Jumat, 03 April 2009

ULASAN TEOLOGI: KESULITAN MENERAPKAN HUKUM TAURAT DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI ORANG KRISTEN

KESULITAN MENERAPKAN HUKUM TAURAT
DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI ORANG KRISTEN

I. PENDAHULUAN
Orang-orang Kristen sering menghadapi beberapa rintangan dan kesulitan untuk mengerti Hukum Taurat dan menerapkan serta melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Dan mereka merasa bahwa ada sebuah jarak antara mereka dengan hukum-hukum Taurat yang tertulis dalam Perjanjian Lama (PL) yang sudah kuno.
Peranan, fungsi dan makna Hukum Taurat dalam perjalanan kehidupan ke-Kristen-an saat ini sudah mulai ‘kabur’. Hukum Taurat tidak lagi dipahami dan dimengerti sebagai hukum yang bersumber dari Allah sendiri yang harus dipatuhi dan dilakukan. Orang Kristen saat ini sudah lebih mematuhi produk hukum yang dibuat oleh manusia dari pada mematuhi hukum yang dibuat oleh Allah sendiri. Manusia lebih takut melanggar hukum manusia dari pada melanggar hukum Tuhan.
Ada banyak tantangan dan kesulitan yang dihadapi oleh Gereja untuk menerapkan Hukum Taurat dalam perjalanan kehidupan orang percaya. Dalam bahasan ini kita akan mencoba melihat beberapa kesulitan yang dihadapi Gereja dan bagaimana solusi yang akan ditempuh baik secara teologis maupun secara praktis.

II. PENGERTIAN HUKUM TAURAT
a. Pengertian
Alkitab bahasa Indonesia menerjemahkan tora - תורה (bhs.Ibrani) dan nomos - ηομος (bhs.Yunani), yang masing-masing muncul kira-kira 200 kali, dengan ‘hukum Taurat’, ‘hukum’ saja. Sejak permulaan istilah tora digunakan untuk menggambarkan ajaran mengenai satu hal, keputusan-keputusan yang diambil untuk memecahkan soal yang musykil. Contoh yang baik ditemukan dalam Hag.2:11-13, di mana ditanyakan keputusan para imam mengenai soal ketahiran. Keputusan para imam, petunjuk mereka bagi tingkah laku umat disebut tora, ‘ajaran’.
b. Sifat dari Hukum Perjanjian Lama
Hukum PL ialah koleksi hukum-hukum yang Allah berikan kepada bangsa Israel selama zaman Musa. Lebih dari enam ratus hukum mengatur ketaatan bangsa Israel kepada Allah. Kita mendapatkan kumpulan hukum-hukum ini di tiga bagian utama dalam Pentateukh (lima kitab pertama dari PL). Koleksi tertua dikenal dengan sebutan kitab perjanjian (Kel.20:1-23:33, sebutan ini dipakai di 24:7). Yang paling akhir terdapat di hukum-hukum dari kitab Ulangan (4:33-29:1). Hukum ini diberikan oleh Musa di lembah Moab sebelum ia meninggal dan sebelum bangsa Israel masuk ke Negeri Perjanjian. Tujuan Musa ialah untuk memperingati bangsa Israel agar tidak berbuat dosa sebagaimana mereka pernah berdosa di belantara. Sebab itu ia mengulangi (seringkali dengan variasi) bagian-bagian yang pernah diberikan di hukum yang pertama. Yang menarik ialah baik kitab perjanjian dan hukum dari Kitab Ulangan mulai dengan Sepuluh Hukum (Kel.20:1-17 dan Ul. 5:6-21).
Kitab Imamat dan Bilangan terdapat di antara kedua hukum tersebut. Seperti Kitab Keluaran dan Ulangan, kedua kitab itu merupakan kitab-kitab yang menggabungkan naratif dan hukum. Uraian tentang peraturan-peraturan yang terdapat dalam Kitab Imamat dan Bilangan kebanyakan berfokus kepada ibadah formal bangsa Israel, yaitu tentang peraturan-peraturan yang berhubungan dengan imam, korban-korban, dan ritual pengudusan.
Beberapa peraturan-peraturan di Kitab Imamat yang menetapkan seseorang bersih atau najis, sukar kita terima pada masa kini. Bagi kita sekarang, persoalan bersih atau najis berkaitan dengan kesehatan fisik. Bagi para imam di zaman PL, hal ini berhubungan dengan kesucian agama. Seseorang yang bersih berarti ia berada dalam keadaan yang benar untuk menghampiri Allah yang berkuasa dan kudus. Orang yang menghampiri Allah dalam keadaan najis berarti ia akan mengalami malapetaka.
Pikiran serupa berlaku untuk makanan-makanan yang kosher (tidak haram, boleh dimakan). Beberapa macam daging tidak boleh dimakan, tetapi bukan karena mereka dianggap tidak sehat. Rupanya mereka dianggap tidak mewakili bagian ciptaan yang kudus. Hewan-hewan yang tidak haram mempunyai beberapa karakteristik yang tidak dimiliki oleh hewan-hewan yang haram. Umpamanya, hewan-hewan darat yang boleh dimakan harus memamah biak dan berkuku belah (Im.11:1-8). Unta, kelinci, dan babi tidak termasuk golongan hewan ini. Pemisahan hewan-hewan haram dan tidak haram mempunyai persamaan di antara manusia yang juga terbagi menjadi tidak haram (Israel) dan haram (bangsa kafir).
c. Hukum Moral, Sipil dan Ritual
Ketika kita mengamati hukum-hukum Musa, kita mendapati bahwa hukum-hukum ini berhubungan dengan isu-isu penting yang beraneka ragam, dan mencakup hubungan antara Allah dengan manusia dan antara sesama manusia. Umpamanya, kita sudah melihat bahwa sebagian besar hukum-hukum dalam Kitab Imamat dan Bilangan berhubungan dengan ibadah formal bangsa Israel, tetapi ada juga hukum-hukum yang berhubungan dengan bangsa Israel sebagai seorang anggota masyarakat dan dalam menjalankan peraturan-peraturan moral yang khusus. Kitab Keluaran dan Ulangan juga berisi hukum-hukum yang berhubungan dengan manusia sebagai makhluk bermoral, anggota masyarakat dan orang yang beribadah.
Sebab itu sekarang sudah menjadi praktik umum untuk membedakan tiga macam hukum Perjanjian Lama. Disamping ada hukum moral, ada juga hukum sipil dan ritual. Pertama, hukum moral menyatakan prinsip-prinsip Allah untuk berhubungan yang benar dengan Dia dan dengan sesama. Sepuluh Hukum merupakan ekspresi kehendak Allah yang paling jelas dan kuat untuk umatNya. Kedua, hukum-hukum sipil. Hukum-hukum ini mengatur bangsa Israel sebagai bangsa pilihan Allah yang menjadi umat pilihanNya. Ketiga, hukum ritual yang menggambarkan bagaimana bangsa Israel harus menyembah Tuhan.
d. Peranan Hukum Taurat bagi bangsa Israel
Menurut A van Selms, pengaruh tora dalam hidup bangsa Israel banyak sekali, kendati penulis-penulis pada waktu itu mengeluh bahwa tora diabaikan. Telah disinggung bahwa nubuat di Israel mengandaikan adanya tora dalam bentuk lisan atau tertulis (bd. Mi.6:8; Hos.4:2; Yer.7:9). Kitab-kitab seperti Hakim-Hakim, Samuel dan Raja-Raja menyajikan sejarah Israel dari sudut pandang tora, sambil menunjukkan bahwa waktu-waktu ketaatan kepada Allah adalah waktu-waktu kelimpahan kebendaan maupun kerohanian, sementara bila tora diabaikan maka tibalah bencana menimpa Israel. Mazmur 1, 19, dan 119 memuliakan tora sebagai anugerah Allah yang terbesar. Bahkan dalam Amsal, seperti telah kita lihat tora sering diberi arti pengajaran manusia, hukum ilahi dipuji sebagai permulaan segala hikmat dan kebahagiaan (lih. Amsal 28:4,7,9,18). Penetapan Pentateukh pada akhirnya sebagai buku pegangan dasar dari semua tora, bertepatan dengan hilangnya semangat kenabian, menyebabkan bangkitnya kelompok pimpinan kerohanian baru, yaitu ‘ahli-ahli Taurat’, dan Ezra merupakan teladan pertama (Ezr.7:6; Neh.8:1-8). Lebih dalam Selms mengatakan bahwa bagi bangsa yang terserak-serak di kemudian hari, tora terbukti lebih penting dari ibadah korban di Yerusalem.

III. KESULITAN MENERAPKAN HUKUM TAURAT DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI
Bagi warga jemaat Kristen saat ini, hukum Taurat bukanlah sesuatu yang harus diwajibkan untuk dikerjakan. Mereka melihat hukum ini bukan hukum yang harus dipatuhi untuk zaman ini. Hukum Taurat hanya merupakan pengetahuan sejarah Alkitab saja. Pengajaran Hukum Taurat ini pun kurang begitu ditekankan oleh pihak gereja lagi. Gereja mungkin menganggap bahwa pengajaran utama ialah pengajaran tentang kasih Yesus Kristus. Dampak langsung bagi warga jemaat bila tidak melakukan hukum Taurat dirasakan tidak ada sehingga hukum Taurat itu sendiri tidak dihargai sebagai sesuatu hukum yang mutlak harus dipatuhi.
Kesulitan yang sering membuat Hukum Taurat itu dilaksanakan, menurut Eka Darmaputra dalam bukunya, “Sepuluh Perintah Allah – Museumkan saja?” mengatakan, bahwa setidaknya ada tiga alasan mengapa kita perlu memuseumkan Sepuluh Perintah Allah:
1. Pertama, adalah karena menurut mereka, roh yang sedang bertiup kencang di zaman kita sekarang adalah “roh kemerdekaan”. Semangat kebebasan. Kemerdekaan dan kebebasan yang dicapai melalui perjuangan panjang dan penuh pengorbanan. Karenanya, manusia tak mau kehilangan itu lagi – walau sedikit.
2. Kedua,Dasa Titah dihormati sebagai salah satu warisan sejarah yang tak ternilai. Namun ya begitulah, rasa hormat tersebut hanyalah penghargaan seperti yang diberikan orang terhadap, misalnya, sebuah jambangan antik dari dinasti Ming, atau manuskrip kuno macam Serat Centini.
3. Ketiga, Dasa Titah dianggap tidak fungsional lagi karena kita adalah “umat Perjanjian Baru” (PB). Sepuluh Perintah Allah adalah produk Perjanjian Lama. Hukum kasih dalam Perjanjian Baru lebih akurat untuk kita ikuti!

Di dalam kehidupan sehari-hari, sering kita jumpai beberapa kesulitan untuk menjalankan Sepuluh Perintah Tuhan ini. Pada hal, menurut Al.Budyapranata Pr., Sepuluh Titah Tuhan ini singkat sekali, karena ditujukan untuk semua orang, sehingga isinya jelas, juga untuk orang yang bodoh sekali pun.
Di bawah ini akan kita bahas sebagian dari Sepuluh Titah Tuhan tentang beberapa kesulitan dan tantangan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari:
1. Perintah Pertama: “Akulah Tuhan Allahmu, seru Tuhan kita, tidak boleh ada Allah lain, kecuali Aku”. Menurut Eka Darmaputra, tantangan kita dalam menghayati perintah ini adalah dengan adanya Politeisme dan Henoteisme. Politeisme adalah orang yang menganggap bahwa Tuhan itu tidak cuma satu, tapi banyak. Orang beribadah kepada bermacam-macam Tuhan. Sedangkan para penganut Henoteisme – berbeda dengan penganut politeisme – siap untuk menerima, percaya, dan menyembah satu “allah” saja. Mereka tidak beribadah kepada banyak “allah”, tidak pula menyembah “allah” yang lain, kecuali kepada yang “satu” itu. Bagi para “henoteis”, “allah” orang lain itu adalah “Allah” juga. Bukan “allah” palsu atau apa. Cuma saja, “allah” tersebut adalah “allah” orang lain. “Allah”-nya, bukan “Allah”-ku. “Allah” mereka, bukani “Allah” kita!
2. Perintah Kedua: “Janganlah perbuat bagimu patung yang menyerupai apa pun, yang ada di langit, atau yang ada di bumi, atau yang ada di dalam air untuk disembah atau bertaqwa kepadanya.” Secara positif perintah ini menganjurkan: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." (Luk.10:27) Namun dalam menjalankan perintah ini pada zaman sekarang, kita menghadapi tantangan dari beberapa aliran seperti: Materialisme dan Humanisme. Materialisme, mengajarkan, bahwa nilai yang tertinggi di dunia ini adalah materi (benda) saja. Tidak ada jiwa, tidak ada roh, tidak ada kebahagiaan kekal, dan tidak ada Tuhan. Bahkan sering kali yang menjadi berhalanya adalah: “Aku”nya, atau kesenangannya sendiri. Sedangkan Humanisme, adalah bentuk pemujuaan yang berpusat pada manusia. Dasar pandangan humanisme adalah bahwa manusia itu adalah otonom, sudah bisa berdiri sendiri tanpa membutuhkan Tuhan alam hidupnya. Manusia adalah penguasa dan pengatur alam semesta. Tuhan itu tidak ada. Sebab Tuhan itu menurut mereka hanyalah semacam fantasi atau ilusi manusia saja.
3. Perintah Ketiga: “Jangan menyebut nama Tuhan Allahmu dengan seenaknya karena Allah akan menghukum orang yang menyalahgunakan nama-Nya.” Perintah ini mengingatkan kita akan keluhuran Nama Tuhan. Maka dalam perintah ini terkandung tujuan: Sebutlah Nama Tuhan hanya demi keluhuranNya. Tantangan untuk menjalankan perintah ini adalah melalui Sumpah Palsu dan Menyalah-gunakan Agama. Sumpah palsu berarti menghina Tuhan.
4. Perintah Keempat: “Ingat dan sucikanlah hari yang dikuduskan itu…” Maka dalam perintah ini sebenarnya terkandung maksud: (1) Waktu (hari) khusus yang harus kita istimewakan bagi Tuhan. (2) Supaya kita berani merefleksikan tujuan hidup dan kerja kita di hadapan Tuhan untuk dapat menemukan rencana Tuhan di dalamnya. Tantangan yang sering kita hadapi untuk melaksanakan perintah ini adalah kebijakan pemerintah/instansi/perusahaan negara/perusahaan swasta yang mewajibkan bekerja pada hari Minggu. Kemudian seringnya para jemaat melaksanakan adat-istiadat, arisan, berlibur pada hari Minggu.
5. Perintah Keenam: “Jangan membunuh.” Perintah ini menganjurkan agar kita menghargai kehidupan manusia; menghargai hak hidup, dan mempertahankan nilai kehidupan. Namun yang sering kita hadapi dalam melakukan perintah ini adalah: Bunuh diri, mematikan orang lain, abortus, euthanasia, membahayakan orang lain karena kelalaian, hukuman mati, perang.
6. Perintah Ketujuh: “Jangan engakau berjinah” Tantangan dalam melakukan hukum ini adalah: selingkuh, perceraian, polygami, dll.

IV. SOLUSI SECARA TEOLOGIS DAN PRAKTIS
a. Secara Teologis
Kasih tanpa hukum, kacau-balau, tetapi hukum tanpa kasih, kaku. Pepatah ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Jika Gereja terlalu menekankan kasih atau anugerah, dan melalaikan hukum Tuhan (Taurat), maka bisa saja Gereja itu akan mengalami kekacau-balauan. Sebaliknya, jika Gereja hanya menekankan hukum, dan melalaikan kasih dan anugerah Allah, maka akan terjadi kekakuan. Kita harus memelihara Hukum Tuhan (Taurat) supaya orang menahan diri berbuat dosa. Namun perlu ditekankan seperti yang dikatakan Martin Luther, bahwa fungsi dan kuasa terpenting dari hukum itu adalah untuk menampakkan dengan jelas dan terang dosa asali itu.
Bagi bangsa Israel di zaman perbudakan di Mesir dan bagi umat percaya sekarang, keselamatan berasal hanya karena oleh anugerah Tuhan. Sebagaimana Paulus menekankan, “Sebab tidak seorang pun yang dapat dibenarkan di hadapan Allah oleh karena melakukan hukum Taurat, karena justru oleh hukum Taurat orang mengenal dosa” (Rm.3:20). Peran hukum pada zaman ini sama seperti pada zaman lalu: hukum merupakan petunjuk bagi kehidupan kita yang berasal dari Tuhan yang murah hati agar kita boleh menyenangkan Dia dan menjadi kebaikan untuk kita.
Sebagaimana orang Kristen, kita mengetahui dengan jelas akan ketidakmampuan kita melakukan hukum Taurat. Kita tahu bahwa kita adalah pelanggar-pelanggar hukum. Paulus menekankan keberdosaan manusia yang bersifat universal dengan mengutip Perjanjian Lama: "Tidak ada yang benar, seorang pun tidak. Tidak ada seorang pun yang berakal budi, tidak ada seorang pun yang mencari Allah. Semua orang telah menyeleweng, mereka semua tidak berguna, tidak ada yang berbuat baik, seorang pun tidak.” (Roma 3:10-12 // Mzm.14:1-3 // Mzm.53:1-3)
Kesalahan manusia bukan dari banyaknya dosa. Yakobus memperingati kita berusaha menyelamatkan diri melalui kebaikan kita bahwa “barangsiapa menuruti seluruh hukum itu, tetapi mengabaikan satu bagian dari padanya, ia bersalah terhadap seluruhnya. Sebab Ia yang mengatakan: "Jangan berzinah", Ia mengatakan juga: "Jangan membunuh". Jadi jika kamu tidak berzinah tetapi membunuh, maka kamu menjadi pelanggar hukum juga” (Yak. 2:10-11).
Tetapi keadaan buruk manusia ternyata lebih menyedihkan. Melalui penerangan dari Khotbah di Bukit (Mat. 5-7), di mana Yesus menekankan Hukum Taurat, sukar dipercaya bahwa ada banyak orang yang tidak pernah berzinah. Di dalam ajaranNya, semua hukum mempunyai sebuah pengertian internal yang radikal. Bayangkan umpamanya tentang perintahNya mengenai hukum ketujuh:
Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya. Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka. Dan jika tanganmu yang kanan menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa dari pada tubuhmu dengan utuh masuk neraka. (Mat.5:27-30)
Jadi bagaimana hukum PL mempengaruhi kita? Yesus dan para rasul dengan jelas memakai banyak kebenaran dari Sepuluh Hukum. Penyembahan berhala, menghujat, mengutuk orang tua, mencuri, berzinah, membunuh, berdusta, tamak tetap merupakan kesalahan. Prinsip-prinsip etika umum dari Sepuluh Hukum tetap berlaku bagi orang percaya di Perjanjian Baru (PB).
Jadi apakah kita menaati hukum Perjanjian Lama? Ada dua paham berbeda yang ada pada zaman ini untuk mewakili pendapat tentang pokok ini. Pada dasarnya ajaran Dispensasi dan ajaran Theonomi merupakan pandangan hermeneutika, tetapi keduanya berfokus pada hukum Taurat dalam hal-hal tertentu. Ada yang melihat penganut ajaran Dispensasi bertendensi membedakan PL sebagai waktu di mana Allah bekerja melalui hukum sedangkan PB sebagai sebuah masa anugerah. C.I. Scoffield berkata: “Pemisahan yang paling jelas dan nyata dari Firman Kebenaran ialah antara Hukum dan Anugerah. Sesungguhnya, prinsip-prinsip yang kontras ini merupakan karakteristik dua dispensasi yang paling penting yaitu antara orang Yahudi dan orang Kristen… Alkitab tidak pernah, dalam tiap disepensasi, mencampurkan dua prinsip ini. Pandangan ini oleh banyak penganut dispensasi zaman sekarang tidak dipegang secara eksplisit, sehingga berakibat pada minimalisasi hukum yaitu sebuah sikap yang kurang menghargai hukum PL.
Di pihak lain, ajaran Theonomi (bhs Yunani untuk “hukum Allah”) berpendapat bahwa hukum-hukum PL dan hukumnya terus berlaku sampai sekarang. Ringkasnya, pendekatan ajaran Theonomi terhadap hukum ialah memegang ajaran Yesus dengan serius baik secara dogmatik dan harafiah. “Iota dan titik” dari hukum Taurat tetap masih berlaku. Kesinambungan ketat tetap ada antara PL dan PB. Penganut ajaran Theonomi percaya bahwa tanggung jawab pemerintah ialah menjalankan hukum-hukum PL yang seharusnya menjadi blueprint bagi masyarakat banyak.
Ajaran Theonomi dan dispensasi mewakili dua pendekatan ekstrim tentang hukum Taurat. Meskipun ajaran theologia mereka amat ortodoks, tetapi mereka secara radikal berbeda pendapat tentang hubungan antara PL dan PB. Ajaran Theonomi menekankan kesinambungan antara PL dab PB, sedangkan ajaran Dispensasi menekankan ketidaksinambungan antara PL dan PB.
Tetapi menurut Tremper Longman III , ada kelemahan-kelemahan dalam ajaran Theonomi. Pertama, Hukum PL ditujukan kepada umat Allah ketika mereka merupakan sebuah bangsa. Umat Allah merupakan sebuah grup politik berbeda, yaitu bangsa Israel; dan sebuah fungsi utama yang disebut hukum-hukum yang berkenaan dengan kasus dan khususnya hukuman-hukumannya ialah untuk menjaga bangsa pilihan ini bebas dari dosa. Masa ini Allah tidak bekerja melalui sebuah bangsa pilihan, tetapi melalui sebuah umat pilihan yang meliputi bangsa-bangsa di dunia. Kedua, Allah memberi bangsa Israel hukum Taurat sebelum Yesus Kristus diwahyukan ke dalam dunia. Singkatnya, kita tidak dapat menerima kesinambungan di antara kedua Perjanjian dalam hal pelaksanaan hukum dan hukuman-hukumannya. Pasal-pasal penting dari PB memberikan konfirmasi bahwa sesuatu yang baru sedang bekerja.
Saat ini kita akan melihat hanya satu hukum, yaitu mengenai perzinahan. Perzinahan dihukum oleh hukum ketujuh (Kel.20:14; Ul.5:18). Hukum kasus memberitahukan kita hukumannya: “Apabila seseorang kedapatan tidur dengan seorang perempuan yang bersuami, maka haruslah keduanya dibunuh mati: laki-laki yang telah tidur dengan perempuan itu dan perempuan itu juga. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari antara orang Israel” (Ul.22:22). Berdasarkan hukum PL ini, ajaran Theonomi berargumentasi bahwa pada masa ini, perzinahan harus dihukum mati. Tetapi kalau kita membaca PB dengan teliti, justru mengajar yang lain. Kita ingat kembali Yoh.7:53-8:11 mengenai wanita yang ditangkap sedang berzinah. Wanita itu adalah seorang pezinah. Dia hampir dirajam, tetapi Yesus menengahi dan menahan perajam dengan tantangan "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu" (8:7). Ketika Yesus memandang wanita ini, Dia berkata kepadanya bahwa Dia tidak menghukumnya. Yesus menyuruh dia pergi dengan peringatan agar “jangan berbuat dosa lagi” (ay.11)
Solusi lain menurut Eka Darmaputra , yang mengutip pendapat William Barclay melalui buku kecilnya yang berjudul The Ten Commandments, yakni: Pertama: Barclay menolak anggapan bahwa semata-mata karena kita adalah umat “PB”, maka kita serta-merta kita lalu punya alasan untuk mencampakkan semua yang berbau PL. Salah besar! Sebutan “PB” justru hendak mengingatkan bahwa ia tidak muncul tiba-tiba. Ia punya akar sejarah. Ia punya ibu yang mengandung dan melahirkannya. Tak akan ada yang “baru”, bila tak ada yang “lama”. Kedua, Barclay juga menyangkal bahwa Dasa Titah (Sepuluh Perintah Allah) adalah semata-mata etikanya orang Yahudi dan orang Kristiani saja. Tidak! Dasa Titah mengandung nilai-nilai yang universal. Setiap masyarakat dari bangsa, agama, dan zaman apa pun yang berniat membangun kehidupan berama yang baik, tertib, serta sejahtera, suka atau tidak suka harus menyepakati nilai-nilai Dasa Titah sebagai pegangan normatif bersama.
b. Secara praktis:
1. Gereja harus memberikan penjelasan-penjelasan teologis tentang makna dan fungsi Hukum Taurat bagi kehidupan setiap orang percaya. Bahwasanya, setiap orang yang percaya kepada Tuhan, dia wajib berpegang dan melakukan Hukum Tuhan (Taurat) dalam perjalanan hidupnya sehari-hari.
2. Membuat rumusan teologi yang diangkat dan digali dari Sepuluh Perintah Allah tersebut, misalnya: teologi tanah, teologi hari Sabat, teologi perang, teologi perzinahan, dan lain-lain.
3. Memasukkan Pembacaan Hukum Taurat di dalam rumusan ibadah (liturgi) Gereja setiap Minggu. Karena liturgi adalah sebagai kekuatan untuk bertindak. Pembacaan seperti itu sedikit banyaknya akan turut juga mempengaruhi gerak-langkah kita. Mengapa hal ini perlu dimasukkan? Karena Hukum Taurat itu merupakan penuntun bagi kita sampai Kristus datang, supaya kita dibenarkan karena iman (bnd. Gal.3:24). Dengan dibacakannya Hukum Taurat ini, maka kita dapat mengingat dosa pelanggaran kita mulai hari Senin hingga Sabtu. Dan pada hari Minggu itu kita mohon ampun dosa kepada Tuhan. Jika dibandingkan dengan ibadah Gereja di Timur – seperti gereja Syiria khususnya di kota Antiokia, kira-kira antara tahun 350-380 – dalam tata ibadah mereka mencantumkan pembacaan Torat.
4. Membuat dan mengembangkan Hukum Siasat Gereja yang didasarkan kepada Hukum Taurat agar setiap warga jemaat semakin mudah memahami dan melakukan perintah Allah dalam kehidupan sehari-hari, agar tidak terlampau menekankan satu bagian saja dari Hukum Taurat.
5. Menerbitkan buku tentang Sepuluh Hukum Taurat serta penjelasan praktis bagi warga jemaat.
6. Memasukkan Sepuluh Hukum Taurat ke kurikulum pelajar Sidi Gereja.
7. Membuat konsekuensi teologis jika Hukum Taurat dilanggar dan tidak dipatuhi. Memang harus diakui bahwa bukan Hukum Taurat yang menyelamatkan, tetapi sebagai bukti orang yang sudah diselamatkan harus mematuhi Hukum Taurat. Dan jika orang yang sudah diselamatkan itu sendiri tidak melaksanakan hukum Taurat dalam hidup kesehariannya, maka dia akan menerima hukuman-hukuman. Misalnya jika hari Sabat dilanggar maka seseorang itu harus ditegur (Yes.58:13), apalagi jika motifnya keserakahan ekonomi (Yer.19:21-27; Am.8:5-6).

V. DAFTAR PUSTAKA
Abineno, J.L.Ch. Ibadah Djemaat Di Timur dan Di Barat, BPK GM, Jakarta, 1961
Bahnsen, Greg L. Theonomy in Christian Ethics, Presbiterian and Reformed, Nutley, NJ, 1977
Budyapranata Pr., Al. Etika Praktis: Berdasarkan Sepuluh Perintah Allah, Yayasan Andi, Yogyakarta
Darmaputra, Eka. Sepuluh Perintah Allah – Museumkan Saja?, Gloria Graffa, Yogyakarta, 2005
Kantor Pusat GKPA, Ruhut Parmahanion/Pamincangon ni Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA),1999.
Karman, Yonky. Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, BPK GM, Jakarta, 2005
Longman III, Tremper. Memahami Perjanjian Lama: Tiga Pertanyaan Penting, (Alih bahasa Cornelius Kuswanto, SAAT, Malang, 2002
Lutheran Literatur Team, Buku Konkordia: Pasal-Pasal Smalkalden, LKS, P.Siantar, 1986
Pakpahan, M. Hatorangan Ni Agenda HKBP, HKBP Distrik IX, Bandung, 1954
Scofield, C.I. Rightly Dividing the Word of Truth, Fundamental Truth, Findlay, Ohio, 1940
Selms, A van. “Taurat” dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, (Penyuntung J.D.Douglas), YKBK/OMF, Jakarta, 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar