1.
PERKEMBANGAN SAYA
Sebelum mengkuti mata kuliah
Metodologi Penelitian Sosial (MPS) ini, pemahaman saya tentang penelitian
social sangatlah terbatas. Menurut saya, penelitian masalah-masalah social itu
cukup dengan menggunakan penelitian terhadap kepustakaan saja. Artinya, realita
sosial itu diketahui, digali, dibahas dan dianalisa hanya melulu dari
buku-buku, majalah, koran, artikel dan tulisan-tulisan lain. Ternyata, setelah
mempelajari lebih dalam mata kuliah MPS ini, kita harus mengetahui terlebih
dahulu sebuah paradigma yang membingkai permasalah sosial yang ada. Paradigma sosial
merupakan kerangka berpikir dalam masyarakat yang menjelaskan bagaimana cara
pandang terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan terhadap ilmu atau teori
yang ada. Paradigma ini juga menjelaskan bagaimana meneliti dan memahami suatu
masalah, serta kriteria pengujian sebagai landasan untuk menjawab masalah. Dari
pelajaran ini saya semakin mengerti paradigma kuantitatif dan kualitatif.
1.1.
PROSES PERUBAHAN
Dengan mengikuti mata kuliah MPS ini,
pertama, saya mengalami perubahan
dalam memahami bagaimana suatu penelitian teologi itu dilakukan secara
ilmiah. Awalnya saya melihat bahwa suatu
penelitian teologi sulit untuk dilakukan secara ilmiah, sebab penelitian ini
sendiri memiliki substansi yang berbeda dengan suatu penelitian ilmiah dari
disiplin ilmu tertentu. Dari sini, saya memahami bahwa ternyata sebuah
penelitian teologi sebetulnya dapat dilakukan dengan mempertimbangkan
prinsip-prinsip dari suatu penelitian ilmiah sekalipun objek penelitian sangat
berbeda, terutama bagaimana seharusnya sebagai seorang peneliti harus mampu
memposisikan diri secara tepat, netral, kritis, bebas subjektifitas, dan fokus
pada objek yang diteliti, namun pada pihak yang lain tetap mempertahankan
kualitas diri sebagai teolog Kristen yang memiliki penilaian yang jujur serta
mampu merefleksikan hasil penelitian dalam kaitan dengan nilai-nilai tradisi
iman.
Kedua, saya
semakin memahami dengan jelas pengertian paradigm dan beberapa paradigm yang
akan mempengaruhi cara berpikir berteologi saya. Dahulu pemahaman saya tentang
paradigm, bahwa sebuah paradigma itu tak mungkin mengalami perubahan, ternyata
dengan belajar MPS ini ada banyak perubahan yang terjadi dalam paradigma
berpikir kita sesuai dengan waktu dan kondisi yang kita hadapi. Pengertian
Paradigma - Istilah paradigma
pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn (1962), dan kemudian dipopulerkan
oleh Robert Friedrichs (1970). Menurut Kuhn, paradigma adalah cara mengetahui
realitas sosial yang dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of
inquiry tertentu, yang kemudian menghasilkan mode of knowing yang spesifik. Definisi tersebut
dipertegas oleh Friedrichs, sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu
disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya
dipelajari. Pengertian lain dikemukakan oleh George Ritzer (1980), dengan
menyatakan paradigma sebagai pandangan yang mendasar dari para ilmuan tentang
apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh salah satu
cabang/disiplin ilmu pengetahuan. Norman K. Denzin membagi paradigma
kepada tiga elemen yang meliputi; epistemologi, ontologi, dan metodologi.
Epistemologi mempertanyakan tentang bagimana cara kita mengetahui sesuatu, dan
apa hubungan antara peneliti dengan pengetahuan. Ontologi berkaitan dengan
pertanyaan dasar tentang hakikat realitas. Metodologi memfocuskan pada
bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan. Dari definisi dan muatan paradigma
ini, Zamroni mengungkapkan tentang posisi paradigma sebagai alat bantu bagi
ilmuwan untuk merumuskan berbagai hal yang berkaitan dengan; (1) apa yang harus
dipelajari; (2) persoalan-persoalan apa yang harus dijawab; (3) bagaimana
metode untuk menjawabnya; dan (4) aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam
menginterpretasikan informasi yang diperoleh.
Ketiga, mata
kuliah MPS ini membantu saya untuk memahami bahwa konsep-konsep teoritis yang
berkaitan dengan tema suatu objek penelitian mesti menjadi tools atau alat bedah untuk mengkaji objek yang hendak diteliti
itu. Saya sebagai seorang peneliti dan juga teolog dalam melakukan penelitian
harus memperhatikan konsep-konsep teoritik itu sekalipun pada akhirnya
konsep-konsep itu bisa saja berubah sesuai dinamika yang terjadi di dalam
penelitian. Kerangka teoritik itu mesti menjadi standar namun juga pre-understanding sehingga terus-menerus
mengalami perubahan sesuai hasil penelitian pada objek yang sama.
Keempat, saya semakin
memahami kesiapan dalam melakukan penelitian. Hal ini terlihat dari
berkembangnya pemahaman saya dalam mengerti konsep “metode” dan “metodologi”.
Awalnya saya menyamakan keduanya dengan berasumsi bahwa kedua-duanya hanyalah “language game” untuk menggambarkan suatu
substansi yang sama. Mata Kuliah ini mendobrak pemahaman saya bahwa ternyata
keduanya merupakan dua hal yang sangat berbeda tetapi tidak dapat
dilepas-pisahkan satu dengan yang lain. Ini yang ditegaskan Yunita Triwardani
Winarno dalam artikelnya dalam Jurnal Ilmiah Humatek bahwa metode
hanya dibatasi pada cara dimana suatu penelitian dilakukan; penelitian kualitatif atau kuantitatif,
bagaimana teknik pengumpulan data, dan bagaimana analisa data dilakukan.
Sedangkan metodologi mencakup keseluruhan proses penelitian yang di dalamnya
terfokus untuk melakukan perubahan dan penerapan teori ke arah proposisi,
hipotesa bahkan ke yang paling konkrit berupa peristiwa atau benda-benda yang
dapat diamati[1].
1.2.
PENGUATAN
Aspek yang akan saya teliti adalah
masalah misi Gereja dalam menjawab kebutuhan di masyarakat Batak Angkola. Pada
awalnya penelitian ini akan saya fokuskan pada penelitian kepustakaan dan
penelitian lapangan. Namun bagaimana cara memulai pekerjaan ini belum jelas
bagi saya, termasuk metode apa, paradigma apa yang akan saya gunakan sebagai
alat mencari kebenaran ini. Namun setelah mengikuti mata kuliah MPS ini saya
mengalami banyak penguatan yang berkaitan dengan teori paradigma yang akan saya
pakai dalam penelitian ini, yakni paradigma Pluralisme Agama. Dalam teori
pluralisme agama ini, memandang manusia sebagai sosok yang independen, bebas
dan memiliki otoritas serta otonomi untuk melakukan pemaknaan dan menafsirkan
realitas sosial yang ada disekitarnya. Tindakan manusia sulit diprediksi,
karena adanya kesadaran yang berbeda antar manusia. Manusia sebagai aktor
sosial menafsirkan dunia empiris mereka sendiri secara bebas dan berbeda satu
dengan lain. Dengan demikian, aspek kualitatif lebih dikedepankan dibandingkan
aspek kuantitatif.
Dalam hal ini saya memilih teori David Brown dan Kalin
dalam rangka menyusun penelitian saya kelak. Ada pun teori yang menguatkan saya
adalah:
1.
Konsep Pluralisme menurut David
Brown[2]
Brown mengkomunikasikan paradigama pluralisme dari pemaknaan
terhadap doktrin Kristen yang terbangun dalam tradisi dan kitab suci. Kedudukan
tradisi dan kitab suci tidak diantitesakan tetapi saling melengkapi satu dengan
yang lain.
Ada beberapa teori David Brown yang sangat menolong saya dalam
melakukan penelitian ini seperti:
a. Tradisi sebagai pewahyuan
v Modernisme (pencerahan) dan Postmodernisme
v Reinterpretasi terhadap kitab suci
b. Teks Yang Berkembang
v Pemberitaan ulang cerita para leluhur (suatu upaya dialog antara
Yahudi, Kristen dan Islam).
c. Kristus : Perubahan dan imajinasi
v Pemahaman tentang Tritunggal dalam Missio Dei
Saya juga akan mencoba memakai beberapa teori Kalin dalam
melakukan penelitian ini seperti:
a. Perjumpaan Islam – Kristen dan Konflik yang berkepanjangan
Teori Kalin ini akan membantu saya dalam rangka melihat realitas
yang ada dalam Sejarah perjumpamaan komunitas Kristen dan Islam, yakni :
1)
Realitas Kerukunan
2)
Realitas Ketegangan
b. “Sebuah Persamaan”: Suatu
dasar teologis bagi Dialog Islam – Kristen
Teori
ini juga akan menolong saya dalam mencari titik temu atau persamaan dalam
melaksanakan dialog Islam-Kristen seperti ajaran kasih kepada Allah dan kasih kepada manusia menurut Islam dan
Kristen.
1.3.
KESIAPAN MELAKUKAN PENELITIAN
Dalam mata kuliah MPS ini diajarkan ada 9 alur paradigma yang harus
dilakukan oleh seorang peneliti dalam penelitiannya, yakni:
1. Pertanyaan
2. Masalah yang
diteliti
3. Metodologi
penelitian
4. Asumsi-asumsi/anggapan-anggapan dasar (basic
assumption)
5.Nilai-nilai (values)
6. Model-model
7. Metode-metode analisis
8. Hasil analisis/theori
9.Representasi
Dari kesembilan alur paradigma ini dari poin 1-5 sudah
saya pahami dengan baik. Pertanyaan yang timbul dalam penelitian saya adalah “apa
misi yang ditawarkan Gereja dalam menjawab kebutuhan masyarakat Batak Angkola?”
Dari pertanyaan ini, akan saya turunkan untuk mencari masalah yang diteliti.
Masalah yang akan saya teliti adalah kegiatan dan program Gereja bagi orang
Batak Angkola, hubungan Gereja dengan agama Islam, hal-hal yang membuat
kerukunan dan ketegangan sosial, dan lain-lain.
Kemudian metode penelitian yang akan saya pergunakan
adalah metode penelitian sejarah dan lingkaran pastoral. Metode penelitian
sejarah adalah metode atau cara yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan
penelitian peristiwa sejarah dan permasalahannya. Dengan kata lain, metode
penelitian sejarah adalah instrumen untuk merekonstruksi peristiwa sejarah (history as past actuality) menjadi
sejarah sebagai kisah (history as
written). Dalam hal ini saya akan memberi perhatian tentang: a) lokasi
sistematik dan obyektif,
b) evaluasi, c) sintesis
dari bukti-bukti untuk meneguhkan
fakta-fakta dan membuat kesimpulan tentang masa lalu, d) siapa yang
terlibat, e) di mana
kejadian mengambil tempat,
f) apa isunya?, g) kapan
kejadian muncul, dan h) bentuk
kegiatan manusia yang terlibat apa?
Lingkaran pastoral adalah alat yang membantu saya
dalam membuat penilaian sosial yang baik tentang isu-isu yang mempengaruhi
masyarakat. Karena dengan penelitian ini, maka saya akan menggabungkan
pikiran-pikiran riset dan praktis untuk mencari kebenaran itu. Kemudian saya
akan membuat pemetaan dan analisis dari realitas sosial yang akan saya teliti
nantinya. Metode ini tentunya akan membuat saya akan lebih kritis melihat
perubahan sosial yang terjadi.
Asumsi dasar yang bisa dikembangkan adalah bahwa Gereja
mampu memberikan perubahan bagi kehidupan masyarakat Batak Angkola.
Posisi peneliti akan berhubungan
dengan orang-orang, baik
secara perorangan maupun secara
kelompok atau masyarakat,
akan bergaul, hidup, dan merasakan serta menghayati
bersama tatacara dan
tatahidup dalam suatu
latar penelitian. Persoalan etika akan muncul
apabila peneliti tidak menghormati,
mematuhi dan mengindahkan
nilai-nilai masyarakat dan pribadi yang ada. Dalam menghadapi persoalan
tersebut peneliti hendaknya mempersiapkan diri baik secara fisik, psikologis
maupun mental. Dalam hal ini juga peneliti harus bersikap partisipatif dengan
masyarakat yang akan diteliti.
Namun dari poin 6-9 masih perlu diperdalam untuk
mencapai tujuan penelitian yang lebih baik lagi.
2.
MINAT PENELITIAN SAYA
Minat
yang akan saya teliti adalah masalah misi Gereja untuk menjawab kebutuhan
masyarakat di daerah Angkola.
Realitas
sosial yang akan saya teliti adalah sebuah masyarakat Kristen yang tinggal di
daerah mayoritas Muslim. Daerah Angkola adalah tempat pertama masuknya
kekristenan ke tanah Batak. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, kekristenan
lebih berkembang di daerah Tapanuli bagian Utara. Pada umumnya masyarakat hidup
dari pertanian.
Permasalahan
yang sedang dihadapi oleh orang Kristen adalah bahwa pengaruh orang Kristen
dalam masyarakat sudah mulai menurun dan bahkan memudar. Sebab dahulu ketika
kekristenan masuk ke daerah Angkola, orang Kristen sangat dihormati karena
orang Kristenlah yang membawa kemajuan baik dalam bidang pendidikan, pertanian,
dan kesehatan.
Dari
permasalahan di atas, maka timbullah sebuah pertanyaan sekarang, “apakah misi
Gereja dalam menjawab kebutuhan masyarakat Angkola saat ini”. Sebab dulu orang
Krisen telah terbutki mampu memberikan jawaban atas pergumulan sosial saat itu
dalam bidang pendidikan, pertanian, perdagangan dan kesehatan.
Dari
pertanyaan tadi, maka hipotesa saya adalah Gereja mampu memberikan jawaban atas
kebutuhan masyarakat Angkola pada saat ini.
3.
ASPEK INTI, CARA OPERASIONAL DAN
PENERAPAN
Selama mata kuliah ini
berlangsung, saya telah mempelajari beberapa paradigma, yakni:
1.
Paradigma Pluralisme Agama. Ada dua pemikiran tokoh yang menjadi
inti, yaitu David Brown dan Ibrahim Kalin. Teori mereka menekankan hidup yang
harmonis bagi semua orang. Persoalannya adalah bagaimana cara merajut kerukunan
diantara keberbedaan? Brown maupun Kalin
menentukan pemaknaan pluralisme pada titik pijak yang sama yakni paradigma
teologi. Bahwa pada tataran berteologi, perlu ada reinterpretasi terhadap Kitab
Suci maupun rumusan tradisi agar berdampak positif bagi pluralisme. Brown
merujuknya pada Kitab Suci dan tradisi. Kalin menegaskan konsep pluralisme dari
rujukan perjalanan sejarah maupun Kitab Suci.
2.
Paradigma Kosmologi. Penekanan paradigma ini terletak pada pemahaman tentang ritual. Ritual bukan hanya praksis
simbolis yang dilakukan, melainkan juga meliputi ideologi atau narasi di balik
atau sebelum praksis simbolik itu dilakukan. Konsep teoritis seperti ini yang
dicetuskan oleh Farsijana Adeney-Risakotta dalam disertasinya, Politics, Ritual, and Identity in Indonesia;
A Mollucan History of Religion & Social Conflict. Ritual juga selalu
mewakili suatu pandangan kosmologi tertentu, entah kosmologi atas atau bawah
sebagaimana yang nampak dalam ritual pernikahan di desa Ngidiho, Halmahera. Satu
aspek metodologis yang nampak dalam pembahasan paradigma ini yang bertolak dari
penelitian Farsijana ialah mengenai pendekatan penelitian yang digunakan, yakni
pendekatan emic dimana peneliti dalam
penelitian turut terlibat secara lebih dekat dan aktif dalam komunitas pada
kurun waktu tertentu.
3.
Paradigma Kesetaraan Gender. Elizabeth S. Fiorenza melihat bahwa selama ini, terutama di
Amerika, masih banyak terjadi praktek ketidakadilan dan dominasi. Fenomena ini
memperlihatkan bahwa yang banyak menjadi korban ialah perempuan. Oleh karena
itu, ia tampil untuk mengkritisi berbagai struktur yang tidak adil – baik
struktur politik, sosial, budaya, maupun agama. Secara khusus, mengenai agama
ia menegaskan bahwa gereja selalu tampil dengan mengambil posisi “behind the scene” untuk melegitimasi
kebijakan-kebijakan politik negara terkait sistem neo-kapitalisme dan kebijakan
militer/ekspansi barat, yang pada akhirnya membuat perempuan menjadi korban.
Korban dominasi semacam ini akhirnya mengalami penderitaan, diskriminasi,
kekerasan, pelanggaran hak-hak sipil dan HAM, serta eksploitasi ekonomi. Bagi
Fiorenza, stuktur-struktur ini harus ditransformasi.
4.
Paradigma Pembebasan (Ekonomi Politik). Berbagai fenomena kemiskinan tidak
hanya diakibatkan karena faktor internal individu misalnya rendahnya etos
kerja, namun juga (dan ini banyak terjadi) diakibatkan oleh faktor eksternal,
yakni dampak dari struktur yang tidak adil sehingga kemiskinan selalu memiliki
dimensi politis atau ekonomis. Dalam banyak kasus menunjukan bahwa masyarakat
selalu berhadapan dengan struktur-struktur itu dan berada dalam posisi yang
sangat problematis sehingga tidak punya kemampuan untuk keluar dari lingkaran
sistem semacam itu. Dalam konteks inilah, maka gereja terpanggil untuk
mengambil peran. Peranan gereja harus nampak dalam upaya kritisnya untuk
melakukan analisa dan refleksi terhadap realitas yang dihadapi komunitasnya,
sehingga dari situ dapat menawarkan serangkaian tindakan perubahan, bukan hanya
bagi masyarakat namun juga struktur-struktur tadi, dan melanjutkannya dalam
aksi dan advokasi untuk mengawal proses perubahan. Untuk hal inilah, maka
Banawiratma menawarkan 10 Agenda Pastoral
Transformatif. Namun, demikian tawaran ini masih harus dikaji ulang sesuai
dengan perkembangan konteks dan harus dilengkapi dengan tindakan advokasi.
5.
Paradigma Perjumpaan Gereja dan Budaya. Gereja dan budaya (representasi dari
dunia sekitar dan perkembangannya) tidak dapat dilepaspisahkan. Gereja selalu
berhubungan dengan dunia dan begitu juga sebaliknya. Konsep budaya disini tidak
hanya disempitkan pada ritus tradisional, melainkan juga meliputi ideologi,
ajaran, tradisi kontemporer, modernitas, dsb. Pada satu sisi, kultur-kultur ini
dapat menjadi hambatan bagi gereja, tapi pada sisi yang lain mampu mendatangkan
perubahan bagi gereja. Bahkan, keduanya berinterksi secara aktif sehingga
sama-sama mengalami perubahan. Sebagai bagian dari gereja yang memberi respons
terhadap budaya sehingga melahirkan perubahan, maka individu/lembaga yang ada
dalam lingkungan gereja dan budaya harus secara terus-menerus mengalami tahapan
siklus iman dan tindakan yang dimulai dari; proses
penyelidikan diri dalam relasi dengan sesama, pengakuan, penyembuhan, pendidikan,
advokasi, reformasi hukum dan perjanjian (muncul dalam teori), perayaan (ritual
yang muncul dalam liturgi), dan
persiapan menjadi manusia baru. Dalam semua tahapan ini, Kristus menjadi pusat
dari setiap gerakan perubahan.
3.1.
PENGARUH PARADIGMA
Paradigma-paradigma diatas akan saya
pakai dalam membantu saya meneliti dan mencari kebenaran dari semua lapangan
penelitian saya nanti. Walaupun tidak semua teori ini secara keseluruhan akan
dipakai. Namun setiap paradigma diatas akan saling mempengaruhi dan mengisi.
Misalnya dalam rangka meneliti sejarah masa lampau yang terjadi di daerah
Angkola, maka saya akan memakai paradigma pluralisme agama dengan memakai
metodologi sejarah. Namun untuk lebih menguatkan hasil penelitian saya akan
memakai metodologi lingkaran pastoral.
Saya juga pasti akan bersentuhan
dengan paradigma perjumpaan Gereja dan budaya karena gereja tidak pernah
telepas dari adat dan budaya local yang dimilikinya. Dan pengaruh adat dan
budaya ini sangat kuat mempengaruhi perubahan realitas sosial di daerah
Angkola. Demikian juga dengan paradigma kosmologi pasti akan saya perhatikan
dengan melihat banyaknya ritus keagamaan dan adat budaya yang dimiliki orang
Angkola. Artinya, semua paradigma tadi pasti akan banyak menolong saya dalam
rangka meneliti realitas sosial di daerah Angkola.
3.2.
KEKUATAN DAN KELEMAHAN PARADIGMA
Saya melihat kekuatan paradigma pluralisme agama ini
adalah kemampuannya untuk melihat perbedaan itu sebagai sebuah kekayaan yang
harus dipertahankan dan diperjuangkan. Perbedaan bukan menjadi musuh dan alas
an untuk merusak kerukunan beragama, melainkan keberagaman akan menjadi
kekuatan dalam rangka membangun masyarakat yang lebih baik.
Tentunya kelemahan teori ini pasti ada, misalnya teori
ini akan terlibat langsung dengan masyarakat untuk mendiskusikan
realitas-realitas sosial. Dalam tataran ini bisa saja terjadi konflik jika sang
peneliti tidak berhati-hati melaksanakan tugasnya sebagai peneliti. Peneliti
harus mampu membaur dan berinteraksi dengan masyarakat agar penelitian bisa
berjalan dengan baik.
Kelemahan lain yang terlihat dari teori ini adalah
dalam menentukan posisi kita bisa terjebak ambiqu.
Karena teori ini menganut teori diminta untuk mendukung fleksibilitas.
[1] Yunita
Triwardani Winarno, “Suatu Refleksi Metodologi Penelitian Sosial”, dalam Jurnal Ilmiah Humatek, (Yogyakarta, LPPM
UKDW, 2008), hl. 161.
[2] David Brown, Tradition and Imagination, New York: Oxford University Press, 1999.
[3] Ibrahim Kalin,“Islam, Christianity, the Enlightenment: “A Common Word” and Islam-Christian
Relations,” Islam Christian Understanding. Theory and Appliaction of “A Common Word”, eds. Waleed El-Ansary and
David K. Linnan (New York, 2011), hl. 41
|
BLOG INI BERSIFAT TERBUKA UNTUK DIKOMENTARI DAN DIKRITISI DEMI KEMAJUAN WAWASAN BERPIKIR, DAN BERTEOLOGI MASA KINI
Kamis, 08 November 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar