Kamis, 01 Oktober 2009

Bacaan Minggu 04 Oktober 2009: Kejadian 39 : 1 - 10

PENYERTAAN TUHAN DI TENGAH PENCOBAAN

Teks yang menjadi dasar perenungan kita merupakan cuplikan kisah panjang tentang Yusuf (Kej. 37-50) yang hidupnya memang diwarnai berbagai pengalaman menyakitkan. Menjadi anak kesayangan terkesan menyenangkan tetapi tidak selalu demikian. Ternyata, perlakuan istimewa membawa beban tersendiri. Apalagi, dalam kasus Yusuf, itu berarti bahwa ia diperlakukan lebih daripada saudara-saudaranya yang lebih tua, termasuk saudara sulungnya. Dalam adat Israel, seperti dalam adat Batak dan banyak suku bangsa lainnya, tindakan ini sebenarnya melanggar “aturan main” yang umumnya memprioritaskan anak sulung.
Mengapa Yakub bersikap pilih kasih? Alasannya kita temukan dalam permulaan kisah menarik itu: “Yusuf itulah anaknya yang dilahirkan pada masa tuanya” (Kej. 37:4). Ada sentuhan manusiawi dalam keterangan singkat ini. Walaupun seorang ayah tentu mengasihi semua anaknya, rupanya anak yang lahir di masa tuanya menempati ruang khusus dalam relung hatinya. Yang barangkali tidak disadari oleh Yakub adalah dampak dari afeksinya yang khusus itu. Kita berhadapan dengan persoalan yang sering merusak hubungan manusia dengan sesamanya: rasa cemburu, iri, dengki, benci (bdk. istilah teal, elat, late dalam bahasa Batak); singkatnya, berbagai jenis emosi yang menjadi akar dari pembunuhan (bdk. Mat. 5:22).
Sering tanpa disadari, komentar yang biasa-biasa saja, bahkan sikap yang lugu pun dapat ditafsirkan lain oleh orang yang memang sudah menyimpan perasaan tak senang pada kita. Hal ini nyata sekali dalam kisah Yusuf. Dengan lugu ia membeberkan isi mimpi-mimpinya yang memperlihatkan keunggulannya atas saudara-saudaranya (Kej. 37:5-11). Pembaca diberitahu, semuanya itu justru mempertebal rasa iri dan benci yang sudah tumbuh. Padahal, kita tidak mendapat kesan apa pun bahwa Yusuf menjadi tinggi hati karena perlakuan istimewa ayahnya atau karena mimpi-mimpi mengenai statusnya yang tinggi kelak.
Dalam episode selanjutnya, kita menyimak suatu konspirasi untuk melenyapkan sang anak emas. Apa yang terjadi dalam kisah konspirasi “spontan” itu pada dasarnya menunjukkan kepada kita betapa berbahaya sesungguhnya rasa cemburu, iri hati dan berbagai emosi negatif jika tidak diolah dan diatasi berdasarkan firman Tuhan. Sungguh benar yang dikatakan, “di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri, di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat” (Yak. 3:16).
Apa yang kita baca dalam teks perenungan kita adalah hasil konspirasi penuh kekerasan itu. Namun, rencana semula untuk membunuh Yusuf gagal terlaksana oleh karena intervensi Ruben, saudara sulungnya. Lagi-lagi, kita melihat adanya sentuhan manusiawi dalam kisah itu. Agaknya, di antara kebencian yang membakar hati, masih juga tersisa rasa sayang di antara saudara-saudaranya! Yehuda pun ternyata masih menghendaki adiknya tetap hidup. Demi “keselamatan” Yusuf, akhirnya ia mengusulkan agar adiknya itu dijual kepada orang Ismael yang sedang dalam perjalanan niaga ke Mesir. Menariknya, kita tidak diberi keterangan apa pun tentang reaksi Yusuf menghadapi tindakan saudara-saudaranya. Seolah-olah, ia telah menjadi obyek yang tak berdaya di tangan saudara-saudaranya!
Kehadiran Yusuf di rumah Potifar merupakan perkembangan selanjutnya dari kisah tragis itu. Bahaya yang mengancam hidupnya telah berlalu. Tentulah menyakitkan merasa tersingkir, dibuang dari antara kaum keluarganya, tanpa alasan yang berarti kecuali rasa iri dan dengki. Lebih-lebih, karena para pelakunya adalah saudara-saudara sendiri! Namun, di balik kekusutan hubungan manusiawi itu, tiba-tiba kita mendengar keterangan ini: “Tetapi TUHAN menyertai Yusuf!” (Kejadian 39.4). Kita dibuat tersentak! Benar, dalam episode sebelumnya, tidak ada keterangan sama sekali tentang kehadiran Tuhan. Seolah-olah semua ketidakadilan dan kekerasan yang kasatmata itu adalah kejadian di antara manusia semata-mata, tanpa suatu kehadiran Yang Lain! Nyatanya, dalam lensa iman, Tuhan tidak meninggalkan sang korban begitu saja.
Tidak hanya sampai di situ. Kehadiran Tangan Yang Tak Kelihatan itu mulai memperlihatkan dampaknya. Penyertaan Tuhan membawa berkat bagi Yusuf. Pada gilirannya, kehadiran Yusuf “menularkan” berkat bagi tuannya! Dikatakan, “TUHAN memberkati rumah orang Mesir itu karena Yusuf” (Kej. 39:5). Ya, karena Yusuf, atau “demi” Yusuf! Betapa seringnya kita lupa akan kehadiran yang diam-diam itu. Ketika kehidupan seolah cuma penuh persoalan, diam-diam Pemilik Sejarah itu memperhatikan.
Dari seorang buangan status Yusuf diubah menjadi orang kepercayaan; dari seorang yang terbuang menjadi orang yang berwewenang! Akan tetapi, drama itu belum berakhir. Lagi-lagi, kita diberitahu, ada tantangan “baru” di balik berkat yang diterimanya. Godaan datang dari rumah Potifar sendiri dalam wujud seorang perempuan. Ini memang cerita klasik. Ada yang mengistilahkannya dengan Godaan Tiga “TA”: harTA, takhTA, waniTA. Tetapi, kita harus berhati-hati untuk tidak menarik kesimpulan yang salah, seolah-olah perempuanlah sumber masalah! Lihat, Hawa menggoda Adam. Lihat, istri Potifar menggoda Yusuf, dan seterusnya. Generalisasi seperti ini picik, tidak adil dan melecehkan perempuan. Dalam kisah yang kita simak, yang ingin digarisbawahi adalah ujian berat buat integritas Yusuf. Kalau orang sudah diberkati oleh Tuhan, tak jarang integritasnya pun menjadi sasaran berikut yang bakal menghadapi ujian. Bagi seorang laki-laki yang posisinya makin mapan, salah satu ujian paling umum adalah godaan untuk mencari kesenangan yang dapat “dibeli” dengan posisi dan uang. Nyatanya, tanpa dicari pun, kenikmatan seksual sering ditawarkan dan menawarkan diri sendiri. Bukankah kekusutan hingga kehancuran dalam kehidupan berumahtangga kerap disebabkan hubungan-hubungan “liar” ini?
Mengapa Yusuf bertindak “bodoh”, tidak memanfaatkan kesempatan dan menikmati kesenangan yang ditawarkan di depan mata? Ada banyak orang dalam dunia kita kini yang akan berkesimpulan demikian. Bukan rahasia lagi, berbagai negosiasi bisnis dan politik sering dilengkapi dengan “bonus” seperti itu. Namun, inilah yang luar biasa dari teladan seorang Yusuf. Ketika jerat nafsu nyata-nyata terpasang di hadapannya, ia serta merta ingat Tuhan yang telah menolong dan memberkatinya. Reaksinya didasari oleh integritas etis-teologis: “Bagaimanakah mungkin aku melakukan kejahatan yang besar ini dan berbuat dosa terhadap Allah?” (Kej. 49:9). Jika Dia Yang Tak Kelihatan benar-benar memperhatikan hidupnya, bukankah Dia juga melihat apa yang tidak kelihatan oleh mata telanjang?
Kita harus menyimak lebih jauh daripada perikop yang menjadi bahan perenungan kita. Dalam bagian berikutnya, kita memperlajari, ternyata integritas Yusuf harus dibayar amat mahal! Tidak tanggung-tanggung, penolakan terhadap ajakan menyeleweng harus ditebus dengan hukuman penjara yang justru membawa kesengsaraan (Kej. 39:20-23). Benarkah ini mirip dengan yang dikatakan orang: “Tak perlu jujur-jujur. Buktinya, orang jujur malah terbujur, orang sabar malah terkapar!” Pil yang harus ditelan karena mempertahankan sebuah integritas sering pahit sekali. Orang yang tidak mau dilibatkan dalam kejahatan bersama, tak jarang harus menjadi korban fitnah dan konspirasi. Orang seperti ini memang sering bisa berbahaya, maka harus disingkirkan. Kalau kita pernah mengalami hal yang serupa, ingatlah, ketidakadilan demikian sudah setua sejarah manusia berdosa dan sudah menjadi bahan perenungan sejak ribuan tahun silam!
Namun, sekali lagi, kalau kita telusuri terus cerita berikutnya tentang Yusuf yang dipenjara, kita menemukan pernyataan yang sama, “Tetapi TUHAN menyertai Yusuf!” (Kej. 39:21). Perhatikan penggunaan kata “tetapi”. Ya, sejarah ketidakadilan itu masih terus-menerus berlangsung itu, tetapi jangan pernah lupakan, Dia Yang Lain itu hadir! Tuhan menyertai Yusuf sehingga apa yang dikerjakannya berhasil.
Mungkinkah kisah Yusuf menjadi kisah kita bersama sebagai umat Allah? Bukankah ketika malapetaka dan ketidakadilan menimpa orang-orang yang tak bersalah, sering iman kita menjadi goyah? Orang yang ditipu berkali-kali, boleh jadi ia akan memutuskan, tak ada gunanya lagi bersikap jujur. Begitu pula, orang yang sudah disakiti atau dikecewakan berkali-kali, bisa habis kesabarannya. Demikianlah kenyataannya, menghadapi kegagalan, kemalangan dan ketidakadilan, orang dapat mengambil berbagai kesimpulan. Wajar-wajar saja jika kesimpulannya bersifat negatif. Orang bisa-bisa kehilangan kepercayaannya pada manusia. Dalam kasus ekstrem, Tuhan pun tak dipercayai lagi!
Namun, kesimpulannya tidak seharusnya demikian bila kita bercermin dari kisah Yusuf. Kita perlu belajar dari perspektif “lain” dalam memaknai berbagai pengalaman buruk dalam hidup ini. Boleh jadi kita pernah menjadi korban kecemburuan sosial atau ketidakadilan. Tanpa berbuat salah pun, kita menjadi sasaran kebencian. Tanpa mengganggu orang lain pun, ada yang ingin mempersulit, bahkan menyingkirkan kita. Tanpa pernah bermaksud mengancam pun, kehadiran kita dilihat sebagai ancaman, sehingga perlu disingkirkan. Namun, di balik berbagai situasi negatif seperti itu, rupanya kita diajak untuk tetap meyakini Kehadiran Yang Lain dalam sejarah manusia. Siapa yang menyangka di balik penderitaan Yusuf terselip rencana Tuhan untuk menyelamatkan saudara-saudaranya kelak dari bencana?
Penyertaan Tuhan mengandung tanggung jawab etis pula yang patut kita renungkan. Memang luar biasa, kehadiran yang membawa berkat itu bukan saja menolong Yusuf menghadapi kesulitannya sendiri tetapi sekaligus membawa berkat bagi orang lain! Kita teringat pada pesan nabi Yeremia kepada orang-orang yang dibawa ke pembuangan: “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu” (Yer. 29:7). Sikap positif ini dimungkinkan oleh iman yang menatap ke depan, kepada karya Allah yang menuntun sejarah sesuai dengan rancangan damai sejahtera-Nya (Yer. 29:11). Ketika kita terbentur oleh perlakuan yang tidak adil, ketika kita tergoda untuk membalas kejahatan dengan kejahatan, kita diingatkan untuk berhenti sejenak membaca tanda-tanda kehadiran ilahi itu, yang oleh Rasul Paulus diyakini “turut bekerja dalam segala sesuatu mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia” (Rm. 8:28).
Akhirnya, seperti Yusuf, kita pun diajak untuk menyadari betapa pentingnya integritas dalam kehidupan kita ketika berhadapan dengan berbagai godaan. Ketika tersedia peluang untuk mencari untung dengan segala cara, merampas yang bukan milik kita, membengkokkan yang mestinya diluruskan, bagaimana sikap kita menghadapi ujian-ujian yang mempertaruhkan integritas kita? Dalam perspektif iman, kehadiran Tuhan yang diharapkan memberkati hidup kita semestinya juga mengilhami sepak terjang kita sehingga benar-benar menjadi berkat bagi sesama! Amin.

Bogor-Jakarta, November 2008
Pdt. Anwar Tjen, PhD

Tidak ada komentar:

Posting Komentar