Kamis, 08 November 2012

widgeo.net


1.                  PERKEMBANGAN SAYA
Sebelum mengkuti mata kuliah Metodologi Penelitian Sosial (MPS) ini, pemahaman saya tentang penelitian social sangatlah terbatas. Menurut saya, penelitian masalah-masalah social itu cukup dengan menggunakan penelitian terhadap kepustakaan saja. Artinya, realita sosial itu diketahui, digali, dibahas dan dianalisa hanya melulu dari buku-buku, majalah, koran, artikel dan tulisan-tulisan lain. Ternyata, setelah mempelajari lebih dalam mata kuliah MPS ini, kita harus mengetahui terlebih dahulu sebuah paradigma yang membingkai permasalah sosial yang ada. Paradigma sosial merupakan kerangka berpikir dalam masyarakat yang menjelaskan bagaimana cara pandang terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan terhadap ilmu atau teori yang ada. Paradigma ini juga menjelaskan bagaimana meneliti dan memahami suatu masalah, serta kriteria pengujian sebagai landasan untuk menjawab masalah. Dari pelajaran ini saya semakin mengerti paradigma kuantitatif dan kualitatif.

1.1.            PROSES PERUBAHAN
Dengan mengikuti mata kuliah MPS ini, pertama, saya mengalami perubahan dalam memahami bagaimana suatu penelitian teologi itu dilakukan secara ilmiah.  Awalnya saya melihat bahwa suatu penelitian teologi sulit untuk dilakukan secara ilmiah, sebab penelitian ini sendiri memiliki substansi yang berbeda dengan suatu penelitian ilmiah dari disiplin ilmu tertentu. Dari sini, saya memahami bahwa ternyata sebuah penelitian teologi sebetulnya dapat dilakukan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip dari suatu penelitian ilmiah sekalipun objek penelitian sangat berbeda, terutama bagaimana seharusnya sebagai seorang peneliti harus mampu memposisikan diri secara tepat, netral, kritis, bebas subjektifitas, dan fokus pada objek yang diteliti, namun pada pihak yang lain tetap mempertahankan kualitas diri sebagai teolog Kristen yang memiliki penilaian yang jujur serta mampu merefleksikan hasil penelitian dalam kaitan dengan nilai-nilai tradisi iman.
Kedua, saya semakin memahami dengan jelas pengertian paradigm dan beberapa paradigm yang akan mempengaruhi cara berpikir berteologi saya. Dahulu pemahaman saya tentang paradigm, bahwa sebuah paradigma itu tak mungkin mengalami perubahan, ternyata dengan belajar MPS ini ada banyak perubahan yang terjadi dalam paradigma berpikir kita sesuai dengan waktu dan kondisi yang kita hadapi. Pengertian Paradigma - Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn (1962), dan kemudian dipopulerkan oleh Robert Friedrichs (1970). Menurut Kuhn, paradigma adalah cara mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu, yang kemudian menghasilkan mode of knowing yang spesifik. Definisi tersebut dipertegas oleh Friedrichs, sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari. Pengertian lain dikemukakan oleh George Ritzer (1980), dengan menyatakan paradigma sebagai pandangan yang mendasar dari para ilmuan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh salah satu cabang/disiplin ilmu pengetahuan. Norman K. Denzin membagi paradigma kepada tiga elemen yang meliputi; epistemologi, ontologi, dan metodologi. Epistemologi mempertanyakan tentang bagimana cara kita mengetahui sesuatu, dan apa hubungan antara peneliti dengan pengetahuan. Ontologi berkaitan dengan pertanyaan dasar tentang hakikat realitas. Metodologi memfocuskan pada bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan. Dari definisi dan muatan paradigma ini, Zamroni mengungkapkan tentang posisi paradigma sebagai alat bantu bagi ilmuwan untuk merumuskan berbagai hal yang berkaitan dengan; (1) apa yang harus dipelajari; (2) persoalan-persoalan apa yang harus dijawab; (3) bagaimana metode untuk menjawabnya; dan (4) aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang diperoleh.
Ketiga, mata kuliah MPS ini membantu saya untuk memahami bahwa konsep-konsep teoritis yang berkaitan dengan tema suatu objek penelitian mesti menjadi tools atau alat bedah untuk mengkaji objek yang hendak diteliti itu. Saya sebagai seorang peneliti dan juga teolog dalam melakukan penelitian harus memperhatikan konsep-konsep teoritik itu sekalipun pada akhirnya konsep-konsep itu bisa saja berubah sesuai dinamika yang terjadi di dalam penelitian. Kerangka teoritik itu mesti menjadi standar namun juga ­­pre-understanding sehingga terus-menerus mengalami perubahan sesuai hasil penelitian pada objek yang sama.
Keempat, saya semakin memahami kesiapan dalam melakukan penelitian. Hal ini terlihat dari berkembangnya pemahaman saya dalam mengerti konsep “metode” dan “metodologi”. Awalnya saya menyamakan keduanya dengan berasumsi bahwa kedua-duanya hanyalah “language game” untuk menggambarkan suatu substansi yang sama. Mata Kuliah ini mendobrak pemahaman saya bahwa ternyata keduanya merupakan dua hal yang sangat berbeda tetapi tidak dapat dilepas-pisahkan satu dengan yang lain. Ini yang ditegaskan Yunita Triwardani Winarno dalam artikelnya dalam Jurnal Ilmiah Humatek bahwa metode hanya dibatasi pada cara dimana suatu penelitian dilakukan; penelitian kualitatif atau kuantitatif, bagaimana teknik pengumpulan data, dan bagaimana analisa data dilakukan. Sedangkan metodologi mencakup keseluruhan proses penelitian yang di dalamnya terfokus untuk melakukan perubahan dan penerapan teori ke arah proposisi, hipotesa bahkan ke yang paling konkrit berupa peristiwa atau benda-benda yang dapat diamati[1].

1.2.            PENGUATAN
Aspek yang akan saya teliti adalah masalah misi Gereja dalam menjawab kebutuhan di masyarakat Batak Angkola. Pada awalnya penelitian ini akan saya fokuskan pada penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Namun bagaimana cara memulai pekerjaan ini belum jelas bagi saya, termasuk metode apa, paradigma apa yang akan saya gunakan sebagai alat mencari kebenaran ini. Namun setelah mengikuti mata kuliah MPS ini saya mengalami banyak penguatan yang berkaitan dengan teori paradigma yang akan saya pakai dalam penelitian ini, yakni paradigma Pluralisme Agama. Dalam teori pluralisme agama ini, memandang manusia sebagai sosok yang independen, bebas dan memiliki otoritas serta otonomi untuk melakukan pemaknaan dan menafsirkan realitas sosial yang ada disekitarnya. Tindakan manusia sulit diprediksi, karena adanya kesadaran yang berbeda antar manusia. Manusia sebagai aktor sosial menafsirkan dunia empiris mereka sendiri secara bebas dan berbeda satu dengan lain. Dengan demikian, aspek kualitatif lebih dikedepankan dibandingkan aspek kuantitatif.
Dalam hal ini saya memilih teori David Brown dan Kalin dalam rangka menyusun penelitian saya kelak. Ada pun teori yang menguatkan saya adalah:
1.      Konsep Pluralisme menurut David Brown[2]
Brown mengkomunikasikan paradigama pluralisme dari pemaknaan terhadap doktrin Kristen yang terbangun dalam tradisi dan kitab suci. Kedudukan tradisi dan kitab suci tidak diantitesakan tetapi saling melengkapi satu dengan yang lain.
Ada beberapa teori David Brown yang sangat menolong saya dalam melakukan penelitian ini seperti:
a.      Tradisi sebagai pewahyuan
v  Modernisme (pencerahan) dan Postmodernisme
v  Reinterpretasi terhadap kitab suci
b.      Teks Yang Berkembang
v  Pemberitaan ulang cerita para leluhur (suatu upaya dialog antara Yahudi, Kristen dan Islam).
c.       Kristus : Perubahan dan imajinasi
v  Pemahaman tentang Tritunggal dalam Missio Dei
2.      Konsep Pluralisme Menurut Kalin[3]
Saya juga akan mencoba memakai beberapa teori Kalin dalam melakukan penelitian ini seperti:
a.      Perjumpaan Islam – Kristen dan Konflik yang berkepanjangan
Teori Kalin ini akan membantu saya dalam rangka melihat realitas yang ada dalam Sejarah perjumpamaan komunitas Kristen dan Islam, yakni :
1)   Realitas Kerukunan
2)   Realitas Ketegangan
b.       “Sebuah Persamaan”: Suatu dasar teologis bagi Dialog Islam – Kristen
Teori ini juga akan menolong saya dalam mencari titik temu atau persamaan dalam melaksanakan dialog Islam-Kristen seperti ajaran kasih kepada Allah dan kasih kepada manusia menurut Islam dan Kristen.

1.3.            KESIAPAN MELAKUKAN PENELITIAN
Dalam mata kuliah MPS ini diajarkan ada 9 alur paradigma yang harus dilakukan oleh seorang peneliti dalam penelitiannya, yakni:
1. Pertanyaan
2. Masalah yang diteliti
3. Metodologi penelitian
4.  Asumsi-asumsi/anggapan-anggapan dasar (basic assumption)
5.Nilai-nilai (values)
6. Model-model
7. Metode-metode analisis
8. Hasil analisis/theori
9.Representasi

Dari kesembilan alur paradigma ini dari poin 1-5 sudah saya pahami dengan baik. Pertanyaan yang timbul dalam penelitian saya adalah “apa misi yang ditawarkan Gereja dalam menjawab kebutuhan masyarakat Batak Angkola?” Dari pertanyaan ini, akan saya turunkan untuk mencari masalah yang diteliti. Masalah yang akan saya teliti adalah kegiatan dan program Gereja bagi orang Batak Angkola, hubungan Gereja dengan agama Islam, hal-hal yang membuat kerukunan dan ketegangan sosial, dan lain-lain.
Kemudian metode penelitian yang akan saya pergunakan adalah metode penelitian sejarah dan lingkaran pastoral. Metode penelitian sejarah adalah metode atau cara yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan penelitian peristiwa sejarah dan permasalahannya. Dengan kata lain, metode penelitian sejarah adalah instrumen untuk merekonstruksi peristiwa sejarah (history as past actuality) menjadi sejarah sebagai kisah (history as written). Dalam hal ini saya akan memberi perhatian tentang: a) lokasi sistematik dan obyektif, b) evaluasi, c) sintesis dari bukti-bukti untuk meneguhkan  fakta-fakta dan membuat kesimpulan tentang masa lalu, d) siapa yang terlibat, e) di mana kejadian mengambil tempat, f) apa isunya?, g) kapan kejadian muncul, dan h) bentuk kegiatan manusia  yang terlibat apa?
Lingkaran pastoral adalah alat yang membantu saya dalam membuat penilaian sosial yang baik tentang isu-isu yang mempengaruhi masyarakat. Karena dengan penelitian ini, maka saya akan menggabungkan pikiran-pikiran riset dan praktis untuk mencari kebenaran itu. Kemudian saya akan membuat pemetaan dan analisis dari realitas sosial yang akan saya teliti nantinya. Metode ini tentunya akan membuat saya akan lebih kritis melihat perubahan sosial yang terjadi.
Asumsi dasar yang bisa dikembangkan adalah bahwa Gereja mampu memberikan perubahan bagi kehidupan masyarakat Batak Angkola.
Posisi peneliti akan  berhubungan  dengan  orang-orang,  baik  secara  perorangan maupun  secara  kelompok  atau  masyarakat,  akan  bergaul,  hidup, dan merasakan serta  menghayati  bersama  tatacara  dan  tatahidup  dalam  suatu  latar  penelitian.  Persoalan etika akan  muncul  apabila peneliti  tidak  menghormati,  mematuhi dan  mengindahkan nilai-nilai masyarakat dan pribadi yang ada. Dalam menghadapi persoalan tersebut peneliti hendaknya mempersiapkan diri baik secara fisik, psikologis maupun mental. Dalam hal ini juga peneliti harus bersikap partisipatif dengan masyarakat yang akan diteliti.
Namun dari poin 6-9 masih perlu diperdalam untuk mencapai tujuan penelitian yang lebih baik lagi.

2.                  MINAT PENELITIAN SAYA
Minat yang akan saya teliti adalah masalah misi Gereja untuk menjawab kebutuhan masyarakat di daerah Angkola.
Realitas sosial yang akan saya teliti adalah sebuah masyarakat Kristen yang tinggal di daerah mayoritas Muslim. Daerah Angkola adalah tempat pertama masuknya kekristenan ke tanah Batak. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, kekristenan lebih berkembang di daerah Tapanuli bagian Utara. Pada umumnya masyarakat hidup dari pertanian.
Permasalahan yang sedang dihadapi oleh orang Kristen adalah bahwa pengaruh orang Kristen dalam masyarakat sudah mulai menurun dan bahkan memudar. Sebab dahulu ketika kekristenan masuk ke daerah Angkola, orang Kristen sangat dihormati karena orang Kristenlah yang membawa kemajuan baik dalam bidang pendidikan, pertanian, dan kesehatan.
Dari permasalahan di atas, maka timbullah sebuah pertanyaan sekarang, “apakah misi Gereja dalam menjawab kebutuhan masyarakat Angkola saat ini”. Sebab dulu orang Krisen telah terbutki mampu memberikan jawaban atas pergumulan sosial saat itu dalam bidang pendidikan, pertanian, perdagangan dan kesehatan.
Dari pertanyaan tadi, maka hipotesa saya adalah Gereja mampu memberikan jawaban atas kebutuhan masyarakat Angkola pada saat ini.

3.                  ASPEK INTI, CARA OPERASIONAL DAN PENERAPAN
Selama mata kuliah ini berlangsung, saya telah mempelajari beberapa paradigma, yakni:
1.      Paradigma Pluralisme Agama. Ada dua pemikiran tokoh yang menjadi inti, yaitu David Brown dan Ibrahim Kalin. Teori mereka menekankan hidup yang harmonis bagi semua orang. Persoalannya adalah bagaimana cara merajut kerukunan diantara keberbedaan?  Brown maupun Kalin menentukan pemaknaan pluralisme pada titik pijak yang sama yakni paradigma teologi. Bahwa pada tataran berteologi, perlu ada reinterpretasi terhadap Kitab Suci maupun rumusan tradisi agar berdampak positif bagi pluralisme. Brown merujuknya pada Kitab Suci dan tradisi. Kalin menegaskan konsep pluralisme dari rujukan perjalanan sejarah maupun Kitab Suci. 
2.      Paradigma Kosmologi. Penekanan paradigma ini terletak pada pemahaman tentang ritual. Ritual bukan hanya praksis simbolis yang dilakukan, melainkan juga meliputi ideologi atau narasi di balik atau sebelum praksis simbolik itu dilakukan. Konsep teoritis seperti ini yang dicetuskan oleh Farsijana Adeney-Risakotta dalam disertasinya, Politics, Ritual, and Identity in Indonesia; A Mollucan History of Religion & Social Conflict. Ritual juga selalu mewakili suatu pandangan kosmologi tertentu, entah kosmologi atas atau bawah sebagaimana yang nampak dalam ritual pernikahan di desa Ngidiho, Halmahera. Satu aspek metodologis yang nampak dalam pembahasan paradigma ini yang bertolak dari penelitian Farsijana ialah mengenai pendekatan penelitian yang digunakan, yakni pendekatan emic dimana peneliti dalam penelitian turut terlibat secara lebih dekat dan aktif dalam komunitas pada kurun waktu tertentu.
3.      Paradigma Kesetaraan Gender. Elizabeth S. Fiorenza melihat bahwa selama ini, terutama di Amerika, masih banyak terjadi praktek ketidakadilan dan dominasi. Fenomena ini memperlihatkan bahwa yang banyak menjadi korban ialah perempuan. Oleh karena itu, ia tampil untuk mengkritisi berbagai struktur yang tidak adil – baik struktur politik, sosial, budaya, maupun agama. Secara khusus, mengenai agama ia menegaskan bahwa gereja selalu tampil dengan mengambil posisi “behind the scene” untuk melegitimasi kebijakan-kebijakan politik negara terkait sistem neo-kapitalisme dan kebijakan militer/ekspansi barat, yang pada akhirnya membuat perempuan menjadi korban. Korban dominasi semacam ini akhirnya mengalami penderitaan, diskriminasi, kekerasan, pelanggaran hak-hak sipil dan HAM, serta eksploitasi ekonomi. Bagi Fiorenza, stuktur-struktur ini harus ditransformasi.
4.      Paradigma Pembebasan (Ekonomi Politik). Berbagai fenomena kemiskinan tidak hanya diakibatkan karena faktor internal individu misalnya rendahnya etos kerja, namun juga (dan ini banyak terjadi) diakibatkan oleh faktor eksternal, yakni dampak dari struktur yang tidak adil sehingga kemiskinan selalu memiliki dimensi politis atau ekonomis. Dalam banyak kasus menunjukan bahwa masyarakat selalu berhadapan dengan struktur-struktur itu dan berada dalam posisi yang sangat problematis sehingga tidak punya kemampuan untuk keluar dari lingkaran sistem semacam itu. Dalam konteks inilah, maka gereja terpanggil untuk mengambil peran. Peranan gereja harus nampak dalam upaya kritisnya untuk melakukan analisa dan refleksi terhadap realitas yang dihadapi komunitasnya, sehingga dari situ dapat menawarkan serangkaian tindakan perubahan, bukan hanya bagi masyarakat namun juga struktur-struktur tadi, dan melanjutkannya dalam aksi dan advokasi untuk mengawal proses perubahan. Untuk hal inilah, maka Banawiratma menawarkan 10 Agenda Pastoral Transformatif. Namun, demikian tawaran ini masih harus dikaji ulang sesuai dengan perkembangan konteks dan harus dilengkapi dengan tindakan advokasi.
5.      Paradigma Perjumpaan Gereja dan Budaya. Gereja dan budaya (representasi dari dunia sekitar dan perkembangannya) tidak dapat dilepaspisahkan. Gereja selalu berhubungan dengan dunia dan begitu juga sebaliknya. Konsep budaya disini tidak hanya disempitkan pada ritus tradisional, melainkan juga meliputi ideologi, ajaran, tradisi kontemporer, modernitas, dsb. Pada satu sisi, kultur-kultur ini dapat menjadi hambatan bagi gereja, tapi pada sisi yang lain mampu mendatangkan perubahan bagi gereja. Bahkan, keduanya berinterksi secara aktif sehingga sama-sama mengalami perubahan. Sebagai bagian dari gereja yang memberi respons terhadap budaya sehingga melahirkan perubahan, maka individu/lembaga yang ada dalam lingkungan gereja dan budaya harus secara terus-menerus mengalami tahapan siklus iman dan tindakan yang dimulai dari; proses penyelidikan diri dalam relasi dengan sesama, pengakuan, penyembuhan, pendidikan, advokasi, reformasi hukum dan perjanjian (muncul dalam teori), perayaan (ritual yang muncul dalam liturgi), dan  persiapan menjadi manusia baru.  Dalam semua tahapan ini, Kristus menjadi pusat dari setiap gerakan perubahan.

3.1.            PENGARUH PARADIGMA
Paradigma-paradigma diatas akan saya pakai dalam membantu saya meneliti dan mencari kebenaran dari semua lapangan penelitian saya nanti. Walaupun tidak semua teori ini secara keseluruhan akan dipakai. Namun setiap paradigma diatas akan saling mempengaruhi dan mengisi. Misalnya dalam rangka meneliti sejarah masa lampau yang terjadi di daerah Angkola, maka saya akan memakai paradigma pluralisme agama dengan memakai metodologi sejarah. Namun untuk lebih menguatkan hasil penelitian saya akan memakai metodologi lingkaran pastoral.
Saya juga pasti akan bersentuhan dengan paradigma perjumpaan Gereja dan budaya karena gereja tidak pernah telepas dari adat dan budaya local yang dimilikinya. Dan pengaruh adat dan budaya ini sangat kuat mempengaruhi perubahan realitas sosial di daerah Angkola. Demikian juga dengan paradigma kosmologi pasti akan saya perhatikan dengan melihat banyaknya ritus keagamaan dan adat budaya yang dimiliki orang Angkola. Artinya, semua paradigma tadi pasti akan banyak menolong saya dalam rangka meneliti realitas sosial di daerah Angkola.

3.2.            KEKUATAN DAN KELEMAHAN PARADIGMA
Saya melihat kekuatan paradigma pluralisme agama ini adalah kemampuannya untuk melihat perbedaan itu sebagai sebuah kekayaan yang harus dipertahankan dan diperjuangkan. Perbedaan bukan menjadi musuh dan alas an untuk merusak kerukunan beragama, melainkan keberagaman akan menjadi kekuatan dalam rangka membangun masyarakat yang lebih baik.
Tentunya kelemahan teori ini pasti ada, misalnya teori ini akan terlibat langsung dengan masyarakat untuk mendiskusikan realitas-realitas sosial. Dalam tataran ini bisa saja terjadi konflik jika sang peneliti tidak berhati-hati melaksanakan tugasnya sebagai peneliti. Peneliti harus mampu membaur dan berinteraksi dengan masyarakat agar penelitian bisa berjalan dengan baik.
Kelemahan lain yang terlihat dari teori ini adalah dalam menentukan posisi kita bisa terjebak ambiqu. Karena teori ini menganut teori diminta untuk mendukung fleksibilitas.



[1] Yunita Triwardani Winarno, “Suatu Refleksi Metodologi Penelitian Sosial”, dalam Jurnal Ilmiah Humatek, (Yogyakarta, LPPM UKDW, 2008), hl. 161.
[2] David Brown, Tradition and Imagination, New York: Oxford University Press, 1999.
[3] Ibrahim Kalin,“Islam, Christianity, the Enlightenment: “A Common Word” and Islam-Christian Relations,” Islam Christian Understanding. Theory and Appliaction  of “A Common Word”, eds. Waleed El-Ansary and David K. Linnan (New York, 2011), hl. 41

Tidak ada komentar:

Posting Komentar