Jumat, 26 Maret 2010


Minggu Quasiomodogeniti, 11 April 2010 Mazmur 8:2-7


NIKMATILAH BERKAT TUHAN





BERANGKAT DARI KEHINAAN TIBA KEPADA KEMULIAAN

Perubahan yang sangat mencolok tentang manusia tampak dalam pemberitaan Mazmur fasal 8 ini. Bahwa manusia hina kemudian menjadi makhluk mulia dinyatakan secara sederhana. Mazmur Daud ini menggugah hati kita merenungkan fenomena kemanusiaan yang berubah-ubah, agar kita sendiri dapat memilih posisi dan sikap yang benar di mata Tuhan.

Marilah kita membaca teks ini secara cermat dan baik. “8:2 Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi! Keagungan-Mu yang mengatasi langit dinyanyikan. 8:3 Dari mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu telah Kauletakkan dasar kekuatan karena lawan-Mu, untuk membungkamkan musuh dan pendendam. 8:4 Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: 8:5 apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? 8:6 Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. 8:7 Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya.”

Dari ayat 2-7 kita memahami kalimat tentang siapa manusia itu. Firman ini menggambarkan secara terus-terang manusia sebagai makhluk yang hina, namun Allah telah melakukan rancangan yang ajaib, yang meninggikan manusia. Ada tujuh ungkapan dalam nas ini yang memosisikan manusia di tengah seluruh alam ciptaan Allah. Penempatan manusia oleh Allah di tengah jagad raya ciptaan Tuhan itu pastilah didasarkan atas tujuan mulia untuk mencapai karakter luhur, bagi kemuliaan Tuhan. Mari kita coba pahami posisi dan tugas tersebut dalam lingkup manusia apa adanya.
Pertama: “Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi! Keagungan-Mu yang mengatasi langit dinyanyikan” (8:2). Manusia menyanyikan pernyataan hebat ini, bahwa keagungan dan kemuliaan Tuhan tetap menjadi prioritas bagi dirinya. Kemuliaan Tuhan tetap mengatasi langit. Kedudukan Pencipta tetaplah di atas dari ciptaan. Tuhan adalah Penguasa Tunggal atas seluruh ciptaan. Manusia harus menyanyikan dan menyadari hal itu untuk dirinya sendiri, agar manusia dapat mengajarkannya kepada seluruh makhuk bumi.

Kedua: ”Dari mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu telah Kauletakkan dasar kekuatan karena lawan-Mu, untuk membungkamkan musuh dan pendendam” (8:3). Sarana yang dipakai manusia untuk memuliakan Tuhan adalah dirinya sendiri, apa adanya, pola pikirnya yang masih murni, polos, spontan, tidak neko-neko. Dalam hal melakukannya, manusia tidak memanfaatkan (memakai apalagi mencuri) pemujian Tuhan itu untuk kepentingan diri sendiri. Bayi dengan apa adanya ia menjadi patokan dasar dari kemurnian dan keikhlasan kita memuji Tuhan. Sekaligus itulah senjata kita untuk dapat membungkam seluruh lawan-lawan Tuhan. Kelemahan, ketidakmampuan, bahkan hanya senyum dan tangisan, itulah senjata kita untuk menang di dalam Tuhan. Hanya dua rupa komunikasi seorang bayi: menangis (sedih) dan tersenyum (gembira). Dalam kedua pola inilah kita patut memuji Tuhan, ketika kita berduka dan bergembira, di saat kita gagal maupun sukses, pada waktu kita beruntung maupun rugi. Memuji Tuhan dalam semua kondisi kehidupan.

Ketiga: “Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan” (8:4). Pada ayat ini, manusia sudah mulai menyadari kemaha-akbaran Tuhan oleh semua ciptaan-Nya. Sungguh, manusia perlu melihat hamparan cakrawala itu, manusia patut berkeinginan memahami misteri bulan dan bintang-bintang, agar manusia sadar diri akan kesederhanaan, kenistaan – hametmeton ni dirina; namun di balik itu ia dapat menikmati langit, bulan dan bintang-bintang untuk menghibur dan memuaskan jiwa dan hatinya memuji Tuhan dalam sukacitanya.

Keempat: “Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?” Pertanyaan ini juga ditanyakan penulis Surat Ibrani (Ibr. 2:6) yang menunjukkan betapa pentingnya hal ini dipahami. Siapakah sesungguhnya manusia? Alkitab terjemahan Indonesia menyebut kata ‘manusia’ sebanyak 846 kali dari kitab Kejadian 1:26 hingga kitab Wahyu 21:17. (Di Bibel Batak Toba, disebut 1912 kali. Dan lebih banyak lagi dalam Alkitab King James Version, manusia disebut 4536 kali). Memang bagi Tuhan manusia itu berharga dan mulia; Manusia itulah yang merendahkan dirinya dan masuk ke jurang maut. Manusia pada titik yang paling rendah nyata dalam diri Yesus yang dihina dan disiksa oleh karena dosa dan kejahatan manusia. Dalam Yoh 19:5 dikatakan: Lalu Yesus keluar, bermahkota duri dan berjubah ungu. Maka kata Pilatus kepada mereka: "Lihatlah Manusia itu!" Yesus sendiri yang menyatakan diriNya Anak Manusia yang dipermuliakan pada akhir semua zaman. Wahyu 14:14 mencatat (“Anak Manusia” 85 kali disebut dalam Perjanjian Baru): “Dan aku melihat: sesungguhnya, ada suatu awan putih, dan di atas awan itu duduk seorang seperti Anak Manusia dengan sebuah mahkota emas di atas kepala-Nya dan sebilah sabit tajam di tangan-Nya.” Sesungguhnya manusia itulah centrum maksud dan pengasihan Allah, sehingga Tuhan Yesus datang ke dunia ini (Yoh 3:16).

Kelima: “Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah”. (8:6a). Manusia dipersamakan dengan Allah. Posisi ini lebih tampak dalam fungsi pemeliharaan atas seluruh ciptaan. Daya cipta atau kreativitas yang ada pada manusia merupakan buah keillahian Tuhan dalam diri manusia. Kalau manusia pertama diciptakan dari debu tanah, manusia disuruh beranak-cucu untuk melanjutkan penciptaan itu. Manusia segambar dengan Allah, sehingga manusia mempunyai citra, sifat, tabiat dan nilai-nilai yang agak bersamaan dengan milik Tuhan. Kata “hampir sama seperti” menyadarkan kita bahwa setinggi apa pun posisi manusia, walau bagaimana pun hebatnya ia, manusia tetaplah manusia. Kita harus rendah hati dan sadar akan anugerah kasih Tuhan. Walau hampir sama seperti Allah, kita tetaplah membutuhkan ksih dan penyelamatan dari Tuhan.

Keenam: “dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat” (8:6b). Mahkota yang dimiliki manusia adalah kemuliaan dan hormat. Mahkota kehidupan dijanjikan akan diberikan kepada orang yang setia sampai mati (Wahyu 2:10c). Manusia diberi mahkota karena ia sudah berjuang dalam ketaatan dn kesetiaannya kepada Tuhan. Seorang penulis menegaskan: “No crown without cross” – Tidak ada mahkota tanpa salib. Tidak ada medali tanpa kemenangan dalam pertandingan. Manusia yang telah dimahkotai adalah manusia yang sudah teruji, lalu terpuji, karena sudah menjadi pemenang.

Ketujuh: “Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya (8:7) kambing domba dan lembu sapi sekalian, juga binatang-binatang di padang (8:8) burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut, dan apa yang melintasi arus lautan (8:9). Manusia diberi kuasa untuk mengelola seluruh ciptaan milik Tuhan. Semuanya adalah milik, kekayaan, untuk kepentingan Tuhan; dan manusia hanya sebagai “pengelola” yang tentu saja boleh turut menikmatinya, namun tidak menikmatinya seperti seorang pencuri, sebagai orang asing, juga bukan seorang pelahap dan perusak, tetapi menikmati semua kekayaan Tuhan dengan penuh rasa syukur dan penuh tanggung jawab. Kuasa dan peluang serta berkat yang kita peroleh dari kemurahan Tuhan mestilah kita jalani dengan penuh rasa syukur, tanggung jawab dan dengan sukacita. Hanya dengan itu kita dapat mengakhirinya dengan pernyataan yang besar ini: “Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi!” (8:10). Amin.




Pdt. DR. M. Frans Ladestam Sinaga
HKBP Tangerang Kota

Tidak ada komentar:

Posting Komentar