Epistel Minggu 15 November 2009 Yesaya 43 : 8 - 13
Minggu XXIII Setelah Trinitatis
ALLAH YANG SETIA:
Melihat Hukuman sebagai Kesempatan Membarui Diri
Pendahuluan
Yesaya pasal 40-55 dialamatkan kepada orang Israel yang hidup dalam pembuangan di Babel. Bagian ini disebut dengan Deutero Yesaya/Yesaya II, ditulis kira-kira antara tahun 546 dan 538 sM. Firman Tuhan yang diberitakan dalam Deutero Yesaya disampaikan pada saat Raja Koresy telah menaklukan Babel dan negeri-negeri sekitarnya dan menjadi penguasa atas sebagian besar Timur Tengah. Koresy merupakan raja yang bijaksana, yang menghormati agama bangsa-bangsa lain. Oleh sebab itu, ia membangun kembali tempat-tempat peribadatan yang telah runtuh dan mengizinkan orang-orang buangan untuk pulang ke negeri mereka masing-masing. Di sini sesungguhnya ia merupakan raja yang dipakai dalam tangan Allah Israel untuk membebaskan umat pilihan-Nya dari Babel.
Ketika Koresy mengalahkan Babel dan berkuasa atasnya, bangsa Israel telah menjalani pembuangan di negeri itu empat puluh tahun lamanya. Waktu yang demikian lama membuat bangsa itu bertanya-tanya apakah sejarah mereka sebagai bangsa pilihan Allah telah berakhir? Keputusasaan karena belum kunjung datang kebebasan dan kemerdekaan membuat sebagian umat Israel di pembuangan berpikir bahwa Allah Yahwe sudah tidak setia lagi kepada mereka (bnd. Yes. 40:27; 49:14), Ia telah meninggalkan mereka dan melupakan janji-Nya. Bahkan, sepertinya Allah tidak punya kuasa untuk membebaskan mereka dari tangan bangsa-bangsa asing (bnd. Yes. 49:24). Hidup dalam ketidakmenentuan masa depan dan ketidakbebasan yang demikian membuat sebagian umat Israel yang berada di pembuangan lalu berpaling mencari pertolongan kepada dewa-dewa setempat. Banyak juga yang masih mengaku percaya kepada Allah Yahweh namun menaruh harapan kepada kuasa-kuasa lain.
Dalam konteks inilah penulis Deutero Yesaya menyampaikan firman Tuhan, firman yang membangkitkan kembali kepercayaan umat buangan kepada Allah dengan mengingatkan tentang kuasa Allah, kemurahan-Nya sebagai Allah yang memilih Abraham dan keturunannya, dan kasih-Nya dalam pembebasan mereka dari Mesir. Dan inti atau pokok pemberitaan Deutero Yesaya ini adalah janji keselamatan. Firman yang mengembalikan kepercayaan umat kepada Allah dan yakin akan berita keselamatan itu di dalamnya tercakup bagian pembacaan di atas.
Tafsiran
Ayat 8-10:
Ayat 8-13 bagian pembacaan kita merupakan firman pengadilan. Disebut seperti itu karena bentuk penyampaian firman ini seperti dalam suasana mengadili. Bangsa Israel biasanya mengadili suatu perkara di depan umum, tempat terbuka dekat gerbang kota, di mana ada imam, hakim, tua-tua, nabi dan warga masyarakat. Ayat 8-9 mirip dengan suasana yang demikian. Dalam ayat ini, perkara yang akan diputuskan ialah siapakah yang patut diakui sebagai Allah (ingat! Kesengsaraan di pembuangan membuat bangsa Israel mengalami krisis kepercayaan kepada Allah). Semua bangsa-bangsa diundang untuk memberi kesaksiannya. Yang menjadi saksi pada pihak Allah adalah bangsa Israel sendiri. Mereka berhadapan dengan bangsa-bangsa yang buta dan tuli sekalipun sebenarnya bangsa-bangsa itu mempunyai mata dan telinga sebagai saksi dari pihak ilah-ilah lain.
Pesimisme dan keputusasaan sedemikian menggerogoti bangsa Israel sehingga mereka sepertinya tidak sabar menunggu tindakan Allah yang segera untuk membebaskan mereka. Hal itu membuat mereka nyaris tidak mampu melihat lagi bahwa sesungguhnya Allah masih dan terus akan berkarya atas kehidupan mereka khususnya dan umat manusia umumnya.
Di sini Allah mau menantang bangsa Israel untuk mempersaksikan karya-Nya yang luar biasa atas mereka sejak pembebasan dari Mesir hingga pada saat mereka di Babel sekalipun. Tantangan itu berupa meminta mereka memberikan kesaksian dalam pengadilan berhadapan dengan saksi-saksi dari ilah asing. Dan meskipun bangsa Israel ada yang sudah tidak setia lagi kepada Allah, tetapi sesungguhnya Ia setia kepada mereka. Ia tetap mau memilih mereka menjadi saksi yang agung dari karya-Nya yang agung dalam sejarah kehidupan bangsa-bangsa. Itu sebabnya dikatakan mereka hamba-Ku yang telah Ku-pilih (ay. 10), yang mana pemilihan itu dengan maksud guna pendidikan terhadap bangsa Israel sendiri (supaya kamu tahu dan percaya…dan mengerti, ay. 10) dan terhadap bangsa-bangsa lain. Allah adalah Allah yang setia, yang tidak pernah melupakan janji penyertaan dan keselamatan terhadap bangsa dan orang-orang pilihan-Nya. Kasih dan setia Allah itu tiada bertara.
Ayat 11:
Ayat 11 ini mengingatkan bangsa Israel, termasuk kita, kepada Syema yang pernah mereka ikrarkan sebagai tanda penyerahan totalitas diri dan kehidupan mereka kepada Allah Yahweh saja (Ul. 6:4-9); bahwa hanya kepada Yahweh saja mereka berbakti, dan hanya kepada Dia mereka pertaruhkan hidup dan keselamatan mereka. Mereka tidak boleh berpaling kepada yang lain, hal yang mana telah dilakukan oleh sebagian bangsa itu di negeri pembuangan Babel.
Ayat 12:
Karena sebagian dari umat Israel yang ada di pembuangan mulai melirik dan menaruh pengharapan kepada ilah-ilah lain, di sini mereka setidaknya diingatkan dan ditegaskan kembali mengenai dua hal. Pertama, hanya dari Allah saja berita yang benar mengenai kelepasan dari derita pembuangan itu berasal. Pemberitahuan tentang berita keselamatan itu hanya sungguh benar dan akan terjadi jika itu berasal dari firman yang disampaikan Allah lewat nabi-nabi pilihan-Nya, bukan nabi orang asing. Rupanya bangsa Israel lebih percaya kepada nabi-nabi Babel dalam hal jaminan kelepasan dan kebahagiaan. Mereka suka membuka telinga dan hatinya tentang kabar pembebasan dari nabi dari ilah orang asing. Kedua, keselamatan itu hanya datang dari Allah, bukan ilah-ilah asing yang disembah bangsa Israel di Babel. Bangsa Israel sebenarnya sudah melihat dan mengalami secara langsung berkat penyertaan dan keselamatan yang diberikan oleh Allah sejak pembebasan mereka dari Mesir (kamulah saksi-saksi-Ku). Hanya saja, karena penderitaan yang mendera, makanya sebagai manusia mereka mengalami degradasi dan krisis kepercayaan kepada Allah.
Ayat 13:
Allah itu kekal, bukan saja dalam keberadaan dan hakikat-Nya, melainkan juga dalam janji dan kasih-Nya. Sekali Ia mengikat perjanjian dengan orang-orang yang berkenan di hadapan-Nya, maka ikatan perjanjian itu tidak akan pernah dilupakan dan putus dengan alasan apa pun, selain karena Ia sendiri mencabutnya kembali. Makanya sekali bangsa Israel telah berada dalam rangkulan kasih Allah, ia tidak akan pernah dilupakan, dilepaskan, dan dibiarkan terus menderita. Apa yang dilakukan Allah ini tidak seorang atau suatu hal pun yang dapat mencegahnya. Maka jikalau Allah bertindak, siapakah yang dapat mencegah Dia? Tindakan Allah itu yang kemudian nyata atas kehidupan orang-orang buangan, yaitu perolehan izin, bahkan mereka difasilitasi, untuk pulang ke negerinya oleh Raja Koresy.
Renungan
Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari lingkaran krisis, yang sudah banyak disaksikan dan bahkan dialami oleh kita sendiri. Krisis hidup membuat sering kali iman orang-orang percaya mengalami guncangan, bahkan ada yang begitu hebat sehingga akhirnya sebagian anak-anak Tuhan jatuh pada sikap diri dan cara hidup yang tidak percaya lagi kepada Allah. Pesimisme merebak menggerogoti sendi-sendi kepercayaan orang-orang percaya. Sikap hidup seperti agnostik dan ateisme lahir – selain karena faktor rasionalisme – sebagai salah satu efek dari penderitaan yang dialami oleh orang-orang percaya. Sikap hidup yang demikian lebih hebat menghantam kehidupan orang-orang percaya yang menderita, padahal selama ini mereka melihat dirinya sudah hidup dalam prinsip-prinsip kristiani, dalam terang firman Tuhan, dan telah melakukan banyak kebaikan.
Melalui bagian pembacaan ini, kita selaku orang-orang percaya diingatkan kembali mengenai karya Allah yang sebenarya sudah sangat nyata dalam kehidupan kita umat ciptaan-Nya. Karya utama dan pertama yang mestinya bisa kita lihat dan selalu harus disadari adalah berkat kehidupan yang senantiasa menjadi kepunyaan kita. Pendeknya, nafas hidup. Allah tetap setia kepada kita dengan masih adanya nafas hidup yang kita hembuskan itu. Belum lagi penyertaan-Nya dalam bentuk penguatan dan penghiburan serta pertolongan orang-orang yang peduli dan prihatin dengan keadaan yang kita alamai. Ini hal yang pertama-tama yang harus kita ingat dan sadari selalu.
Hal yang kedua adalah kita harus mengubah cara pandang kita dalam melihat penderitaan yang menimpa kita. Ada orang yang memandang penderitaan sebagai hukuman Tuhan, padahal belum tentu karena penderitaan bisa saja disebabkan oleh sistem-sistem yang menindas dan tidak memberi peluang untuk kita menyejahterakan hidup. Untuk penderitaan dengan sebab ini, tentu kita harus melawan sistem-sistem yang menindas itu dengan sebisa mungkin menghindari kekerasan. Atau bisa saja karena kelalaian kita selaku manusia, misalnya banjir bandang karena kita sendiri yang tidak menjaga keseimbangan dan keharmonisan ekosistem sehingga musibah itu terjadi. Atau sekalipun ada dosa-dosa pribadi, masa lalu kita yang membuat sehingga kita menderita, semua itu harus dilihat dalam terang pembaruan diri. Hal yang negatif itu dipandang secar positif, alias positive thinking. Penderitaan ada untuk membuat orang selalu terus-menerus membarui diri, berpikir kritis terhadap segala hal, dan berani meninggalkan hal-hal yang sebenarnya mengenakkan tetapi berakhir dengan penderitaan dan kematian, baik pribadi ataupun komunal.
Oleh sebab itu, mari, kita melihat penderitaan itu sebagai sesuatu yang positif. Tidak berarti membiarkannya terus mendera hidup kita sehingga akhirnya kita menyalahkan Allah karena tidak kunjung mengulurkan pertolongan atau menyalahkan orang lain. Tetapi, kita mengubahnya, yang sekaligus berarti kita mengubah diri dan hidup kita yang lama, bahkan komunitas kita. Tuhan memberkati.
Pdt.Arifin Barimbing,STh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar