Rabu, 30 Maret 2011

Bacaan Minggu Judika, 10 April 2011: Mazmur 69 : 2 - 14

widgeo.net
Minggu Judika, 10 April 2011                                      Mazmur  69 : 2 - 14

MENJADI ORANG KRISTEN YANG TANGGUH



K
itab Mazmur ibarat sumur yang menghasilkan air jernih di padang gurun kehidupan yang penuh dengan ancaman, kegelisahan, kekecewaan, bahkan perasaan putus asa oleh lingkungan yang tak bersahabat. Kitab Mazmur senantiasa memancarkan air segar yang dapat memuaskan rasa dahaga, memberi kelegaan dan kekuatan baru bagi para musafir yang mencari kebahagiaan dengan satu keyakinan, di suatu tempat kebahagiaan itu akan dimiliki karena pada waktunya jalan keluar dari segala persoalan hidupnya akan ditemukan juga. Namun, sama seperti Tuhan Yesus yang meminta air kepada seorang perempuan Samaria (Yoh. 4), dibutuhkan sebuah timba untuk mengambil air segar dari dalam sumur itu. Aa beberapa merek dan bentuk “timba” yang tersedia untuk mengambil air segar dari sumur Mazmur 69 ini; kita bebas memilih sesuai dengan kebutuhan kita.

1.   “Berseru dalam Kepasrahan!”

Ada banyak orang yang berusaha untuk menyelamatkan diri dari ancaman bahaya yang dihadapinya, namun semakin dia berusaha dengan segala cara, usahanya tak menghasilkan apa-apa, bahkan semakin dalam ia terperosok ke dalam keputusasaan. Ada kalanya kita harus belajar mengikuti Pemazmur dalam Mazmur 69 ini, mengambil timba dengan merek “Berseru dalam Kepasrahan.” Pemazmur berhenti melakukan usaha apa pun, dan membiarkan dirinya seperti orang bodoh yang tinggal menunggu ajal, dia diam saja seperti orang tak berdaya. Pemazmur hanya mampu berseru dalam kepasrahan kepada Tuhan. “Berseru dalam kepasrahan” itulah timba yang untuk memperoleh air segar yang mengusir rasa putus asa dari dalam hatinya, dan menumbuhkan tunas pengharapan akan pertolongan Tuhan yang segera akan membuahkan keselamatan.

Berhenti mengandalkan usaha dan pikiran kadang-kadang dianggap tidak rasional pada zaman ini. Memang. Tapi, untuk mengenal kasih dan kuasa Tuhan, kita harus berseru dalam kepasrahan: “Selamatkanlah aku, ya Allah!” Selama kita merasa sanggup menyelesaikan persoalan kita, pada saat itu kita juga merasa tidak membutuhkan pertolongan Tuhan. Hanya orang yang merasa lemah, dan terancam gagal saja yang sungguh-sungguh berseru memohon pertolongan Tuhan. Pemazmur dengan sadar dan penuh perhitungan akal budi (jadi bukan irrasional), menyimpulkan bahwa kalau Tuhan tidak menolongnya, memang dia pasti akan mati. Sebab, seperti seseorang yang tenggelam ke dalam rawa berlumpur (Batak: gambo lisop) akan semakin tenggelam lebih dalam lagi oleh setiap gerakan yang dilakukannya, oleh karena itu dia harus berhenti bergerak, diam saja menunggu pertolongan dating. Ada kalanya orang percaya, yang benar-benar pasrah kepada kasih dan kuasa Tuhan membiarkan saja “gelombang pasang” (ay. 3) menghanyutkannya. Orang percaya sungguh yakin, bahwa tangan Tuhan tidak kurang panjang untuk menyelamatkannya dari gelombang pasang, sehingga dia tidak akan hanyut tanpa seizing Tuhan (baca: Yes. 59:1).

2.   “Berseru dalam Keyakinan!”

Pasrah tidak harus berarti negatip. Pasrah harus dilihat sebagai sikap iman yang penuh keyakinan akan kasih dan kuasa Tuhan. Pasrah yang postitip ini membuat seseorang tak berhenti berharap dan berseru (baca: berdoa) dalam keterbukaan untuk mengungkapkan segala perasaan dan pengalaman yang menerpa hidupnya. “Lesu aku karena berseru-seru.” “Kerongkonganku kering.” “Mataku nyeri karena mengharapkan Tuhan.” Ketiga ungkapan perasaan dan pengalaman itu menunjukkan keterbukaan Pemazmur, tidak ada yang tidak diungkapkannya. Mengapa semua itu harus diungkapkan? Apakah Tuhan tidak tahu apa yang dialami oleh umat-Nya? Sungguh, Tuhan tahu semua yang tejadi pada umat-Nya, tidak ada yang tidak diketahuinya, sampai ke dalam lubuk hati kita yang terdalam. Tetapi, Tuhan juga menghargai keterbukaan orang percaya, sebagai ungkapan betapa besar komitmen orang itu untuk mendapatkan pertolongan-Nya. Bukankah Yesus juga pernah bertanya kepada seorang yang akan disembuhkan-Nya: “Apakah engkau mau disembuhkan?” (Batak:”Naeng malum ho?”).

Berseru dalam keyakinan adalah berarti bahwa ketika kita meminta pertolongan Tuhan dan belas kasihan-Nya, maka pada saat yang sama kita harus benar-benar jujur pada diri kita, dan tidak berusaha untuk membela diri atas penderitaan yang kita alami. Bahkan jangan sampai kita memohon pertolongan Tuhan, tetapi pada saat yang sama kita mencari “kambing hitam” atas persoalan yang kita hadapi. Pemazmur pada ayat 4-5 memang membeberkan apa yang sedang mengancam keselamatannya, bahwa ada banyak musuh yang menginginkan kematiannya, ada banyak yang memfitnahnya, ada banyak bahkan tak terhitung musuh yang mengintai nyawanya. Tetapi, satu hal yang menarik adalah Pemazmur sama sekali tidak bicra tentang siapa orang dibalik penderitaannya, tak seorangpun yang dituduhnya, karena sesungguhnya nama-nama orang itu ada “di kantong” Tuhan. Tuhan mengenal persis siapa yang membuat orang percaya itu menderita. Oleh karena itu, yang dibutuhkan Pemazmur adalah mengungkapkan secara terbuka perasaannya dan semua yang dialaminya, selanjutnya dia yakin Tuhan akan mengurus perkaranya satu persatu.

3.   “Berseru dalam Kerendahan Hati!”

Merek timba yang ketiga adalah “Berseru dalam Kerendahan Hati!” Timba yang satu ini menolong Pemazmur untuk melakukan introspeksi diri, di mana ia secara terbuka mengaku bahwa mungkin dia tidak sepenuhnya bersih dari kesalahan atau kelalaian yang menyebabkan persoalan-persoalan itu menghimpitnya dari berbagai arah. Orang percaya tidak harus selalu berarti orang sempurna, walaupun orang percaya pada akhirnya harus bertumbuh menuju kesempurnaan hidup seperti Yesus Kristus yang tak bercacat. Namun, orang percaya tetap membuka diri atas koreksi dan teguran. Orang percaya tidak pernah alergi dengan kritik dan perubahan. Orang percaya selalu siap berubah.

Orang percaya sama sekali tidak pernah berpikir untuk dirinya sendiri. Orang percaya benar-benar melakukan self-evaluation (koreksi diri) yang cermat dan tidak mau disebut egois. Oleh karena itu Pemazmur tidak mau orang-orang yang percaya dan berharap kepada Tuhan menjadi malu karena kesalahannya. Pemazmur sungguh tidak mau menjadi batu sandungan bagi saudara-saudaranya seiman. Orang percaya benar-benar menjaga nama baik teman sepersekutuannya. Orang percaya bertanggungjawab untuk mencegah segala bentuk pencemaran terhadap nama baik Gerejanya. Sehingga Pemazmur secara terbuka mengatakan “janganlah kena noda-noda …orang-orang yang mencari Engkau, ya Tuhan, Allah” (ay. 7). Artinya, orang percaya dengan rendah hati mengungkapkan kerinduannya akan pertolongan Tuhan, sambil menjaga kepentingan dan nama baik orang lain.

4.   “Berseru dalam Kesetiaan!”

Pada akhirnya Pemazmur meperkenalkan timba merek lain, yakni “Berseru dalam Kesetiaan!” Apa yang terjadi dalam hidupnya adalah konsekuensi dari kesetiaannya kepada Tuhan (ay. 8-14). Pemazmur tidak segan-segan mengatakan: “Sebab oleh karena Engkaulah aku menanggung cela, noda meliputi mukaku…” Apakah Pemazmur bermaksud untuk membanggakan pelayanan yang telah dilakukannya? Sama sekali tidak. Sebab, yang ingin diungkapkannya adalah bahwa semua penderitaan dan ancaman itu datang oleh karena ia setia kepada Tuhan. Kepedulian dan kesungguhannya beribadah dan memperhatikan apa yang dibutuhkan Gereja, itulah yang menyebabkan orang lain mencelanya dan memburuk-burukkan namanya (ay. 8), bahkan mendiskreditkannya dari lingkungan keluarga (ayat 9).  Memang, Pemazmur tidak menyebutkan apa-apa tentang apa saja yang sudah dilakukannya untuk Tuhan dan Jemaat. Hal itu dianggap tidak etis, dan itulah buktinya bahwa Pemazmur tidak bermaksud untuk bermegah dengan pelayanan dan pengorbanan yang sudah dilakukannya.

Saat ini sudah banyak orang yang tidak segan-segan membeberkan apa saja yang pernah diberikannya untuk Gereja. Apalagi ketika seseorang merasa kurang dihargai, bisa jadi orang yang merasa sudah berbuat banyak itu mengatakan: “tanpa aku, jemaat ini tidak ada apa-apanya!” Atau melah menghardik pendeta dengan keras: “Kami yang memberi anda makan!”  Orang percaya tidak akan mengatakan hal seperti itu. Sebab, apa pun yang dilakukannya, dan sebesar apa pun jasanya bagi jemaat, semua itu dilakukannya dalam kasih, dan untuk Tuhan. Apa yang diberikan untuk Tuhan sama sekali tidak boleh diambil lagi, seperti nyanyian persembahan kita: “Nasa na nilehonMi…” Oleh karena itu, orang percaya akan selalu bertekun berdoa dan bahkan berpuasa. Walaupun orang percaya sudah berpuasa untuk tidak menghakimi, berpuasa untuk tidak membanggakan jasa-jasanya,  berpuasa untuk tidak membela diri, dan berpuasa dari membalaskan kejahatan orang lain, namun penderitaan dan cibiran orang masih juga tidak terbendung. Namun, orang percaya tidak pernah jemu melayani, tidak pamrih melakukan yang baik dan benar, senantiasa setia beribadah dan melayani Tuhan. Mengapa orang percaya selalu berseru dalam kesetiaan? Karena, Tuhan dengan kasih setia-Nya adalah Penolong yang setia (ay. 14).

Singkatnya, orang Kristen yang benar tidak akan menyerah terhadap tekanan apa pun, dan tak gentar menghadapi ancaman nyawa sekalipun. Orang percaya selalu berseru dalam kepasrahan, keyakinan, kerendahan hati, dan kesetiaan. Sebab, orang percaya sepenuhnya yakin akan kasih dan kuasa Tuhan yang tidak akan pernah terlambat memberikan pertolongan. Orang percaya tidak perlu lari dari masalah, sebaliknya akan menghadapi setiap masalah dengan tegar dan penuh pengharapan, bahwa pada waktunya Tuhan akan memahkotainya kemenangan dan sukacita yang tak ternilai. Penderitaan bukanlah akhir segala-galanya, penderitaan dapat menjadi jalan Tuhan untuk menunjukkan kasih dan kuasa-Nya yang tak terjangkau dan tak terbendung oleh apa pun. Selamat menjadi orang Kristen yang tangguh! Amin.




Pdt.WTP.Simarmata,M.A.
HP 0812 6052388

Tidak ada komentar:

Posting Komentar