Rabu, 12 Agustus 2009

Bacaan Minggu 23 Agustus 2009: Lukas 10 : 25 - 37

KASIH UNTUK DILAKUKAN, BUKAN DITEORIKAN!

Pendahuluan
Penulis Injil Lukas yang umumnya terkenal dengan sebutan dokter Lukas, bukanlah seorang Yahudi. Latar belakang non Yahudi ini tercermin dari pengkisahannya tentang kehidupan Yesus dengan menonjolkan sifat universal berita keselamatan yang dibawa Yesus. Yesus datang untuk semua orang. Lukas secara khusus memperlihatkan sisi kehidupan pelayanan Yesus kepada masyarakat kalangan bawah di Yudea, yaitu orang-orang miskin, kaum perempuan, anak-anak dan orang-orang yang paling berdosa, yang tidak mendapat tempat dalam masyarakat, khususnya masyarakat Yahudi. Lukas menyatakan bahwa Injil itu mencakupi juga bangsa-bangsa lain, dan khususnya orang Samaria yang dipandang rendah oleh orang Yahudi pada masa itu (bnd. bagian pembacaan kita ini, di mana Yesus justru memakai contoh seorang Samaria sebagai orang yang patut diteladani kebaikannya).
Sifat universal berita keselamatan dalam Injil Lukas ini bahkan sudah dinyatakan pada bagian awal injil ini. Dalam menyajikan keturunan Yesus dalam silsilah, ia menelusuri silsilah itu sampai Adam sebagai bapa umat manusia. Jika kita membandingkan Markus 1:2-3 dengan Lukas 3:4-6 terlihat Lukas mengutip juga Yesaya 40:3-5, sebab di sana dikatakan bahwa keselamatan itu ditawarkan kepada semua bangsa.

Penjelasan Nas
Kisah tentang orang Samaria yang baik hati ini mengambil tempat atau berlatar jalan dari Yerusalem menuju Yerikho. Jarak antara dua kota ini kurang lebih 20 mil atau membutuhkan waktu sekitar lima jam waktu tempuh. Jalan yang menghubungkan kedua kota tersebut – yang biasanya dilalui oleh orang-orang pada zaman itu – sempit, berbatu-batu, dengan gunung-gunung batu yang penuh gua dan lubang. Kondisi yang demikian merupakan tempat yang bagus bagi para penyamun. Karena jalan ini sangat berbahaya, ia disebut ‘jalan darah’. Jalan inilah yang ditempuh oleh korban perampokan yang ada dalam bagian pembacaan kita ini.
Dalam kisah ini diperlihatkan beberapa karakter manusia, yang seringkali menjadi karakter kita juga.
a. Ada seorang yang sedang bepergian. Untuk menghindari bahaya perampokan ketika melewati ‘jalan darah’ ini biasanya orang berjalan berombongan. Namun, dalam bacaan kita dikatakan seorang. Ini menunjukkan bahwa orang ini seorang yang berani, tekun dan tahan terhadap medan perjalanan yang keras itu. Orang ini akhirnya dirampok juga karena memang betapa bahaya jalan yang ditempuhnya.
b. Datang seorang imam. Imam ini baru selesai melakukan tugas keimamannya di Yerusalem dan hendak pulang ke Yerikho. Banyak juga imam yang tinggal di kota Yerikho. Imam tersebut dengan tergesa-gesa menghindari orang yang dirampok tersebut. Alasan ia menghindar dan tidak menolong orang tersebut karena takut tercemar, sebab dikiranya orang tersebut mungkin saja sudah mati. Menurut peraturan keimamatan, bila seorang imam menyentuh mayat maka ia menjadi najis, dan dia bisa kehilangan hak melayani di Bait Allah. Rupanya imam ini lebih mengutamakan peraturan-peraturan keagamaan dan keuntungan dirinya sendiri ketimbang menolong orang yang sedang sekarat. Yang seremonial diletakkannya di atas yang asasi atau fundamental.
c. Datang seorang Lewi. Orang Lewi ini awalnya berjalan lebih dekat dengan korban perampokan tersebut, tetapi kemudian cepat-cepat menghindar. Mengapa? Sebab para penyamun pada ‘jalan darah’ itu memiliki kebiasaan untuk mempergunakan umpan-umpanan. Orang Lewi takut kalau-kalau orang yang tergeletak itu justru merupakan seorang perampok yang hanya berpura-pura menjadi korban perampokan. Orang Lewi tersebut lebih memikirkan keselamatannya sendiri. Ia tidak akan mau mengambil resiko untuk menolong orang lain.
d. Lalu datang seorang Samaria. Ia menolong orang itu karena terdorong oleh belas kasihan yang sungguh-sungguh. Tepat sekali cara menolongnya; dibalutnya luka-luka orang yang malang itu, disiraminya dengan minyak dan anggur. Setelah korban bisa berjalan, ia menemani dan mengantarnya ke penginapan yang layak untuk pengobatan yang lebih lanjut dan istirahat yang cukup dari si korban. Ia bahkan menanggung seluruh ongkos penginapan orang itu. Ia tidak setengah-setengah menolong orang tersebut.

Dari perumpamaan ini sesungguhnya Yesus tidak memberi jawab secara langsung terhadap apa yang ditanyakan oleh ahli Taurat. Yesus justru secara retoris membalikkan pertanyaan tersebut berdasarkan perumpamaan yang diceritakan itu, “Siapakah dari ketiga orang itu yang bertindak sebagai sesamanya terhadap orang itu?” Maksud Yesus dengan pertanyaan retoris itu ialah janganlah ajukan pertanyaan teoritis siapakah sesamaku, tetapi mulailah secara praktis dengan bertindak sendiri sebagai sesama. Yesus tidak mau bersoal jawab secara teoritis dengan ahli Taurat itu mengenai obyek/sasaran dari kasih kepada sesama, tetapi secara langsung mau berbicara tentang subyek/pelaku dari kasih kepada sesama tersebut.
Penggunaan figur seorang Samaria oleh Yesus hendak menunjukkan dan mengatakan bahwa adalah masih lebih baik dan berbelas kasih orang-orang yang dianggap berdosa dan hina oleh orang-orang Yahudi. Dan memperlihatkan bahwa justru seorang Samaria yang lebih mengenal dan mengasihi Allah ketimbang orang-orang Yahudi yang lebih mengutamakan hal-hal legal seremonial dan keuntungan dirinya sendiri itu. Mereka mengatakan bahwa mereka mengasihi Allah dan mematuhi perintah-perintah-Nya, padahal dalam kenyataan menolong seorang yang sangat perlu ditolong saja tidak bisa hanya karena ia adalah orang lain, bukan orang Yahudi. Yesus juga hendak menunjukkan bahwa kasih itu sesungguhnya melampaui batas-batas yang dibuat oleh manusia dengan hukum-hukumnya.

Aplikasi/renungan
• Kasih kepada Allah tidak akan berarti kalau kasih kepada sesama tidak mewujud nyata dalam kasih terhadap sesama kita yang ada di dunia ini. Kalau kita menyatakan bahwa kita mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi, maka tunjukkanlah terlebih dulu pengakuan itu dengan aksi nyata mengasihi orang lain. Mengasihi bukan sebatas dalam kata-kata, di bibir saja, tetapi melakukan sesuatu yang nyata. Kita jangan menjadi orang Kristen NATO, No Action Talk Only, seperti ahli Taurat yang menguji Yesus tersebut.
• Kasih terhadap sesama melampaui batas-batas suku, agama, ras, golongan, status, dan batas-batas seremonial serta legal yang dibuat oleh kita manusia. Sebagaimana kasih Kristus adalah universal dan tak terperi, demikian juga semestinya kasih kita sebagai umat manusia dan sebagai orang-orang yang percaya kepada Kristus. Kita jangan menolong orang lantaran ia sesuku, seagama, sependapat, sestatus, segolongan, dan se…lainnya. Jangan! Untuk kita menolong dan mengasihi orang lain, kita harus bisa, mau dan berani melewati semua barikade-barikade yang dibuat oleh manusia tersebut.
• Pelaksanaan kasih tersebut tidak membutuhkan teori-teori besar tentang apa itu kasih, kepada siapa selayaknya dan sebenarnya kita menyalurkan kasih kita itu, dan sebagainya. Sebaliknya, hanya membutuhkan praktik. Cukup praktik, bukan teori. Dalam praktik kasih, bahkan akan tampak secara tersirat kasih Allah yang besar itu kepada kita.
• Kita juga jangan menolong setengah-setengah. Asal saya sudah menolong, asal saya sudah berbuat, lalu selanjutnya terserah. Kisah orang Samaria yang baik hati mengkritik tindakan dan pola pikir kita yang demikian. Kalau ada orang yang benar-benar tidak berdaya, tidak memiliki kekuatan sama sekali dan sangat membutuhkan uluran tangan kasih kita, mari kita lakukan dengan total, all out (sebab Allah pun sesungguhnya all out kepada kita, bukan!), pengorbanan yang penuh dan sungguh, seperti orang Samaria yang menolong korban perampokan yang sama sekali sudah tidak berdaya itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar