Selasa, 22 Juni 2010

RENUNGAN




KEMERDEKAAN YANG MEMBAWA KERUKUNAN
Ramli SN Harahap



Pengantar dan Latar-Belakang


Pada 17 Agustus 2010 kita merayakan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-65. Yang mana oleh pertolongan Tuhan, kita telah dibebaskan dari penjajahan bangsa asing, sehingga kini kita dapat menjadi bangsa yang merdeka. Tetapi tidak berarti bangsa kita sekarang telah bebas dari penjajahan dalam arti yang sesungguhnya. Bangsa kita sekarang masih dijajah oleh kuasa dosa, sehingga kehidupan masyarakat kita masih saling menjajah, menindas atau berupaya untuk menundukkan sesama yang dianggap lemah. Sebagian kelompok masyarakat yang merasa dirinya kuat dan berkuasa terus berupaya untuk menekan dan menindas anggota kelompok masyarakat yang tidak berdaya, apakah penindasan dalam bidang sosial-ekonomi, etnis, budaya ataukah dalam bidang agama. Padahal ciri kehidupan masyarakat Indonesia sejak awal adalah pluralistis (majemuk). Tetapi dominasi “mayoritas” terhadap “minoritas” dalam kehidupan sehari-hari sering begitu kental sehingga terjadilah penindasan dalam berbagai bentuk. Itu sebabnya kita sering gagal untuk mewujudkan kehidupan yang rukun sebagai suatu bangsa. Di berbagai tempat di negara kita masih terjadi berbagai pertikaian dan konflik berdarah. Bila sebelum 1945, kita berhadapan dengan kuasa penjajahan bangsa asing; maka kini kita berhadapan dengan kuasa penjajahan yang dilakukan oleh sesama bangsa. Pola penjajahan “modern” yang terjadi saat ini, bisa jadi lebih buruk dari pada saat kita dijajah oleh bangsa asing. Jadi pada intinya sampai saat ini kita belum sepenuhnya bebas dari kuasa penjajahan. Karena itu peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia setiap tanggal 17 Agustus perlu dipahami secara komprehensif dan realistis yaitu kita harus terus berjuang untuk menegakkan keadilan dan kebebasan. Tujuannya agar peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia tersebut jangan hanya mengenang arogansi atau superioritas bangsa lain yang pernah menindas bangsa kita; tetapi kita melupakan dan mengabaikan arogansi atau superioritas setiap kelompok atau orang yang merasa dirinya “mayoritas”. Kehidupan bersama yang rukun akan terwujud ketika kita mampu hidup bersama dengan menghormati hak setiap orang dan tidak pernah memperlakukan orang lain secara diskriminatif dalam bidang apapun juga.


Merdeka menjadikan Hidup Lebih Rukun

Walau umat Israel semula dari satu keturunan yaitu dari keturunan Abraham dan Ishak, ternyata tidaklah mudah bagi mereka untuk hidup bersama dengan rukun. Bahkan Abraham dan Lot yang semula hidup bersama-sama, akhirnya mereka terpaksa berpisah ketika usaha dan kekayaan mereka bertambah (Kej. 13:6). Demikian pula halnya dengan Esau dan Yakub. Ketika harta milik mereka bertambah-tambah, maka kemudian Esau memilih meninggalkan Kanaan dan menetap di pegunungan Seir. Kej. 36:7 memberi kesaksian, yaitu: “Sebab harta milik mereka terlalu banyak, sehingga mereka tidak dapat tinggal bersama-sama”. Setelah raja Salomo wafat, maka kerajaan Israel terpecah menjadi 2 bagian yaitu kerajaan Israel Utara dan kerajaan Israel Selatan (I Raj. 12:16-20). Di antara rakyat dari kerajaan Israel Utara (Samaria) sering bertikai dengan rakyat dari kerajaan Israel Selatan (Yehuda). Karena itu pemazmur merindukan suatu kehidupan rukun di antara umat, sehingga dia berkata: “Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun!” (Mzm. 133:2).

Walaupun demikian kerinduan pemazmur tersebut bukan sekedar suatu harapan yang “utopis” atau suatu harapan khayali dan tidak mungkin tercapai. Sebaliknya harapan dari pemazmur tersebut ditempatkan dalam janji penyertaan dan berkat Tuhan. Apabila umat bersedia bersandar kepada penyertaan dan berkat Tuhan, maka pastilah kehidupan mereka tidak akan terpecah-pecah. Mereka akan dikaruniai Tuhan suatu kehidupan rukun selama-lamanya. Segala perbedaan, persoalan dan kemajemukan yang mereka miliki tidak akan memisahkan mereka dari persekutuan umat. Penyertaan berkat Tuhan bagi umatNya disimbolkan dengan pengurapan minyak, yaitu: “Seperti minyak yang baik di atas kepala meleleh ke janggut, yang meleleh ke janggut Harun dan ke leher jubahnya”.

Bagi umat Israel zaman itu, minyak memiliki makna dengan simbol yang khusus, yaitu:
a. Sebagai “pengharum”: persaudaraan yang rukun tentu akan mengharumkan identitas diri mereka sebagai umat Allah. Karena itu kitab Pengkhotbah berkata: “Nama yang harum lebih baik dari pada minyak yang mahal, dan hari kematian lebih baik dari pada hari kelahiran”. Umat Israel umumnya gemar memakai minyak sebagai pengharum (Ams. 27:9), tetapi mereka lebih menghargai nama yang harum.
b. Sebagai media “pengobatan”: persaudaraan yang rukun tentu dapat mengobati berbagai penghalang dan luka-luka yang pernah mereka alami. Pada zaman dahulu minyak dipakai untuk mengoles orang-orang yang sakit (bnd. Mark. 6:13; Yak. 5:14). Dalam kehidupan masa kini simbolisasi minyak tersebut juga dapat diterapkan dalam pengertian rohaniah, yaitu dioleskan untuk menyembuhkan luka-luka batin yang meretakkan hubungan di antara sesama.
c. Sebagai media “penobatan” (pelantikan) seseorang dalam identitas yang baru: minyak dipakai untuk mengurapi seseorang sehingga dia diteguhkan untuk melaksanakan panggilan Tuhan secara khusus (I Sam. 10:1). Karena itu minyak juga dipakai sebagai simbol pengurapan Roh Kudus (Ibr. 1:9). Persaudaraan yang rukun akan terwujud ketika kita sebagai umat membuka diri untuk dikuduskan dan dimurnikan oleh Roh Kudus sehingga kita dimampukan untuk melaksanakan karya Tuhan yang mendamaikan.

Belajar dari Sikap Yusuf

Selain itu pemazmur menempatkan harapan akan persaudaraan yang rukun seperti embun yang turun dari gunung. Embun di pagi hari selain mampu menyejukkan udara, juga dapat memberi kesuburan dan kesegaran bagi tanaman. Karena itu tanaman di sekitar pegunungan umumnya tumbuh dengan sehat. Demikian pula persaudaraan yang rukun seharusnya ditandai oleh suasana hidup yang saling menyegarkan dan memberi pertumbuhan. Mereka akan selalu mampu mengatasi setiap kesalahpahaman, perbedaan-perbedaan dan permasalahan yang muncul. Sehingga suasana komunikasi yang terjalin senantiasa konstruktif, saling menumbuhkan dan menghormati. Mereka akan lebih mengedepankan kesetaraan hidup bersama dari pada sikap saling menguasai dan menundukkan. Mereka juga akan lebih mengedepankan kesediaan mengampuni dari pada sikap membalas dendam dan keinginan membunuh lawan. Sikap pengampunan dan kasih inilah yang diperlihatkan oleh Yusuf kepada saudara-saudaranya. Dari sudut manusiawi, tindakan dari saudara-saudara Yusuf sebenarnya sangat sulit dimaafkan. Mereka sebelumnya telah menganiaya, membuang Yusuf ke sumur dan menjual dia sebagai seorang budak. Seandainya kita pernah diperlakukan secara kejam oleh anggota keluarga, umumnya kita sangat sulit untuk memaafkan mereka. Luka-luka batin kita tersebut tidak akan sembuh secara otomatis oleh perjalanan waktu. Perasaan benci dan marah tetap tersemai dengan subur walaupun mereka telah menunjukkan perubahan (pembaharuan) hidup yang signifikan. Tetapi tidak demikian halnya dengan sikap Yusuf. Walaupun saat itu dia telah menjadi tangan kanan dari Firaun, ternyata Yusuf tidak mau menggunakan kekuasaannya untuk menghukum dan membalas kepada saudara-saudaranya yang telah berbuat jahat. Justru sebaliknya saat dia mengetahui saudara-saudaranya datang untuk membeli makanan di Mesir, Yusuf segera memberi pertolongan dan perlakuan khusus. Karena perasaan rindu yang begitu besar, Yusuf meminta agar dia dapat berbicara secara pribadi dengan saudara-saudaranya. Kita tidak dapat membayangkan bagaimana saudara-saudara Yusuf yang sangat terkejut, ketika Yusuf akhirnya memperkenalkan dirinya. Namun yang pasti saudara-saudara Yusuf waktu itu sempat ketakutan ketika mengetahui bahwa penguasa yang berbicara kepada mereka ternyata adalah Yusuf (Kej. 45:3). Tetapi Yusuf berkata: “Marilah dekat-dekat”. Maka mendekatlah mereka (Kej. 45:4).

Ungkapan “marilah dekat-dekat” berasal dari istilah: naw-gash' yang berarti: mengajak seseorang untuk mendekat secara intim seperti hubungan seorang pria dengan seorang wanita. Yusuf bukan hanya tidak mau membalas dendam atas perbuatan jahat dari para saudaranya; tetapi dia justru memperlihatkan kasih yang sangat personal dan memberi mereka penghiburan dengan perspektif teologis yaitu bahwa tindakan mereka menjual dia di masa lampau pada hakikatnya untuk melaksanakan rencana Allah yang menyelamatkan. Di Kej. 45:5 Yusuf berkata: “Tetapi sekarang, janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri, karena kamu menjual aku ke sini, sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu”. Perkataan Yusuf yang penuh dengan pengampunan seperti embun yang menyejukkan dan juga seperti minyak yang menyembuhkan hati saudara-saudaranya.

Kualitas Diri Dalam Rajutan Ilahi

Sikap pengampunan dari Yusuf tersebut menunjukkan suatu kualitas pribadi yang telah dikuduskan oleh Allah. Peristiwa pahit dan penderitaan yang pernah dialami tidak membuat Yusuf terpuruk dalam kemarahan, kebencian dan dendam. Sebaliknya pengalaman yang pahit dan penuh penderitaan dihayati oleh Yusuf sebagai bagian dari proses pembentukan karakter dan rencana Allah dalam kehidupannya. Penderitaannya dihayati oleh Yusuf seperti minyak urapan yang memurnikan dan menguduskan dirinya. Sehingga Yusuf makin dimampukan oleh Tuhan untuk melihat seluruh perjalanan hidupnya sebagai suatu rajutan ilahi untuk menyelamatkan sesama dan keluarganya yang menderita. Di Kej. 45:7-8, Yusuf berkata: “Maka Allah telah menyuruh aku mendahului kamu untuk menjamin kelanjutan keturunanmu di bumi ini dan untuk memelihara hidupmu, sehingga sebagian besar dari padamu tertolong. Jadi bukanlah kamu yang menyuruh aku ke sini, tetapi Allah; Dialah yang telah menempatkan aku sebagai bapa bagi Firaun dan tuan atas seluruh istananya dan sebagai kuasa atas seluruh tanah Mesir”. Rajutan ilahi tersebut yang memampukan Yusuf untuk memiliki kebijaksanaan dan kekayaan pengampunan kepada setiap orang yang pernah berlaku jahat kepadanya. Bukankah seharusnya bangsa kita memiliki kualitas diri seperti Yusuf? Kebesaran bangsa kita bukan ditentukan oleh jumlah penduduk, jumlah mayoritas pemeluk suatu agama atau kelompok mayoritas yang berkuasa; tetapi lebih ditentukan oleh kebesaran hati yang dilandasi oleh kasih dan pengampunan. Namun sayangnya kita sering mendorong sesama dan bangsa ini untuk mengingat luka-luka lama. Kita sering terjebak dalam pemberian cap dan “stigma” kepada seseorang atau kelompok; sehingga kita tidak mampu bersikap obyektif dan adil. Sehingga apabila seseorang atau suatu kelompok pernah melakukan kesalahan di masa lampau, maka mereka kemudian divonis seumur hidup sebagai pembuat masalah (trouble-maker). Bahkan kalau perlu seluruh keturunan dan keluarga dikaitkan dengan kesalahan seseorang. Pemerintah Orde Baru dahulu berulangkali dalam pernyataan politis menegaskan bahwa anggota keluarga yang terlibat dalam Partai Komunis Indonesia tidak diperbolehkan untuk menjadi pegawai negeri atau anggota militer, dan Kartu tanda penduduknya diberi tanda khusus. Kita dapat melihat perbedaan yang sangat esensial antara kualitas diri dari Yusuf yang bijaksana dan penuh pengampunan dengan sikap pemerintah Orde Baru atau berbagai organisasi massa yang terus menghidupkan permusuhan dan kebencian kepada khalayak ramai. Dalam hal ini pemerintah Orde Baru atau berbagai organisasi massa tersebut tidak memiliki kualitas diri sebagai orang-orang yang dikuduskan. Hati mereka sarat dengan kecurigaan, permusuhan, kebencian, dan sikap yang menggeneralisir. Itu sebabnya ucapan dan perkataan mereka senantiasa menyebarkan permusuhan dan kebencian kepada banyak orang.

Karena itu Tuhan Yesus mengingatkan bahwa hati manusia dapat menjadi sumber dari hal-hal yang najis. Di Mat. 15:18, Tuhan Yesus berkata: “Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang. Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat”. Ketika hati kita belum dikuduskan oleh Tuhan, maka hati kita akan menjadi sumber dosa yang menyebar melalui ucapan atau perkataan. Yang mana ucapan dan tindakan yang lahir dari hati yang najis senantiasa dapat mematikan orang lain. Karena itu kualitas diri tidak akan terwujud hanya dengan berbagai pelatihan etika dan pembinaan moral apabila hati kita belum dikuduskan oleh Tuhan. Kualitas diri juga tidak akan tercapai ketika kita hanya memperhatikan soal-soal makanan yang haram dan halal. Sebab makanan tersebut tidak akan membaharui inti dari spiritualitas kita. Karakter bangsa kita tidak akan diperbaharui oleh ketaatan mereka terhadap jenis makanan yang halal dan menolak makanan yang dianggap haram. Tetapi kualitas diri akan terwujud dalam kehidupan kita ketika kita bersedia dirajut dan “dioperasi” oleh Allah melalui berbagai pengalaman yang pahit dan getir. Sebab berbagai pengalaman yang pahit dan getir tersebut tidak lagi dilihat dari sudut manusiawi kita, tetapi kita melihatnya dari perspektif yang baru secara teologis, yaitu Allah berkenan membentuk dan memproses kita untuk menjadi alatNya yang kudus. Perspektif teologis inilah yang memampukan kita untuk membuang berbagai perasaan dendam dan sakit hati terhadap setiap orang yang memusuhi dan menganiaya kita. Sehingga kita dimampukan untuk hidup rukun dengan setiap orang, bahkan rekonsiliasi (berdamai) dengan para lawan kita.

Rekonsiliasi yang Transformatif

Abraham dan Lot pernah berpisah, tetapi Abraham tetap peduli dan membantu Lot saat dia mengalami kesulitan (Kej. 14:14-16). Esau dan Yakub pernah bermusuhan, tetapi mereka dapat kembali rujuk dan saling mengampuni (Kej. 33:4). Contoh-contoh tersebut menggambarkan peristiwa rekonsiliasi yang transformatif, sebab kedua pihak mampu berdamai dan saling menolong. Mereka membuka diri terhadap anugerah kasih Allah yang berfungsi seperti minyak untuk mengobati setiap luka-luka batin dan seperti embun yang memberi kesegaran dan pertumbuhan. Jika pemazmur berkata: “Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun!” (Mzm. 133:2), apakah setiap kita sebagai bangsa Indonesia juga berlaku seperti Esau dan Yakub; ataukah seperti Abraham kepada Lot? Khususnya apakah kita mau bersikap seperti Yusuf yang kaya dengan pengampunan kepada saudara-saudaranya yang pernah berbuat jahat kepadanya? Saat kita dipercaya oleh Tuhan suatu jabatan atau kekuasaan tertentu, apakah kita memanfaatkan untuk menolong dan memberi berkat kepada orang-orang yang pernah melukai hati kita? Ataukah sikap yang sebaliknya! Saat kita dipercaya suatu jabatan atau kekuasaan tertentu, apakah kita pakai untuk meniadakan dan menghancurkan kekuatan dari para lawan kita? Dalam hal ini kita diingatkan bahwa keselamatan dan berkat berupa jabatan yang kita terima pada hakikatnya terjadi karena kemurahan hati Allah. Seharusnya Allah menghukum kita saat kita tidak taat kepada-Nya (Rm. 11:30). Tetapi di dalam Kristus, Allah berkenan menunjukkan kemurahan-Nya kepada kita. Jika demikian, mengapa kita yang telah menerima kemurahan dan pengampunan dari Allah, tidak memberlakukan kemurahan dan pengampunan-Nya tersebut kepada orang-orang yang pernah menyakiti dan memusuhi kita? Bukankah kemurahan dan pengampunan Allah laksana minyak dan embun yang mampu menghidupkan dan mendamaikan kehidupan bersama? Marilah kita memaknai kemerdekaan RI ini dengan sebuah kerukunan bersama kendatipun kita berbeda adanya. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar