BLOG INI BERSIFAT TERBUKA UNTUK DIKOMENTARI DAN DIKRITISI DEMI KEMAJUAN WAWASAN BERPIKIR, DAN BERTEOLOGI MASA KINI
Kamis, 08 November 2012
LAPORAN BACA BUKU MINGGUAN
1.William C.Placher, Unapologetic Theology, (Westminster/John Knox, 1990), Bab 1
2.William C.Placher, Unapologetic Theology, (Westminster/John Knox, 1990), Bab 2
3.Stephen Toulmin, Cosmopolis: The Hidden Agenda of Modernity, (Free Press, 1990), Bab
1.
Berbicara mengenai filsafat, maka kita akan menemukan berbagai bertanyaan
yang sulit dijawab. Karena sampai sekarang belum ada kesepakatan mengenai apa
arti filsafat itu sendiri. Memang ada banyak konsep dan penjelasan yang sangat
jelas tentang filsafat. Banyak filsuf besar memberi penjelasan dan menjabarkan
pemikiran mereka tentang filsafat. Namun demikian, kita tidak menemukan
kesepakatan di antara mereka mengenai pengertian filsafat.
Ketika membahas filsafat, dalam benak saya selalu bertanya apakah ojek
filsafat ini abstrak atau nyata? Saya lebih cenderung berfikir bahwa dunia
filsafat adalah dunia abstrak. Namun, abstrak bukan berarti tidak ada sangkut
pautnya dengan kehidupan. Di sisi lain, relevansi filsafat juga dapat
dipikirkan dengan cara lain. Pertanyaan-pertanyaan filsafat adalah
pertanyaan-pertanyaan manusia. Artinya, sebagai manusia kita tidak pernah dapat
menghindar dari pertanyaan-pertanyaan dan rasa kagum terhadap apa yang kita
lihat dan alami.
Dalam bukunya, Unapologetic Theology
bab 1 – 2, Placher mau menjelaskan bahwa dia berharap bukunya itu tidak disalah
mengerti menjadi sebuah permainan kata-kata yang buruk. Sebab secara
tradisional kata “Apologetika” merupakan bagian dari teologi Kristen untuk
melawan iman Kristen pada orang non-Kristen. Menurutnya bahwa teologi
kontemporer Kristen sering mengadopsi nada “apologetika”. Hal ini disebabkan
bahwa sejak Pencerahan dalam abad ketujuhbelas, telah terjadi pemaksaan dalam
struktur pemikiran kita yakni bahwa “menjadi rasional” berarti mempertanyakan
seluruh asumsi kemudian menerima hanya yang dipercayai secara universal.
Placher juga berbicara soal fondasionalisme. Fondasionalisme adalah teori
pembenaran yang menyatakan bahwa suatu klaim kebenaran pengetahuan untuk dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional perlu didasarkan atas suatu fondasi atau
basis yang kokoh, yang jelas dengan sendirinya, tak dapat diragukan
kebenarannya dan tak memerlukan koreksi lebih lanjut. Placher mengatakan bahwa
seharusnya orang Kristen mengatakan kebenaran mereka dan jangan ragu tentang
dasar filosofi klaim mereka. Tokoh yang ditampilkannya adalah Rene Descrates
(1596-1650) yang menuliskan semua pemikiran kebenarannya dalam buku Meditations (Peremenungan). Buku ini
merupakan buku yang paling penting pada periode modern. Banyak pemikir
mengatakan bahwa filsafat modern dimulai dengan dipublikasikannya buku ini pada
1641. Dan bahkan Descrates dikenal menjadi bapa Pencerahan. Model pemikiran
Decrates sangat dipengaruhi metode matematika. Descrates membangun empat aturan
yang medasar dalam ilmu pengetahuan. Ia memulai dengan berbagai keyakinan yang
didasarkan pada indra persepsi (penerimaan). Hal-hal yang diyakini dan
dipikirkan oleh Descrates adalah keyakinan-keyakinan yang diperoleh melalui
penggunaan indra. Namun, ia menyadari bahwa pancaindra kadang-kadang juga
menipu. Dari perenungannya yang mendalam akhirnya ia tiba kepada sebuah
kesimpulan bahwa kebenaran pertama kadangkala disebut sebagai Cogito, bentuk singkat dari ekspresi
Latin Cogito ergo sum, “Aku berpikir,
maka aku ada”.
Dan masih ada lagi pemikiran yang disampaikan Placher dalam tulisannya itu
seperti: Wittgenstein yang mendasari filsafatnya pada bahasa, logika,
epistemologi, pemikiran matematika. Dia memberikan dasar pada topik-topik
filsafat yang dia sentuh, dan tanggapan atas karyanya tampak bergerak dari
ketidakmampuan memahami ke pengenalan akan tak sesuatu pun dari revolusi
vilosofis.
Berbeda dengan Placher yang mengupas dasar filsafatnya dari pemikiran para
filsuf jaman dahulu, Toulmin mengulas dasar filsafat dari kejadian Kosmoplis
sebuah agenda tersembunyi dari modernitas. Menurutnya, idealnya masalah sosial
dan politik menjadi kerangka berpikir realistik horizontal dari pengharapan,
tetapi horizontal aktual masyarakat akan sering tidak realistik. Dari
tulisannya terlihat bahwa ada banyak perkembangan pemikiran yang terjadi dan
berubah sejak zaman modernisasi itu dimulai hingga zaman post-modernisasi
berlangsung.
Dari pembahasan di atas timbullah pertanyaan. Apakah ada dasar ilmu
pengetahuan yang absolut? Jawabannya ternyata bahwa ilmu pengetahuan selalu
berakar pada subyek dan konteks kita masing-masing. Dengan demikian filsafat
ilmu sangat penting dipelajari untuk membongkar konsep ilmu pengetahuan yang
universal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar