BLOG INI BERSIFAT TERBUKA UNTUK DIKOMENTARI DAN DIKRITISI DEMI KEMAJUAN WAWASAN BERPIKIR, DAN BERTEOLOGI MASA KINI
Sabtu, 10 November 2012
LAPORAN BACA BUKU MINGGUAN
I.Bambang
Sugiharto, Postmodernisme Tantangan bagi Filsafat, (Kanisius, 2008), Bab 4-6
Refleksi
Penelusuran metafora dalam
ranah filsafat memiliki jejak awal dalam pemikiran Aristoteles melalui kitab
Poetika. Metafora adalah tranferensi. Metafora memiliki ciri: (1) sesuatu
dikenakan pada benda; (2) definisi dalam konteks gerakan; (3) transposisi dari
nama asing ke sesuatu. Definisi-definisi itu melahirkan implikasi: (1) gagasan
tentang substitusi kata yang seharusnya ada; (2) gagasan peminjaman dari suatu
wilayah aslinya; (3) gagasan tentang deviasi dari penggunaan biasa (Sugiharto,
1996: 102—103). Metafora memang rumit. Sejarah metafora menampakkan diri
sebagai nama dan definisi pelik. Metafora adalah tanda hidup manusia dalam
bahasa dan makna. Tanda hidup itu mendapati penjelasan dalam filsafat,
linguistik, sastra, seni, antropologi, sosiologi, dan politik. Metafora menjadi
perkara merepotkan untuk membuat pertaruhan tentang makna hidup. Metafora
menjadi pemikiran dan laku untuk eksistensi manusia. Jejak-jejak metafora dalam
deretan panjang nama dan buku. Metafora selalu mengalami derivasi: gelap dan
terang. Bambang Sugiharto membuat konklusi reflektif: dari akumulasi rentetan
referensi: "Metafora adalah kondisi dasar antropologis di mana manusia
hanya bisa memahami dunia dengan cara mempersamakannya dengan hal yang ia
pahami, simbol-simbol yang ia ciptakan sendiri dengan hal yang bukan dunia itu
sendiri."
Metafora memang merepotkan.
Siapa sanggup sibuk dan suntuk mengurusi metafora dari Aristoteles, Nietzsche,
Heidegger, Paul Ricoeur, Bachelard, I.A. Richards, Lacan, Paul de Man, Derrida,
atau Richad Rorty? Metafora menjadi nama dan problema tanpa epilog. Metafora
hari ini pun semakin suntuk dalam ranah poststrukturalisme-postmodernisme.
Metafora memang pelik dan merepotkan dalam sorotan filsafat, bahasa, dan
estetika.
Bisakah metafora jadi jejak
untuk biografi manusia? Pertanyaan ini bakal menemukan jawaban pendek dan
mengena: Bisa. Jawaban panjang mungkin diajukan ketika ada kesanggupan
mengungkapkan biografi manusia mutakhir dalam pergulatan pemikiran
poststrukturalisme-postmodernisme. Pemikiran-pemikiran itu memang membuat
suntuk tapi merepresentasikan realitas hari ini: absurd dan luput. Membaca
dunia lewat metafora? Metafora adalah kunci membaca dunia ketika ada pemahaman
bahwa bahasa tidak sekadar merepresentasikan realitas tapi juga menciptakan
realitas. Madam Sarup (2003) percaya bahwa sejarah peradaban manusia modern
secara eksplisit terbentuk dari metafora. Metafora menjadi urusan untuk
pelbagai wacana dan tindakan manusia. Metafora adalah cara dan realisasi
manusia menciptakan dan mempertahankan pandangan dunia. Metafora menstimulus
kelahiran paralelisme atau analogi secara tidak terduga dan mengejutkan.
Metafora meningkatkan kesadaran tentang kemungkinan dunia-dunia alternatif.
Bambang Sugiharto dalam esai
Mengembalikan Filsafat kepada Metafor (1995) mengajukan referensi-referensi
berat tentang metafora dalam acuan filsafat, bahasa, dan estetika. Konklusi
reflektif dari pergulatan sekian definisi dan sistem metafora: "Kebenaran
justru kerap hadir dalam hal-hal irasional atau abnormal untuk menuntut
pengakuan. Wajah anomali kritis dan kreatif adalah metafora." Metafora pun
jadi lokomotif dalam filsafat mutakhir dengan jejak dan kiblat tanpa konvesi
baku dan sistem heterogen. Metafor sejak dulu sampai hari ini menjadi tanda
kehidupan manusia dalam pergulatan realitas dan bahasa.
Yang menjadi pertanyaan
kenapa metafora demikian mempesona bagi para novelis? Tentu hal ini berkaitan
dengan sifat dunia prosa itu sendiri, yang merupakan bagian dari dunia kreatif,
yang para aktornya selalu terobsesi untuk menemukan orisinalitas-orisinalitas.
Novelis yang kreatif selalu ingin menemukan cara bertutur yang segar. Kesegaran
itu hanya dimungkinkan jika dia berpaling pada metafora. Tentu tak semua metafora
masih mengusung rohnya yang menyegarkan. Banyak juga metafora yang telah mati
dan menjadi klise jika diungkapkan kembali. Metafora seperti "Wajahmu
adalah bulan purnama sehabis hujan" adalah metafora yang basi dan mungkin
bisa membuat pembaca mual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar