BLOG INI BERSIFAT TERBUKA UNTUK DIKOMENTARI DAN DIKRITISI DEMI KEMAJUAN WAWASAN BERPIKIR, DAN BERTEOLOGI MASA KINI
Sabtu, 10 November 2012
LAPORAN BACA BUKU MINGGUAN
1.Fransisco Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, (Kanisius,
2012), Bab 10
Refleksi
Pemikiran Habermas yang
mengawal dan mempertahankan pemikiran modernitas yang disebut oleh Hardiman
dengan kritik atas patologi modernitas
diperhadapkan dengan pemikiran postmodernisme
yang dikumandangkan ahli waris Nietzche menjadi bahasan yang menarik dalam
ulasan Hardiman dalam bab 10 bukunya ini. Pemikiran Habermas ini memang sangat
cocok bagi Negara-negara yang sedang berkembang karena pemikirannya mampu
mendorong “kehendak-untuk-menjadi-modern”.
Untuk melihat “modernisasi”
ini ada beberapa pendapat di antara para pemikir. Misalnya, Heidegger,
Horkheimer dan Adorno melihat modernisasi adalah sebuah disintegrasi total,
sebuah malapetaka sejarah umat manusia. Dalam pemikiran Bataille, Rorty,
Foucault dan Derrida, menyatakan bahwa modernisasi itu tak kurang dari
“kehendak-untuk-berkuasa”.
Dengan demikian, saya
melihat bahwa konsep tentang modernitas itu dipahami secara berbeda-beda oleh
para pemikir tergantung dari situasi dan kondisi mereka melihat modernitas itu
sendiri. Bagi pemikir Barat, modernitas itu bisa saja menjadi sebuah alat untuk
menguasai Negara-negara lain yang sedang berkembang untuk mengambil dan
mengeksplorasi sebanyak-banyaknya hasil bumi jajahannya (seperti bangsa
Indonesia yang dijajah Belanda). Namun, jika modernisasi itu dilihat dari sisi
Negara-negara yang sedang berkembang, maka moderniasi itumenjadi sebuah “jalan keselamatan” seperti
yang diungkapkan Hardiman. Pendapat Hardiman ini sangat cocok bagi
Negara-negara yang sedang berkembang karena dengan adanya industrialisasi maka
akan tercapailah kemakmuran dan kesejahteraan hidup.
Pertanyaan saya sekarang
adalah jika Negara-negara yang sedang berkembang itu, lalu kemudian menjadi
Negara yang maju dan makmur, apakah teori Habermas ini akan diminiti lagi? Atau
apakah kita akhirnya akan mencari teori atau paradigm baru dan atau bahkan akan
meninggalkan “modernitas” itu sendiri dan memasuki sebuah masa baru, yakni
“postmodernitas”.
Bagi Negara maju, saya
melihat mereka sudah mulai meninggalkan “modernitas” itu sendiri. Hal ini
terlihat dari gerakan “postmodern” yang disuguhkan oleh ahli waris Nietzche.
Nietzche. Menyingkirkan kepercayaan kita mengenai sejarah dan rasionalitas. Dia
mulai dengan riset filologis atas dunia dan mitologis. Baginya mitos adalah
sejarah dan sejarah adalah mitos. Mitos masa lalu mampu membisikkan nubuat
kreatif mengenai masa kini, sehingga tidak ada batas yang tegas antara mitos
dan logos. Karena itu dihadapan Nietzche tidak ada kebenaran, yang ada adalah kebenaran-kebenaran.
Bagi Habermas, modernisasi
itu tidak perlu ditinggalkan, namun modernisasi itu harus dilanjutkan. Baginya bahwa
apa yang disebut post-modernisme tak lebih daripada [post]modernism. Habermas, justru memperlihatkan bahwa
postmodernisme adalah simtom suatu krisis dalam sebuah paradigm rasio yang berpusat pada subyek, yaitu paradigm yang
secara sempit dimutlakkan dalam proyek-proyek modernisasi selama ini. Habermas
melanjutkan modernisasi ini dengan rasio komunikatif. Karena moderniasi
dihadapan Habermas adalah sebuah proyek yang belum selesai dan sekarang harus
dilanjutkan dengan kritik terus-menerus terhadap segala manifestasi rasio yang
berpusat pada subjek dengan tindakan komunikatif.
Untuk saat ini saya lebih
condong dengan pendapat Habermas. Karena moderniasi itu adalah sebuah proses
panjang yang harus kita sikapi terus-menerus. Artinya, dalam setiap perjalanan
hidup pasti ada masalah yang akan kita temui dan hadapi. Untuk menghadapi
masalah dan tantangan itu bisa saja teori lama tidak berguna lagi. Pada saat
itu kita akan mencari solusi dari permasalahan itu. Itulah yang disebut sebuah
era transisi menuju sebuah teori baru. Dengan kemampuan rasionalitas yang kita
miliki maka kita pasti mampu mengatasi setiap pergumulan dengan sikap rasionalitas komunikatif. Semoga…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar