BLOG INI BERSIFAT TERBUKA UNTUK DIKOMENTARI DAN DIKRITISI DEMI KEMAJUAN WAWASAN BERPIKIR, DAN BERTEOLOGI MASA KINI
Selasa, 27 April 2010
Bacaan Minggu Exaudi, 16 Mei 2010 Matius 14:22-33
Minggu Exaudi, 16 Mei 2010 Matius 14:22-33
TUHAN, TOLONGLAH AKU !
Evangelium Matius bersama-sama dengan Markus, Lukas dan Yohanes, pertama-tama harus dilihat sebagai satu kesatuan, yang dalam tataran Biblika Perjanjian Baru disebut Injil atau Evangelium. Sesuai dengan namanya, ‘euanggelion’, keempat kitab ini berisikan Kabar Baik tentang Yesus Kristus sebagai jalan keselamatan. Bertitik-tolak dari sudut pandang masing-masing kitab, keempat kitab ini menceritakan tentang Yesus yang datang ke dunia untuk menebus dosa-dosa orang yang percaya kepada-Nya. Kedatangan Yesus sungguh menjadi suka-cita bagi orang percaya; namun sebaliknya, kedatangan Yesus menjadi penghakiman yang berisi penghukuman bagi orang-orang yang tidak percaya. Namun kitab-kitab Injil selalu menekankan bahwa kasih setia dan pengasihan Tuhan lebih besar dari murka-Nya. Itu sebabnya Yesus selalu menyerukan, “Bertobatlah, karena kerajaan Allah sudah hadir!”
1. Namun dalam konstelasi keempat kitab Injil tersebut, masing-masing kitab tentu memiliki karakteristik masing-masing. William Barclay dengan gamblang menggambarkan konstelasi itu sebagai berikut: “Masing-masing penulis dari keempat Injil telah melakukan pekerjaannya dari sudut pandang tertentu. Seringkali para penulis Injil-injil tersebut dilukiskan pada jendela kaca, dalam bentuk simbol. Simbol-simbol itu berbeda-beda tetapi yang paling umum adalah ini. Lambang dari Markus adalah seorang laki-laki. Markus adalah yang paling sederhana dan sangat lugu dalam penyajiannya. Lambang Matius adalah seekor singa. Matius adalah seorang Yahudi yang menulis untuk orang Yahudi dan ia melihat di dalam diri Yesus, Sang Mesias itu, singa dari suku Yehuda, yang telah dinubuatkan oleh nabi-nabi. Lambang Yohanes adalah burung rajawali. Seekor burung rajawali dapat terbang lebih tinggi daripada burung lainnya. Demikianlah Injil Yohanes, Injil ini suatu Injil teologis; pemikiran-pemikirannya lebih tinggi dari yang lain. Lambang Lukas adalah anak lembu. Anak lembu adalah binatang yang biasanya dipakai sebagai kurban; dan Lukas melihat bahwa Yesus adalah kurban untuk seluruh dunia.” Terlepas dari kekhasan masing-masing simbol ini, yang sangat penting kita lihat di sini sehubungan dengan nas kita adalah Injil Matius serta kekhususannya. Berbeda dengan kitab-kitab Injil lainnya, penulis lebih memberi perhatian kepada orang Yahudi. Hal itu berarti, Kabar Baik itu terlebih dahulu ditujukan kepada orang Yahudi.
2. Tentu, nas ini, Matius 14:22-33, akan dilihat, diposisikan dan dipahami dalam konteks besar seperti itu, yakni perhatian Yesus secara khusus kepada orang Yahudi. Berbeda dengan kitab-kitab Injil lainnya, penulis kitab ini melihat pertama-tama orang Yahudi sebagai tujuan keselamatan yang daripada Allah dalam diri Yesus Kristus. Namun kitab ini tidak berhenti hanya di situ. Pergerakan misi bersifat sentrifugal (dari dalam ke luar). Demikian juga berita keselamatan yang daripada Yesus pertama-tama diberitakan kepada orang Yahudi, kemudian kepada seluruh dunia ini. Apakah ini adil? Adil menurut Tuhan. Mengapa? Karena umat Israel dijadikan Tuhan menjadi alat di dalam karya dan tangan-Nya. Israel harus menjadi berkat bagi bangsa-bangsa (election for service). Dalam pemahaman demikianlah hendak kita lihat nas kita, Matius 14:22-33. Nas ini merupakan suatu cerita tentang Yesus berjalan di atas air. Cerita ini juga ada dalam Injil Markus 6:45-52 dan Yohanes 6:16-21 sebagai nas-nas paralel (sinoptis)-nya. Namun seiring dengan kekhasannya, hanya nas ini yang menceritakan tentang kisah Petrus yang memohon kepada Yesus agar dia diijinkan menjumpaiNya dengan berjalan di atas air. Pencantuman cerita ini tentu berhubungan dengan ‘tokoh Petrus’ yang dianggap sangat khas Yahudi.
3. Nas ini ditulis cukup sistematis seiring dengan alur atau jalan pikirannya yang teratur:
a. Ayat 22 – 23: Yesus dan murid-murid-Nya berpisah untuk sementara
Sesudah kelima ribu orang itu makan, terjadilah suatu hal yang tidak biasa terjadi, yakni Yesus yang biasanya bersama-sama dengan murid-murid-Nya, sekarang memerintahkan mereka untuk berangkat tanpa Dia sendiri ikut. Ia melepaskan diri-Nya dari orang banyak juga, sampai Yesus tinggal seorang diri. Yoh. 6:15 menerangkan latarbelakang kelakuan Yesus itu; setelah orang banyak menjadi insaf betul tentang mujizat yang telah terjadi, mereka mau memaksa Yesus untuk menjadi raja (Mesias tokoh politis, Mesias yang triumphant). Memang Tuhan mempunyai rencana supaya Yesus menjadi raja atas seluruh dunia, namun demikian Yesus tahu bahwa pada saat itu belum waktunya. Karena itu, Yesus menjauhkan murid-murid-Nya, supaya mereka tidak dipengaruhi emosi orang banyak, dan Ia menyuruh juga orang banyak itu pergi. Yesus tinggal seorang diri. Namun demikian, Ia bukan seorang diri; Allah ada, dan Yesus memergunakan waktu untuk berdoa kepada-Nya.
b. Ayat 24 – 27: Yesus menjumpai murid-murid-Nya di tengah danau
Keduabelas murid yang pada malam itu berdayung dalam perahu, sementara Yesus berdoa di bukit, mengalami kesusahan. Mereka sudah beberapa mil (kira-kira 5 km) dari pantai; karena angin sakal yang kencang mereka harus berdayung keras-keras untuk maju. Tmbahan pula, hati mereka tidak tenang, oleh karena mereka telah hamper diusir oleh Tuhan Yesus setelah lima ribu orang itu makan.
Tetapi Yesus tidak melupakan murid-murid-Nya. Boleh jadi dari bukit Ia dapat melihat perahu itu sebagai suatu titik di tengah-tengah ombak; di samping itu dapat diduga bahwa dengan pengetahuan ajaib Yesus menyadari kesusahan mereka. Yesus mau datang kepada mereka dan bagi Yesus air tidak menjadi halangan; Ia berjalan di atas air danau itu. Waktu mereka melihat Yesus, yang pada malam itu berjalan di atas air, maka mereka mengira bahwa Ia hantu, dan mereka berteriak-teriak sebab ketakutan. Tetapi Yesus mengatakan: “Tenanglah! Aku ini, jangan takut”.
c. Ayat 28 – 32: Petrus berjalan di atas air
Riwayat ini, tentang Petrus yang berjalan di atas air sama seperti Yesus, hanya ada di Injil Matius. Beberapa orang menganggap cerita ini sebagai ‘legenda atau dongeng tentang orang suci’. Namun biasanya legenda seperti itu menceritakan kepercayaan dari orang-orang suci tertentu. Padahal, dalam cerita ini justru ketidakpercayaan Petrus yang dipaparkan. Itu sebabnya, menurut banyak ahli cerita ini adalah cerita asli juga, oleh karena kelakuan Petrus dalam cerita ini cocok sekali dengan tabiat Petrus yang kita kenal dari peristiwa-peristiwa lain. Petrus adalah seorang yang sangat spontan, dan dengan sifat spontan itu ia memohon supaya ia diperbolehkan datang kepada Yesus dengan berjalan di atas air. Menurut kepercayaan Petrus, andaikata Yesus menyuruhnya datang, maka Yesus akan memberi kepadanya kemungkinan untuk berjalan di atas air. Setelah menerima ijin dari Yesus maka dengan penuh kepercayaan Petrus turun dari pearhu, dan benar-benar ia dapat berjalan di atas air menuju Yesus. Tetapi waktu ia mulai memerhatikan angin dan ombak, takutlah dia dan ia mulai tenggelam. Begitulah hal iman: selama kita memusatkan perhatian kita kepada Yesus, kita kuat dalam iman, tetapi apabila kita melupakan Yesus, iman menjadi pudar dan kita tenggelam.
Waktu Petrus insaf bahwa ia mulai tenggelam, ia berteriak kepada Yesus: ‘Tolonglah aku’. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa seruan itu adalah teriakan yang terakhir dari seorang yang sedang tenggelam dan dengan serentak langkah yang pertama kea rah iman yang baru, sebab ia minta tolong kepada Yesus. Yesus mengulurkan tangan-Nya dan memegang Petrus, tetapi menegurnya juga, sebab ia sudah bimbang dan kurang percaya. Lalu Petrus dapat berjalan di atas air pula bersama-sama dengan Yesus. Bersama-sama mereka naik ke perahu dan atas perintah Yesus angin menjadi reda juga.
d. Ayat 33 : Respons murid-murid atas kedatangan Yesus
Orang-orang yang ada di perahu itu (yakni murid-murid Yesus) tercengang atas semua hal yang baru terjadi dan mereka menyembah Yesus. Perkataan Yunani yang dipakai di sini berarti berlutut di hadapan Yesus. Perkataan ini menandakan sikap yang cocok terhadap Yesus, yakni patut kita bertelut di hadapan-Nya dan kita menyembah-Nya. Pada kesempatan itu murid-murid mengaku bahwa Yesus adalah Anak Allah. Sulit ditentukan di sini apa yang mereka maksudkan dengan gelar tersebut. Murid-murid Yesus percaya kepada Yesus, tetapi pengetahuannya tentang Yesus masih dalam perkembangan. Barulah di Matius 16, Petrus akan mengaku bahwa Yesus adalah Mesias. Boleh jadi maksud mereka bahwa Yesus lain dari segala manusia, atau bahwa Ia wakil Allah, atau bahwa Ia sudah menerima kuasa penuh dari pihak Allah.
4. Nas ini kita perdengarkan sebagai dasar persekutuan kita dalam Minggu Exaudi. Ada tiga hal yang hendak kita lihat di sini:
a. Ketika murid-murid itu ketakutan maka mereka tidak mampu mengenal Yesus. Dalam situasi seperti itu, mereka dengan mudah dan cepat mengambil kesimpulan bahwa Ia adalah hantu. Keadaan seperti ini juga sangat banyak ditemukan masa kini. Ketika manusia dihantui ketakutan maka dia tidak akan mampu mengenal Yesus dan Yesus sendiri dianggap hantu. Dalam keadaan seperti ini Yesus sendiri datang dan berkata, “Ini Aku, Yesus Juru Selamatmu.”
b. Ketika kita percaya kepada Yesus maka kita mungkin dengan mudahnya akan berkata, “Aku dapat dengan mudah menelusuri gelombang dan ombak hidup ini.” Mungkin pada awalnya kita bisa. Namun ketika kita sadar bahwa ombak itu sungguh-sungguh ada dan siap menghadang kita di depan, maka iman kita goyah dan kemampuan kita menghadapi ombak itu segera runtuh. Dalam keadaan seperti itu, kita datang dan berseru kepada Yesus, “Yesus, tolong aku.”
c. Ketika Petrus berteriak minta tolong maka Yesus segera mengulurkan tangan-Nya dan mereka berjalan bersama. Dalam keadaan bersama dengan Yesus maka Petrus kembali dapat berjalan di atas air. Hidup ini juga seperti itu. Ketika kita berseru minta tolong kepada Yesus maka Yesus datang menolong kita. Dalam hidup bersama dengan Yesus maka kita dapat tegar kembali menghadapi ombak hidup ini.
Kesimpulannya ialah, betapa pentingnya memelihara hidup bersama dengan Yesus (to be with Jesus).
5. Teriakan Petrus barangkali menjadi ‘model’ bagi teriakan umat masa kini. ‘Tuhan, tolonglah aku!’ Teriakan ini membawa kita ke ‘alam sadar’ bahwa hidup ini ternyata penuh dengan gelombang dan ombak, besar atau kecil, banyak atau sedikit. Tentu, inilah yang hendak digambarkan dan diingatkan oleh simbol PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia), yakni kapal yang sedang berlayar di tengah lautan. Simbol ini hendak mengingatkan gereja dan setiap orang Kristen bahwa bagaikan kapal yang sedang berlayar di tengah lautan, begitulah hidup di dunia ini. Kita tidak boleh berkata, “Jangan dulu ada tantangan dan pergumulan dalam hidup saya.” Yang boleh kita katakana ialah ‘selamat datang tantangan dan semoga saya siap memenangkannya.’
6. Lau, ketika kita sadar bahwa tantangan silih-berganti menggerogoti hidup kita maka kita segera datang dan berseru minta tolong kepada Tuhan. Pertanyaan selanjutnya ialah, bagaimana kita memahami jawaban Tuhan akan teriakan dan seruan kita? Cerita berikut ini kiranya menjadi perenungan berharga untuk kita:
Seorang sufi yang sungguh-sungguh hidup dalam kesalehan dan sangat bergantung pada Sang Khalik, suatu kali mengalami musibah besar di daerahnya. Daerah tempat tinggalnya mengalami banjir yang sangat hebat, beberapa warga dan jamaahnya sudah mengungsi ke tempat yang lebih aman. Ketua RT setempat meminta supaya sang Sufi turut mengungsi bersama mereka untuk mencari tempat yang lebih aman dan nyaman, tetapi Sufi ini menolak. Dia mengatakan, Sang Khalik akan datang menjemput dia nanti untuk menyelamatkannya, jadi tidak perlu mengungsi.
Hari semakin sore, sementara hujan terus-menerus mengguyur daerah tersebut hingga air mulai menggenangi lantai rumah-rumah penduduk hingga 50 cm. Sebagian besar penduduk sudah mengungsi, sementara Sufi pindah ke teras rumahnya dan naik ke meja makan yang telah dipindahkannya ke teras untuk menyelamatkan diri menunggu Sang Khalik menolong dirinya dengan mengangkatnya ke tempat yang lebih tinggi.
Tiba-tiba datanglah sebuah perahu karet dari tim SAR nasional yang sedang melakukan ‘sweeping’ terhadap penduduk-penduduk yang mungkin belum terangkut untuk diselamatkan, mengingat gelagat alam yang kurang baik dan belum menunjukkan tanda-tanda akan reda. Petugas tim SAR membujuk sang Sufi untuk ikut perahu mereka ke tempat yang aman. Namun, Sufi tersebut tetap bersikeras tidak mau ikut. Dia yakin, Sang Pencipta akan datang sendiri menyelamatkan dirinya. Tim SAR pun tidak bisa berbuat apa-apa atas keyakinan Sufi ini, dan mereka pun pergi. Ketika air sudah menutupi rumah, Sufi ini naik ke atap rumahnya. Rupanya, tim SAR tidak kehilangan akal untuk menyelamatkan Sufi. Mereka menggunakan helicopter menyisir daerah yang terkena banjir dan mendapati sang Sufi sedang duduk di atap rumahnya. Tim SAR kembali mengajak dia untuk ikut ke helicopter mencari tempat yang lebih aman di pengungsian mengingat banjir yang semakin besar. Kembali Sufi tersebut menjawab bahwa dia tidak akan mau ikut tim SAR karena berdasarkan keyakinannya Sang Khalik yang akan turun menolongnya.
Hingga banjir tidak dapat dibendung lagi, seluruh rumah terendam air. Setibanya di surga, pertanyaan yang langsung diajukan kepada Sang Khalik adalah “Gusti yang Maha Mulia, Junjunganku dan Sang Penciptaku, jika hamba diijinkan bertanya kepada-Mu, mengapa ketika banjir tadi Engkau tidak datang menolong hamba. Hamba sudah lama menunggu datangnya pertolongan, namun pertolongan-Mu tak kunjung datang jua hingga hamba bertemu muka dengan Gusti saat ini?”
Dengan tersenyum Sang Pencipta menjawab, “Wahai hamba-Ku yang setia, bukankah Aku sudah mengirim perahu karet dan helicopter untuk menolong engkau?” Barulah sang Sufi merasakan bahwa kehadiran Sang Khalik adalah bersifat transenden dan imanen.
Bukankah pengalaman seperti itu banyak kita temukan juga masa kini? Ketika kita mengalami pergumulan lalu kita berseru kepada Tuhan seperti seruan Petrus ini, “Tuhan, tolonglah aku!” Lalu, apa keyakinan kita? Kita sering masih mengandalkan pikiran dan keinginan kita lalu kita ingin agar jawaban atas seruan kita selalu sesuai dengan pikiran dan keinginan kita juga. Sesungguhnya, ketika kita berseru minta tolong, kita pasti menjawab. Persoalannya ialah jawabannya sesuai dengan kehendak Allah, bukan kehendak kita. Dalam keadaan seperti itu, kita sering tidak mampu menerima atau tidak mampu memahami jawaban Allah.
Begitulah kiranya Gereja dan orang Kristen memahami pertolongan Yesus dalam hidup keseharian kita. Pertolongan Yesus senantiasa hadir dalam hidup kita. Ketika kita berseru minta tolong kepada Yesus maka jawaban Yesus hanya satu, yakni “Ya!” Persoalannya ialah apakah kita percaya akan jawaban ini dan bagaimana kita memahaminya? Percaya akan pertolongan Yesus akan memampukan kita memahami bentuk dan wujud pertolongan-Nya dalam hidup kita.
Pdt. Leo Dunan Sibarani, M.Th.
Dosen STT HKBP Pematangsiantar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar