BLOG INI BERSIFAT TERBUKA UNTUK DIKOMENTARI DAN DIKRITISI DEMI KEMAJUAN WAWASAN BERPIKIR, DAN BERTEOLOGI MASA KINI
Jumat, 04 Februari 2011
”MEMBERI DENGAN TULUS DAN SEPENUH HATI” (Kisah 5:1-11)
”MEMBERI DENGAN TULUS DAN SEPENUH HATI”
(Kisah 5:1-11)
Mendengar kisah yang baru saja kita baca, pertama, membuat hati rasa galau dan takut. Mengapa takut? Karena sebuah keluarga suami-isteri yakni Ananias dan Safira meninggal dunia akibat hasil penjualan tanah yang tidak diserahkan mereka seluruhnya ke hadapan kaki rasul-rasul. Padahal nama mereka berdua begitu indah dan cantik. Ananias berarti: Allah telah memberikan, Allah rahmani. Dan Safira berarti: yang cantik atau yang jelita. Nama yang indah agaknya belumlah merupakan jaminan untuk hidup yang murni. Mereka berdua adalah orang yang begitu terikat dengan harta miliknya, dan juga ingin dihormati di tengah jemaat. Mereka tidak ingin dikalahkan oleh orang lain seperti Barnabas. Kedua, cerita ini adalah kisah yang memalukan. Kalau di luar gereja ada pencopet, tentu kita kesal, apalagi kalau kita sendiri yang kecopetan. Tetapi kalau di gereja juga ada pencopet, ini bukan saja kejahatan, tetapi sudah kelewatan memalukan. Tuhan pasti marah sekali. Kalau di luar gereja ada korupsi atau saling memfitnah atau saling menipu, tentu tetap buruk dan jahat. Tetapi kalau itu terjadi di gereja, dilakukan oleh orang Kristen, ia sepuluh kali lebih jahat dan lebih buruk. Pasti bukan iklan yang menarik untuk gereja yang pada waktu itu baru mulai berdiri. Mestinya kisah seperti ini perlu disembunyikan, tidak perlu dimuat dalam Alkitab. Tetapi mengapa Lukas mau menulisnya juga? Karena ia mau jujur, dan supaya kita belajar dari pengalaman Ananias dan Safira itu. Alkitab ingin dengan jujur mengatakan, bahwa di dalam gereja ada orang-orang seperti Ananias dan Safira.
Kalau Alkitab memuat cerita Ananias dan Safira, maksudnya juga adalah supaya kita jangan sampai meniru mereka. Dengan jelas Alkitab mengungkapkan betapa mengerikan dan fatalnya hukuman atas tindakan mereka yang membohongi dan menipu Tuhan. Munafik, karena sebenarnya tidak rela memberi, tetapi ingin dapat nama hebat di mata jemaat. Petrus mengatakan, “Selama tanah itu tidak dijual, bukankah itu tetap kepunyaanmu, dan setelah dijual, bukankah hasilnya itu tetap dalam kuasamu? … Engkau bukan mendustai manusia, tetapi mendustai Allah." (ay.4). Ananias mendustai Allah (bd.ay.9 mengatakan: mencobai Roh Tuhan).
Dosa berat, karena tindakan mereka itu sama dengan menganggap Tuhan itu bodoh, bisa ditipu, gampang dibohongi. Kalau berbuat dosa lalu menyesal dan mengaku, Tuhan akan dengan segala senang hati mengampuni. Tetapi kalau, seperti Ananias dan Safira, tetap kokoh tidak mau mengakui kesalahannya, itu artinya menganggap Tuhan itu bodoh. Karena itu hukumannya sangat berat.
Berbicara mengenai tema di atas, memberi adalah bagian yang menarik dalam hidup ini. Dengan memberi sesuatu (tentunya sesuatu yang baik), seorang manusia akan mengalami suatu sensasi / perasaan tertentu dalam batinnya yang menjadikan seseorang merasa nikmat / senang / bahagia. Dari sini dapat ditarik semacam kesimpulan sederhana bahwa pada dasarnya suatu kegiatan memberi merupakan salah satu bentuk kebutuhan dalam hidup seorang manusia, walau seringkali hal ini jarang disadari. Dengan memberi, seseorang mendapatkan suatu kepuasan tertentu.
Ada dua hal yang harus diperhatikan dalam melakukan kegiatan memberi. Yang pertamaadalah dari sisi kesiapan si pemberi. Pemberi harus terlebih dahulu mempersiapkan dirinya, khususnya suasana hatinya, sebelum melakukan kegiatan memberi. Pemberi sebisa mungkin harus mengkondisikan hatinya agar ketika melakukan kegiatan memberi benar-benar ikhlas, tulus dan sepenuh hati tanpa ada niatan tertentu di balik pemberiannya sehingga si pemberi tidak merasa adanya sesuatu yang berkurang atau hilang dalam hidupnya berkenaan dengan kegiatan memberi tersebut. Ini cukup sulit terutama sekali ketika kita harus memberi sesuatu yang memang dulunya kita dapatkan dengan penuh perjuangan dan sekarang kita diperhadapkan pada kondisi di mana kita diminta (atau mungkin lebih tepatnya diberi kesempatan) untuk memberikan itu pada orang lain dengan penuh keikhlasan dan tanpa merasa kehilangan sesuatu atau merasa ada yang berkurang dalam hidup kita karena melakukan kegiatan memberi tersebut.
Hal kedua yang perlu diperhatikan adalah kesiapan mental dan hati dari si penerima pemberian. Bila kita memberikan sesuatu dengan porsi tertentu pada seseorang yang memang belum siap dengan porsi tersebut, maka pemberian kita bisa saja mencelakakan orang tersebut. Sebagai ilustrasi, sebagai seorang atlet tembak bisa jadi sesuatu yang berharga dalam hidup kita adalah sebuat pistol yang ringan dengan daya lontar yang baik sehingga peluru yang dimuntahkan oleh pistol tersebut dapat terarah dalam kondisi lurus dalam jangkauan yang jauh. Pistol tersebut akan menjadi pemberian yang memiliki nilai manfaat yang positif bila kita memberikannya pada seorang teman yang memang juga memiliki ketertarikan dan minat dalam bidang senjata dan memiliki keahlian serta pemahaman yang baik tentang senjata. Tapi pemberian ini akan mendatangkan petaka bila kita lakukan pada seseorang yang awam dalam hal senjata apalagi bila orang tersebut cederung memiliki tempramen dan kecenderungan agresi yang kuat. Bisa-bisa kehadiran pistol pemberian kita malah membangkitkan daya dan energi agresi yang cenderung destruktif dalam diri orang tersebut.
Jika kita mau jujur sekarang, apakah kisah ini masih terjadi di tengah gereja atau di perjalanan kehidupan orang percaya? Kisah Ananias dan Safira bisa saja masih ditemukan saat ini. Ananias dan Safira adalah orang yang telah melanggar hasil keputusan rapat jemaat mula-mula, bahwa semua orang yang mempunyai tanah atau rumah, menjual kepunyaannya itu, dan hasil penjualan itu mereka bawa dan mereka letakkan di depan kaki rasul-rasul (Kis.4:34-37). Yusuf yang rasul-rasul sebut dengan Barnabas yang artinya anak penghiburan, seorang Lewi dari Siprus, menjual ladang, miliknya, lalu membawa uangnya itu dan meletakkannya di depan kaki rasul-rasul (Kis.4:36-37). Ia memberi dengan tulus dan sepenuh hati. Tetapi berbeda dengan Ananias dan Safira tidak memberi dengan tulus dan sepenuh hati. Mereka menahan sebagian dari hasil penjualan itu dan sebagian lain dibawa dan diletakkannya di depan kaki rasul-rasul (Kis.5:2).
GKPA melalui Synode telah memutuskan dan menetapkan bahwa setiap warga jemaat berkewajiban memberikan “Persembahan Bulanan”-nya setiap bulan di samping persembahan-persembahan lainnya misalnya persembahan minggu, perpuluhan, ucapan syukur, dll. Namun dalam kenyataannya, banyak dari kalangan warga jemaat itu melanggar hasil keputusan Synode ini. Coba kita ambil contoh terdekat. GKPA Penjernihan yang memiliki 332 KK; 1177 jiwa (Almanak GKPA 2007), ternyata hanya rata-rata 18-20 KK yang rutin memberikan Persembahan Bulanannya tiap bulan. Kita belum bicara tentang nilai pemberiannya seperti Ananias dan Safira ini. Di mana yang lain??? Apakah kita golongan Barnabas atau termasuk golongan Ananias dan Safira?
Kita diajak saat ini memberi dengan tulus dan sepenuh hati. Jika kepada Tuhan melalui Gereja saja kita tidak mampu memberi dengan tulus dan sepenuh hati, lantas kepada siapa lagi kita memberi dengan tulus dan sepenuh hati ??? Untunglah Tuhan itu masih tetap baik, tidak dilakukannya seperti kepada Ananias dan Safira kepada kita. Itu bukan berarti Tuhan sekarang menjadi semakin bodoh, dan mudah ditipu, dan dibohongi. Tuhan tetap tahu keadaan kita dan kemampuan kita sekarang. Tuhan tidak menuntut supaya kita memberi karena terpaksa sehingga hidup kita terlantar. Tidak. Tuhan ingin kita jujur dan sadar sehingga mampu memberi dari kemampuan kita dengan sukarela. Karena itu mulailah memberi dengan tulus dan sepenuh hati minimal mulailah rutin memberikan Persembahan Bulanan kepada Tuhan. Selamat memberi. Amin !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar