Selasa, 22 Juni 2010

Bacaan Minggu 7 Setelah Trinitatis, 11 Juli 2010: Amsal 23:1-8


Minggu 7 Setelah Trinitatis, 11 Juli 2010 Amsal 23:1-8













INTEGRITAS DAN STATUS SOSIAL ORANG BERHIKMAT



Hikmat berasal dari Tuhan. Sejak awal, penulis kitab Amsal menyaksikan bahwa: “takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan.” (Ams. 1:7). Jadi ada kaitan yang jelas antara orang berhikmat dengan hidup yang takut akan Tuhan. Orang yang takut akan Tuhan akan beroleh hikmat. Tetapi mereka yang mencoba mengenal Allah dari analisa pemikiran atau dari pertimbangan-pertimbangan atas perhitungan manusia, akan gagal, bahkan banyak yang akhirnya sesat dengan menyangkal Tuhan. Artinya, orang yang mengandalkan pikiran dan pertimbangan duniawi tidak identik dengan orang berhikmat.
Orang berhikmat itu adalah orang yang memiliki pengetahuan yang memungkinkan orang itu mengenal Yang Mahakudus (Ams. 30:3). Sehingga, orang yang berhikmat akan mampu melihat perbuatan-perbuatan Tuhan yang besar dalam setiap perjalanan hidup dan pelayanannya di tengah-tengah realitas dunia ini. Mereka yang mengalami perbuatan-perbuatan besar Tuhan dalam hidupnya akan memiliki integritas dan nilai-nilai yang mendahulukan harkat dan martabat manusia. Mengapa? Sebab, hikmat yang dari Tuhan, itu menuntunnya kepada sikap yang tenang dan keyakinan akan anugerah Tuhan yang memberikan segala sesuatu yang perlu dalam hidupnya.

Orang berhikmat tidak akan mengerjakan sesuatu tanpa campurtangan Tuhan. Sehubungan dengan itu, Amsal 23:1-8 ini secara halus mengingatkan beberapa hal agar setiap orang berhikmat menjaga integritasnya dalam mengejar cita-cita, karier dan status sosial yang diinginkannya.

Peluang dan ancaman bersama seorang pembesar (ayat 1-3).

Memiliki relasi dengan seorang pembesar adalah sebuah peluang, dan sekaligus juga ancaman. Ada banyak hal yang dapat diharapkan dari hubungan yang baik dengan orang-orang terhormat. Secara umum, kita senang dan bangga dekat dengan seorang pembesar, bukan saja dengan pejabat dan orang kaya, tapi juga dengan seorang publik figur, seorang artis misalnya. Namun, orang berhikmat yang dekat dengan seorang pembesar tidak akan terjebak dengan penampilan dan gaya hidup pembesar itu. Orang bijak yang menuliskan Amsal ini memiliki pengalaman yang mesti dicamkan oleh siapa saja yang memiliki relasi dengan seorang pembesar. Sebab, duduk satu meja dengan seorang pembesar, bukan saja menjanjikan sebuah kesempatan untuk promosi jabatan dan sejenisnya, tetapi sebaliknya juga dapat menjadi ancaman yang mematikan karier dan bahkan nyawanya.

Pengalaman yang paling menyakitkan dari orang-orang yang memiliki kedekatan khusus dengan seorang pejabat, penguasa dan orang kaya adalah ketika, oleh satu dan lain hal, sang pembesar mencampakkan dan meninggalkannya bagaikan sampah di Tempat Pembuangan Akhir. Penulis Amsal ini, luput dari tragedi seperti itu karena hikmat sungguh menuntun hidupnya, yakni dengan sangat hati-hati terus mengevaluasi kedekatannya dengan sang pembesar. Orang bijak yang menulis Amsal ini dengan cermat memerhatikan apa yang ada di depannya (ayat 1); dia bukan saja memperhatikan hidangan yang disuguhkan pembesar itu, tetapi jauh ke dalam motiv dan tujuan jamuan makan pembesar itu. Sebab, orang bijak harus menjaga integritas dan nilai-nilai yang mendahulukan kehormatan daripada kemewahan hidup. Kalimat perintah yang mengatakan: “Taruhlah sebuah pisau pada lehermu, bila besar nafsumu!” (ayat 2) secara tegas mengingatkan bahwa jamuan makan mewah yang menjebak sungguh merupakan ancaman bagi orang yang tidak berhikmat. Oleh karena itu, jangan sampai tertipu dengan makanan pembesar yang lezat (ayat 3). Orang berhikmat, sebagai orang yang takut akan Tuhan, tidak akan menjual status dan harga dirinya demi makanan yang lezat seperti Esau (Kej. 25:29-34). Tetapi, seseorang yang takut akan Tuhan, dengan hikmat mengalahkan godaan makanan, seperti Yesus Kristus yang menang dalam pencobaan oleh iblis (Mat. 4:3-4).

Orang berhikmat tidak materialisme (ayat 4-5).

Orang bijak dalam Amsal ini sama sekali tidak alergi dengan kekayaan. Menjadi kaya tidak ada salahnya. Namun, ungkapan orang bijak pada Amsal ini jelas mengingatkan kesia-siaan mengejar status sosial melalui kekayaan. Status sosial yang didasarkan pada kekayaan material tidak bertahan lama; karena kekayaan dapat hilang sekejap mata, terbang seperti burung rajawali (ayat 5). Status sosial memang penting, namun bukan dengan memburu uang. Sebagaimana diingatkan oleh Paulus kepada Timotius, bahwa oleh karena memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa diri dengan berbagai-bagai duka (1Tim. 6:10). Artinya, orang yang berhikmat akan menjaga ambisinya agar tidak jatuh kepada roh materialisme. Orang berhikmat boleh saja kaya raya, tetapi tidak materialis, sebab memperoleh hikmat sungguh jauh melebihi memperoleh emas (Ams. 16:16). Mengejar kekayaan dengan susah payah bukanlah suatu obsesi orang berhikmat, karena kekayaan selalu dilihat sebagai berkat yang kemudian ditambahkan oleh Tuhan kepada setiap orang yang bersungguh-sungguh melakukan kehendak-Nya (Ams. 10:22). Oleh karena itu, seseorang yang berhikmat berjerih payah untuk melakukan kebenaran, yang berkenan bagi Tuhan, serta menghindari jalan yang menyesatkan. Sehubungan dengan itu pula Yesus Kristus mengajarkan, supaya setiap orang percaya mencari terlebih dahulu kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semua hal, termasuk kekayaan akan ditambahkan kemudian. Kekayaan dilihat sebagai bonus, bukan sebagai goal yang mau dicapai (Mat. 6:33).

Menjadi orang yang tulus dan berbelas kasih (ayat 6-8)

Orang bijak melihat ada kaitan yang erat antara kekayaan dan ketulusan hati serta belas kasihan. Di sini jelas bahwa orang kaya tidak selalu dilihat negatif; yang negatif adalah kekikiran dan ketidak tulusan dalam memberi (jamuan) kepada orang lain. Oleh karena itu, larangan orang bijak pada ayat 6, “jangan makan roti orang yang kikir” harus dilihat dalam konteks kepribadian orang kaya yang menyuguhkan makanan lezat itu. Apakah orang kaya yang memberikan jamuan makan itu merupakan pribadi yang tulus dan pengasih, atau sebaliknya ia memang seseorang yang biasa menggunakan kekayaannya untuk menjerat orang lain demi kepentingan pribadi? Orang berhikmat tidak akan menjual harga dirinya dengan memakan suap yang lezat atau memberikan kata-kata yang manis untuk menyenangkan hati orang kaya yang tidak tulus (ayat 8). Namun demikian, orang bijak tidak akan apriori terhadap orang kaya. Orang bijak malahan harus memberikan pengaruh yang positip agar setiap orang kaya menjadi orang yang memberi dengan tulus, dan memiliki kepedulian terhadap mereka yang miskin, terbelakang, dan terlindas oleh kemajuan zaman.

Orang kaya yang tulus hati dan penuh kepedulian terhadap nasib sesama yang menderita akan sangat efektip mengatasi berbagai masalah sosial dan ekonomi. Malahan boleh dikatakan, bahwa cara yang paling efektip untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran serta kekerasan, yang menjadi bahaya laten dalam negara-negara berkembang, seperti Indonesia, adalah dengan membangun moralitas orang kaya melalui penganugerahan penghargaan yang tinggi bagi setiap orang kaya yang berusaha keras memerangi kemiskinan, membuka lapangan kerja yang luas, dan mendirikan pusat perlindungan terhadap korban-korban kekerasan. Sebaliknya, sebagai upaya pencegahan dan menekan orang-orang kaya yang menyalah gunakan kekayaannya untuk suap dan berbagai usaha yang merusak kehidupan masyarakat, maka diperlukan langkah-langkah yang bijak dengan sikap dan tindakan hukum yang tegas dan konsisten.

Orang kaya yang berhikmat akan membangun integritas dan status sosial yang terhormat dan mulia apabila dengan tulus hati memberikan perhatian dan karya nyata yang dapat mengangkat nasib orang miskin, dengan membangun lapangan kerja dan mendukung semua upaya peningkatan taraf hidup rakyat banyak. Orang kaya yang berhikmat malahan dapat memberikan pengaruh yang kuat terhadap pemerintahan yang sehat dan bersih dengan menggugat oknum-oknum pejabat publik yang bermental korup.




Pdt. Willem TP Simarmata, M.A.
KRP HKBP/Dosen STT HKBP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar