BLOG INI BERSIFAT TERBUKA UNTUK DIKOMENTARI DAN DIKRITISI DEMI KEMAJUAN WAWASAN BERPIKIR, DAN BERTEOLOGI MASA KINI
Sabtu, 10 November 2012
LAPORAN BACA BUKU MINGGUAN
1.Paul Rabinow & William M.Sullivan
(Ed.), Interpretive Social Science: A
Reader, (Berkeley, California, 1979), Bab I (Taylor)
2.Fransisco Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas,
(Kanisius, 2012), Bab 4
Pemikiran Taylor
Pertanyaan pembuka yang dilontarkan oleh Taylor adalah, “Jika ada sebuah
perasaan di dalam penafsiran apakah penting menjelaskannya melalui ilmu
pengetahuan mansia?” Lebih lanjut dikatakannya bahwa penafsiran adalah sebuah
usaha untuk membuat jelas, untuk membuat penelitian obyektif. Bahkan penelitian
itu akhirnya harus bisa menjadi sebuah teks, atau sebuah teks dialog.
Penafsiran itu sendiri bertujuan untuk membawa terang yang koheren.
Jika kita membaca lebih dalam ulasan Taylor ini, maka akan kita temukan
bahwa Taylor lebih memilih pendekatan penanfsirannya dari sudut anthropologis.
Hal ini terlihat dari pemaparannya bahwa penafsirannya harus meliputi dua hal,
yakni: (a) harus ada obyek atau sebuah lapangan obyek yang berbicara tentang
hubungan, perasaan dan tanpa perasaan. (b) kita membutuhkan kemampuan untuk
membuat pembedaan di antara perasaan dan hubungan. Dengan kata lain harus jelas
dibedakan fragmantasi dan kebingunan yang bisa jadi menjadi lebih radikal.
Akhirnya, obyek penafsiran ilmu pengetahuan harus dapat digambarkan dalam
beberapa terminologi seperti perasaan, ketidakadaan, hubungan dan keberadaan,
dan perbedaan di atara pengertian dan ekspresi. Dari pemaparan ini jelas
terlihat bahwa Taylor menekankan pentingnya peranan obyek dalam hermeneutiknya.
Dari penjelasannya yang begitu mendalam, Taylor juga mempertentangkan
pengertian “meaning” (makna) dan norma-norma baik di dalam perilaku berpolitik
dan bermasyarakat terhadap realitas politik dan masyarakat yang ada. Bahkan
Taylor mengatakan bahwa dengan melihat kenyataan perilaku politik dan
masyarakat bisa saja seorang anak tidak mampu bertahan hidup lagi ke masa depan
karena mereka melihat kenyataan pahit yang diterima oleh orangtua mereka. Dan
hal ini pasti akan mengakibatkan krisis identitas. Dengan demikian, Taylor
mengatakan bahwa ilmu hermeneutik sangatlah dibutuhkan, dan penafsiran ini
tidak boleh dikomunikasikan oleh orang-orang yang kasar.
Pemikiran Hardiman
Pendekatan Hardiman berbeda dengan Taylor. Hardiman lebih menekankan
pendekatan penafsiran hermeneutiknya dari sudut sosiologis. Hardiman menempatkan
ilmu-ilmu sosial dalam konteks kehidupan yang lebih luas. Penerapan metode
hermeneutis dalam ilmu-ilmu sosial mau tak mau menempatkan ilmu-ilmu itu ke
dalam konteks praksis tindakan komunikatif dalam masyarakat. Lingkaran
hermeneutis yang terjadi dalam proses penafsiran yang dilakukan ilmu-ilmu
sosial sebenarnya merupakan cara bagaimana praksis komunikasi di dalam
masyarakat dilakukan dan ilmu-ilmu sosial menempati salah satu tahap pemahaman
diri masyakarat atas praksisnya.
Berbeda dengan Taylor, Hardiman menekankan kembali pentingnya peranan
subyek dalam ilmu-ilmu sosial hermeneutis. Menurutnya, pemulihan subyek
epistemologis bukanlah berarti pemutlakan Cogito
Cartesian melainkan terlebih memulihkan peran para pelaku dalam realitas
sosial sebagai subjek-subjek yang berbicara, berpikir, dan bertindak untuk
menafsirkan realitas sosialnya.
Refleksi
Hermeneutik bukanlah merupakan sesuatu yang baru. Apa yang telah dilakukan
oleh para hermeneut pada dasarnya hanyalah mengundang kita untuk melihat secara
lebih dekat bahasa yang kita pergunakan, yaitu sebagai alat untuk mengerti dan
memahami dan sekaligus sebagai penyebab “salah mengerti” ataupun “salah paham”.
Yang menjadi persoalan kita sekarang adalah dapatkah hermeneutik bertahan
terhadap penyelidikan dan mempertahankan kedudukannya sebagai metode?
Hermeneutik sebagai metode pembahasan filsafat akan selalu relevan, sebab
kebenaran yang diperolehnya tergantung pada orang yang melakukan interpretasi
dan “dogma” hermeneutik bersifat luwes sesuai dengan perkembangan zaman dan
sifat hermeneutik itu sendiri adalah “open-minded”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar