Rabu, 01 April 2009

REVIEW BUKU:

REVIEW BUKU:

Carl E.Braaten.
Justification: The Article by Which the Church Stands or Falls. Minneapolis: Fortress Press, 1990; vii + 191 hlm.

Buku ini adalah buku lama yang sudah tersedia di Perpustakaan STT Jakarta. Pengarangnya Carl E.Braaten, seorang dosen teologi di Lutheran School of Theology di Chicago, dan ia adalah seorang pendiri editor dari Dialog: A Journal of Theology. Disamping buku ini, Braaten juga sudah menulis buku-buku The Future of God, Eschatology and Ethics, History and Hermeneutics, dan The Apostolic Imperative. Secara pribadi saya sangat senang membaca buku ini karena di dalamnya dimuat artikel-artikel yang sangat menentukan di dalam berdiri atau jatuhnya gereja. Dalam buku ini diuraikan pengajaran pembenaran dalam berbagai sudut pandang para ahli baik dari Reformasi dan Katolik. Dan pada bagian akhir buku ini akan menguraikan bagaimana pembahasan dan praktik langsung dari ajaran pembenaran itu di dalam gerakan ekumenisme Protestan dan Katolik.
Sangat menarik dibaca sebab kita akan melihat perjalanan pemikiran teologi Braaten sebagai seorang teolog yang dipengaruhi pemikiran Martin Kahler tentang articulus stantis et cadentis ecclesiae, ajaran pembenaran oleh iman adalah dasar berdiri atau jatuhnya gereja (hlm.vii). Ulasa Braaten tentang ajaran pembenaran ini sudah digumulinya sejak tahun 1960-an dan telah dipublikasikan dalam buku The New Community in Christ (1963) dengan judul “The Coorelation of Justification and Faith in Evangelical Dogmatics” (hlm.vii). Braaten sangat tertarik membahas pemikiranPaul Tillich tentang “Prinsip Protestan dan Substansi Katolik”, dan buku Jeroslav Pelikan yang berjudul The Riddle of Roman Catholicism dan ulasan George Lindbeck yang berjudul “The Ecclesiology of the Roman Catholic Church” (hlm.3).
Buku ini hanya terdiri dari dua bagian besar. Bagian I (terdiri atas empat bab) mempunyai judul “Dasar-dasar Teologi” (Theological Foundations). Ada beberapa hal penting yang dibahas dalam bagian I ini. Setelah berbicara tentang masalah hubungan di antara pembenaran dan iman di dalam tradisi ajaran Lutheran (Bab 2), di mana antara lain disebut soal pembenaran dan iman di dalam Luther dan Reformasi (hlm.22), tempat pembenaran di dalam masa Orthodoksi (hlm.28), dan perubahan dari pembenaran kepada pemilihan (hlm.37), maka disusul Bab 3 yang berbicara tentang pengaruh kontemporer pembenaran di dalam teologi Paul Tillich. Ada enam hal yang disebut di dalam bab ini, yakni: dasar-dasar kuat pembenaran (hlm.43), pengaruh eksistensial pembenaran (hlm.45), tempat soteriologi pembenaran (hlm.48), pembenaran dan transforamasi sosial (hlm.51), pembenaran dan metode korelasi (hlm.56), dan pembenaran dalam Teologi Sistematik Paul Tillich (hlm.60).
Kemudian bagian I ini diisi dengan uraian konflik teologi Karl Barth dan teologi Lutheran mengenai pembenaran dan iman (Bab 4). Bab 4 ini mejelaskan pemahaman Barth tentang pembenaran (hlm.66), perubahan kerangka keselamatan kepada pewahyuan (hlm.69). Barth mengklaim bahwa Martin Kahler adalah satu-satunya teolog Lutheran yang pernah berani merencanakan dan mengatur dogmatika Evangelikal bahwa ajaran pembenaran sebagai pusat dari kekristenan (hlm.74). Bab 4 ini juga membahas tentang fungsi kritik pada pembenaran (hlm.76). Bagi Barth, soteriologi adalah bagian kedua dari pewahyuan. Bahkan Barth mengatakah bahwa bukan pembenaran sebagai articulus stantis et cadentis ecclesiae, tetapi pengakuan akan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat (hlm.77).
Bagian I ini ditutup dengan sebuah pembahasan mengenai Injil anugerah yang membenarkan dan iman yang membenarkan (Bab 5). Bagi Luther Injil Allah di dalam Yesus Kristus adalah hati dari Alkitab (hlm.81). Ada tiga hal yang diuraikan dalam bab ini, yakni: bentuk kontemporer dari permasalahan pembenaran (hlm.82), konsep alkitabiah anugerah (hlm.86), dan konsekuensi dari iman yang membenarkan (hlm.93).
Ringkasnya, dalam bagian I ini, Braaten mencoba memberikan penilaian atas pandangan Luther tentang pembenaran yang kemudian ditafsirkannya pada pemikiran Orthodoksi, Calvin, Ritschl dan Harnack, Paul Tillich dan Karl Barth.
Bagian II (terdiri atas lima bab) mempunyai judul “Aplikasi-aplikasi Praktis” (Practical Aplication). Bagian II ini dimulai dengan sebuah laporan tentang dialog-dialog yang dibangun gerakan ekumenis Lutheran tentang pembenaran oleh iman (Bab 6). Braaten menguraikan dialog-dialog yang dibangun oleh Gereja Lutheran di Amerika sejak 1965 (hlm.103). Ada enam dialog yang dilaporkan Braaten dalam bab ini, yakni: pertama, dialog Lutheran dan Reformed (hlm.107); kedua, dialog Lutheran dan Gabungan Methodist (hlm.111); ketiga, dialog Lutheran dan Evangelikal Konservatif (hlm.112); keempat, dialog Lutheran dan Episkopal (hlm.113); kelima, percakapan Lutheran dan Baptist (hlm.117); dan keenam, dialog Lutheran dan Katolik VII (hlm.118).
Bagian II ini dilanjutkan dengan bahasan pengertian evangelisasi di dalam konteks anugerah Allah yang universal (Bab 7). Bab 7 ini menguraikan: dasar-dasar alkitabiah tentang evangelisasi (hlm.127), tugas abadi evangelistik (hlm.132), harapan akhir dari universalisme alkitabiah (hlm.135), dan kemudian mengapa kita harus menjadi evangelis? (hlm.139). Bab 8 membahas pembedaan yang tepat di antara Hukum Taurat dan Injil di dalam berkhotbah. Pendirian Luther atas pembedaan Hukum Taurat dan Injil didasarkan pada teologi Paulus. Hukum Taurat dan Injil saling berhubungan erat yang tidak bisa dipisahkan walaupun di antara keduanya ada hal yang membingungkan (hlm.143). Bagi Luther, mengkhotbahkan hukum Taurat semata tanpa Kritus akan menghasilkan manusia pongah, yang percaya bahwa mereka dapat memenuhi hukum Taurat dengan perbuatan-perbuatan lahiriah, atau menghalau orang ke dalam keputusasaan yang luar biasa. Pemberitaan hukum Taurat tidak cukup untuk pertobatan yang murni dan bermanfaat; Injil harus ditambahkan kepadanya. Jadi ajaran yang dua ini selalu berdampingan, dan keduanya harus dipergunakan bersama-sama namun dalam urutan yang pantas dan perbedaan yang tepat.
Menurut Luther, Firman Allah dinyatakan kepada manusia dalam dua bentuk yaitu: Taurat dan Injil, dan Taurat itu sendiri dalam dua bentuk atau ‘penggunaan’. Firman adalah satu sebagaimana Allah adalah satu, artinya ada kesatuan ilahi antara Taurat dan Injil. Hanya satu Taurat yang efektif di dalam semua jaman dan dikenal seluruh manusia sebab taurat itu ditulis di dalam setiap hati orang. Ketika Luther menggunakan pertama taurat itu di dalam ‘masyarakat’ atau di dalam ‘politik’, maka harus dibedakan identifikasinya dengan ‘Hukum Alam’ skolastik sebagai kategori metafisika. Pembedaan Luther di antara ketaatan ‘moral’ dan ‘spiritual’ pada Taurat menjadi tajam dan relevan di dalam – in loco justificationis – ketika keselamatan kita dipancangkan. Luther menggunakan ayat dari Yesaya 28:21, “Sebab TUHAN akan bangkit seperti di gunung Perasim, Ia akan mengamuk seperti di lembah dekat Gibeon, untuk melakukan perbuatan-Nya -- ganjil perbuatan-Nya itu; dan untuk mengerjakan pekerjaan-Nya -- ajaib pekerjaan-Nya itu!”. Menurut Luther, Taurat itu digunakan dalam dua bagian yaitu: jika digunakan dalam kedagingan, maka ia di bawah Taurat, tetapi jika digunakan sebagai roh, maka ia di bawah Injil. Taurat dan Injil bukan untuk dua kelas manusia, melainkan bagi seluruh orang Kristen di sepanjang masa.
Bab 9 membicarakan sebuah kritik teologi tentang kunjungan pastoral dan konseling terhadap warga jemaat. Bab ini sebenarnya menguraikan pemeliharaan jiwa-jiwa (seelsorge) yang menjadi bagian dari teologi Luther (hlm.155). Kemudian seelsorge ini berkembang menjadi sebuah gerakan Clinical Pastoral Education (C.P.E) yang dipelopori oleh Larry E.Holst (hlm.155). Dalam Bab 9 ini akan kita lihat uraian tentang C.P.E.: sebiah legalitas liberalisme Protestan Amerika (hlm.156), kecenderungan utama teologi (hlm.159), pembedaan permasalahan dan perhatian Lutheran (hlm.162), dan kemungkinan kembali ke asal (hlm.166).
Bagian II ini ditutup dengan ulasan pengujian kembali atas ajaran Dua Kerajaan (Bab 10). Menurut Braaten, ajaran Dua Kerajaan ini, sama seperti ajaran Trinitatis dan Kristologi, lahir dan dikembangkan di dalam perdebatan dan masih ada konsensus di dunia Lutheranisme atas penafsiran ini, atau bagaimana mengaplikasikan ajaran ini ke dalam situasi dan konteksnya (hlm.171).
Secara ringkas dalam bagian II ini, Braaten mencoba menguraikan dialog-dialog ekumenis tentang pembenaran dan hubungan ajaran pembenaran dengan evangelisasi, pembedaan di antara Hukum Taurat dan Injil, kunjungan rumah tangga dan keterlibatan gereja di dalam isu-isu sosial.
Sebagai catatan terakhir atas seluruh tinjauan singkat ini, saya mau memberikan beberapa poin sebagai berikut: Pertama, salah satu keunggulan buku ini adalah upaya Braaten menjelaskan ajaran pembenaran itu sebagai dasar berdiri dan jatuhnya gereja. Kedua, dengan mudah para pembaca akan mengerti perkembangan alur pemikiran teologi dan permasalahan yang timbul di seputar ajaran pembenaran ini. Ketiga, kita juga akan dengan mudah melihat proses yang panjang yang dibangun untuk mengaplikasikan ajaran pembenaran ini kepada berbagai gereja-gereja agar tercapai sebuah pemahaman bersama tentang ajaran pembenaran itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar