Jumat, 09 September 2011

Khotbah Minggu, 25 September 2011: Markus 1:40-45

widgeo.net
Khotbah Partner UEM
Minggu XiV Dung Trinitatis
25 September 2011
Khotbah : Markus 1:40-45    Bacaan Alkitab: Roma 8:12-17

MEMBANGUN KOMUNITAS DENGAN
MENGUTAMAKAN KEMANUSIAAN

1. Pendahuluan
Suatu rekonstruksi sosio budaya nats khotbah.
Para penulis Perjanjian Baru kebanyakan melihat konteks historis injil Markus dari segi perkiraan waktu dan tempat penulisan kitab ini, yang kebanyakan ahli perpendapat bahwa kitab ini ditulis di Roma antara tahun 66-70. Namun perkembangan kemudian penafsiran terhadap injil ini melihat dari sisi lain bahwa injil Markus adalah karya tulis yang dihasilkan dari sekitar atau dekat dengan Palestina Utara. Dan ahli yang menunjukkan kepada pendapat ini adalah Ched Myers yang menafsirkan secara berbeda signifikansi dari pengaruh Latin dalam kitab ini, pengaruh – pengaruh itu tidak lain dari penetrasi linguistik dalam lingkup sosio-ekonomi dan administrasi dari budaya Palestina yang terjajah.
Dengan demikian fokus deskripsi konteks sosial yang dikembangkan dalam kitab Markuss bukanlah sosio budaya dan politik Hellenis perkotaan sebagaimana yang dilakukan oleh ahli yang menekankan Roma sebagai setting in life dari kitab Markus, melainkan berfokus pada kondisi Palestina yang agraris.
Dari segi sistimatisasi penulis Markus, tentang penggambaran tempat pelayanan Yesus yang kebanyakan berada pada awalnya di sekitar Galilea, yang pada umumnya ad alah orang Jahudi, kemudian keluar ke daerah yang umum disebut daerah kafir (gentile) dan berpuncak di Yerusalem. Hal ini lebih memberikan gambaran yang jelas bahwa injil ditulis oleh Markus di Palestian bagian utara, sehingga konteks sosialnya lebuh menggambarkan masyarakat agraris Palestina. Yesus meningkatkan pengetahuan ini dengan hidup bersama rakyat yang dipimpinNya; Dia percaya bahwa dengan hidup bersama mereka, Ia dapat melayani mereka dengan lebih baik dan melakukan proses pembaharuan di tengah-tengah masyarakat Jahudi, makanya, Yesus memahami latar belakang sosio budaya kelompokNya. Sosio budaya yang dimaksudkan adalah kuatnya hokum-hukum agama yang mengakibatkan pudarnya kemanusiaan sebagai subjek pelayanan.
Dengan membaca kitab markus, maka akan jelas memperlihatkan kepada pembaca bahwa Yesus mendeklerasikan Kerajaan Allah dengan penguatan komunitas, yang memprioritaskan pelayanan bagi kaum lemah, menderita dan terpinggirkan.
Dalam Markus 1:39, Markus memberikan suatu rangkuman dengan pernyataan yang bersifat program yang akan dilakukan, sebagai suatu persiapan program pendampingan messianis Yesus tertantang dengan suatu kekuasaan social dan eksklusif. Yesus secara simultan memperkenalkan suatu praktek alternative dalam masyarakat dan bersifat inklusif.

2. Uraian perikop 1:40-45

Perikop ini adalah bagian dari cerita tentang tantangan yang diungkapkan Yesus terhadap ideologi kekuasaan dari para Imam dan Ahli Taurat sebagai episode pertama. Fungsi cerita singkat tentang penyembuhan orang kusta ini menumbangkan aturan-aturan yang dianggap sangat suci pada waktu itu. Berdasarkan kitab imamat 13:2-14:57, yang berhubungan dengan orang kusta adalah, yang pertama menyangkut masalah hubungan orang yang berpenyakit kusta dengan orang lain.yang kedua bahwa imam harus memimpin ibadah/ritual pentahiran. Kedua prinsip tersebut ditantang dalam cerita ini.
Berikut ini merupakan gambaran tentang penyakit kusta. Dalam Perjanjian baru tidak ada penyakit yang dianggap begitu menakutkan dan mengundang rasa iba yang mendalam selain penyakit kusta. Kejiwaan dari orang yang berpenyakit kusta memang amat menyedihkan.
Ada tida macam penyakit kusta, yang pertama adalah jenis kusta yang disebut nodular atau tubercular. Jenis ini mulai dengan rasa letih sekali dan sakit di tulang-tulang sendi, lalu timbullah bintik-bintik di tulang punggung, dan kemudian muncullah benjolan-benjolan pada bintik-bintik tersebut yang berwarna merah muda, lama kelamaan berubah menjadi coklat. Setelah bejolan-benjolan tersebut menjalar, maka wajah bisa berubah bagaikan wajah singa. Dari benjolan-benjolan tersebut keluar nanah yang berbau busuk. Rata-rata orang yang menderita penyakit ini bertahan selama sembilan tahun lalu meninggal. Penderita menjadi menjijikkan baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Yang kedua adalah jenis kusta anestesis, gejala-gejala awalnya hambir sama dengan jenis yang pertama, namun pada jenis ini saraf juga ikut diserang, dan setiap saraf yang diserang akan mati rasa. Saat penyakit ini berkembang, luka-luka di saraf akan melepuh. Otot-otot melemah, urat-urat mengerut sehingga lengan menjadi seperti cakar dan secara bertahap jari kaki dan tangan menghilang. Ini bisa berlangsung selama 2- hingga 30 tahun, yang mengakibatkan tubuh mati secara bertahap dan mengerikan. Yang ketiga adalah gabungan antara nodular dan anestetis. Ini adalah jenis kusta yang paling umum di Palestina pada waktu itu.
Dalam Perjanjian lama, khususnya kitab imamat istilah yang dipergunakan untuk penyakit ini adalah tsaraath. Semua orang yang terinfeksi penyakit kusta dianggap najis dan harus dipinggirkan dari masyarakat umum dan tinggal di luar perkampungan. Setiap penderita harus berteriak dengan kata najis….najis sehingga setiap orang yang mendengar harus menjauh dari mereka dan selalu menjaga jarak dari orang lain. Dengan penggambaran orang kusta seperti yang diungkapkan di atas tentu saja amat mengerikan bagi kejiwaan dan phisik orang yang menderita, bukan!!!.
Ornga yang amat menderita baik secara psikis maupun phisik karena kusta datang kepada Yesus pada awal pelayananNya sambil berlutut, hal ini menggambarkan suatu penentangan terhadap komnikasi orang kusta dengan orang lain pada waktu itu, sebagaimana terlah dikatakan bahwa orang kusta seharusnya tidak boleh dekat kepada orang lain, dan hal itu dikuatkan dengan jawaban Yesus dengan mengulurkan tanganNya
Keberanian penderita kusta tersebut tentu saja karena adanya pengharapan dan pengenalan akan yesus bahwa Yesus akan memberikan jawab. Satu-satunya harapan mereka diletakkan pada Yesus. Hal ini berhubungan dengan deklarasi Yesus tentang Kerajaan sorga yang memberikan angin segar atau pengharapan baru bagi orang-orang yang sudah tidak punya harapan lagi karena orang kusta sudah dipastikan akan berakhir pada riwayat yang mengerikan baik jiwa maupun tubuh, dibuang dari masyarakat.
Jika seorang kusta disembuhkan, maka ia sendiri harus menjalani upacara pentahiran yang rumit sebagaimana dijelaskan dalam Imamat 14. Kita dapat membacanya dalam pasal tersebut bagaimana kerumitan yang dimaksudkan.
Dalam nats kita ini kita dapat melihat beberapa hal yang amat penting untuk direnungkan dari sikap Yesus. Yang pertama Yesus tidak mengucilkan orang yang sedang menderita mental dan raga sebagaimana yang dialami oleh penderita kusta dalam nats ini, namun Yesus dengan spontan menaruh belaskasihan. Orang kebanyakan (Mayoritas) pada waktu itu memperhadapkan dengan aturan-aturan yang ada, tapi Yesus menghadapkannya dengan belaskasihan. Dalam bahasa Yunani istilah belas kasihan disebut “splaknistei”, yang pada umumnya menunjuk kepada reaksi spontan Yesus yang perlu dijawab kebutuhannya.
Yang kedua, bahwa Yesus tidak memutuskan komunikasi dengan penderita kusta tersebut, tapi merangkulnya dengan mengulurkan tanganNya. Hal itu berarti bahwa Yesus menyambung komunikasi yang telah terputus. Yesus mulai menyembuhkannya dari penyakit kejiwaan karena tidak boleh berkomunikasi dengan orang lain secara wajar. Dengan cara Yesus mengulurkan tangan, maka penyembuhan kejiwaan yang telah rusak mulai dipulihkan. Dan kemudian Yesus menyembuhkan penyakit raganya yaitu kusta tersebut.
Yang ketiga, perbuatan belaskasihan dan kuasa untuk menyembuhkan yang dilakukan Yesus dalam nats ini, bukanlah sesuatu pameran kuasa (exhibition power), makanya Dia melarang untuk mempublikasikan kepada orang, tapi justru Dia suruh kepada para imam sebagai bukti bahwa penderita kusta tersebut telah sembuh untuk mendapatkan legalitas.
Tapi Markus menceritakan sikap lain dari orang yang telah sembuh tersebut. Mengapa demikian?
Dengan mengutik tafsiran dari Ched Myers, Markus memiliki tujuan khusus dengan mengemukakan sikap yang berbeda antara perintah Yesus dengan perlakuan dari orang yang telah disebuhkan, dimana Markus menunjukkan sikap konfrontasi menentang hegemoni pemimpin agama yang tidak berorientasi kepada penderitaan manusia, melainkan kepada aturan peraturan yang dapat menyingkirkan kemanusiaan seseorang. Markus juga tidak memperlihatkan apakah Yesus marah terhadap orang yang disebuhkan tersebut karena berbeda antara yang diperintahkanNya dengan apa yang dilakukan orang itu. Yang pasti bahwa orang disembuhkan tersebut menjadi turut menentang hegemoni pemimpin agama. Jika Yesus mengecam para pemimpin agama pada waktu itu, maka terbangunlah suatu sikap dari para korban aturan untuk berperan menunjukkan sikap konfrontasi.
Ketiga sikap yang ditunjukkan Yesus dalam nats ini secara umum digambarkan oleh Markus dalam banyak peristiwa dimana Yesus sebagai pemimpin, memiliki kuasa, belaskasihan, perintah dan tujuan, semuanya menyatu. Hal itu berarti bahwa kepemimpinan, kuasa dan belaskasihan tidak boleh terpisah yang satu dengan yang lain.
Ketika kepemimpinan tanpa kuasa dan belaskasihan terjadi, maka pemimpinnya lemah dan tidak punya pengaruh apa-apa. Ketika hanya kuasa tanpa kepemimpinan dan belaskasihan, maka akan cenderung kepada otoriter yang membabibuta, main hakim sendiri atau sewenang-wenang di mana hokum rimba akan lebih menonjol. Ketika belaskasihan tanpa kepemimpinan dan kuasa, maka akan cenderung pada istilah NATO=No action talk only, hanya ngomong doang.
Secara postif, kita melihat hubungan antara ayat 44 dan 45 adalah terbangunnya sikap penguatan dan solidaritas dari para korban hegemoni pemimpin agama yang telah meminggirkan mereka dari kemanusiaan yang seutuhnya. Sebagaimana dikatakan pada pendahuluan nats ini bahwa cerita-cerita Markus memberikan tujuan upaya Yesus membangun komunitas yang kuat dalam benang merah kerajaan Allah, maka nats penyembuhan seorang kusta adalah bagian cerita untuk memperkuat masyarakat yang telah terpinggirkan.

Renungan :
  1. Jika pelayanan gereja atau orang percaya mengacu kepada ajaran Yesus, maka patutlah kita renungkan kembali apakah gereja masih mengutamakan pelayanan kepada orang yang telah terpinggirkan dari masyarakat atau korban-korban aturan yang membuat seseorang terpisah dari masyarakat umum. Pelayanan dengan mengutamakan orang yang menderita seperti penderita kusta tersebut, bukanlah berarti mengabaikan orang terhormat dan kaya. Tetapi justru mengarahkan semua potensi yang ada agar turut serta mengutamakan pelayanan tersebut.
  2. Pelayanan dengan adanya belaskasihan terhadap para korban, dimulai dengan membangun komunikasi.itu berarti memulai dari pemahaman akan pentingnya komunikasi, menyambung sesuatu yang telah terputus. Korban bukan hanya mengalami penderitaan raga saja, tetapi juga jiwa. Oleh karena itu ketika kita melihat pola pelayanan Yesus, maka pelayanan lebih mengacu pada prinsip integral, dengan melihat manusia itu dari sisi jiwa dan raga.
  3. Sasaran pelayan Yesus terhadap penderita penyakit adalah untuk kesembuhan, bukan untuk exhibiton power (pamer kekuasaan). Hal ini sepadan dengan tema-tema gerakan oikumenis sekarang ini seperti “Untuk kesembuhan dunia”. Hal ini menjadi ajakan bagi gereja dan orang percaya agar program yang dilakukan terhadap issu-issu marginalisasi, kemiskinan, kerusakan alam benar-benar untuk kesembuhan, janganlah dijadikan issu-issu oikumenis tersebut sebagai program gereja untuk mendapatkan dana, yang pada akhirnya hanya menjual orang miskin dan menderita. Dan kemudian setelah mendapatkannya, gereja hanya memberikan porsi yang amat kecil terhadap para korban, yang bukan membangun solidaritas kuat, malah menjadi cemoohan dan dosa.
  4. Pelayanan yang dilakukan Yesus mengundang kita semua untuk berperan aktif menentang hegemoni para pemimpin yang memarginalkan seseorang atau sekelompok, yang merusak keutuhan manusia.
  5. Selamat berkotbah dan melayani, amin



Pdt.Josep P.Matondang,M.Th.
Praeses GKPA Distrik IV Jawa-Sumbagsel


Tidak ada komentar:

Posting Komentar