Selasa, 22 Juni 2010

RENUNGAN









MORALITAS BARU
Ramli SN Harahap




Apakah moralitas baru diterima sebagai perilaku Kristen saat ini?
Moralitas baru mulai dianut secara luas di tahun 1960'an sebagai sistim nilai baru menggantikan moralitas lama yang dianggap sudah kuno/kolot. Moralitas baru sesungguhnya bukanlah hal baru karena merupakan hasil pembenaran atas perilaku menyimpang dan ketidakpercayaan manusia selama berabad-abad.

Para pembela moralitas baru atau 'etika situasi', umumnya berpandangan bahwa alasan-alasan manusialah yang harus dijadikan dasar penentuan moralitas itu sendiri. Mereka menerima pewahyuan sebagai sumber nilai-nilai etika namun pada saat yang sama menolak norma/ hukum tersebut, kecuali pada bagian perintah mengasihi Allah dan sesama. Etika situasi tidak didasarkan pada apa yang dianggap benar atau salah, tapi pada apa yang dirasa cocok.

Atas dasar apakah seseorang bisa menerima pewahyuan tapi hanya pada satu bagiannya saja? Ketika akal manusia mulai membuat penilaian pada wahyu Allah, orang kehilangan hak untuk mengklaim bagian manapun dari wahyu sebagai hal yang mengikat.

Ajaran utama metode situasional adalah kasih yang tidak bersandar pada kebaikan hakiki, yakni dasar penentuan salah dan benar, kasih dalam metode situasional dapat 'berpikir', lemah, dan tak berdaya. Ia dengan jelas membedakan kasih dan kepatuhan, kebenaran dan kebijaksanaan.

Walau moralitas baru menjadi terkenal setelah mendapat dukungan dari pemuka-pemuka agama, namun dalam moralitas itu sendiri tidak terdapat nilai "Kristen". Sebuah etika baru dapat dikatakan memiliki nilai Kristen jika didasarkan pada Alkitab.

Dari awal hingga akhir, Alkitab menunjukkan bahwa Allah mengharapkan tindakan nyata dari manusia ciptaan-Nya, dan harapan itu dituangkan dalam perjanjian lama melalui Sepuluh Perintah Allah. Para penganut etika situasi biasanya mengatakan bahwa Kristus sendiri telah menghapuskan aturan-aturan dalam Perjanjian Lama dan menggantinya dengan satu hukum yaitu kasih. Kristus memang mengatakan bahwa mengasihi Tuhan dan sesama adalah dua hukum yang terutama dan kita tidak boleh mengabaikannya, tapi untuk menggenapi perintah tersebut, Tuhan tidak membiarkan manusia tanpa aturan/hukum (Matius 22:35-40).

Kristus dengan tegas mengatakan "Janganlah kamu menyangka bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum taurat atau kitab para nabi; Aku datang bukan untuk meniadakannya melainkan menggenapinya (Matius 5:17). Lebih jauh Ia juga memperingatkan untuk tidak membatalkan perintah yang paling kecil sekalipun namun agar mematuhinya (Matius 5:19). Dalam menggenapi hukum itu, Kristus sangat menekankan pada ketaatan/ kepatuhan hati, bukan pada bentuk ibadah yang terlihat dari luar.

Pada khotbah dibukit, Kristus menyebutkan secara khusus hukum Perjanjian Lama dengan penekanan yang lebih dalam. Misalnya, bukan saja 'jangan membunuh'; 'jangan membenci' juga adalah perintah yang sama pentingnya (Matius 5:21-22). Contoh lainnya, Dia menetapkan hukum tentang perzinahan (5:27-28), perceraian (5:31-32), mengambil sumpah, memberi sedekah, berdoa, berpuasa. Kristus tidak membatalkan Hukum; Ia menunjukkan bahwa ketaatan sejati haruslah berasal dari dalam sebagaimana kepatuhan yang terlihat di luar.

Mengasihi Allah dan sesama adalah dua perintah terutama, bukan karena Allah tidak mengharapkan manusia mentaati perintah lainnya, namun karena perintah yang lain tidak mungkin bisa dipenuhi jika hati manusia masih memberontak terhadap penciptaNya.

Etika situasi dimaksudkan untuk menunda, mengabaikan, atau merusak prinsip dasar karena merasa dirinya dapat memberi lebih banyak kasih dibanding melalui ketaatan/kepatuhan. Etika tersebut secara jelas merusak gambaran kasih dalam alkitab "Sebab inilah kasih kepada Allah, yaitu bahwa kita menuruti perintah-perintah Nya. Perintah-perintahNya itu tidak berat (I Yoh. 5:3).

Kasih menurut Alkitab, tidak terpisahkan dari kepatuhan pada wahyu Allah. Yesus berkata, "Jika engkau mengasihiKu, engkau akan mengikuti perintah-perintahKu" (Yoh. 14:15). Etika situasi tidak bisa begitu saja berkata bahwa hukum kasih telah menggantikan hukum-hukum lainnya dalam Alkitab, karena keduanya berjalan seiring.

Moralitas baru begitu populer karena menolak semua aturan hukum kecuali kasih. Moralitas tersebut dipakai untuk membenarkan perselingkuhan, aborsi, homoseksualitas, mencuri, mabuk-mabukan, dan penggunaan obat bius. Seseorang dapat merasionalisasi berbagai penyimpangan perilaku atas nama kasih karena tidak dituntun alkitab, padahal ia tidak mengetahui apa sebenarnya mengasihi itu!

Injil Yesus Kristus membebaskan seseorang dari keterikatan hukum melalui anugrah keselamatan oleh kemurahan-Nya, jadi bukan karena hasil ibadah. Injil ini memberikan hidup baru bagi orang percaya sehingga seseorang dengan suka cita melakukan perintah-perintah Allah. Orang-orang Kristen mengalami janji-janji Kristus, "Kamu adalah sahabatKu, jika kamu melakukan perintahKu (Yoh. 15:14).


Dikutip dari Henry Morris dan Martin Clark, The Bible Has the Answer, (Master Books, 1987)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar