Rabu, 04 November 2009

Bacaan Minggu 29 November 2009: Wahyu 22 : 16 - 20

Epistel Minggu 29 November 2009 Wahyu 22 : 16 - 20
Minggu Advent I

“MENGAPA SALAH ARAH ?”


1. Pendahuluan
Ada orang bijak mengatakan, “Untuk mengetahui nilai satu tahun, tanyakanlah seorang siswa yang gagal dalam ujian kenaikannya; Untuk mengetahui nilai satu bulan, tanyakanlah seorang ibu yang melahirkan bayi premature; Untuk mengetahui nilai satu minggu, tanyakan seorang editor majalah mingguan; Untuk mengetahui nilai satu hari, tanyakan seorang buruh harian yang punya enam anak untuk diberi makan; Untuk mengetahui nilai satu jam, tanyakanlah seorang kekasih yang sedang menantikan untuk bertemu; Untuk mengetahui nilai satu menit, tanyakanlah seorang yang ketinggalan kereta; Untuk mengetahui nilai satu detik, tanyakanlah seorang yang selamat dari kecelakaan; Untuk mengetahui nilai satu milidetik, tanyakanlah seorang yang memenangkan medali di olimpiade. Menarik sekali, persoalan demi persoalan dan pergumulan demi pergumulan setiap orang memiliki nilai yang berbeda sesuai dengan waktu dan kesempatan yang ada buat kita di dunia ini. Sejauh mana kita merasakan kehadiran Tuhan dalam hidup kita, apakah dia ada dan tahu setiap pergumulan yang telah kita lalui, untuk menunjukkan arah perjalanan hidup kita?
Hubungan dan pengenalan kita akan Tuhan di zaman yang semakin canggih seperti sekarang ini patut dipertanyakan. Teknologi telah menjadi pilihan utama umat manusia salah satunya karena dengan sekejap mata dapat mempengaruhi masyarakat dunia di manapun berada. Informasi dengan mudah menyebar ke seluruh dunia tanpa ada yang bisa mengontrolnya. Siapa saja yang mempunyai akses dan menguasai teknologi komunikasi mutakhir di manapun ia berada, ia dapat dengan mudah dan leluasa berinteraksi dengan dunia. Lahirlah zaman yang menghadirkan keadaan yang serba “kontradiksi,” di mana kita hidup di zaman yang maju tetapi di lain tempat lain banyak yang masih mundur, di satu tempat kaya tetapi di tempat lain miskin. Pada satu pihak persaingan; pada pihak lain ketergantungan; Pada satu pihak rasionalisme (IPTEK), materialisme (bisnis), objektivisme (profesionalisme), pada pihak lain religiositas yang diwarnai unsur-unsur emosi dan spritualitas yang amat tinggi; kontradiksi antara pada satu pihak, mencair dan melenyapnya, batas-batas pemisah antara manusia yang lama, namun pada pihak lain muncul sentimen-sentimen primordialisme, kesadaran identitas yang sempit, fanatisme yang ekstrem.

2. Isi
Firman Tuhan yang baru kita baca bersama dari kitab Wahyu melihat jelas persoalan kita saat ini. Nama kitab ini “Wahyu” dalam bahasa Yunani disebut apokalupsis artinya: penyingkapan. Dalam bentuk kata kerja dipakai kata apukaluptoo artinya: membuka, menyatakan, menyingkapkan sesuatu yang tadinya tersembunyi sehingga menjadi nampak. Apokaliptik adalah suatu gerakan yang mulai ada terutama sesudah masa pembuangan Israel. Alam pemikiran apokaliptik semakin berkembang sekitar abad II SM pada masa Antiokhius IV sampai abad II M. Penulis memperkenalkan diri sebagai Yohanes (1:1,4; 22:8). Jemaat yang disapa dalam kitab ini diancam dari dua sisi, yaitu dari dalam dan dari luar. Ancaman dari dalam adalah orang-orang Yahudi yang bukan Kristen. Mereka melakukan hasutan untuk melawan orang Kristen (2:9; 3:9). Ada juga bidat-bidat yang bermunculan dalam jemaat untuk menyebarkan ajaran sesat. Ancaman dari luar berupa penganiayaan, bagi siapa yang tidak menyembah kaisar dan patungnya akan dikucilkan bahkan dibunuh (13:16-17:5). Semuanya itu didalangi oleh naga artinya setan (12:13). Dalam menghadapi situasi demikian Firman Tuhan menasehati mereka agar tetap tabah dalam menghadapi penderitaan itu. Sebab penderitaan itu hanya sebentar saja. Pada waktunya Yesus akan datang kembali dan membinaskan Babel dan setan itu dan Ia akan membaharui bumi ini serta memerintah sebagai Raja. Dan orang-orang kudus selamanya bersama Tuhan di sorga. Wahyu 22 adalah salah satu bagian utama dalam kitab Wahyu setelah di pasal sebelumnya ada penghakiman (4-18), lalu disusul dengan pertempuran melawan musuh-musuh Kristen dan berakhir dengan kejatuhan Babel (12-18). Kemudian muncul kemenangan terakhir (19:1-22:5). Dan ditutup dengan perikop khotbah kita saat ini, dengan perintah untuk memberitakan apa yang telah dilihat karena akhir zaman sudah dekat (22:10,22).
Perikop kita sungguh menarik, karena kita bisa melihat sebuah sebutan yang baru terhadap Tuhan Yesus. Di situ Tuhan Yesus disebut bintang pagi. Di situ tertulis, “Aku Yesus... adalah tunas, yaitu keturunan Daud, bintang timur yang gilang gemilang” (Wahyu 22:16). Dalam terjemahan Alkitab Kabar Baik tertulis,”... Aku ini keturanan Daud, Akulah bintang pagi yang terang itu.” Memang terjemahan yang lebih tepat adalah bintang pagi, sebab dalam Alkitab Yunani ditulis ho aster ho lampros ho prooinos , yang berarti bintang pagi yang cemerlang. Di ayat ini seorang Nabi yang bernama Yohanes menyebut Tuhan Yesus sebagai bintang pagi. Firman Tuhan ingin menunjukkan kepada kita bahwa Tuhan Yesus adalah bintang yang dinubuatkan oleh Bilem ketika ia bertutur,”… aku memandang dia, tetapi bukan dari dekat: bintang terbit dari Yakub (Bil. 24:17). Sebagaimana bintang pagi merupakan tanda kedatangan fajar atau hari yang baru, demikian Tuhan Yesus adalah pembawa hari keselamatan atau pembawa tanda kedatangan zaman baru, yaitu zaman keselamatan. Selain itu juga penekanan kekuasaan Tuhan Yesus.
Sebutan Tuhan Yesus sebagai bintang pagi memang menarik, sebagaimana para nelayan di tengah laut membutuhkan pedoman pedoman untuk mengetahui arah, demikian juga kita membutuhkan pedoman untuk mengetahui arah jalan hidup kita pada setiap hari yang baru. Lalu di sini kita meneima kepastian bahwa Tuhan Yesus tampil sebagai pedoman arah, supaya kita mengetahui arah yang benar, yaitu apa yang harus kita pikirkan dan kita perbuat pada hari ini. Tuhan Yesus adalah bintang pagi yang menjadi pedoman arah perilaku kita pada setiap hari yang baru. Bisa kita bayangkan apa jadinya kita berlayar di laut lepas tanpa pedoman arah. Kita akan tersesat. Itulah juga yang dapat terjadi jika kita bangun pagi lalu langsung berlayar di hari kerja yang baru tanpa terlebih dahulu mencari tahu mana arah yang betul. Tetapi untunglah tiap pagi Tuhan Yesus menyediakan diriNyasebagai penunjuk arah.

3. Refleksi & Kesimpulan
Bintang Timur sebagai penunjuk arah, artinya Allah lebih penting dari pada agama seperti kasih lebih penting dari pada iman (1Kor. 13:13). Rasa sinis dan kekecewaan dan yang dihadapi oleh banyak orang di mana-mana membuat zaman ini semakin kacau, baik di bidang sosial, moral, pemikiran maupun spritualitas karena telah kehilangan arah. Di zaman globalisasi saat ini ditandai dengan proses keterhubungan (interconnectedness) seluruh pelosok bola bumi pada tingkat keluasan (extensity), kecepatan (velocity), kekuatan (intensity), dan dampak (impact) yang luar biasa yang belum pernah terbayangkan sebelumnya, dengan penguasaan pasar yang dilakukan lewat media teknologi. Menggunakan teknologi komunikasi mutakhir negara-negara maju dengan mudah melakukan transaksi perdagangan menembus batas-batas negara dalam waktu sangat cepat dan singkat. Sehingga krisis ekonomi yang kita alami seperti saat ini berdampak bagi seluruh negara.
“Apa yang sebenarnya kita cintai dan kasihi dalam hidup ini? Firman Tuhan hari ini menyapa kita untuk menemukan arah dalam hidup kita untuk mengenal dan merasakan sumber kasih yang kita rasakan itu. Siapa yang mengasihi, lahir dari Allah. Kasih Allah adalah tentang bagaimana, bukan apa. Kasih bukanlah sebuah makna untuk memberi defenisi, tetapi sesuatu untuk dilakukan, sesuatu untuk dibuat. Kasih Allah tidak dijelaskan dalam sebuah dalil tetapi kesaksian, dimainkan dan ditampilkan. Hidup manusia bukanlah serupa dengan batu di ruang hampa, dalam arti senantiasa sama sejak awal ampai akhir, melainkan menyejarah dengan kata lain dalam perkembangan hidup manusia pada umumnya tidak disediakan jalan pintas. Apabila orang dengan paksa mau mengusahakan jalan pintas (entah bidang pengetahuan atau perasaan dan sebagaianya), biasanya akan merusak keseimbangan pribadi dan malah dapat menghancurkan si pribadi sendiri. Dengan kata lain panggilan hidup manusia menuntut sepenuhnya tanggung jawab dari setiap pribadi.
Kenapa kita percaya Tuhan? Karena Allah mendunia, memanusia merangkum seluruh dunia dalam pelukannya, melintasi batas dunia, menembus batas-batas budaya, seluruh umat manusia diterima Allah siapa saja, dimana saja, dia melampaui batas-batas aliran dan denominasi, menghancukan ekslisivisme. Dia adalah hadiah bagi semua orang. Dia mempertaruhkan segala sesuatu termasuk diriNya untuk menawarkan dan mewujudkan kesukaan bagi dunia. Dia menyatakan solidaritasnya yang penuh terhadap penderitaan manusia. Dia mengosngkan dirinya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia. Dia tidak menyembunyikan fakta walaupun manusia menolaknya Dia menerima manusia dan melepaskan manusia dari topeng-topeng kepalsuan yang hanya terpikat pada sesuatu yang besar, tinggi dan banyak. Pada hal jutru disitulah manusia banyak tertipu. Dia mengajak kita untuk mencintai yang kecil, lemah, dan sederhana. Mengajak kita untuk menukik sampai ke inti.
Latihlah kebiasaanmu. Kebiasaanmu akan menjadikanmu sukses atau hancur. Sebab “Apa yang kamu dapatkan adalah apa yang kamu lihat”. Mula-mula kita yang membentuk kebisaan kita lama kelamaan kebisaan kitalah yang membentuk kita. Taburkanlah suatu pikiran, maka kamu akan menuai perbuatan; taburkanlah suatu perbuatan maka kamu akan menuai kebiasaan; Taburkanlah suatu kebiasaan, maka kamu akan menuai karakter; Taburkanlah suatu karakter maka kamu akan menuai takdir. Lihat dan kenalilah Bintang Timur penunjuk arah. Amen Tuhan Berkati.



C.Pdt.Maruasas.SP.Nainggolan S.Si (Teol)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar