Selasa, 22 Juni 2010

Bacaan Minggu 8 Setelah Trinitatis, 18 Juli 2010: 2Petrus 2:10-15



Minggu 8 Setelah Trinitatis, 18 Juli 2010 2Petrus 2:10-15






MEMBANGUN MORALITAS KRISTIANI



Membekali setiap warga Gereja agar mampu menghadapi ajaran-ajaran sesat menjadi sangat urgen pada saat guru-guru palsu marak menyesatkan orang Kristen. Pada waktu Petrus menuliskan surat ini, guru-guru palsu semakin aktif menyesatkan pikiran warga Gereja dan merusak moral orang percaya. Secara khusus guru-guru palsu yang menyangkal iman Kristen tentang parousia, yaitu zaman akhir yang akan menyudahi sejarah dunia ini. Penyangkalan terhadap ajaran Gereja tentang akhir zaman itu telah melahirkan orang-orang yang tidak bermoral, yang hidup bebas tanpa batas (Libertinis). Rasul Petrus dengan tegas mengingatkan Gereja tentang pentingnya pembinaan warga gereja (PWG), agar setiap orang percaya memiliki pemahaman iman yang baik sehingga mampu memelihara kehidupan yang kudus dan berkenan kepada Allah.
Para pekerja Gereja sendiri tidak mungkin mampu membendung pengaruh-pangaruh zaman; kemampuan para pemimpin Gereja sangat terbatas untuk melindungi warga jemaat dari pengaruh guru-guru palsu. Oleh karena itu semua warga Gereja harus dibekali dengan pokok-pokok ajaran iman yang kuat dan dewasa, sehingga tidak goyah oleh ajaran guru-guru palsu (bnd. Ef. 4:14). Salah satu nilai yang harus dimiliki setiap orang Kristen adalah percaya kepada kuasa kebenaran. Kebenaran adalah kehidupan itu sendiri. Orang benar akan hidup oleh percayanya. Sementara orang yang jahat kehilangan kuasa kehidupan. Orang yang benar tidak akan menghinakan dirinya sendiri dengan perbuatan jahat apa pun.

Hidup secara manusiawi bukan seperti hewan (ayat 10-12)

Orang Kristen harus hidup secara manusiawi. Orang Kristen harus melawan hidup yang tidak manusiawi. Menuruti hawa nafsu adalah salah satu ciri hidup hewani. Oleh karena itu perilaku hewani dan perilaku manusiawi perlu dikenali dengan baik. Pada dasarnya, orang percaya memiliki kemampuan untuk mengelola hawa nafsunya sesuai dengan nilai-nilai moral dan kebenaran yang diimaninya. Malahan orang percaya justru dikenali dari sikap, perbuatan dan ucapannya yang terkontrol dengan akal budi yang telah diterangi oleh firman Tuhan. Rasul Petrus menyebut orang-orang yang mencemarkan dirinya dengan perbuatan-perbuatan menurut hawa nafsunya adalah sama seperti hewan yang tidak berakal (ayat 12). Orang-orang yang tidak berakal mudah terbawa emosi dan perbuatan yang mencemarkan. Keangkuhan dan keberanian mengucapkan kata-kata hujatan adalah sikap dan perilaku kebodohan dan emosi yang tidak terkontrol. Secara tidak langsung keangkuhan dan keberanian mengucapkan kata-kata hujatan sebenarnya menghina kuasa Allah (ayat 10). Orang Kristen tidak lagi pantas mengucapkan kata-kata hujatan yang merendahkan sesama, sebab semua orang adalah ciptaan Allah. Menghujat seseorang adalah berarti melecehkan Penciptanya. Sebagaimana dikatakan Petrus pada ayat 12, para penghujat tidak tahu apa (siapa) yang dihujatnya oleh karena akal budinya telah disesatkan oleh hawa nafsunya. Seorang Kristen yang baik harus menegur setiap orang yang merendahkan sesamanya. Rasul Petrus juga menilai bahwa mereka yang menghujat sesamanya dan menggoda mereka untuk melakukan kejahatan yang mencemarkan telah menjadi lebih jahat daripada para malaekat yang memberontak kepada Allah.

Hidup bermoral dan sederhana (ayat 13-14)

Orang percaya juga harus hidup sesuai dengan moralitas Kristen. Salah satu moralitas Kristen yang mesti dilatih dan dihidupi secara konsisten adalah kehidupan yang sederhana dan jauh dari pesta pora yang merendahkan martabat manusia. Pesta pora yang menjadi kenikmatan manusia duniawi dapat menjatuhkan harkat dan martabat manusia, sejajar dengan hewan, sehingga tidak layak lagi disebut sebagai anak Bapa (bnd. Luk. 15:11-32). Memang, kaum Libertinis, yaitu mereka yang hidup bebas dan liar seperti hewan, tidak memerdulikan nilai-nilai moral yang umum, mereka jatuh ke lumpur hedonisme. Gaya hidup seperti itu bukan saja menjadi fenomena yang mengancam warga Gereja pada masa Rasul Petrus. Gaya hidup hedonis yang libertinis seperti itu juga sedang mengancam warga Gereja abad 21, khususnya di kota-kota metropolitan. Kaum hedonis dan libertinis menganggap seks bebas, narkoba, dan makan – minum secara mewah dan berlebihan dilihat sebagai kenikmatan hidup. Celakanya, banyak orang melihatnya juga sebagai kehidupan yang terberkati. Padahal sebaliknya, Rasul Petrus menyebutnya sebagai kotoran dan noda (ayat 13).
Kehidupan yang sederhana perlu dilatih sebagai dasar pembangunan moral Kristiani. Hidup sederhana adalah awal dari tenang dan damai, dimana setiap orang dapat dengan sadar menggunakan waktu dan potensi yang dimiliki untuk berkarya. Sebaliknya, mereka yang menggunakan waktu kerja (ayat 13: “siang hari”) untuk berfoya-foya adalah orang-orang yang bermoral rendah dan terkutuk (ayat 14). Sebab, waktu siang mestinya adalah waktu untuk melayani, berkarya secara maksimal untuk masyarakat, bangsa dan dunia. Orang-orang yang sederhana akan memiliki waktu dan kesempatan yang lebih besar untuk melayani sesama, daripada mereka yang hidup dalam pesta pora dan kenikmatan duniawi. Artinya, orang yang hidup sederhana bekerja keras bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera. Bekerja keras dan kepedulian terhadap sesama adalah moralitas Kristiani yang luhur, sebagaimana dicontohkan Yesus Kristus di tengah-tengah para murid dan khalayak ramai. Singkat kata, kehidupan yang sederhana pada akhirnya akan membentuk manusia yang menghargai dan mengasihi orang lain seperti diri sendiri, dan bukan sebagai objek yang memuaskan hawa nafsu kedagingan. Sebaliknya, mereka yang hidup bebas dan foya-foya tidak jemu-jemunya melakukan kejahatan, termasuk kejahatan seksual dimana wanita/pria yang lain juga dilihat sebagai objek kenikmatan duniawi.

Hidup benar: tidak materialis (ayat 15)

Membangun moralitas Kristiani bagi setiap warga Gereja adalah sasaran yang hendak dicapai dengan penulisan Surat Rasul Petrus ini. Secara psikologis, memang orang-orang yang rentan terhadap pengaruh ajaran sesat adalah mereka yang menghadapi tekanan hidup yang berat, baik secara social maupun secara ekonomi. Secara umum, mereka yang miskin dan tersingkir dari kehidupan social lebih mudah tergoda untuk mengikuti nasihat yang tidak rasional. Misalnya, mereka yang tergoda untuk mengadu peruntungan dengan perdukunan, berbagai macam praktek perjudian, bahkan ramalan-ramalan keberuntungan yang sama sekali tidak rasional. Orang-orang miskin dan tertekan secara social apabila dirasuki oleh roh materialisme akan menjadi sasaran empuk dari para guru-guru palsu yang pandai menjual ide, menjanjikan keberhasilan dan bahkan kenikmatan hidup. Oleh karena itu, Gereja harus memberikan perhatian utama untuk membekali warga Gereja yang rentan seperti itu.
Gereja secara khusus perlu melindungi warga Gereja dari praktek bisnis yang mengelabui orang-orang miskin dan menderita, di mana orang-orang seperti Bileam mengambil kesempatan untuk meraup keuntungan material dan popularitas pribadi. Rasul Petrus secara sengaja menggunakan Bileam sebagai typos dari guru-guru palsu yang dengan serakah mencari keuntungan dan popularitas diri dengan mempengaruhi orang banyak, bahwa tuntutan Allah dapat ditawar. Seolah-olah, untuk mendapatkan hidup yang lebih sejahtera dan keuntungan yang lebih besar, maka kebenaran Allah dapat ditawar, dan moralitas Kristen dapat diabaikan. Orang Kristen tidak dapat kompromi dengan kejahatan dalam bentuk apa pun. Sebagaimana dikatakan oleh Rasul Paulus, orang Kristen justru harus mengalahkan kejahatan dengan kebaikan (Rm. 12:21). Oleh karena itu, seorang Kristen yang benar senantiasa berpegang pada ajaran yang benar dan nilai-nilai moral yang tinggi luhur. Amin.




Pdt. Willem TP Simarmata, M.A.
KRP HKBP/Dosen STT HKBP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar