”SETIA PADA JANJI” (Hakim-hakim 11 : 29 - 40) Latarbelakang kehidupan Yefta Alkitab di dalam menggambarkan kelemahan dan kegemilangan masing-masing tokoh yang ada di dalamnya begitu terbuka. Dalam bagian ini kita melihat bagaimana seorang yang bernama Yefta berusaha untuk mengerti pimpinan dan kehendak Tuhan, dan pergumulan demi pergumulan yang ada sebenarnya merupakan pergumulannya sejak kecil. Ia sudah memendam sakit hati yang sangat dalam berkaitan dengan peristiwa Yakub memberkati kedua anak Yusuf. Pada masa itu Yusuf membawa Manasye dan Efraim kepada Yakub dan ketika itu ternyata Yakub menyilangkan tangannya ke atas kepala keduanya, dengan demikian Efraim (sebagai anak bungsu) mendapat berkat dari tangan kanan Yakub, sedangkan Manasye yang sebagai anak sulung mendapat berkat dari tangan kiri Yakub. Melihat hal itu Yusuf tidak setuju sebab menurutnya yang mendapat berkat tangan kanan itu seharusnya adalah anaknya yang sulung yaitu Manasye. Dan setelah itu sejarah Israel mulai membuktikan Efraim menjadi suku yang sangat besar dan banyak tokoh-tokoh penting dalam Alkitab muncul dari suku tersebut. Dan Yefta yang lahir dari seorang Gilead adalah salah satu suku terbesar bani Manasye. Hal ini menjadi sakit hati yang terus-menerus dan turun-temurun secara mendalam yang tersimpan dalam hati orang-orang Manasye, termasuk Yefta. Itu merupakan satu sisi yang sangat tidak menyenangkan di dalam hidup suku Manasye. Di lain sisi, kita juga melihat bahwa Yefta adalah seorang yang lahir dari seorang perempuan sundal sehingga setelah anak-anak istri Gilead besar, mereka membenci dan akhirnya mengusir Yefta dari rumahnya, demikian pula halnya dengan orang Israel saat itu yang mempunyai peraturan ketat sekali. Di sini kita dapat membayangkan, betapa sakit yang ia bawa seumur hidup sehingga ia kemudian pergi ke suatu tempat yang disebut tanah Tob. Di sana ia diterima dengan baik dan berhasil menyatukan kelompok para petualang atau penyamun (preman) sehingga ia diangkat menjadi pemimpin tertinggi yang dihormati, dikagumi dan ditakuti, dan itu tidak ia peroleh dalam suku bangsanya sendiri. Tetapi ketika bani Amon berperang melawan orang Israel, para pemimpin Gilead datang untuk minta tolong kepada Yefta, dan itu berarti nama Yefta telah begitu tersohor saat itu. Akhirnya setelah terjadi tawar-menawar dengannya maka Yefta bersedia berperang namun dengan syarat jikalau menang maka ia akan menjadi pemimpin atas suku Gilead. Di situlah dimulainya titik balik kehidupan Yefta. Permulaan kepemimpinan Yefta Kita melihat bahwa di awal hidup Yefta memimpin bangsa Israel Alkitab membuka dengan satu catatan yang begitu indah, di mana dikatakan bahwa Roh Tuhan menghinggapi Yefta sehingga kemenangan demi kemenangan ia alami. Di dalam PL, jikalau Roh Tuhan menghinggapi seseorang, berarti di sana ada penyertaan dan berkat Tuhan sehingga apa saja yang ia perbuat pasti berhasil. Tetapi sangat mengherankan sekali bahwa dalam ayat 30 Alkitab mencatat nazar Yefta yang mengatakan, “Jika Engkau sungguh-sungguh menyerahkan bani Amon itu kedalam tanganku, maka apa yang keluar dari pintu rumahku untuk menemui aku, …, itu akan menjadi kepunyaan Tuhan, dan aku akan mempersembahkannya sebagai kurban bakaran.” Di sini kita melihat bahwa sepertinya Yefta mulai kembali tawar-menawar dengan Tuhan, walaupun ia tahu bahwa Roh Tuhan ada padanya dan itu berarti ada suatu jaminan yang pasti. Ini satu hal yang ia bawa dari masa petualangannya bersama para penyamun di tanah Tob. Sebab merupakan kebiasaan bagi mereka sebelum berperang mempersembahkan korban manusia sebagai korban bakaran untuk mendapatkan kemenangan. Padahal kalau kita lihat selanjutnya dikatakan bahwa anaknya merupakan anak tunggal, dan itu berarti hanya istri dan anaknya yang tinggal di rumah. Sehingga sangat mengherankan jikalau ia terkoyak hatinya ketika anaknya menyongsong dia dengan menari-nari. Padahal yang ia harapkan menyongsongnya adalah istrinya, karena ia begitu jengkel dan sedang mengalami konflik dengannya, sehingga dengan cara yang sangat rohani ia berusaha melenyapkannya. Ini satu hal yang sangat licik sekali yang mungkin muncul dalam pikiran Yefta. Bukankah seringkali ada banyak hal yang dapat kita pakai mengatasnamakan hal-hal rohani tetapi sebenarnya dibalik itu banyak hal yang tersembunyi, hanya kita sendiri yang tahu? Namun itu bukan berarti Tuhan tidak tahu, sebab tangan Tuhan sudah ada di atas Yefta dan Ia sudah memberikan kemenangan demi kemenangan yang hebat. Yefta setia pada janji Kisah tentang Yefta dan nazarnya yang terkenal itu, telah menyebabkan perdebatan sengit di antara para penafsir. Hal yang membuat perbedaan para penafsir adalah, apakah Yefta mengorbankan anak perempuannya sendiri, ataukah tidak? Jika ya, apakah Allah memaafkan tindakan yang tak masuk akal tersebut? Hampir semua komentator dan penulis sejarah Israel sebelumnya menganggap Yefta benar-benar mempersembahkan putrinya sendiri. Hingga Abad Pertengahan barulah para komentator mulai mencari cara untuk melunakkan gurauan Yefta ini. Sudah sewajarnya jika laki-laki atau perempuan yang waras menjadi marah dan dikejutkan oleh cara-cara berpikir dan bertindak Yefta yang sewenang-wenang dan tidak alkitabiah. Namun pembaca harus ingat tema Kitab Hakim-hakim, yaitu setiap orang melakukan apa yang benar menurut pandangannya sendiri, termasuk Yefta. Sesungguhnya, bangsa itu ragu menyebutnya sebagai hakim atas suku-suku di tepi timur (sebelum ia akhirnya disebut demikian) sebab ibunya adalah seorang wanita tunasusila dan saudara-saudaranya sendiri telah mengusirnya dari pusaka keluarga. Di sini ada tiga pertanyaan utama untuk dijawab: (1) Sebenarnya apa maksud Yefta dengan nazarnya itu? (2) Bagaimana ia melakukannya? (3) Apakah Allah memaafkan tindakan-tindakannya? Sebelum Yefta berangkat dari Mizpa untuk berperang, dengan penuh rasa hormat ia bernazar untuk menyerahkan kepada Allah apa yang keluar dari pintu rumahnya untuk menemuinya jika ia kembali dengan kemenangan atas kaum Amon. Ini memunculkan hal nazar dan masalah menerjemahkan istilah apa (whoever) yang keluar. Nazar[1] bukan tidak alkitabiah, namun dalam bernazar ada sejumlah bahaya yang perlu dihindari. Pertama, paling baik menghindari pengucapan nazar yang nantinya akan menimbulkan kesulitan bagi suara hati dan kemampuan seseorang untuk memenuhinya (Ams. 20:25; Pkh. 5:2-6). Kedua, nazar-nazar itu seharusnya jangan dipakai untuk membeli pengasihan Allah, seakan-akan kita bisa berkarya untuk mendapat kasih karunia Allah atau kita bisa mempengaruhi Allah untuk melakukan pada kita apa yang sebenarnya tak ingin Ia lakukan. Sebaliknya, nazar-nazar kita harus mengungkapkan rasa syukur kepada-Nya atas kasih-Nva yang tak terhitung. Jika suatu nazar telah dibuat, maka janji itu harus ditepati (Bil. 36:2-13; Mzm. 15:4; 66:14; 76:11; Kis. 5:1-4). Namun sumpah atau nazar yang melanggar suatu hukum moral Allah tak boleh dipenuhi. Itu sebabnya, janji Herodes yang tergesa-gesa itu, yang berakibat dimintanya kepala Yohanes Pembaptis, seharusnya tak pernah dipenuhi. Sayangnya, janji itu ditepati (Mark. 6:23-27). Di sini, Herodes seharusnya menarik kembali sumpahnya dan memohon maaf dari semua pihak atas pembuatan sumpah itu. Hanya nazar dan sumpah yang dibuat berdasarkan iman tak pernah perlu disesali. Selain itu akan terjadi ratapan atau perasaan terpukul. Jadi apakah yang dinazarkan Yefta itu? Ada yang mencoba melunakkan sumpah tersebut dengan menerjemahkan apa yang disumpahkan itu sebagai apa (whatever) yang keluar. Namun, jika teks dalam bahasa Ibrani memaksudkan gagasan yang netral ini (yang bisa meliputi apapun termasuk hewan peliharaan Yefta), maka seharusnya di sini dipakai jenis kata yang berbeda (netral dalam bahasa Ibrani bisa diisyaratkan melalui bentuk kata feminin). Karena bentuk maskulin yang dipakai, dan kata kerjanya adalah keluar, maka ini pasti hanya menunjukkan (sebagaimana dalam setiap konteks lainnya) manusia dan bukan binatang atau benda lainnya. Yefta berjanji bahwa siapa saja yang mula-mula keluar menjumpainya saat ia kembali dengan kemenangan akan menjadi milik Tuhan dan dikorbankan untuk Tuhan. Apakah ia memaksudkannya secara harfiah? Jika tidak, lalu mengapa ia menggunakan kata-kata ini? Dan jika ya, lalu bagaimanakah seorang hakim yang diurapi oleh Roh Kudus secara luar biasa untuk tugas kepemimpinan dalam perang, bisa bersalah melakukan pelanggaran besar terhadap suatu hukum Allah yang nyata (Im. 18:21; Ul. 12:31), yaitu menentang pengorbanan manusia? Perilaku yang tak masuk akal semacam itu hanya bisa dijelaskan demikian: Persetujuan Allah atas seseorang di satu bidang tidaklah menjamin persetujuan-Nya di segala bidang kehidupan. Misalnya, Daud juga dipimpin Roh, dan merupakan orang yang berkenan di hati Allah sendiri, namun bukan segala perbuatan Daud perlu diteladani oleh semua umat percaya yang dipimpin oleh Roh. Yefta mengenal hukum Musa yang melarang pengorbanan manusia. Hakim-hakim 11:12-28 menunjukkan ia tahu sejarah Israel dan bisa merincinya jika perlu. Namun tentu saja ini tidak membuktikan bahwa apa yang ia tahu selalu ia lakukan, pengetahuan kita tentang apa yang benar tidak lebih menjamin kita akan selalu melaksanakannya. Bahwa Yefta memang sungguh-sungguh mengorbankan putrinya, yang demikian tragis, nampaknya merupakan arti yang paling wajar terhadap teks ini. Jika "pengorbanan" Yefta atas putrinya berarti mengembalikannya ke suatu kehidupan yang membujang dan melayani di bait Allah, tak satu kata pun dalam bacaan tersebut yang mengatakan demikian. Satu-satunya dukungan. yang mungkin adalah komentar bahwa siapa yang keluar dan rumahnya "akan menjadi kepunyaan TUHAN" (ayat 31). Namun pernyataan berikutnya membuktikan yang ada dalam benaknya adalah korban bakaran, "mempersembahkan... sebagai korban bakaran." Perenungan Sebagai isteri kita pasti sudah pernah dan sedang dan akan berjanji. Janji-janji apakah yang pernah kita lakukan? Kita mungkin berjanji pada diri sendiri, berjanji kepada teman, berjanji kepada keluarga, berjanji kepada gereja/hamba Tuhan, dan berjanji kepada Tuhan. Apakah kita setia pada janji kita itu? Mungkin jika janji pada diri kita sendiri dan kepada sesama manusia, kita pernah tidak setia. Tetapi jika kita berjanji atau bernazar kepada Tuhan harus setia, jika tidak maka jangan berjanji/nazar kepada Tuhan. Mari kita ambil contoh janji kita kepada sesama manusia dan kepada Tuhan. Ketika kita dulu menerima berkat pernikahan, apa janji kita kepada suami kita dan kepada Tuhan? Janji yang pertama adalah bersediakah saudari mengasihi dia (suami) dengan segenap hati dan berbuat dengan segala kekuatanmu. Kedua, bersediakah saudari bersama-sama dengan dia melakukan kehidupan yang kudus? Ketiga, bersediakah saudari untuk mengerti dia, dan menanggung kelemahannya yang ada. Keempat, maukah saudari berjanji bahwa saudari tidak akan menceraikan atau meninggalkan dia sampai kematian akan menceraikan kamu kelak? Janji keempat masih bisa dipertahankan sampai sekarang walau sebenarnya sudah sering mau meninggalkan dia karena banyak permasalahan. Tetapi janji pertama sampai ketiga apakah kita masih setia sampai sekarang? Apakah kita tetap stia mengasihi, melakukan kehidupan yang kudus, dan bahkan tidak meninggalkan dia jika ekonomi tidak baik, jika kelakuannya tidak baik, jika ternyata ada banyak kelemahannya, jika dia mengalami penyakit, dan lain sebagainya. Contoh lain misalnya tentang anak-anak. Ketika kita membawa mereka pada pembatisan kudus di gereja Tuhan, ada banyak janji yang perbuat di hadapan jemaat dan Tuhan. Pertama, apakah saudara menghendaki anak-anak ini dibaptiskan ke dalam Nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus? Kedua, apakah saudara bersedia membimbing anak-anak ini, agar mereka mengetahui dan menuruti firman Allah? Ketiga, apakah saudara bersedia menyuruh anak-anak ini ke Gereja dan membesarkannya dalam pengajaran Kristen Protestan, agar mereka menjadi anggota jemaat yang hidup dalam Yesus Kristus? Mungkin kita menganggap janji ini sepele, hanya bahasa seremonial/ritus saja yang harus dijawab begitu saja tanpa makna dan arti. Perhatikan makna dari setiap janji ini agar kita mengerti kesetiaan kita pada janji yang telah kita ucapkan di hadapan Tuhan. Pertama, Baptisan hanya sekali bukan berkali-kali. Tetapi ada banyak orangtua jaman sekarang ini bangga mengetahui dan bahkan membawa anak-anaknya menerima baptisan ulang di gereja lain??? Bahaya bukan! Di mana kesetiaanmu kepada Tuhan yang sama. Kok dibaptiskan lagi ke dalam nama Tuhan yang sama. Apakah beda Tuhan di GKPA dengan Gereja lain itu??? Jika sama mengapa kesetiaan kita luntur ketika melihat “cara” baptisan orang yang lebih “wah” seolah-olah kita diselamatkan oleh karena baptisan. Kita bukan diselamatkan karena baptisan tetapi hanya karena iman. Kedua, apakah kita telah menginvestasikan tenaga, pikiran, hati, dan dana kita untuk membimbing anak-anak kita? Atau sudah cukupkah delegasi yang kita berikan kepada guru-guru di sekolah dan gereja, dan para pembantu mengerjakan tugas itu? Ingat pertanyaan dan janji itu bukan diberikan kepada guru dan pembantu, tetapi kepada kita orangtuanya. Ketiga, apakah kita sudah menyuruh mereka ke Gereja? Perhatikan kata “Gereja”. Gereja pakai huruf besar artinya ke Gereja di mana kita terdaftar sebagai warga jemaat. Jangan kita menyuruh mereka ke “gereja” di sekitar tempat tinggal kita dengan alasan dekat pokoknya “asal” mereka pergi ke gereja. Tidak itu isi janji kita di depan jemaat dan Tuhan. Kita berjanji akan menyuruh anak itu ke Gereja di mana kita terdaftar untuk diajari dan dibimbing oleh Gereja yang kita tempati. Mengapa? Pertama, agar mereka mengerti ajaran Kristen Protestan. Karena banyak ajaran gereja yang menjamur sekarang, karena itu mereka harus sejak dini harus diajarkan pengajaran Kristen Protestan. Kedua, agar anak-anak kita kelak menjadi jemaat yang hidup dalam Yesus Kristus. Karena banyak orang Kristen sekarang bukan jemaat yang hidup, tetapi dia jemaat yang terdaftar saja di gerejanya, tetapi tubuh dan jiwanya di gereja lain, persekutuannya di gereja lain, persembahan dan perpuluhannya di gereja lain. Ini bukan jemaat yang hidup. Jika demikian silahkan saja pilih, jika kita memang menjadi jemaat yang hidup di gereja lain itu, ya di sana aja terdaftar agar anak-anak kita sama dengan kita menjadi jemaat yang hidup di sana. Yang paling ironisnya jaman sekarang adalah ketika jemaat itu meninggal dunia maka dia dibawa ke gereja di mana dia terdaftar, tetapi selama hidupnya dia beribadah di gereja lain. Akhirnya, gereja kita hanya sebatas gereja yang melayani jemaat yang ‘mati’. Karena itu melalui nas ini kita dituntut untuk tetap setia. Setia kepada janji-janji yang telah kita ucapkan di hadapan jemaat dan di hadapan Tuhan. Sama seperti Yefta, ketika dia bernazar di hadapan Tuhan maka dia tetap melaksanakan nazarnya itu sekalipun nazarnya itu sangat sangat bertentangan dengan hatinya. Makanya, hati-hatilah juga untuk berjanji dan bernazar bagi sesama manusia, dan terlebih bagi Tuhan. Amin.? SELAMAT SETIA !!! [1] Kata “nazar” yang ditemukan dalam Alkitab, berkaitan dengan janji seseorang kepada Allah. Nazar itu bisa muncul dalam berbagai bentuk, seperti: 1. Janji melaksanakan suatu tindakan (Kejadian 28: 20-22). 2. Janji menjauhkan diri dari se-buah tindakan (Mazmur 132: 15). 3. Janji agar Tuhan menyatakan pertolongan-Nya (Bilangan 21: 1-3). Nazar sebagai janji harus dipenuhi, dan adalah dosa jika tidak memenuhinya. Itu sebab, sebelum bernazar, seseorang harus memikirkannya dengan sungguh sungguh, bukan melakukannya karena emosional (Amsal 20: 25). Bernazar atau tidak bernazar bukan dosa. Yang berdosa adalah, bernazar tetapi tidak memenuhinya. |
BLOG INI BERSIFAT TERBUKA UNTUK DIKOMENTARI DAN DIKRITISI DEMI KEMAJUAN WAWASAN BERPIKIR, DAN BERTEOLOGI MASA KINI
Selasa, 02 November 2010
”SETIA PADA JANJI” (Hakim-hakim 11 : 29 - 40)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar