TIGA KARAKTER YANG
MEMBUAT DUNIA MAKIN BAIK
Minggu 11 Setelah Trinitatis, 15 Agustus 2010
Di tengah dunia yang sangat diwarnai oleh kekerasan, agaknya ucapan Mahatma Gandhi sangat perlu untuk didengarkan kembali. Ia berkata, ”Mata ganti mata, maka seluruh dunia akan menjadi buta.” Di dalam setiap agama agaknya terdapat benturan yang hebat antara dua cara berpikir. Yang pertama adalah cara berpikir yang berporos pada keadilan yang mempergunakan hukum balas-dendam. Dalam cara berpikir ini, sesuatu disebut adil jika apa yang diterima seseorang diterima juga oleh orang lain dengan bobot yang sama. Jika seseorang berbuat jahat pada kita, maka kita berhak membalas orang itu dengan perlakuan yang sama. Jika perlu lebih kejam. Bahkan akibat cara berpikir yang pertama ini maka banyak manusia yang memberlakukan huku rimbah dalam hidupnya. Siapa yang lebih kuat maka dialah yang menang. Pokoknya keadilankulah yang paling adil di luar itu tidak ada keadilan lain. Makanya manusia cenderung untuk berkelahi karena cara berpikir yang pertama ini lebih menonjol dalam kehidupannya.
Cara berpikir yang kedua dilandasi sebuah semangat perdamaian yang menghargai kehidupan bersama sebagai tujuan yang mulia. Dalam Alkitab, akhirnya, kita membaca bahwa cara berpikir yang kedualah yang menang. Di dalam Yesus kita menyaksikan bahwa sikap mengalah tak sama dengan kalah; bahwa membalas kejahatan dengan kebaikan merupakan keluhuran yang mampu membuat kehidupan masih punya arti untuk dijalani secara serius; bahwa memberkati si pengutuk merupakan panggilan hidup setiap orang percaya. Cara berpikir inilah yang menjadi kehidupan orang percaya yang mengaku pengikut Kristus. Kita harus menunjukkan semangat perdamaian yang menghargai kehidupan bersama sehingga orang lain merasa sama dengan kita. Tujuan kita adalah sama-sama memuliakan Tuhan dalam segala profesi yang kita miliki. Walaupun ada perbedaan, tetapi bukan untuk mencerai-beraikan kita namun semakin melihat karya Tuhan dalam kepelbagaian itu.
Teks kita (1 Petrus 3:8-12) mewartakan semangat hidup yang sama. Dalam pasal ini memberikan serangkaian nasihat praktis yang patut dikerjakan oleh semua orang percaya dalam hidup mereka. Serentetan nasihat praktis tersebut dapat dikelompokkan menjadi bagian penting, yang semuanya menjadi tanda bagi karakter ”orang-orang benar” (ay. 12). Setidaknya ada tiga karakter orang Kristen di dunia ini, yakni:
1. Karakter yang pertama terkait dengan sikap hidup di dalam persekutuan yang terus-menerus mengusahakan kesatuan (ay. 8).
Di tengah dunia di mana perpecahan menjadi cara pintas untuk mengatasi perbedaan dan keberagaman, orang Kristen diundang untuk sungguh-sungguh mengusahakan kesatuan hati di dalam persekutuan cinta-kasih.
2. Karakter kedua muncul lewat kesediaan untuk memutuskan lingkaran balas dendam melalui pengampunan (ay. 9a).
”Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan,” kata penulis surat ini. Kejahatan tak akan pernah selesai jika dibalas dengan kejahatan, selain bahwa ia akan makin menguat dan membelenggu kedua belah pihak. Hanya pengampunan yang mampu mengatasi kejahatan. Yang menarik, penulis mengusulkan cara untuk mengatasi lingkaran balas dendam itu, yaitu melalui kesediaan untuk memberkati (ay. 9b). Dan, pada saat kita membalas kejahatan dengan berkat, kita pun akan mendapat berkat (ay. 9c).
3. Karakter ketiga lebih bersifat personal, yaitu kesediaan kita untuk mengendalikan ucapan kita terhadap sesama (ay. 10).
Tidak jarang pertikaian, kebencian dan permusuhan muncul karena ketidakmampuan seseorang mengendalikan mulutnya. Ucapan seseorang lantas mengiris hati sesamanya atau menyelewengkan fakta menjadi gosip.
Ketiga karakter utama di atas tentu saja tidak akan membuat dunia bebas dari masalah, bahkan tak juga membuat gereja kita bebas dari problem. Namun, ketiganya, jika sungguh-sungguh diupayakan, akan membawa perubahan yang tak kecil bagi kehidupan kita di dalam gereja maupun masyarakat.
Lebih dari itu, ketiga karakter tersebut memiliki dua sisi yang sama pentingnya: menjauhi yang jahat dan melakukan yang baik. Keduanya perlu seimbang dan saling menopang. Kesediaan menjauhi kejahatan tanpa usaha melakukan yang baik hanya muncul dari orang-orang Kristen yang lari dari persoalan. Sejauh ia tak berbuat salah—sekalipun tak perlu juga melakukan kebaikan pada sesama—maka itu sudah cukup. Sebaliknya, kesediaan untuk melakukan kebaikan tanpa usaha menjauhi kejahatan hanya akan mengaburkan batas antara kebaikan dan kejahatan. Bukankah tindakan-tindakan yang tampak baik bisa menjadi manifestasi dari kejahatan yang luar biasa? Maka, keduanya perlu seimbang dan saling mendukung: jauhi kejahatan dan usahakan kebaikan.
Komitmen untuk mengusahakan semua ini tentu saja bakal berbenturan dengan realitas sesehari yang jauh dari impian hidup bersama yang lebih baik. Tak jarang kita frustasi dan kecewa menyaksikan kepahitan hidup, sekalipun kita sudah berusaha untuk menaati kehendak Allah ini. Karena itu, percayalah, Saudara-saudara, bahwa seluruh nasihat yang kita baca hari ini tidak sekedar mengajar kita untuk menjadi seorang-orang yang berbudi dan bermoral baik. Lebih dari itu, semua kebaikan itu kita perjuangkan karena keyakinan bahwa Allah hidup, aktif bekerja dan memihak pada “orang-orang benar” dan mereka yang berusaha berjuang untuk hidup lebih baik sekalipun harus menderita dan “minta tolong” pada-Nya (ay. 12).
Pdt. Dr. Joas Adiprasetya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar