlm.121

[36] Lih. Kurt Aland, A History Of Christianity, Philadelphia: Fortress Press, Vol.I, 1985, hlm.204-212

[37] Roger Haight, Teologi Rahmat …, hlm, 41-42.

[38] Ibid., hlm, 42.

[39] Roger Haight, Teologi Rahmat …, hlm, 42-43.

[40] Roger Haight, Teologi Rahmat …, hlm, 44.

[41] Roger Haight, Teologi Rahmat …, hlm, 44-46.

[42] CJ.Haak, Pemilihan: Ajaran ..., hlm. 40-41.

[43] Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran ..., hlm. 94.

[44] Roger Haight, Teologi Rahmat …, hlm, 67-72.

[45] Jan S.Aritonang, Berbagai Aliran Di Dalam dan Sekitar Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), hlm. 65.

[46] Nico Syukur Dister, Teologi ..., hlm.180.

[47] Misalnya Gereja-Gereja Batak di Sumatera tidak bisa mengklaim diri sebagai gereja Lutheran murni karena di dalam ajaran gereja-gereja Batak tersebut tidak seutuhnya mengadopsi ajaran Matin Luther.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar