Sabtu, 04 April 2009

Bahan Sermon Ama GKPA

”MEMPERKUAT DASAR ROHANI:
PEMURIDAN GAYA HIDUP”
(Yesaya 54 : 13)

Semua anakmu akan menjadi murid TUHAN, dan besarlah kesejahteraan mereka
Ketika saatnya tiba, kita akan mengakhiri perjalanan hidup kita di dunia ini. Jika hidup kita berakhir, hal apakah yang akan kita wariskan bagi anak-cucu kita? Jika kita mewariskan hal-hal duniawi saja, hal itu tidak akan kekal, warisan itu akan sirna dan habis seturut dengan waktu dan kondisi. Namun jika harta rohani kita wariskan, maka warisan ini tidak akan hilang begitus saja, melainkan warisan itu akan tetap dikenang sepanjang masa. Oleh sebab itu, selama masih ada kesempatan diberikan Tuhan kepada kita, marilah kita mengembangkan sistem rohani dalam diri anak-cucu kita. Bagaimana caranya? Dalam Ulangan 6:4-6, Musa memerintahkan para orangtua mengikuti perintah Allah. “Haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu” (Ul.6:7-9).
Selanjutnya ada suatu pertanyaan yang sangat penting: pada zaman ini, bagaimana kita dapat membicarakan dan mengulang-ulang kebenaran itu sementara berada di rumah, dalam perjalanan, sedang berbaring, atau sedang bangun? Ada beberapa cara yang harus kita hidupi dan lakoni dalam rangka memperkuat dasar rohani anak-anak kita yaitu:
1. Jadilah teladan. Ketika anak kita melihat hidup kita, apakah mereka hanya melihat seseorang yang memiliki pengetahuan tentang Allah, memercayai hal-hal yang benar, dan menghindari hal-hal buruk, ataukah mereka sungguh-sungguh dapat melihat seseorang yang akrab dan punya hubungan kasih yang terus bertumbuh dengan Yesus Kristus? Panggilan utama kita bukan menjadi orangtua yang baik. Panggilan utama kita adalah menjadi teladan tentang hubungan kasih yang nyata dengan Allah yang hidup.
2. Mendefinisikan kerohanian yang sesungguhnya. Kerohanian yang sejati ditandai oleh banyak hal, terutama orangtua yang lapar dan haus akan kebenaran. Dunia telah membuat kita lapar dan haus akan kesenangan, dorongan, hal-hal baru, kepuasan, berkat, dan keberhasilan. Budaya kita lebih menekankan materialisme daripada kedewasaan. Kita hidup dalam generasi adiktif yang lebih dikendalikan oleh keinginan akan kepemilikan materi dan hal-hal lain yang membuat kita tampak berhasil. Allah tidak menciptakan kita untuk lapar dan haus akan pengalaman, berkat dan keberhasilan. Musuh besar dari lapar akan Allah bukanlah racun, tetapi makanan enak. Bukan sekumpulan dosa yang akan melemahkan hasrat kita akan perkara surgawi, tetapi tanggapan kita yang tak habis-habisnya terhadap hal-hal yang dunia tawarkan.
3. Tunjukkan kedisiplinan. Hadapilah kenyataan ini: hal penting yang dapat dilakukan orangtua adalah mencetak dan membentuk karakter rohani anak. Namun bagaimana kita dapat membantu anak-anak mengembangkan karakter yang saleh dalam masyarakat yang tidak mengetahui arti integritas? Tidak cukup sekedar mendisiplinkan anak-anak sehingga mereka berlaku baik dan tidak mempermalukan kita. Pengembangan karakter yang sejati harus dimulai dari batin, dengan motif yang benar, hasrat yang tidak mementingkan diri sendiri, dan pikiran murni yang timbul dari hubungan yang akrab dengan Allah. Jika anak-anak sehat secara rohani, kita tidak perlu khawatir ketika mereka bergaul dalam masyarakat. Pembentukan rohani melaju melampaui informasi rohani. Pembentukan rohani meliputi proses pembentukan karakter dan sifat-sifat Kristus dalam diri kita. Unsur kunci dari pembentukan rohani adalah pengembangan rohani. Menerapkan kedisiplinan saja tidak akan menghasilkan murid. Menampilkan perilaku rohani tidak secara otomatis dapat menghasilkan kerinduan akan Tuhan.
4. Mengembangkan kepekaan suara hati. Eli seorang pilihan Allah. Sebagai imam, ia tampak cukup berhasil. Ia memimpin bangsa Israel selam 40 tahun. Ia berkuasa, berpengaruh dan disegani. Ia dihormati, dikenal sebagai pekerja keras, dan setia dalam banyak hal. Namun, Eli sadar bahwa keberhasilan dalam satu hal tidak menjamin keberhasilan dalam hal lain. Kegagalannya sebagai orangtua, ketidakmampuannya dalam membantu anak-anaknya mengembangkan kepekaan suara hati mereka, membuat Eli kehilangan pengaruh sebagai seorang imam. Kegagalannya untuk menuntun anak-anaknya menodai kekudusan Allah dan Bait Suci (baca 1Sam.1:12,17,25-26). Anak-anak Eli tidak mengembangkan kepekaan mereka terhadap suara hati dan mereka tidak tahu bagaimana merasa malu. Mereka tidak peka terhadap dosa mereka sendiri dan mengabaikan ajaran Allah serta peringatan ayah mereka. Akar permasalahan yang dihadapi anak-anak bukanlah kurangnya gizi, informasi, atau lingkungan sosial yang lebih baik. Bukan pula rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri dan kurangnya kesempatan. Masalah utama mereka adalah bahwa mereka berdosa. Oleh sebab itu, tugas kita sebagai orangtua adalah menuntun dan membantu anak-anak agar tidak melakukan dosa dan menjadi orang yang benar. Anak-anak tidak akan pernah mengembangkan kepekaan terhadap suara hati mereka jika tidak melihat keteladanan pada diri orangtua mereka.
5. Perdalam kehidupan doa kita. Tujuan kita berdoa bukanlah untuk bergantung pada jawaban doa itu, tetapi kepada Allah. Banyak keluarga Kristen sangat sedikit menghargai kuasa doa dalam kehidupannya. Doa sangat penting dalam pengasuhan anak. Kita harus menekankan kepada anak-anak kita bahwa kegiatan yang dilakukan di Gereja tidaklah lebih rendah daripada kegiatan yang dilakukannya di sekolah maupun di luar sekolah. Kita harus menegaskan dan menanamkan kepada anak-anak kita bahwa Pendalaman Alkitab dan doa merupakan hal yang terpenting dilakukan daripada yang lainnya (bnd. Mat.6:33). Dengan penekanan seperti itu, maka anak-anak kita akan belajar mengasihi Tuhan. Mereka dapat belajar pentingnya hidup bagi Dia. Mereka dapat mulai mengembangkan disiplin rohani. Mereka dapat dipakai Allah memengaruhi dunia sekitar mereka.

Masih banyak hal yang mungkin kita bisa daftarkan di luar yang baru saja kita bahas di atas. Dari berbagai pengalaman kita mari kita gali dan sharing bersama, bagaimanakah kita sebagai orangtua meletakkan dasar rohani kepada anak-anak kita. Dan harus kita ingat bahwa cara yang terbaik dalam rangka meletakkan dasar iman rohani anak kita adalah dengan gaya pemuridan. Hidup kita menjadi guru dan pembelajaran kepada anak-anak kita. Artinya kita harus jadikan pemuridan sebagai gaya hidup kita sehari-hari. Amin!




Ramli SN Harahap fidei/gladys’08 211108

Tidak ada komentar:

Posting Komentar