Sabtu, 10 November 2012

widgeo.net

LAPORAN BACA BUKU MINGGUAN
1.     Philip D. Kenneson, There’s No Such Thing as Objective Truth, and It’s a Good Thing, too, dalamTimothy R.Phillips & Dennis L.Okholm (Eds.), Christian Apologetics in the Postmodern World, (InterVarsity Press, 1995), Bab 8


TIDAK ADA SESUATU SEBAGAI KEBENARAN YANG OBJEKTIF
DAN INI SESUATU YANG BAIK JUGA

Pada awal paparannya Philip D. Kenneson memaparkan tentang posisinya terhadap kebenaran objektif. Dia menduga bahwa pembaca artikelnya akan mencurigainya sebagai orang yang  membela Injil. Karena itu Kenneson menegaskan kepada pembaca bahwa dia bukan seorang relativis. Karena menurutnya relativisme itu tidak membawa banyak kenyamanan. Dengan kata lain, seseorang dapat membela kebenaran obyektif atau relativisme hanya dengan asumsi adalah mungkin bagi manusia untuk mengambil "pemandangan dari mana-mana", tapi dia tidak percaya bahwa sesuatu dapat "dilihat dari mana-mana". Bahkan Kenneson mengajak orang agar tidak percaya pada kebenaran obyektif atau relativisme, karena teori ini merusak gereja dan membuang-buang waktu yang berharga dan energi dari banyak orang Kristen.

Melucuti kebenaran kuno
Menurut Kenneson kita perlu melucuti pemikiran-pemikiran kuno dari dalam diri kita. Seperti yang dilakukan oleh Peter C. Moore. Moore ketika melucuti pemikiran kuno dari dalam dirinya, maka dia mampu meninggalkan obyektivisme.

Medel Korespondensi Kebenaran bukanlah satu-satunya pilihan paradigma
Kenneson juga mengatakan bahwa model teori korespondensi kebenaran bukanlah satu-satunya opsi atau pilihan paradigma.  Pemikiran ini dicontohkannya dari pemikiran epistemologis Richard Bernstein tentang "kecemasan Cartesian".  Kita bisa bertanya: Mengapa bukan keraguan hal yang mendasar daripada kepercayaan? Apakah yang terjadi jika seseorang mulai dengan pandangan semua pengetahuan berakar pada kepercayaan? Pertama, pertanyaannya akan terpusat pada: Siapa yang harus dipercayai?  Dengan memahami pemikiran seperti ini maka kita akan meninggalkan pandangan Pencerahan dan teori korespondensi kebenaran. Hal ini akan semakin menarik pemikiran Kenneson karena menurutnya kita tidak begitu banyak berdebat melawan gagasan kebenaran obyektif yang menghasilkan dikotomi antara "tujuan" dan "subyektif". Artinya, paradigma lama pengetahuan dan kebenaran adalah jalan buntu yang tidak perlu dipertahankan.
Menurut Kenneson, salah satu alasan banyak orang Kristen yang ragu-ragu untuk meninggalkan paradigma ini adalah mereka tidak yakin bagaimana memahami kehidupan mereka sendiri tanpa kebenaran itu sendiri. Bagaimanakah kehidupan orang Kristen jika tidak hidup didedikasikan untuk "kebenaran obyektif"? Karena itu Kenneson menduga banyak orang Kristen takut mengadopsi model pemikirannya karena dengan memakai pemikirannya seolah-olah tidak ada lagi kesempatan untuk menginjili.
Untuk memahami kebenaran itu, Kenneson menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhan, Menurutnya, "Sesungguhnya ada beberapa hal yang 'benar' secara independen dari apa yang manusia percayai. Posisi manusia kelihatan seolah-olah kita membuat hal-hal 'benar,' seolah-olah kita menentukan realitas. Kami percaya bahwa Tuhan itu ada secara independen. Karena itu sesuatu yang disebut Kebenaran ada "di luar sana" menunggu diwujudnyatakan dalam bahasa.
Untuk memahami posisi manusia, Kenneson mengutip pemikiran Richard Rorty, yang mengatakan:
Kita perlu membuat perbedaan antara dunia dan Tuhan di luar sana dan kebenaran ada di luar sana. Untuk membuktikan bahwa kebenaran bukan di luar sana sangatlah sederhana yakni di mana tidak ada kalimat, di sana pasti tidak ada kebenaran. Kalimat adalah unsur bahasa manusia, dan bahasa manusia adalah ciptaan manusia. Kebenaran tidak bisa berada di luar sana - tidak bisa eksis secara independen dari pikiran manusia - karena kalimat tidak bisa ada, atau berada di luar sana. Dunia dan Allah di luar sana, namun deskripsi tentang dunia dan Tuhan tidak di luar. Hanya deskripsi dari dunia dan Allah bisa benar atau salah.

Dengan pemikiran tersebut Kenneson mencoba model yang berbeda dari kebenaran. Dalam model seperti itu, kebenaran yang tak terpisahkan dengan bahasa manusia, terkait erat dengan masalah-masalah penegasan dan penghakiman. Kenneson berpendapat bahwa penganut paham model korespondensi kebenaran ini adalah kaum injili. Hal ini terbukti dari banyak buku yang mereka terbitkan untuk menyerang relativisme dan subjektivisme atas nama kebenaran obyektif. Sebagai contoh, Kenneson berpendapat klaim kebenaran tidak dapat dipisahkan dari bahasa manusia. Kenneson juga melihat dalam dalam karya James Sire. Sire percaya bahasa dalam urusan manusia mengarah ke "relativisme radikal" di mana "ilmu pengetahuan tidak memiliki status istimewa". Menurut Kenneson, kebenaran obyektif tidak ada hubungannya dengan relativisme. Namun demikian Kenneson tidak sepenuhnya mendukung Sire.
Sire melihat baik Kenneson dan Rorty adalah orang penganut paham relative. Karena itu, untuk menyangkal anggapan ini, Kenneson mengutip pendapat Rorty yang megatakan:
"Relativisme" hanyalah ikan merah. Realitivis memproyeksikan kebiasaan pemikiran mereka sendiri kepada kami ketika mereka mengatakan kami relativisme. Bagi orang realis berpikir bahwa inti dari pemikiran filosofis adalah untuk melepaskan diri dari setiap komunitas tertentu dan melihat ke bawah dari sudut pandang yang lebih universal. Ketika orang realis mendengar bahwa ada orang-orang dari kita yang menolak keinginan untuk suatu sudut pandang yang berbeda, dia tidak bisa percaya. Ia berpikir bahwa setiap orang, jauh di dalam hati, harus mau melepaskan hal tersebut. Kita hanya bisa dikritik karena etnosentrisme, bukan untuk relativisme. Untuk menjadi etnosentris adalah untuk membagi umat manusia menjadi orang-orang kepada siapa kita harus membenarkan keyakinan seseorang. Kelompok pertama - ethnos seseorang - terdiri dari orang-orang yang berbagi dengan orang percaya untuk membuat percakapan yang menghasilkan buah. Dalam pengertian ini, semua orang bisa menjadi etnosentris ketika mereka terlibat dalam perdebatan aktual.


Kebajikan-kebajikan dari Paradigma Alternatif Kebenaran
Kenneson tidak ingin berhenti dengan mengatakan bahwa orang Kristen tidak diwajibkan untuk menerima paradigma lama tentang kebenaran. Dia ingin menegaskan bahwa orang Kristen kontemporer akan lebih baik tanpa pengertian tersebut, di mana "lebih baik" memiliki ide yang jelas tentang apa artinya menjadi seorang Kristen dan apa artinya menjadi gereja. Ada beberapa saran Kenneson tentang bagaimana kehidupan Kristen dalam paradigma alternatif:
Pertama, gereja menjadi batu ujian yang sangat diperlukan. Dalam model seperti itu, gereja memiliki kata untuk berbicara kepada dunia bukan karena memiliki pesan obyektif benar. Sebaliknya, gereja memiliki kata untuk berbicara kepada dunia karena mewujudkan suatu politik alternatif. Titik pusat praktik dan kebajikan masyarakat diwujudkan dalam karakter Allah yang melayani seperti pengampunan, rekonsiliasi, perdamaian pembuatan, kesabaran, kejujuran, kepercayaan, kerentanan, kesetiaan, keteguhan, dan kesederhanaan hidup.
Kedua, kepercayaan dan keyakinan tidak direndahkan sebagai kelas dua dari pengetahuan atau pendapat, tetapi diakui sebagai yang kita punya dan pernah miliki. Ini berarti kita bisa berhenti berbicara tentang sesuatu yang "hanya" sebuah keyakinan, sebuah ungkapan yang kekuatannya terlihat ketika sesuatu tampak lebih stabil. Misalnya, jika putri kita berumur dua puluh tahun apakah ia sudah dapat dipercayai. Pada model korespondensi ini harus menjadi keyakinan, karena tidak ada tes netral untuk memeriksa apakah proposisi "Putriku dapat dipercaya". Yang bisa kita katakan, "Saya tahu bahwa putri saya dapat dipercaya". Pada pandangan seperti itu, keyakinan kita sebenarnya dianggap sebagai semacam angan-angan: "Saya berharap putri saya dapat dipercaya". Tetapi jika kita menjatuhkan paradigma lama dan mulai mempertimbangkan percaya dan keyakinan sebagai kebiasaan maka pergeseran yang menarik akan terjadi. Keyakinan kita tentang kepercayaan terhadap putri kita menjadi semacam penjelasan mengapa kita tidak melakukan hal-hal tertentu.
Dengan memperhatikan hubungan antara kebenaran dan keyakinan dalam paradigma baru ini, kebenaran menjadi internal pada keyakinan.   Pergeseran tersebut memiliki konsekuensi yang sangat besar untuk bagaimana kita berpikir tentang keyakinan. Tetapi di bawah paradigma baru, seperti pengakuan memerlukan sesuatu yang sangat berbeda: bahwa kita selalu tahu dengan pasti apa yang benar, karena kita selalu dalam cengkeraman keyakinan tertentu. Dan ini adalah kasus meskipun apa yang kita pasti tahu dapat berubah jika dan ketika keyakinan kita berubah.  
Kenneson juga mengakui bahwa ada banyak cara lain di mana keyakinan akan melayani komunitas Kristen yang lebih baik. Seperti kerendahan hati yang tidak mengharuskan kita untuk tetap diam sama sekali, tapi mungkin mendorong kita untuk menyisihkan beberapa jenis pertanyaan. Misalnya, setelah kita membebaskan diri dari struktur epistemologi, kita bisa belajar untuk menyisihkan pertanyaan seperti: "Tapi bagaimana Anda tahu apa yang Tuhan inginkan dari kita?" Dengan cara yang sama kita menyisihkan pertanyaan seperti: "Bagaimana Anda tahu bahwa Jones layak bersahat dengan Anda"? Bagaimana Anda tahu bahwa Yeats adalah seorang penyair penting, Hegel seorang filsuf penting dan Galileo seorang ilmuwan penting?" Seperti Rorty mengingatkan kita, tidak ada cara untuk membungkam keraguan tentang hal-hal seperti itu, karena mereka yang membuat pertanyaan tersebut meminta posisi epistemik. Kenneson berpendapat, kadang-kadang orang harus menghindari menjawab pertanyaan epistemologi  Bagaimana Anda tahu?" dan merespon bukan dengan bertanya: Mengapa Anda bicara seperti itu?” Langkah seperti itu, diyakini Kenneson sebagai keuntungan besar bagi komunitas Kristen.
Ketiga, paradigma baru memaksa mencari otorisasi yang berbeda untuk kesaksian kita. Di masa lalu, apologet Kristen sering mencari otorisasi dengan bersikeras bahwa apa yang mereka katakan adalah benar obyektif. Disisi lain, orang-orang Kristen bersikeras bahwa Injil itu benar obyektif terlepas dari bagaimana kita hidup. Paradigma Kenneson menganjurkan bahwa semua klaim kebenaran memerlukan penerimaan luas atas kesaksian mereka yang terpercaya dan dengan demikian mereka memiliki otoritas kesaksian.

Tantangan Para Apologet Menghadapi Gereja
Kenneson menjelaskan bahwa para apologet banyak menghadapi tantangan dari pihak Gereja. Kenneson mencontohkannya ketika ada banyak orang Kristen berpikir untuk mengatakan proposisi "Yesus Kristus adalah Tuhan alam semesta" secara obyektif benar. Tapi jika kita menerima pernyataan ini dengan mudah sedemikian rupa, maka akan mematikan gereja. Tidak ada tempat untuk berdiri dan menilai pernyataan ini dengan benar. Tapi harus kita katakan bahwa pernyataan seperti itu hanyalah salah satu pendapat di antara banyak pandangan. Kita lupa klaim kebenaran "Yesus Kristus adalah Tuhan alam semesta" adalah kalimat abad keduapuluh. Apa artinya mengatakan bahwa kalimat berikut ini "objektif benar": "Yesus dari Nazaret, seorang Yahudi abad pertama, adalah Mesias yang dijanjikan Allah yang datang ke dunia untuk mendirikan sebuah kerajaan di mana ia akan memerintah”. Untuk membuat klaim dimengerti, apalagi benar, seseorang harus memiliki komunitas historis konkret dengan kata-kata mereka dan kebutuhan menarasikan kisah ini dengan cara yang memberikan beberapa substansi untuk itu. Kita tahu siapa Yesus atas dasar saksi manusia untuk sejarah hubungan Allah dengan umat Allah, yang dimediasi kepada kita, tidak obyektif, tetapi melalui komunitas manusia animasi oleh Roh Kudus. Kita tidak bisa tahu apakah "ketuhanan" terpisah dari komunitas iman yang sehari-hari berusaha untuk mewujudkan klaim Tuhan dalam hidup mereka.
Menurut Kanneson tantangan itu terlihat ketika gereja diperhadapkan dengan pelaksanaan tugas pemberitaan Injil bagi seluruh bangsa. Hal ini dicontohkannya dengan apa yang dihadapi oleh gereja kontemporer Amerika. Tantangan itu misalnya "Bagaimana gereja dapat membuat kebenaran Injil menarik dalam budaya pluralistik yang mencakup relativisme”. Salah satu bagian favorit apologet Kristen kontemporer adalah 1 Petrus 3:15, yang mendesak orang Kristen "selalu siap sedia pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab".

 Tanggapan dan Refleksi
Kebenaran bukanlah hasil dari sebuah proses berpikir yang diungkapkan melalui kata-kata, namun lebih dari itu, kebenaran berbicara tentang fakta dan realita yang menunjuk kepada eksistensi manusia itu sendiri dalam hubungannya dengan Tuhan (Allah), diri sendiri dan masyarakat sekitarnya. Kebenaran harus dipahami di dalam konteks yang benar, hingga kebenaran itu mampu diaplikasikan di dalam kehidupan setiap hari, dengan konsep dan perilaku yang benar.
Pergeseran pemahaman tentang kebenaran, tentu mempengaruhi pola dan tingkah laku masing-masing orang di dalam kehidupan bermasyarakat. Seseorang yang hidup bermasyarakat bisa bertindak menentang hukum, atau melanggar hak-hak asasi orang lain dengan dalih melakukan hal yang benar. Ini tentu merugikan orang lain. Ada begitu banyak contoh yang terjadi di sekitar kehidupan kita yang mencerminkan pola dan perilaku seperti demikian.
Pertanyaan yang mengemuka adalah: Di dalam kemajemukan masyarakat dan kompleksitas permasalahan yang terjadi di dalamnya, masih adakah kebenaran sejati? Bisakah seseorang hidup di dalam kebenaran yang sejati di dalam konteks kemajemukan masyarakat seperti ini? Pergumulan ini hanya bisa dijawab jika kita memikirkan ulang tentang kebenaran di dalam kerangka hubungannya dengan Allah, diri sendiri dan masyarakat.
Kebenaran objektif-filosofis secara sederhana dipahami sebagai kebenaran yang mandiri. Itu adalah kenyataan yang sesuai dengan objek itu sendiri, yang tidak dipengaruhi atau bergantung pada apapun di luar dirinya. Seperti “4:3”, secara objektif ia haruslah memiliki nilai “benar” mandiri yang tidak dipengaruhi oleh pendekatan apapun. Namun kenyataannya, bahkan untuk persoalan matematis seperti persamaan yang sederhana tersebut dapat dimiliki beberapa nilai (baca: jawaban) yang “berbau” subjektif; karena meski masih tetap didasarkan pada prinsip-prinsip yang dapat dibenarkan secara objektif, namun masih bergantung pada kesepakatan (baca: pendekatan yang “dapat dianggap” benar; dibenarkan). 3,99999 bukan 4! Bagaimana dengan fakta-fakta yang lain seperti “rasa jeruk” atau “rasa ikan bakar”?
Bagaimana dengan kebenaran agamis? Jangankan itu, Studi-studi yang dikenal sangat ilmiah seperti Matematika sekalipun jelas memiliki nilai-nilai pendekatan maksimal yang dipikirkan seobjektif mungkin. Sekali-lagi, seobjektif mungkin bukan berarti bahwa nilai (baca: kebenaran matematis misalnya) tersebut benar-benar sesuai dengan “kenyataan objeknya”. Dan di sini jelas bahwa “problema objektif” yang dimaksud tidak harus sama pada tiap-tiap studi yang dibicarakan, sejak masing-masing Studi memiliki karakteristik “keilmiahannya” sendiri.
Seperti studi lainnya, teologia yang berbasiskan objek-objek agamis memiliki karakteristik studinya sendiri. Dengan kata lain, teologia menempatkan dirinya sebagai salah satu studi-ilmu yang mengamati objeknya yang beraneka ragam dalam lingkupnya dengan prinsip-prinsipnya yang khas; sebagaimana Seni dengan nilai estetikanya atau Filsafat dengan struktur logikanya seperti bentuk-bentuk silogismenya, misalnya. Dan bila kita membicarakan “kebenaran agama” (di mana yang saya maksudkan terutama “Agama Langit” atau “Agama Pewahyuan” mengingat dikenal juga pembedaan-pembedaan seperti Agama Filsafat dan Agama Suku/Kebatinan. Misalnya kita juga sedang membicarakan kitab-kitab suci ‘yang bersangkutan’. Artinya apa? Kebenaran-kebenaran yang “dinilai” dari/atau objek yang diamati teologia dalam kajian studinya adalah apa-apa yang tertulis dalam kitab suci. Objek teologia terutama adalah Alkitab! Jika teologia mengamati (baca: memikirkan) – tentang – Tuhan, apakah teologia menjadikan Tuhan sebagai objek yang diamatinya? Begitu pentingnya arti Kitab Suci tersebut bagi teologia, maka ketika seorang teolog mengamati (=menilai) suatu realita di sekitarnya, ia sejatinya akan kembali kepada apa yang dicatat dalam kitab yang dimaksud. Pertanyaannya, apakah Kitab Suci tersebut menjadi objek atau subjek bagi sang Teolog? Bagaimana dengan kita, para teolog “kecil”, yang berusaha untuk menilai ‘sisi agamis’ suatu objek/realitas dengan prinsip-prinsip yang semaksimal mungkin didasarkan pada objektivitas kitab suci yang kita yakini, apakah penilaian kita dikatakan objektif atau subjektif?
Dalam sejarah yang juga tercatat di dalam Alkitab, “fenomena” bagi Objektif vs Subjektif ini juga bisa dilihat dalam penetapan hukum-hukum Taurat di dalam agama Yahudi. Hukum-hukum seperti ‘larangan mencuci piring’ di hari Sabath (Sabtu) misalnya yang kemudian ditentang oleh Sang Revolusioner, Yesus Kristus dari Nazareth. Hukum yang dikatakanNya sebagai peraturan legalistik yang ditetapkan oleh para pemuka agama Yahudi, dan bukan Tuhan. Dapat dikatakan dalam “kacamata” fokus di sini, detail hukum-hukum yang kemudian ditetapkan oleh lembaga agama Yahudi tersebut di masa itu memiliki “bau subjektif” para pemuka agama yang lebih menyengat ketimbang “aroma objektif” dari prinsip kebenaran dari hukum Musa yang berkaitan, yang dikenal juga sebagai dasatitah atau 10 Hukum Taurat. Namun, sekali lagi jelas bahwa itu salah satunya disebabkan oleh kondisi objek dan hubungan-hubungannya seperti yang disebutkan diatas. Artinya, oleh fakta sedemikian, dari perspektif kenyataan itu, kebenaran agama tidak dapat tidak adalah kurang tepat bila dikatakan sebagai kebenaran objektif, melainkan kebenaran subjekti yang diupayakan seobjektif mungkin. Yaitu bersesuaian dengan objeknya, kitab (suci), atau tepat sebagaimana yang dikatakanNya; karena sejatinya Tuhanlah yang menjadi Subjek dalam hal ini. Jadi, benarkah Kebenaran Agama Itu Subjektif? Bahkan, agama-agama Filsafat dan Kebatinan sekalipun tidak terlepas dari fakta Subjektifisme sedemikian sejak mereka “bersandar” pada pemikiran sendiri ataupun manusia lain yang dianggap sebagai “orang-orang yang bukan seperti kita”.
Terakhir, dengan menyadari kesubjektifan yang ‘tak terhindarkan’ itu, apakah yang akan kita lakukan terhadap orang lain yang juga sama “orang” seperti kita namun memiliki pemahaman akan kebenaran yang berbeda dengan kita? Akankah kita menjadi satu-satunya subjek yang paling benar ataukah kita, jika sungguh menyadari itu, “membiarkan” Tuhan menjadi satu-satunya Subjek di antara kita?
Tanpa mengabaikan “persamaan kemanusiaan” di antara kita, saya lebih senang mengikuti “kearifan lokal” sang Filsuf, Soren Kierkegaard, bahwa untuk kebenaran agamis, yang terpenting bukanlah apa yang dianggap benar oleh orang melainkan apakah kebenaran itu perlu bagiku. Bukan kebenaran itu sesuai dengan kamu, dia, atau mereka, melainkan apakah Kebenaran itu benar bagiku; berarti bagiku. Bila berbeda, perbedaan itu bisa dibicarakan - jika mungkin, namun bukan untuk dipertentangkan apalagi dijadikan alasan untuk berselisih. Jika TUHAN memang satu-satunya Subjek bagi keobjektifan kita, maka siapakah yang pantas untuk menilai perbedaan antara aku dan kamu? Siapakah yang pantas menjadi hakim di antara kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar