Rabu, 30 Maret 2011

Bacaan Minggu Letare, 3 April 2011: Yesaya 66 : 10 - 14

widgeo.net
Minggu Letare, 3 April 2011                                                             Yesaya 66 : 10 - 14

BERSUKACITALAH BERSAMASAMA,
HAI SEMUA ORANG

 


1.        Bersukacitalah
S
esungguhnya, sukacita itu merupakan kebutuhan yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia sepanjang perjalanan sejarah. Tak seorang pun dari antara manusia di dunia ini yang mendambakan dukacita sekalipun mau tidak mau duka cita itu akan datang mengganggu hidupnya. Sebaliknya, manusia mengarahkan seluruh energy, waktu materi dan pikirannya bahkan segenap hidupnya untuk menggapai sukacita itu sendiri sekalipun tidak semua dari antara mereka yang dapat menikmatinya.
Sesungguhnya bahwa pada penciptaan, Tuhan sendiri telah menempatkan manusia yang Ia ciptakan itu dalam wadah dan suasana yang penuh dengan sukacita yakni di taman Eden (Kej. 1:31; 2:8,15). Sempurnalah sukacita itu karena hidup tanpa perkelahian, tanpa tipu daya, tanpa kelaparan, sebaliknya semua ciptaan Tuhan yang ada di dalamnya hidup dalam korelasi yang rukun dan damai serta berkecukupan. Tidak ada persoalan, tidak ada tangis dan ratapan, tidak ada rasa lelah dan rasa sakit. Segala aspek kehidupan itu memang sudah diatur sedemikian rupa oleh Tuhan  agar kehidupan benar-benar menjadi kenikmatan yang luar biasa. Semuanya itu telah menghantar kehidupan manusia dan segala ciptaan berada pada kondisi yang penuh dengan sukacita.
Namun sesungguhnya, ketika manusia jatuh ke dalam dosa (Kej 3), ketika manusia ditakhlukkan oleh iblis, maka murkalah Allah. Allah mengusir manusia ciptaanNya itu dari taman Eden, taman yang penuh dengan sukacita itu. Itu berarti kehidupan manusia telah keluar dari kehidupan sukacita dan memasuki suasana yang baru yakni keidupan yang penuh dengan kekelaman. Tuhan sendiri melalui malaikatNy telah menjaga ketat apa yang disebut pohon kehidupan. Itu berarti bahawa hidup manusia itu tidak akan dapat kembali memasuki taman Eden, dengan kata lain, bahwa manusia itu tidak diperbolehkan lagi untuk bersatu dengan sukacita itu. Maka demikianlah hidup manusia itu berada pada perjalanan yang penuh dengan tantangan “multi dimensi”.
Selain rusaknya persekutuan dengan Allah, rusak pulalah persekutuan dengan sesama manusia. Menurut cerita Alkitab, disharmonisasi, perkelahian atau persengketaan telah diawali oleh pembunuhan Kain terhadap adiknya Habel (Kej 4). Kehidupan seperti in pasti menghilangkan sukcita bersama. Demikianlah perjalanan hidup manusia itu, bukan saja menghadapi konflik horizontal tetapi juga harus menghadapi bencana alam dan kelaparan sebagai konsekwensi logis daripada dosa dan kesalahan. Kita dapat bandingkan misalnya ketika bencana alam air bah meluluhlantahkan kehidupan manusia saat itu, hanya satu keluarga Nuh yang tersisa karena pertolongan kasih Tuhan (Kej 7-8). Keluarga Yakub juga harus mengalami kelaparan akibat bencana alam berupa musim kemarau yang berkepanjangan sehingga mereka harus pindah dan hidup di tanah orang (Mesir) (Kej 46), yang pada akhirnya keturunan mereka menjadi kaum jajahan yang tertindas (Kel 1). Tentu hal ini juga menghempaskan sukacita itu. Kemudian satu bangsa lahir melalui Yakub yakni bangsa Israel, suatu bangsa yang degil dan keras kepala dimana pada saat yang ditentukan oleh Tuhan mereka harus menerima hukuman dimana sukacita semakin jauh daripadanya. Mereka terbuang ke Babel.


2.        Kebersamaan dalam sukacita

Sesungguhnya, perikop ini berkumandang pada kehidupan umat Israel setelah Allah menyelamatkan meraka dari penghukuman di Babel. Dengan demikian, bahwa konteks ‘sukacita’ disini ialah suacita usai penghakiman Allah. Maka makna yang dapat kita petik ialah, bahwa penghakiman Allah bukanlah akhir perjalanan, dengan kata lain bahwa sesungguhnya tujuan  pemeliharaan bahkan penghakiman Allah ialah sukacita itu sendiri.
Jika penghakiman Allah mendatangkan dukacita maka sukacita menjadi buah daripada keselamatan yang diberikan oleh Tuhan. Artinya sukacita merupakan anugerah Tuhan. Keselamatan itu tidak diberikan hanya kepada satu orang melainkan kepada umatNya agar seluruh umat benarbenar secara kolektip dapat merasakan sukacita itu. Dalam perikop ini, kebersamaan sukacita itu dihayati di suatu kota yang dijanjikan dan diberikan oleh Tuhan yakni Jerusalem. Suka cita bukan di negeri orang melainkan di negeri sendiri. Dan semua penghuni negeri dapat menikmati sukacita itu tanpa ada diskriminasi.
Kemudian,  umat Israel akan menjadi “pintu gerbang” dimana segala bangsa akan bersukacita. Kenapa? Karena visi dan missi Allah bersifat universal bahwa sukacita itu adalah milik dan berkat untuk semua.
Bagaimana sukacita itu dapat dirasakan? Sukacita yang sesungguhnya hanya dapat dirasakan ketika terjadi harmonisasi komunikasi dan interaksi antara Allah dengan manusia. Persekutuan kedua belah pihak mutlak menjadi landasan sukacita itu. Hal ini jelas, dimana pada perikop ini persekutuan keduabelah phak digambarkan ibarat persekutuan antara seorang ibu dengan bayinya. Sang ibu memberikan nafkah bagi anaknya justru dari dalam dirinya sendiri yaitu ASI. Si bayi juga memiliki ketergantungan penuh terhadap ibunya dimana ia harus digendong. Itu artinya bahwa sesungguhnya manusia itu adalah ibarat seorang bayi di hadapan Tuhan. Apa yang kita lakukan dan dihasilkan oleh perbuatan kita  tidak mampu membawa sukacita yang  sesungguhnya, karena sukacita yang sesungguhnya itu ada pada dan mengalir dari diri Allah. Maka barang siapa yang hidup dalam persekutuan dengan Allah, niscaya dia akan bersukacita. Jika tidak, maka sukacitanya hanyalah temporer atau sementara.
Umat Israel secara kollektip digambarkan seperti rumput muda yang baru bertumbuh. Dimana sebelumnya umat Israel ibarat rumput yang terpotong lalu layu di dalam kekuasaan penjajahan Bangsa Babel. Tetap keselamatan dari Allah kembali melahirkan umat Israel secara baru dan akan bertumbuh dengan lebat, artinya akan terjadi pembangunan secara holistik (rohani dan jasmani).

3.        Suka cita yang temporer

Ada apa dengan sukacita yang temporer. Secara jujur, harus diakui bahwasanya sukacita yang temporer ada di dalam kehidupan kita. Akan tetapi, apa yang dinamakan sukacita temporer jelas tidak akan ‘survive’ (tidak bertahan lama). Misalnya, ketika kita dalam keadaan sehat, beruntung, kenyang, dll, alangkah besarnya sukacita kita. Sebaliknya, ketika kita dalam keadaan sakit,  rugi, lapar dll, maka sukacita kita akan surut. Kedua hal ini wajar bagi kita sebagai manusia dan keduanya akan silih berganti kita alami dan rasakan sepanjang nafas kehiduan kita. Oleh karena itu, maka sukacita yang dimaksudkan oleh Tuhan dalam perikop ini bahkan dalam keseluruhan firmannya bukanlah sukacita yang temporer melainkan suka cita  yang abadi.

4.        Suka cita yang abadi

Sukacita yang abadi ialah sukacita yang sekali untuk selamalamanya. Rasul Paulus dalam Filippi 4:4 menekankan sukacita yang abadi. “Always be joyful”, bersukacitalah senantiasa. Sukacita yang abadi itu justru melampaui segala abad, melampaui batas situasi dan kondisi kehidupan. Sukacita yang abadi inilah yang mengatasi sukacita temporer dalam diri manusia. Kemudian, sukacita yang abadi ini jugalah yang mendampingi dan menolong orang percaya dikala ia mengalami banyak pergumulan hidup. Itu sebabnya, setiap orang percaya tidak akan pernah merasa angkuh, sombong ketika ia banyak menikmati sukacita yang temporer. Sebaliknya, setiap orang percaya tidak akan menyerah, frustrasi dan putus asa ketika ia mengalami banyak problema kehidupan.
Kalau begitu, apa sebenarnya sukacita yang abadi itu?
Dalam perikop ini amatlah jelas bahwa sukacita yang abadi dapat diperoleh hanya karena persekutuan dengan Allah, dimana FirmanNya akan seperti air susu ibu senantiasa mengalir ke dalam hati kita menjadi sumber kekuatan, penghiburan dan menjadi pedoman hidup. Firman Allah sesungguhnya terpusat pada Yesus Kristus (Yoh 1:1-14). Yesus Kristus melakukan penebusan satu kali untuk selamalamanya. Maka sukacita yang abadi itu ialah keselamatan dari kuasa kegelapan dan dosa (Yoh 3:16).
Maka setiap orang tidak boleh melupakan penebusan Allah terhadap dirinya sendiri melalui Kristus Yesus. Karena penebusan dan keselamatan dari dosa itulah yang menjadi akar daripada sukacita yang abadi itu. Bahkan lebih dari pada itu, bahwa suka cita yang abadi itu telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan orang-orang percaya. Oleh karenanya, setiap orang percaya hendaklah melangkah dan melaksanakan setiap pekerjaannya di dalam sukacita yang dari pada Tuhan kita Yesus Kristus. Orang yang berbuat, berperilaku, bekerja dan melayani di dalam penuh sukacita maka akan  menambah sukacita bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain.                                                                      
A m e n .

                                                        

Pdt. Eden Ramses Siahaan, S.Th.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar