Selasa, 27 April 2010

Bacaan Pestakosta 1, 23 Mei 2010 Ibrani 8:8-13


Pestakosta 1, 23 Mei 2010 Ibrani 8:8-13


HIDUP DALAM PERJANJIAN YANG BARU


Hari ini kita kembali merayakan Pentakosta, salah satu peristiwa penting dalam sejarah umat Tuhan berupa pencurahan Roh Kudus (Kis. 2). Pada waktu yang bersamaan, peristiwa ini menandai lahirnya gereja, sehingga secara teologis dapat dikatakan, kita sedang merayakan hari ulang tahun gereja! Dalam perayaan ini, firman Tuhan menjadi landasan perenungan kita diambil dari surat Ibrani yang banyak berbicara tentang keunggulan Kristus dan perjanjian baru yang diprakarsai-Nya bila dibandingkan dengan Perjanjian Lama. Harus diakui, teks kita memang tidak berbicara secara langsung tentang Roh Kudus sendiri! Namun, tentu saja kita tetap dapat merefleksikannya dalam kaitan dengan karya Roh dalam kehidupan umat percaya.
Kita tidak tahu siapa penulis surat Ibrani. Kita juga tidak tahu siapa penerima surat ini! Namun, tanpa informasi yang jelas tentang latar belakangnya pun, kita masih dapat merenungkan pesannya bagi kita sekarang. Yang jelas, dibandingkan dengan banyak tulisan Perjanjian Baru, hal-hal yang dibicarakan dalam surat Ibrani memang terkesan sangat Yahudi. Boleh jadi, awalnya surat ini merupakan khotbah-khotbah untuk mereka yang berlatar Yahudi, atau ingin mengetahui hubungan antara sistem lama keYahudian dan sistem baru Kekristenan.
Dan kalau dinilai dari bahasa yang digunakan penulisnya, jelaslah khotbah-khotbah itu disampaikan dengan bahasa “tinggi”. Penulisnya benar-benar seorang yang sangat piawai dalam mengungkapkan pemikirannya dalam bahasa Yunani! Ini merupakan contoh menarik bagi kita sekarang. Adakalanya khotbah harus disampaikan sesederhana mungkin dalam bahasa yang “ringan”, supaya dapat dimengerti dengan mudah. Adakalanya, khotbah perlu juga diuraikan dalam bahasa yang lebih sesuai buat orang-orang yang berpendidikan tinggi ataupun memiliki cita rasa bahasa yang tinggi.
Pesan dari surat yang panjang ini memang terfokus pada hubungan antara sistem lama Keyahudian dan sistem baru Kekristenan. Yang dilakukan mirip dengan apa yang sekarang disebut “kontekstualisasi”. Supaya relevan bagi manusia yang hidup dalam situasi yang berbeda dengan sistem keyakinan yang berbeda pula, isi firman Tuhan itu perlu juga mengambil wujud dan bahkan isi yang sesuai dengan berbagai konteksnya. Penulis surat Ibrani benar-benar piawai dalam soal ini. Sebagai contoh, karena sistem keagamaan Yahudi terpusat pada sistem imamat dan kurban, ia menafsirkan ulang peran dan keutamaan Kristus berdasarkan sistem-sistem ini. Karena Imam Agung sangat penting perannya dalam sistem agama Yahudi, ia mengidentifikasi Kristus sebagai Imam Agung pula! Tetapi, sebagai Imam Agung yang sempurna! “Sebab Imam Besar yang demikianlah yang kita perlukan: yaitu yang saleh, tanpa salah, tanpa noda, yang terpisah dari orang-orang berdosa dan lebih tinggi dari pada tingkat-tingkat sorga, yang tidak seperti imam-imam besar lain, yang setiap hari harus mempersembahkan korban untuk dosanya sendiri dan sesudah itu barulah untuk dosa umatnya, sebab hal itu telah dilakukan-Nya satu kali untuk selama-lamanya, ketika Ia mempersembahkan diri-Nya sendiri sebagai korban.” (7:26-27).
Seperti yang disebutkan dalam teks epistel kita, sebagai Imam Agung yang melintasi semua langit (4:14; 8:1), Kristus menjalankan imamat yang lebih tinggi berdasarkan janji yang lebih tinggi dalam bingkai perjanjian baru yang lebih mulia (8:5-6). Semua yang ada sebelumnya dalam sistem lama hanyalah gambaran dan bayangan dari apa yang sesungguhnya ada di surga (8:5).
Dalam konteks itulah, nubuat Nabi Yeremia dikutip oleh penulis surat Ibrani (Yer. 31:31-34). Ketidaksetiaan Israel sepanjang sejarahnya bersama Tuhan sudah nyata. Hukuman Tuhan atas mereka menandai jalan panjang penuh penderitaan yang mereka lalui di bawah kekuasaan bangsa-bangsa asing. Dalam visi kenabian, rupanya solusinya bukan dengan mengoreksi sistemnya saja. Tetapi, juga orang-orangnya! Tentu saja mereka sudah memiliki Taurat beserta segala rincian yang mengatur berbagai aspek kehidupan mereka. Namun, seperti yang sering dikritik para nabi, semua yang baik itu belum menjamin terwujudnya hidup otentik yang sungguh-sungguh ingin memberlakukan kehendak Tuhan. Simak saja kritik berikut dari seorang nabi lainnya: “Dan Tuhan telah berfirman: ‘Oleh karena bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh dari pada-Ku, dan ibadahnya kepada-Ku hanyalah perintah manusia yang dihafalkan’ (Yes. 29:13).
Rupanya yang juga tidak bisa tidak harus terjadi ialah “pembaruan batin” (bnd. Rm. 12:2), sebagaimana dinubuatkan dalam kutipan dari Yeremia: “Aku akan menaruh hukum-Ku dalam akal budi mereka dan menuliskannya dalam hati mereka, maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku” (Ibr. 8:10). Dengan kata lain, kulit dikontraskan dengan isi. Keberagamaan formal dengan keberagamaan otentik. Sungguh benar yang sering dikeluhkan banyak orang menyangkut sistem apa saja, termasuk religius: sistem yang bagus saja tidak cukup, karena tetap saja akan menjadi korup di tangan manusia korup. Kualitas manusianya juga amat menentukan! Jika batin sudah dibarui sehingga semakin selaras dengan kehendak Allah, maka semua yang diperlukan untuk mengatur kehidupan dan tindak tanduk tidak begitu sulit lagi diciptakan atau diubah sesuai dengan kebutuhan.
Tidak tanggung-tanggung, dalam visi kenabian Yeremia, bahkan kelak orang tak perlu lagi mengatakan: “Kenallah Tuhan”. Mengapa? Sebab mereka telah mengenal Tuhan! Ya, tentu saja aneh jika kepada mereka yang sudah mengenal dan mengaku Tuhan secara sungguh-sungguh masih diminta untuk mengenal-Nya! Jadi, inti perjanjian baru yang diunggulkan melebihi perjanjian lama sebelumnya ialah: pembaruan batin sehingga umat Tuhan benar-benar mengenal Tuhannya, tidak hanya di bibir saja tetapi terlebih lagi nyata lewat buah-buah kehidupannya.
Bagaimanakah pembaruan batin itu terjadi? Lewat karya Roh Kudus! Di sinilah, pekerjaan Roh dapat menjadi renungan yang relevan pada perayaan Pentakosta, kendati teks epistel kita tidak secara ekspisit menyebutnya. Dalam bagian lain dari surat Ibrani, Roh Kudus disebutkan telah memberi kesaksian mengenai kesempurnaan karya Kristus yang menggantikan sistem kurban dan imamat yang lama (10:15; bnd. 9:8). Kristus sendiri digambarkan telah mempersembahkan diri sebagai kurban tak bercatat, yakni dengan perantaraan “Roh yang kekal” (9:14), sehingga darah kurban-Nya itu menyucikan hati nurani kita untuk lepas dari perbuatan sia-sia (harfiah: “perbuatan-perbuatan mati”, nekron ergon).
Ini dapat dibandingkan dengan berbagai uraian Rasul Paulus tentang karya Roh! Dalam surat Galatia, misalnya, ia menegaskan, “Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging” (Gal. 5:17). “Hiduplah oleh Roh maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging” (5:16)! Memakai istilah dalam surat Ibrani, keinginan daging, yakni keinginan menurut tabiat manusia yang berdosa, tidak dapat memenuhi aturan yang berlaku dalam sistem lama! Keadaan yang tidak menguntungkan ini selalu dieksploitasi oleh kuasa dosa (bnd. Rm. 7:13). Sistem yang lebih unggul tentu menawarkan kekuatan yang membebaskan manusia berdosa dari “lingkaran setan” ini!
Dalam Perjanjian Baru, itulah yang dipahami sebagai karya Roh Kudus. Berulang kali ditegaskan, di dalam Kristus, kita telah dibebaskan dari sistem lama berdasarkan Taurat, supaya kita hidup dan melayani dalam keadaan baru menurut Roh (mis. Rm. 7:6; 8:2; Gal 5:16). Roh Kuduslah yang menguduskan dan memperbarui hidup orang percaya (Tit. 3:5; 2Tes. 2:13). Roh inilah juga yang telah mengingatkan agar umat Tuhan tidak mengeraskan hati bila mendengar firman-Nya (Ibr. 3:7).
Berbagai gambaran seperti “ciptaan baru” (2Kor. 5:17) dan “manusia baru” (Ef. 4:24; Kol 3:10) pada dasarnya mengungkapkan pesan yang sama. Di dalam Kristus dan oleh kuasa Roh Kudus, umat percaya kini tak lagi hidup sekadar melaksanakan berbagai kewajiban dan tuntutan hukum ilahi. Sistem yang lama telah terlampaui. Di dalam Kristus, yang baru telah datang (2Kor. 5:17)! Mereka yang hidup dalam perjanjian baru itu, sewajarnya menghasilkan buah-buah Roh seperti kasih, damai sejahtera, kesabaran dan kesetiaan (Gal. 5:20)!
Karya Roh seperti itu memang kurang “spektakuler” bila dibandingkan karunia-karunia Roh dalam bentuk berbagai mujizat melalui orang percaya (Ibr. 2:4; bnd. 1Kor. 12:10; Gal. 3:5). Padahal, bukankah sekarang ini banyak orang mendambakan berbagai pengalaman rohani yang “menggelora” sebagai manifestasi kepenuhan Roh? Pencurahan Roh seperti yang terjadi pada Pestakosta pertama di antara umat Kristen perdana sering diasosiasikan dengan gejala-gejala seperti bahasa lidah, baptisan Roh, penglihatan, dan berbagai mujizat penyembuhan. Namun, dilihat dalam kaitan dengan karya Roh Kudus, teks epistel kita kiranya menggarisbawahi aspek penting dari karya Roh itu, yang tidak kalah pentingnya, kalau tidak lebih penting, daripada fenomena yang serba spektakuler, yakni pembaruan batin yang menghasilkan ketaatan baru! Kristus sebagai Imam Besar yang telah mencapai kesempurnaan (5:9), melalui Roh-Nya masih terus berkarya membarui kita sebagai ciptaan-Nya yang baru (bnd. 2Kor. 5:17).
Seperti yang ditegaskan penulis surat Ibrani sendiri, di dalam sistem perjanjian baru, kita memiliki keberanian untuk masuk ke hadiran Allah yang kudus (10:19). Kita diajak untuk menghadap Dia dengan hati yang tulus ikhlas karena telah dibersihkan dari nurani yang jahat (10:22). Semuanya ini sekali lagi mengandaikan bahwa hukum Tuhan itu kini sudah membatin dan membentuk nurani yang baru (8:10; 10:16).
Bukankah aspek “nurani” ini sangat perlu direnungkan ketika dalam dunia kita semakin banyak manusia yang kehilangan nurani untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah? Bukankah dalam dimensi etis inilah sebenarnya manifestasi Roh sungguh efektif untuk memberi dampak bagi dunia kita? Mungkinkah kita beribadah dengan “nurani yang bersih” sementara kehidupan kita di luar ruang ibadah justru berbanding terbalik dengan apa yang dikehendaki-Nya? Perenungan atas teks epistel mengajak kita untuk mempertanyakan dan mempertanggungjawabkan isi keyakinan kita sebagai umat yang dengan perantaraan Kristus telah menerima perjanjian yang lebih baik. Kiranya Imam Surgawi itu terus menolong kita dalam perjalanan iman kita dan membawanya sampai mencapai kesempurnaan seperti Dia (5:9; 12:2). Amin.





Pdt.Dr.Anwar Tjen
Pdt.GKPI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar