Selasa, 22 Juni 2010

Bacaan Minggu 5 Setelah Trinitatis, 4 Juli 2010 : Ayub 28:1-12


Minggu 5 Setelah Trinitatis, 4 Juli 2010 Ayub 28:1-12












“MENCARI YANG TIDAK PERNAH ADA”


Pendahuluan


Ada filsafat buah yang merefleksikan kehidupan seperti ini: Jadilah jagung, jangan jambu monyet, jagung membungkus bijinya yang banyak, sedangkan jambu monyet memamerkan bijinya yang cuma satu-satunya. Jangan pamer, kecuali kalo lagi pameran. Jadilah pohon pisang, pohon pisang kalau berbuah hanya sekali, lalu mati. Kesetiaan dalam pernikahan. Jadilah duren, jangan kedondong walaupun luarnya penuh kulit yang tajam, tetapi dalamnya lembut dan manis, beda dengan kedondong, luarnya mulus, rasanya agak asem dan di dalemnya ada biji yang berduri.

Jadilah bengkoang walaupun hidup dalam kompos sampah, tetapi umbinya isinya putih bersih. Jagalah hati jangan kita nodai meskipun mainnya di tempat sampah. Jadilah Padi makin berisi, makin merunduk. Tapi awas ada wereng; Jadilah pohon kelapa sudah terkenal dengan serba gunanya, tidak bisa dimanipulasi (maksudnya kelapa tidak bisa dicangkok); Jadilah tandan Pete, bukan tandan rambutan.Tandan pete membagi makanan sama rata ke biji petenya, semua seimbang, ngak seperti rambutan ada yang kecil ada yang besar. Jadilah cabe makin tua makin pedes, makin tua makin bijaksana. Jadilah buah manggis bisa ditebak isinya dari bokong buahnya, maksudnya jangan munafik. Jadilah buah nangka, selain buahnya, nangka memberi getah kepada penjual atau yg memakannya, artinya berikan kesan kepada semua orang (tentunya yang baik). Perikop ini mengarahkan kita untuk lebih memaknai hikmat dan kebijaksanaan, yang disimbolkan oleh buah-buah di atas.



Penjelasan Teks

Banyak yang mengatakan Kitab Ayub adalah kisah yang menceritakan masalah penderitaan, sang tokoh mengeluh tanpa henti. Ia kehilangan anak-anak dan semua ternak. Ia menggaruki borok-boroknya. Akan tetapi apakah yang menjadi pokok masalah dalam penderitaan tersebut? Banyak orang bertanya-tanya mengapa penderitaan itu terjadi? Bahkan penderitaan justru malah terjadi pada seseorang yang dikenal saleh dan taat kepada Tuhan pada zamannya. Mengapa demikian?

Sebagai manusia, Ayub memiliki kemampuan untuk merasakan kedamaian dan ketidakadilan. Jika manusia itu mengalami ketidakadilan, maka timbul keinginan untuk melawannya. Ayub merasakan bahwa Allah tidak adil terhadapnya, dia bertanya-tanya apakah sebenarnya kesalahan yang telah diperbuatnya kepada Allah sehingga ia bisa menderita seperti itu. Ia minta keadilan kepada Allah.

Nama Kitab Ayub berasal dari bahasa Ibrani ‘Iyyob’, yang juga diwakili oleh bahasa Yunani yaitu ‘Iob’, dan kemudian dalam bahasa latin datang dalam bentuk Inggris yaitu ‘Job’ yang berati namanya sendiri, yaitu Ayub (1:1). Kitab Ayub seperti halnya Kitab Yosua dan Ruth mengambil nama tokoh utamanya. Dalam kitab ini, Ayub digambarkan sebagai seorang pahlawan (hero). Dalam Perjanjian Lama ini, Kitab Ayub juga termasuk dalam sastra hikmat Israel bersama dengan Amsal dan Pengkotbah. Kitab-kitab ini disebut demikian karena Kitab Amsal, pengkotbah dan Ayub ditulis oleh seorang yang bijak yang sangat menekankan akan hikmat dan kebijaksanaan.
Tokoh Ayub hidup dalam budaya kesukuan dan ikatan keluarga yang sangat erat. Salah satu ciri budaya kesukuan itu adalah bersifat lisan, dimana komunikasi dan pendidikan bergantung pada kata-kata yang diucapkan. Selain itu budaya kesukuan (lisan) adalah budaya malu. Saat itu nama baik dan harga diri dapat membuat seseorang terhormat. Dalam konteks keagamaan, ada beberapa poin utama yang dapat kita ambil, terutama mengenai kitab Ayub ini.

Dalam perikop ini, Ayub menggambarkan pekerjaan penembang untuk mencari benda-benda dalam tanah, Ayub memimpin pikiran kita dengan tiba-tiba kepada suatu persoalan yang pelik sekali. Penambang bisa mengeluarkan permata yang indah dari hati bumi. Tetapi hikmat di manakah dicari? Di perut bumi sekalipun bahkan menyelam di dasar laut sekalipun tidak akan dapat menemukannya. Tidak ada seorang pun manusia mengetahui jalan ke situ.

Emas dan perak bukanlah tandingannya. Ia tidak bisa disamakan dengan emas bukan juga dengan permata. Pertanyaan Ayub menarik dan cukup dalam,”Darimana kah datang hikmat dan tempatnya di mana? Hikmatlah yang kita perlukan dalam hidup dan mati akan berdiri teguh dalam terang, kegelapan, sukacita, penghiburan, kedukaan dan akan mendapat keteduhan hati dalam ribut dunia. Dalam segala abad di antara bangsa-bangsa selalu mencarinya tetapi belum pernah didapatkan, dia sungguh tersembunyi dari segala makhluk. Ia adalah sebuah rahasia kehidupan dan teka-teki alam.

Tetapi hanya Tuhan sajalah yang tahu. Tuhan tahu jalan ke sana bahkan tempatnya pun tahu karena ia bisa memandang sampi ke ujung bumi dan segala makhluk di bawah langit dapat ia lihat. Lihat saja, Dialah yang menentukan beratnya angin, menentukan sifat dari air. Mengatur musimnya hujan, petir. Tuhan memiliki memakai dan menggunakan hikmat, dengan cara memperlihatkannnya, mendidik dan menaruh tempatnya. Hanya Tuhanlah yang dipenuhi sagala hikmat. Hikmat yang dari awal dan kekal akan ada selamanya. Dalam dan dibalik alam, bekerjalah hikmat Allah walaupun tidak tampak dan kita tidak rasakan. Ingin berhikmat, manusia harus mengerti dan mengenal persukutuan dengan Allah



Refleksi

Sejarah menjadi unsur hakiki seorang manusia. Hidup manusia bukanlah serupa batu-di-ruang-hampa, dalam arti senantiasa sama sejak awal ampai akhir, melainkan menyejarah dengan kata lain dalam perkembangan hidup manusia pada umumnya tidak disediakan jalan pintas. Apabila orang dengan paksa mau mengusahakan jalan pintas (entah bidang pengetahuan atau perasaan dan sebagaianya), biasanya akan merusak keseimbangan pribadi dan malah dapat menghancurkan si pribadi sendiri. Dengan kata lain panggilan hidup manusia menuntut sepenuhnya tanggung jawab dari setiap pribadi.
“Hanya ada dua tragedi dalam kehidupan ini; orang yang tidak mendapatkan apa yang diinginkannya dan orang yang mendapatkannya” seperti halnya cerita di bawah ini.

Pada suatu ketika, Nasrudin berbincang-bincang dengan hakim kota. Sang hakim membuka percakapan, ”Seandainya saja setiap orang mau mematuhi hukum dan etika,..? Nasrudin menimpalinya, “Bukan manusia yang harus mematuhi mematuhi hukum, melainkan hukumlah yang harus disesuaikan dengan kemanusiaan.”

Hakim mencoba mendebat dengan mengajukan pertanyaan, “Tapi bagi cendikiawaan seperti Anda, kalau Anda dihadapkan pada pilihan: kekayaan atau kebijaksanaan, mana yang akan Anda pilih? Nasrudin menjawab, “Tentu saya memilih kekayaan.” Sang hakim membalas sinis, “Memalukan sekali, Anda adalah cendikiawaan yang diakui masyarakat. Dan Anda lebih memilih kekayaan daripada kebijaksanan?” Nasrudin balik bertanya kepada sang hakim, Kalau pilihan Anda sendiri apa?” sang hakim menjawab tegas, “Tentu saya memilih kebijaksanaan.” Mendengar jawaban itu, Nasrudin menutup pembicaraan dan berkata, “Terbukti, semua orang memilih untuk memperoleh apa yang belum dimilikinya”.

Momentum inilah yang memberi hikmat dan kebijaksan kepada Ayub menjadi kesadaran baru tentang persekutan dengan Allah. Persekutuan dengan Allah yang bukan tradisi agama seperti yang dipertahankan oleh sahabat-sahabat Ayub, melainkan persekutaun yang hidup, dengan Allah yang hidup. Allah yang menyatakan dirinya lewat angin topan membuat Ayub lebih mengenal dan menikmati persekutuan dengan Allah yang memberi makna dalam hidup ini. Implikasi dari pertobatan Ayub menjadi lebih berarti lewat anugerah Allah. Jadi inti dari kitab Ayub adalah persekutuan dengan Allah yang menceritakan pertobatan Ayub. Dimana penderitaan yang dia alami adalah merupakan karakter persekutuan dengan Allah yang melahirkan hikmat dari Allah.




Pdt.Maruasas SP Nainggolan S.Si (Teol)
Melayani di Kantor Pusat HKBP Pearaja-Tarutung
Sekhus Kadep Diakonia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar