Sabar menanggung penderitaan memang jarang ditemukan dalam kenyataan. Apalagi bila penderitaan itu di luar dugaan dan tidak pernah dibayangkan sebelumnya, akan dapat membawa keputus-asaan. Apabila penderitaan itu datang beruntun dan seolah tidak berkesudahan, pastilah membawa sengsara yang sangat menyakitkan. Itulah yang dialami bangsa Israel ketika keluar dari Mesir dan berada di padang gurunmenuju tanah perjanjian.
Semula, kebebasan dari Mesir dipahami sebagai kelepasan dari penderitaan. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Israel mengalami berbagai peristiwa yang sangat menyedihkan. Semula, keluarnya dari Mesir dipahami sebagai titik awal meraih kebahagiaan dan sukacita dalam kehidupan. Tetapi ternyata, bagaikan keluar dari mulut singa lalu masuk ke mulut harimau. Artinya, keluar dari penderitaan di Mesir, lalu masuk ke penderitaan di padang gurun, di mana alam kehidupannya sangat ganas, kejam danpenuh siksaan. Tidak ada yang menyangka, bahwa penderitaan masih terus berkelanjutan setelah keluar dari Mesir. Para generasi muda yang keluar dari Mesir tentu tidak menduga bahwa derita hidupnya masih terus berlanjut sampai di usia tua.
Ketika penderitaan terus berlanjut, sampai-sampai banyak nyawa direnggut, kesabaran akhirnya pupus, seolah tidak mampu lagi bertahan hidup. Lalu berbagai pertanyaanpun muncul: Apakah Allah membiarkan umatNya hidup dalam keputus-asaan? Apakah Allah membiarkan mereka hidup tanpa makan? Apakah Allah tidak peduli dengan keselamatan mereka di waktu siang atau malam? Tentu jawabnya tidak. Allah sangat peduli kepada umatNya. Allah selalu memberi perlindungan kepada mereka. Penderitaan memang selalau datang, baik siang maupun malam. Rasa haus dan lapar memang selalu mengancam. Untuk itu Allah segera memasok makanan, memberi minuman dan melindungi mereka dalam perjalanan. Tetapi umatNya Israel tidak pernah bersabar menanggung penderitaan. Sebaliknya, mereka justru menggugat dan melawan Allah, juga menantang hambaNya Musa. Atas perlakuan itu, Israel dihukum. Ular tedung didatangkan ke padang gurun. Gigitannya membuat mereka semakin ketakutan. Tidak sedikit di antara mereka yang mati karena gigitan ular berbisa itu. Lalu mereka menghadap Musa, bermohon pengampunan Allah. Allah setia dengan kasihNya, permohonan mereka dikabulkan. Atas perintah Allah, Musa menaikkan ular-ular tedung ituke atas sebuah tongkat. Barang siapa yang digigit ular tedung lalu memandang ke ular yang dinaikkan di atas tongkat itu, maka dia akan sembuh dan memperoleh akan kehidupan.
Kejadian itu menjadi peristiwa besar dalam sejarah kehidupan Israel, sehingga dikenang sepanjang masa. Bahkan peristiwa meninggikan ular di pada gurun itu bermakna simbolik sebagai tindakan dan prakarsa Allah menyelamatkan manusia dari hukuman akibat keberdosaannya. Ular yang dinaikkan Musa itu bermakna figurative mesianis. Menggambarkan sosok kemesiasan. Allah datang ke dunia untuk menyelamatkan umat manusia. Ular yang ditinggikan itu dianalogikan atau disamakan dengan Mesias sebagai Anak Manusia yang datang membawa keselamatan. “Sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal” (Joh 3: 14 -15).
Penyaliban Yesus, penderitaan yang Dia alami di kayu salib itu adalah representasi manusia berdosa. Artinya, manusia berdosa itulah yang seharusnya disalibkan, yang harus menanggung penderitaan akibat keberdosaannya. Akan tetapi Yesus yang menjadi korban. Ia mengambil alih penderitaan dan hukuman dosa manusia melalui penyalibanNya di Golgatha. “Ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh” (Yes 53: 5).
Keselamatan manusia terjadi atas prakarsa Allah. Akan tetapi keselamatan itu terealisasi hanya ketika orang berdosa mengaku dosanya dan percaya bahwa Allah berkenan menghapus dan mengampuni segala dosanya. Modus penyelamatan itu adalah dengan adanya korban keselamatan yang diemban oleh Anak Manusia sebagaiAnak Domba Allah yang bersedia dan setia sebagai korban tebusan bagi orang-orang berdosa. Puncak pengorbanan Anak Manusia itu terakumulasi di dalam penderitaan Yesus di kayu salib. Oleh karena itu Yesus yang tersalib – persis seperti ular yang dinaikkan Musa di atas tongkat di padang gurun – bermakna keselamatan bagi orang-orang yang percaya kepadaNya. Ular yang dinaikkan di padang gurun itu menjadi prototype – bentuk pendahuluan -dari Yesus yang tersalib di Golgatha. Barangsiapa yang memandang Dia yang tersalib itu, lalu percaya kepadaNya, maka ia akan memperoleh berkat kehidupan di dunia ini dan dalam kehidupan yang kekal.
Gereja masa kini secara kolektif dan setiap orang Kristen, pengikut Yesus Kristus, secara pribadi harus senantiasa memandang Kristus yang tersalib di Golgatha. Memandang Dia yang tersalib berarti mengalihkan pemikiran dari dunia ini, dari pergumulan hidup sehari-hari, dan mengarahkan perhatian kepada penebusan Kristus di kayu salib. Sebab banyak orang yang berada dalam penderitaan, yang selalu bergumul setiap hari, yang selalu mempunyai permasalahan hidup yang tidak kunjung teratasi, namunmereka tidak datang kepada Yesus dan tidak lagi memandang Dia yang tersalib itu. Akibatnya, mereka tetap berada dalam kubangan penderitaan itu.
Memandang salib Kristus berarti memahami dan menghayati penderitaan dan pengorbanan Yesus Kristus untuk keselamatan kita. Memandang salib Kristus berarti meluangkan waktu, memberi perhatian untuk merenungkan kembali penderitaan Kristus, yang menderita dan mati untuk keselamatan kita. Betapa seringnya kita mengabaikan penderitaan Kristus itu sehingga kita lupa bahwa sebenarnya ada Dia yang telah berkoban untuk kita. Betapa seringnya kita, dalam kehidupan kita sehari-hari, kurang menghayati makna penderitaan Kristus di kayu salib itu, pada hal penghayatan dalam memaknai penderitaan Kristus itu adalah untuk keselamatan bagi kita. Oleh karena itu, memandang salib Kristus menjadi mutlak bagi kita. Memberi perhatian dan menghayati akan penderitaan Kristus yang tersalib itu sangat perlu bagi kita, karena hal itu akan menjadi kesembuhan luka-luka fisik dan luka-luka batin yang ada pada diri kita.
Memandang salib Kristus juga akan memberi kesadaran baru bagi kita. Kita ini tidak siapa-siapa di hadapan Kristus. Kita ini tidak boleh dan memang tidak mungkin bermegah diri di hadapanNya. Sebab kita adalah orang tebusanNya, yang menjadi milikNya. Kita bukan milik diri kita sendiri, tetapi milik Kristus yang sudah menebus kita dari maut dan kematian dengan mengorbankan dirinya sendiri. Kesadaran seperti itu yang akan terbangun ketika kita memandang salib Kristus. Oleh karena itu, memandang Kristus yang tersalib akan melahirkan kesadaran dalam dua hal. Pertama, kita menyadari dan meyakini bahwa Kristus telah menderita dan mati untuk kita. Dengan demikian kita akan selalu bersyukur kepadaNya atas kasih setiaNya yang rela dan bersedia menjadi korban keselamatan bagi kita. Kedua, kita menyadari akan diri kita sebagai miliki Kristus. Dengan demikian kita harus selalu merendahkan diri, tunduk dan taat, beriman dan percaya hanya kepada Dia yang telah memberikan nyawaNya untuk kesembuhan dan keselamatan kita di dunia ini dan dalam kehidupan esok, yang kekal selama-lamanya.
Kidung Jemaat No. 183: 1 2, Menjulang Nyata Atas Bukit Kala
Menjulang nyata atas bukit kala, trang benderang salibMu Tuhanku
Dari sinarnya yang menyala-nyala, memancar kasih agung dan restu
Seluruh insan umat menengadah, ke arah cahya kasih yang mesra
Bagaikan pelaut yang karam merindukan di ufuk timur pagi merekah
SalibMu, Kristus, tanda pengasihan, mengangkat hati yang remuk redam
Membuat dosa yang tak terperikan, di lubuk cinta Tuhan terbenam
Di dalam Tuhan kami balik lahir, insane bernoda kini berseri
Teruras darah suci yang mengalir di salib pada bukit Kalvari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar