Selasa, 16 Februari 2010

Bacaan Minggu Sexagesima, 7 Pebruari 2010 : Samuel 8:1-9






Minggu Sexagesima, 7 Pebruari 1 Samuel 8:1-9


UMAT YANG MEMBERONTAK


Pengantar


Apakah hal yang sangat penting di dalam kehidupan Kristen? Apakah rajin ke Gereja? Giat di dalam berbagai aktivitas, seperti paduan suara, mengajar Sekolah Minggu, dan lain-lain? Jawabnya, adalah ketaatan. Ketaatan merupakan unsur yang sangat penting dan sangat didambakan terjadi di dalam kehidupan Kristen. Ketaatan, merupakan hal yang sangat memperkenankan hati Allah. Semua kegiatan tersebut di atas, adalah baik. Tetapi tanpa ketaatan kepada Allah, kegiatan tersebut tidak banyak gunanya. Bahkan tanpa ketaatan, kegiatan seperti itu, dapat dijadikan tameng untuk menutupi segala kelamahan dan dosa serta hidup munafik. Itulah sebabnya, seruan untuk hidup taat, terus menerus diserukan oleh Allah kepada umat-Nya, baik melalui nabi-nabi Perjanjian Lama, mau pun oleh Tuhan Yesus sendiri dan rasul-rasul-Nya di dalam Perjanjian Baru.
Meskipun demikian, hasilnya tidaklah selalu seperti yang diharapkan. Cukup sering hal yang sebaliknya yang terjadi, yaitu umat yang memberontak kepada Allah. Tentu saja, pemberontakan merupakan sesuatu yang tidak diperkenankan Allah. Hal itu, bukan hanya membuat Allah sedih, tapi dapat juga membangkitkan amarah-Nya. Itulah yang dapat kita pelajari dari bacaan epistel hari ini.


Pembahasan

Sembilan ayat pada kitab 1 Samuel pasal delapan, dapat kita baca menjadi tiga bagian. Pertama, tindakan Samuel mengangkat kedua anaknya menjadi hakim (1-3). Kedua, penolakan tua-tua Israel atas pengangkatan anak-anak Samuel tersebut (4-6). Ketiga, respons Allah atas penolakan tua-tua Israel (7-9). Untuk lebih jelasnya, kita akan membahasnya satu demi satu.

1. Samuel mengangkat kedua anaknya (1-3).

Alkitab menegaskan bahwa Samuel memerintah sebagai hakim atas orang Israel seumur hidupnya (1Sam.7:15). Dan dalam kitab 1 Samuel pasal 7 kita dapat membaca kemenangan besar bangsa Israel atas Filistin. Hal itu terjadi di bawah kepemimpinan Samuel, hakim terakhir bangsa Israel. Dengan jelas kita dapat membaca bagaimana Alkitab menggambarkan kemengangan tersebut. “Demikianlah orang Filistin itu ditundukkan dan tidak lagi memasuki daerah Israel. Tangan TUHAN melawan orang Filistin seumur hidup Samuel” (13). Lalu selanjutnya, kita dapat membaca bagaimana Israel kembali merebut kota-kota yang sebelumnya telah diambil alih bangsa Filistin “… kota-kota yang diambil orang Filistin dari pada Israel, kembali pula kepada Israel, mulai dari Ekron sampai Gat; dan orang Israel merebut daerah sekitarnya dari tangan orang Filistin” (14). Tentu saja, kemenangan yang gemilang tersebut perlu dipertahankan.
Bagaimana caranya? Mungkin untuk itulah Samuel, ketika dia sudah menjadi tua memilih orang-orang kepercayaannya, yaitu anak-anaknya sendiri, yaitu Yoel dan Abia menjadi hakim atas orang Israel (8:1). Mereka berdua ditempatkan di wilayah paling Selatan Israel, yaitu di Bersyeba. Namun sangat disayangkan, Alkitab menyatakan bahwa kedua anak Samuel tersebut tidak hidup mengikuti teladan ayahnya. Ada tiga kejahatan yang secara khusus disebutkan yang dilakukan oleh Yoel dan Abia: mengejar laba, menerima suap dan memutarbalikkan keadilan. Dengan perkataan lain, kedua anak Samuel, hidup sedemikian materialistis. Untuk itu, mereka tidak dapat bertindak lurus sesuai dengan kebenaran firman Tuhan sebagaimana diserukan oleh ayahnya.

2. Penolakan tua-tua Israel (4-6).

Kita tidak mengetahui secara jelas apa yang menjadi alasan dan motivasi Samuel untuk mengangkat kedua anaknya menjadi hakim. Namun satu hal sangat jelas: ternyata tindakan tersebut tidaklah diterima umat dengan mulus. Sebaliknya, terjadi penolakan yang sangat keras dari umat. Itulah sebabnya, semua tua-tua Israel berkumpul dan menyatakan keberatannya. Alasan penolakan dinyatakan dengan jelas dan tegas, karena anak-anaknya tidak hidup seperti Samuel (5). Selanjutnya, mereka menyampaikan permintaan mereka untuk memiliki seorang raja yang akan memerintah mereka (6).

Dapat dipahami bahwa penolakan tersebut menyedihkan hati Samuel. Atau lebih tepatnya, membuat hati Samuel kesal (6). Namun dalam kekesalan tersebut, ada hal yang sangat menarik. Ternyata Samuel tidak terbawa emosi dan berespons balik secara negatif kepada para tua-tua serta bangsa Israel. Samuel melakukan sesuatu yang sangat baik untuk diteladani, yaitu berdoa kepada Tuhan (6).

3. Respons Allah (7-9).

Mengapa bangsa Israel meminta seorang raja? Ada beberapa kemungkinan. Pertama, sebagaimana disebutkan di atas, karena mereka tidak mau menerima kedua anak Samuel untuk memerintah mereka. Hal itu telah dinyatakan kepada Samuel secara tegas. Kedua, karena sesungguhnya, kedua belas suku Israel, terus mengalami masalah di antara mereka. Tiap-tiap suku yang tinggal di wilayah masing-masing serta dipimpin oleh pemimpin masing-masing, seringkali mengalami konflik. Dengan demikian, mereka mengharapkan adanya seorang raja yang dapat menyatukan mereka. Ketiga, bangsa Israel ingin hidup seperti bangsa-bangsa di sekitarnya, yang tidak percaya dan taat kepada Allah. Mereka ingin mengatur diri mereka sendiri.
Dengan demikian, sikap bangsa Israel tersebut di atas, yang menolak kedua anak Samuel dan memnta seorang raja, sesungguhnya bukan hanya menunjukkan penolakan kepada Samuel, tetapi terutama kepada Allah sendiri. Itulah kemudian yang ditegaskan oleh Allah: “… sebab bukan engkau yang mereka tolak, tetapi Akulah yang mereka tolak, SUPAYA JANGAN AKU MENJADI RAJA ATAS MEREKA (7).

Sesungguhnya, pemberontakan umat tersebut di atas, yang menolak Allah sebagai Raja dan Pemimpin mereka, tidak hanya terjadi pada masa Samuel. Sebelumnya, bangsa Israel juga pernah meminta agar Gideon memerintah mereka (Hak.8:22).
Namun, Gideon dengan tegas menolak permintaan itu. Jawab Gideon kepada mereka: "Aku tidak akan memerintah kamu dan juga anakku tidak akan memerintah kamu tetapi TUHAN yang memerintah kamu." (Hak.8:23). Artinya, Gideon menyadari sepenuhnya bahwa dia hanyalah alat di tangan Tuhan. Dia tidak mau mengambil alih kepemimpinan Tuhan atas umatNya. Selain di masa Gideon, jauh sebelum itu, bahkan pada hari Allah menuntun mereka keluar dari perbudakan dan penganiayaan di Mesir, mereka juga melakukan berbagai kejahatan di hadapan Tuhan.. Itulah sebabnya, pada ayat selanjutnya dari bacaan epistle hari ini, kita membaca kekecewaan Allah atas kejahatan dan pemberontakan umat-Nya. “Tepat seperti yang dilakukan mereka kepada-Ku sejak hari Aku menuntun mereka keluar dari Mesir sampai hari ini, yakni meninggalkan Daku dan beribadah kepada allah lain, demikianlah juga dilakukan mereka kepadamu” (8). Dengan demikian, ketika Allah memerintahkan Samuel untuk mendengarkan permintaan tua-tua tersebut (9), itu tidak berarti Allah berkenan kepada mereka. Dalam kenyataannya, setelah Saul diurapi menjadi raja pertama untuk memimpin Israel, berbagai masalah dan pemberontakan muncul. Bahkan, Saul sendiri memberontak dan melakukan berbagai hal yang mengecewakan dan menyakiti hati Allah (1 Sam.13) dan akhirnya, Saul ditolak sebagai raja (1 Sam.15).


Aplikasi dan refleksi

Pembacaan epistel hari ini menggambarkan satu sikap yang bertentangan dengan apa yang diajarkan Alkitab, yaitu pemberontakan. Kita dengan jelas membaca tentang pemberontakan bangsa Israel, yang meminta raja dan menolak Allah. Padahal, sebagaimana Allah firmankan, Dialah yang telah melepaskan umat itu keluar dari perbudakan dan penindasan Firaun ketika masih di Mesir. Dia juga yang telah menuntun umat itu melalui padang gurun yang penuh tantangan. Allah yang telah menghalau semua musuh-musuh mereka. Allah juga yang mengaruniakan manna, daging dan roti, sumber mata air bahkan dari batu, tiang api di waktu malam yang sangat dingin dan tiang awan di waktu panas terik. Benarlah ucapan yang mengatakan, “Lupa kacang akan kulitnya”. Sungguh merupakan sikap dan perbuatan yang tidak pantas untuk ditiru. Sebaliknya, umat perlu terus menerus melekat kepada Tuhan dan firman-Nya, mengenal anugerah Tuhan dalam hidupnya serta bersyukur dengan segenap hati (Mzm.103:1-3).

Selain menyaksikan kejahatan dan pemberontakan umat tersebut di atas, barangkali ada yang lebih bingung ketika mempelajari kehidupan anak-anak Samuel tersebut. Mungkin ada yang bertanya: “Mengapa kedua anak Samuel bersikap jahat seperti itu?” Peristiwa ini mengingatkan kita kepada hal yang sama, yaitu kejahatan kedua anak Imam Eli (2:11-26). Imam Eli merupakan ‘pembina’ atau bapak rohani bagi Samuel, di mana Samuel diserahkan ibunya kepada pengawasan Imam Eli ketika dia masih sangat kecil (1Sam.1:24-25). Kedua contoh itu secara gamblang mengajarkan kepada kita semua bahwa tidak ada jaminan bahwa anak-anak rohaniwan, seperti pendeta, majelis, pasti hidup benar dan memperkenankan hati Allah. Hati yang benar dan lurus, memang merupakan anugerah Tuhan semata, bukan atas kemampuan dan kekuatan manusia semata. Itulah sebabnya, dalam segala upaya yang kita lakukan untuk membina anak-anak yang berkenan kepada Allah, kita perlu terus menerus memohonkan anugerahNya agar anak-anak yang dipercayakan-Nya menjadi anak yang berkenan kepada-Nya. Hal itulah yang dilakukan oleh ibu Monica. Ketika segala usaha dilakukan untuk membina anaknya, namun tetap hidup dalam kejahatan, maka dia mencurahkan isi hatinya kepada pelayan Tuhan untuk memohon bantuan. Maka pelayan Tuhan tersebut menjawab dengan sangat bijak: “Teruslah berdoa, ibu. Karena anak yang sudah didoakan terus menerus oleh seorang ibu yang melahirkan dan membesarkannya, akhirnya tidak akan jatuh ke pelukan setan, tapi pasti ke pelukan Tuhan”. Benar, anak ibu Monica, yang bernama Augustinus, ternyata menjadi salah seorang bapak Gereja yang berkenan bagi Allah dan berguna bagi Gereja-Nya.- Karenanya, janganlah memberontak kepada Allah, namun biarlah kita terus rajin berdoa menyampaikan segala pergumulan kita maka Dia akan memulihkan dan memberkati kita. Amin.





Pdt.Dr.Mangapul Sagala
Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar