Kamis, 18 November 2010

Renungan: ”MEMBERITAKAN FIRMAN” (Kis. 17:10-15)

widgeo.net


”MEMBERITAKAN FIRMAN” (Kis. 17:10-15)


Teks ini berbicara secara tematis, maka kita akan coba melihat tema ini secara keseluruhan. Apa yang harus kita pelajari dalam teks ini untuk kita sampaikan kepada anak-anak? Pertama, kita harus memberitakan Injil.  Untuk menjadi pemberita Injil, kita harus mengalaminya terlebih dahulu. Dalam mencari jiwa-jiwa, kita akan menemukan bermacam-macam penyakit rohani. Di kemudian hari, setiap jiwa yang kita telah perkenalkan kepada Yesus Kristus akan menghadapi bermacam-macam pencobaan dan rintangan yang lain lagi.  Beberapa pemberian rahmat Yesus yang perlu dialami adalah:
a. Hidup baru: Kalau saudara sendiri belum diselamatkan menjadi Anak Allah, saudara perlu dilayani, bukan melayani. Kalau kelahiran baru belum saudara alami, betapa baiknya untuk menerima Yesus sekarang karena tak mungkin saudara selamat tanpa pembaharuan itu (Yohanes 3:3,5; 1:12).
b. Kepastian selamat: Apakah saudara telah mendapatkan kepastian bahwa dosa-dosa saudara telah diampuni dan bahwa saudara telah memiliki tempat di sorga? Kepastian yang mutlak hanya diperoleh melalui Firman Allah. Kalau Tuhan mengatakan bahwa saudara telah selamat tentu saudara telah selamat (1Yohanes 5:13; Yohanes 5:24; Yohanes 1:12; 1Petrus 2:24). Si iblis akan menertawakan segala dasar kepastian yang lain karena dasar-dasar yang lain itu hanyalah khayalan belaka.
c. Kemenangan terhadap godaan: Saudara telah disuruh supaya hidup dengan suci serta sempurna (Matius 5:8; 5:48; Roma 6:6). Iblis akan mengusahakan kelakuan yang bukan-bukan dengan maksud menodai dan meniadakan kesaksian saudara. Tetapi Iblis itu ompong, ia hanya dapat mengaum saja. Ia tidak berdaya lagi, karena giginya telah tercabut pada salib (1Yohanes 3:8b; Roma 6:14). Melalui iman terimalah segala rahmat kemenangan yang telah disediakan Yesus (1Korintus 15:57; 10:13; Filipi 4:13).
d. Persekutuan dan persaudaraan dalam kasih: Yesus tidak bermaksud supaya saudara hidup dan bertahan seorang diri. Ia telah merencanakan suatu lingkungan khusus demi pertumbuhan iman saudara. Persekutuan itu menggantikan segala kerugian di dunia luar (Markus 10:29,30). Persekutuan dengan Yesus sendiri melalui doa dan Alkitab, dan persekutuan kasih dengan saudara-saudara seiman menjadi sumber penyegaran dan penghiburan bagi saudara dalam dunia yang kering ini.
Kedua, kita harus siap menolong orang lain agar mereka beroleh keselamatan dari Kristus. Bila dalam lingkungan masyarakat terkecil (keluarga) saja tidak ada lagi sikap saling menolong, bagaimana mungkin kita mengharapkan perilaku altruist ini muncul di luar lingkungan keluarga, yakni di masyarakat kita sendiri?
Altruism adalah bentuk memberi pertolongan atau bantuan secara iklhas, tanpa pamrih.  Tidak ada kepentingan pribadi, apalagi motif menguntungkan baginya. Orang seperti ini mengabaikan diri sendiri demi kepentingan kesejahteraan, kesenangan atau keselamatan orang yang ditolong. Jangankan perilaku altruist, banyak contoh sikap maupun perilaku di berbagai berita baik koran maupun tv, sebagai gambaran perilaku pro-social pun semakin sulit didapat.  Pro-social merupakan gambaran perilaku mudah menolong orang lain yang dilandasi faktor-faktor yang lebih luas dibanding altrust. Adalah Sears & Paplau yang mengemukakan bahwa sikap pro-social dalam diri seseorang banyak dipengaruhi  kedekatan hubungan seseorang.  Perilaku muncul karena adanya kecocokan, tuntutan sosial atau kepentingan pribadi.  Lihatlah sebagian besar kehidupan masyarakat metropolitan, orang lain sudah tidak lagi dipandang sebagai mahkluk yang perlu mendapat bantuan atau pertolongan.  Keluarga masing-masing sibuk dengan kepentingannya, saling tidak mau mengganggu atau diganggu.  Pengajaran maupun praktik perilaku pro-social,  apalagi  menolong tanpa pamrih menjadi sangat minimal dan bahkan kurang nampak.
Mengapa Menolong ? Harus diakui hidup di kota metropolitan sangat berbeda dengan mereka yang hidup di kota kecil. Sebagian besar aktivitas dilandasi oleh motif dan tujuan yang jelas.  Karenanya perilaku menolong orang lain tanpa motif bisa jadi sudah sulit ditemui di kota besar.  Bisa jadi ini akibat tekanan kehidupan metropolitan entah dari segi ekonomi maupun sosial. Orang hidup dalam kejaran waktu, kurang peduli dengan situasi lingkungan, rasa takut dan curiga berlebihan pada orang lain bertumbuh.
Pandangan teoritis mengapa seseorang memutuskan untuk memberikan bantuan kepada orang lain menjadi kabur karena beberapa  faktor, diantaranya adalah sebagai berikut.  Pertama, orang menjadi kurang peka terhadap urusan atau masalah orang lain. Situasi atau orang  yang memerlukan bantuan dipersepsikan sebagai situasi atau hal yang umum dan biasa terjadi. Untuk memberi bantuan orang juga cenderung menilai terlebih dahulu apakah situasi tersebut memerlukan bantuan atau tidak. Kedua, ketika  “hati nurani”  sudah tidak merespon dan terusik oleh sebuah masalah, tingkat tanggung jawab menjadi berkurang, bahkan tidak ada atau merasa bukan menjadi tanggung jawabnya sehingga menajdi cuek  atau egp – emang gue pikirin.  Ketiga, bagi sebagian orang yang nuraninya tergerak, keputusan menolong baru akan dilakukan dengan terlebih dahulu memperhitungkan untung rugi. Intinya, dengan memberikan pertolongan apakah membahayakan dirinya, menyita waktunya atau bahkan dengan menolong kemudian akan menjadikan  masalah  baginya. Sebagai contoh sering kita dengar kasus  penodongan, pencopetan atau bentuk kekerasan lain terhadap orang lain dan kita tidak bisa berbuat apapun untuk menolongnya.  
Ternyata memberi bantuan atau menolong orang lain pun perlu dukungan keamanan, dalam hal ini lingkungan dan sosial yang kondusif untuk dapat mengembangkan perilaku pro-social. Meski begitu,  kita berharap perilaku pro-social tetap perlu ditingkatkan. Pendidikan baik di rumah maupun di sekolah mengenai hal ini tetap harus dilakukan. Memang tidak mudah untuk mewujudkan perilaku pro-social, khususnya pada mereka yang hidup di kota metropolitan ini. Karenanya, contoh dan teladan bagi anak-anak dari orangtua mutlak dilakukan. Semua perlu dilakukan secara dini guna menumbuhkan kepekaan dan mengasah  empathy  kita sebagai landasan  perilaku pro-social di masyarakat.  Barangkali terlalu naïf  hari gini bicara”hati-nurani” dan  “pro-social”, tetapi siapa lagi kalau bukan kita yang harus mau mempraktikannya.



Ramli SN Harahap           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar